Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA

PEREMPUAN YANG BEKERJA DI MALAM HARI

Skripsi ini Disusun untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Diajukan Oleh :

Nama : Altho Belly Barus

NIM : 040200124

Bagian : Hukum Administrasi Negara Program Studi : Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

PEREMPUAN YANG BEKERJA DI MALAM HARI

S K R I P S I

Di ajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Altho Belly Barus

040200124

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP : 195409121984031001 Dr.Pendastaren Tarigan, S.H,MS

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.DR.Budiman Ginting SH. Mhum .

NIP: 195905111986011001 NIP:196002141987032002 Surya Ningsih SH.Mhum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Puji dan syukur kepada Tuhan maha Esa atas segala kasih , kesempatan, anugerah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa segala upaya yang dilakukan dalam menyusun skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada Bapak Prof.DR.Budiman Ginting,SH,Mhum. selaku Pembimbing I dan Ibu Surya Ningsih, SH, Mhum yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak dan Ibu tercinta beserta seluruh keluarga besar penulis, yang telah banyak memberikan do’a dan kasih sayang, serta motivasi dan semangat selama ini. Semoga amal dan kebaikannya diterima Tuhan Yang Maha Esa

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman Angkatan 2004 yang telah menjadi teman Penulis dalam segala suka dan duka. Terima kasih atas segala perhatian dan dorongan semangatnya sehingga penulis tetap bertahan dan berjuang untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penyusun menyadari bahwa penyusunan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati.

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis berharap semoga penelitian dan penyajiannya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan serta dapat menjadi sumber bahan dan informasi bagi penelitian yang berikutnya.

Medan, Januari 2010 Penyusun


(4)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Metode Penelitian ... 4

F. Sistematika Penulisan ... 5

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN BEKERJA DI MALAM HARI 7 A. Faktro Pendukung Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari ... 7

B. Faktor Penghambat Dalam Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari ... 9

C. Upaya Menghadapi Hambatan Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Permpuan Yang Bekerja Di Malam Hari ... 18

BAB III CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM MENEGAKKAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BEKERJA DI MALAM HARI ... 26

A.Bentuk Campur Tangan Pemerintah Terhadap Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari ... 26

B. Pengawasan Departemen Ketenagakerjaan Bagi Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari ... 31


(5)

Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Hari... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI ... 53

A. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Perempuan Yang Bekerja Di Malam Pada UD.Central Bacery ... 53

B. Gambaran Umum Tentang Pelaksanaan Tenaga Kerja Perempuan Yang Di Malam Hari Di UD. CENTRAL BACERY ... 64

C. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja di Malam Hari di Kabupaten Deli Serdang ... 65

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...


(6)

Pemasalahan perlindungan tenaga kerja perempuan adalah salah satu masalah yang sering di hadapi jika kita berbicara tentang masalah ketenagakerjaa di indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari banyak perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkaitan dengan perempuan yang bekerja ini Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Ketentuan Pasal 5 ini membuka peluang kepada perempuan untuk memasuki semua sektor pekerjaan, dengan catatan bahwa perempuan itu mau dan mampu melakukan pekerjaan tersebut.

Selanjutnya di dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini semakin memperjelas ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Adapun dasar hukum dari pembuatan perjanjian kerja adalah Undang-undang Ketenagakerjaan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang terdahulu adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 Tahun 1951. Dalam kedua undang-undnag ini disebutkan bahwa buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, karena umumnya pada hari aaaaid pertama dan kedua kondisi pisik wanita sedikit terganggu. Buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan, perlindungan ini sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 ketentuan ini juga masih sama. Oleh sebab itu lembaga pemerintah yang menangani masalah ketenagakerjaan mampu memberikan suatu kepastian hukum kepada bukan hanya tenaga kerja perempuan tapi juga seluruh gender.


(7)

Pemasalahan perlindungan tenaga kerja perempuan adalah salah satu masalah yang sering di hadapi jika kita berbicara tentang masalah ketenagakerjaa di indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari banyak perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkaitan dengan perempuan yang bekerja ini Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Ketentuan Pasal 5 ini membuka peluang kepada perempuan untuk memasuki semua sektor pekerjaan, dengan catatan bahwa perempuan itu mau dan mampu melakukan pekerjaan tersebut.

Selanjutnya di dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini semakin memperjelas ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Adapun dasar hukum dari pembuatan perjanjian kerja adalah Undang-undang Ketenagakerjaan. Undang-undang Ketenagakerjaan yang terdahulu adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 Tahun 1951. Dalam kedua undang-undnag ini disebutkan bahwa buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, karena umumnya pada hari aaaaid pertama dan kedua kondisi pisik wanita sedikit terganggu. Buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan, perlindungan ini sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 ketentuan ini juga masih sama. Oleh sebab itu lembaga pemerintah yang menangani masalah ketenagakerjaan mampu memberikan suatu kepastian hukum kepada bukan hanya tenaga kerja perempuan tapi juga seluruh gender.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wanita yang bekerja sekarang ini bukan lagi merupakan suatu hal yang tabu, bahkan sangat banyak wanita yang memiliki karier yang bagus di dalam kehidupan kerjanya. Banyak alasan yang mendasari wanita bekerja. Ada yang karena harus bekerja karena tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat mencari nafkah, ada pula yang bekerja karena memang ingin mencapai karier yang baik dalam dunia kerja.

Tuntutan mengenai wanita harus diperlakukan sama dengan pria ini telah ada sejak lama, diantaranya adalah tuntutan yang diajukan oleh R.A Kartini. Sebelum adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, R.A. Kartini pada tanggal 10 Juni 1901, menulis surat kepada rekannya di Negeri Belanda yang menceriterakan tentang harapan akan adanya emansipasi antara kaum perempuan dan lelaki, kebebasan berpikir mereka dan sebagainya. Disini Kartini telah membuka sebuah human right discourse (wacana hak asasi manusia), meskipun artikulasi mengenai hak-hak asasi masih amat sumir.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak perempuan yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkaitan dengan perempuan yang bekerja ini Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Ketentuan Pasal 5 ini membuka peluang kepada perempuan untuk memasuki semua sektor pekerjaan, dengan catatan bahwa perempuan itu mau dan mampu melakukan pekerjaan tersebut.

Selanjutnya di dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ini semakin memperjelas ketentuan Pasal 5


(9)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja.

Ketentuan Pasal 5 dan 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dengan adanya ketentuan Pasal 5 dan 6 ini maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru merupakan undang-undang yang anti diskriminasi.

Berangkat dari ketentuan undang-undang yang melarang adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja (das sollen), maka seharusnya di dalam kenyataannya perempuan yang bekerja memang benar-benar diperlakukan tanpa adanya diskriminasi dengan laki-laki. Akan tetapi di dalam kenyataannya (das sein) sering terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam banyak aspek dari pekerjaan, misalnya dari segi gaji, tunjangan, jenjang karier, dan lain-lain.

Di antara sekian banyak profesi yang bisa digeluti perempuan dalam mencari nafkah, ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang mewajibkan perempuan tersebut untuk bekerja di malam hari. Hal ini misalnya pada sebuah pabrik yang memiliki tiga shift jam kerja yang salah satunya berawal di sore hari dan berakhir pada malam hari.

Seorang perempuan, apalagi yang bekerja pada malam hari, harus dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan terkena resiko atas pekerjaan yang dilakukannya. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengungkap bentuk perlindungan hukum yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari, dan perlindungan hukum yang telah dilakukan dalam prakteknya.

Dengan demikian dalam penulisan skripsi ini akan dibandingkan antara

das sollen dan das sein dari perlindungan hukum yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari,


(10)

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari mempunyai kecenderungan mendapatkan risiko kerja yang tinggi. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan yang bekerja di malam hari dengan studi kasus pada UD CENTRAL BACERY DELI SERDANG

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, penulis tertarik untuk meneliti masalah :

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari

2. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari

3. Bagaimana campur tangan pemerintah dalam upaya menegakkan peraturan pemerintah dalam hal perlindungan hukum tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari. Sehingga mampu menentukan tidakan apasaja yang perlu dilakukan dalam hal penegakan Ketentuan Perlindungan tenaga kerja perempuan yang berkerja khususnya yang berkerja di malam hari

2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan faktor penghambat yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari sehingga dapat menjadi dasar analisa dalam meningkatkan suatu keadilan bagi seluruh gender.


(11)

3. Untuk mencari suatu solusi dalam menghadapi segala permasalahan yg di hadapi dalam perlindungan hukum tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan sebagai kajian bagi para mahasiswa,para akademisis dan para pengamat yang berminata terhadap perlindungan hukum tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari khususnya dan atau mengkhusukan dalam hal-hal yang normative dari peraturan ketenagakerjaan.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi suatu pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan di bidang ketenagakerjaan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

a. Penelitian noramatif

Penelitian yang dilakukan melalui ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perlindungan tenaga kerja wanita yang berkerja di malam hari. Sehingga di ketahui tutuntan hukum yang berlaku dalam mengahadapai pernasalahan perlindungan tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari.

b. Penelitian sosiologis

Penelitian yang di dasari melalui pemantauan langsung kemasyarakat dan pengumpulan data melalui subjek permasalahan perlindungan hukum tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari.

2. Lokasi penelitian di lakukan di UD CENTRAL BACERY kabupaten Deli Derdang

3. Narasumber

a. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang atau yang mewakili. b. Pimpinan salah satu LSM yang bergerak di bidang kepedulian terhadap


(12)

4. Teknik pengumpulan data a. Observasi Lapangan

DALam hal ini peneliti secara langsung mengobservasi kelokasi penelitian.

b. Studi pustaka

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari dari buku-buku, jurnal, koran, internet, dan sumber-sumber lain yang relevan.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari sumber-sumber data, dianalisa secara kualitatif dengan metode berfikir deduktif normatif, yaitu metode berfikir dari hal yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus, yaitu dari hasil penelitian yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan disusun menjadi satu secara sistematis sehingga saling melengkapi, dikaitkan dengan peraturan perundangan yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari.

F. Sistematika dan Hasil Penulisan

Untuk memudahkan penulisan dan pembahasan hasil penelitian, maka dibuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(13)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN BEKERJA DI MALAM HARI

Bab ini menjelaskan tentang faktor pendukung dan faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari. Serta aturan normatif yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari.

BAB III

CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM MENEGAKKAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BEKERJA DI MALAM HARI

Dalam bab ini di jelaskan tentang campur tangan pemerintah melalu lembaganya dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Bab yang menguraikan tentang faktor-faktor penghambat dalam perlindungan tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari pada UD.Central Bacery

BAB V PENUTUP

Bab yang berisikan kesimpulan dan saran, tentang pendapat penyusun dalam menanggulangi segala permasalahan yang di hadapai dalam menegakkan ketentuan Perlindungan Tenaga Kerja Perempuan Yang Berkerja Di malam Hari


(14)

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA

PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

A. FAKTOR PENDUKUNG PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA ADI MALAM HARI

Adapun faktor yang mendukung di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari yaitu Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan pekerja Perempuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di malam hari.

Selain itu faktor pendukung lainnya adalah adanya pengawasan dari Departemen Tenaga Kerja yang diatur dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 181 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut undang-undang ini serta pengaturan pelaksana lainnya, diadakan suatu sistem pengawasan tenaga kerja, dan di dalam penjelasan dinyatakan pula bahwa fungsi pengawasan tenaga kerja adalah sebagai berikut :

a. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai ketenagakerjaan. Ketentuan-ketentuan hukum yang dimaksud adalah ketentuan hukum sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di


(15)

malam hari. Jika dalam praktek penyelenggaraan sebuah usaha, pengawas menemukan bahwa pengusaha yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut, maka pengawas dapat segera mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

b. Memberikan penanganan teknis serta nasehat kepada pengusaha dan tenaga kerja tentang hal-hal yang dapat menjamin efektivitas pelaksanaan dari peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Penanganan teknis yang dimaksud adalah dalam hal ditemukannya pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, maka pengawas pertama-tama memberikan penanganan teknis terlebih dahulu, yang berupa menjelaskan tentang hal yang seharusnya dilakukan pengusaha. Selain bersifat pemberitahuan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh pengusaha, penanganan teknis ini juga dapat berupa penutupan sementara perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-undang tersebut sampai perusahaan itu benar-benar melaksanakan ketentuan perundang-undangan dan menghentikan pelanggarannya.

c. Melaporkan kepada yang berwenang tentang kecurangan dan penyelewengan dalam bidang ketenagakerjaan yang tidak jelas diatur dalam peraturan perundangan.

Dari faktor-faktor yang mendukung di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah mengupayakan seoptimal mungkin perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Hanya saja dalam prakteknya di lapangan, seringkali pengusaha dengan segala cara berusaha melanggar segala ketentuan perundang-undangan. Hal ini dilakukan pengusaha karena tidak ingin melaksanakan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakana tenaga kerja perempuan di malam hari, misalnya menyediakan fasilitas antar jemput,


(16)

menyediakan makanan dan minuman yang bergizi bagi karyawannya, menyediakan fasilitas kaman mandi/WC yang terpisah antara karyawan laki-laki dan perempuan, dan lain-lain. Semua kewajiban itu dianggap pengusaha hanya merupakan penghambat untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Pengusaha berprinsip bahwa semua peraturan tersebut hanya bersifat merugikan dan membatasi ruang lingkupnya saja.

B. FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Disamping faktor pendukung seperti yang diuraikan di atas, ada pula faktor-faktor penghambat yang timbul dalam penyelenggaraan kerja yang melibatkan tenaga kerja perempuan di malam hari. Sumber faktor penghambat ini terbagi menjadi tiga, yaitu yang bersumber dari tenaga kerja itu sendiri, pihak pengusaha maupun pihak pemerintah.

a. Hambatan yang Berasal dari Tenaga Kerja

Hambatan dari tenaga kerja itu umumnya dikarenakan tingkat pendidikan tenaga kerja yang rendah, untuk mencukupi kebutuhan, tenaga kerja biasanya mengesampingkan hak-hak yang seharusnya diperoleh agar mendapatkan upah yang utuh, kurangnya pengetahuan tenaga kerja perempuan mengenai undang-undang dan peraturan-peraturan yang melindungi tenaga kerja perempuan itu sendiri.

Kaum perempuan yang rela bekerja di malam hari identik dengan orang-orang dari kalangan menengah ke bawah. Sebagai kalangan menengah ke bawah mereka biasanya tidak mampu untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu kemampuan mereka terbatas mengenai hal-hal yang bersifat peraturan perundang-undangan atau apapun yang berkaitan dengan hukum.

Di lain pihak mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sering kali hanya mengandalkan mereka untuk dapat menyambung hidupnya. Berdasarkan kondisi ini maka biasanya kepekaan tenaga kerja perempuan tersebut terhadap keselamatan dan keamanan dirinya tidak begiti tinggi. Bahkan walaupun


(17)

kepekaan itu sebenarnya ada, sering kali mereka dikesampingkan hanya karena takut tidak mendapatkan pekerjaan lain, sehingga nanti mengancam kelangsungan penghasilannya.

Oleh karena sebab-sebab di atas, maka ketika tenaga kerja perempuan itu tidak mendapatkan sesuatu yang menjadi haknya sebagai tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, mereka diam saja. Mereka takut untuk memprotes atasan mengenai tidak dipenuhinya hak-hak mereka.

Pada dasarnya hambatan yang berasal dari tenaga kerja ini dapat diatasi jika kepada tenaga kerja itu diberikan jaminan bahwa menuntut sesuatu yang menjadi hak mereka dari atasannya, tidak akan menyebabkan ia kehilangan pekerjaannya. Selain itu perlu diberikan pula penanaman pengetahuan tentang hak-hak seorang tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, karena bisa jadi mereka tidak memprotes karena sebenarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi hak mereka. Hal ini dikarenakan para pengusaha biasanya cenderung untuk tidak memberitahukan hal-hal yang menjadi hak dari tenaga kerja, tetapi lebih cenderung untuk menuntut pelaksanaan kewajiban dari para tenaga kerjanya.

b. Hambatan yang Berasal dari Pengusaha

Hambatan yang berasal dan pihak pengusaha adalah kurang mempedulikan hal–hal yang bersifat memberikan efek yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Seperti diketahui bahwa semua kewajiban yang dibebankan kepada pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari, bersifat pengeluaran bagi pengusaha, antara lain penyediaan makanan dan minuman yang bergizi, penyediaan fasilitas antar jemput, penyediaan kamar mandi/WC yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, dan lain-lain, semuanya merupakan sumber pengeluaran bagi pengusaha.

Sementara di lain pihak naluri seorang pengusaha adalah untuk mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dari pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu semua kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari dianggapnya sebagai sesuatu yang merugikannya saja, sehingga pengusaha cenderung mengabaikannya.


(18)

Kecenderungan pengusaha untuk berlaku seperti itu juga didukung oleh kondisi tenaga kerjanya yang cenderung tidak berani menuntut apa yang menjadi haknya dengan alasan takut dipecat. Hal ini semakin meningkatkan arogansi pengusaha. Ada satu prinsip dari pengusaha tentang kesewenang-wenangannya dalam mempekerjakan tenaga kerja perempuan, yaitu, siapa yang mau menerima kondisi kerja seperti apa adanya, maka dia dapat diterima bekerja, akan tetapi siapa yang tidak mau menerima kondisi seperti itu bisa keluar dari pekerjaannya.

c. Hambatan yang Berasal dari Pemerintah

Hambatan yang berasal dan pemerintah disebabkan karena kurangnya penerangan dari pihak yang terkait yaitu Departemen Tenaga Kerja mengenai Hukum Ketenagakerjaan baik pada pengusaha maupun pda tenaga kerja perempuan itu sendiri. Di samping itu kurangnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari merupakan salah satu penyebab banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh pengusaha yang mempekerjakan perempuan di malam hari.

Pemerintah selaku pihak yang berwenang mengurus masalah-maslah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seharusnya mempunyai sikap yang proaktif dalam menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Di samping itu pengawasan yang merupakan kunci dari perlindungan hukum di bidang tenaga kerja perlu lebih diintensifkan. Pemerintah tidak harus menunggu di kantor datangnya laporan atau datangnya pengusaha untuk meminta izin mempekerjakana tenaga kerja perempuan di malam hari. Akan tetapi pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja harus mencari informasi sebelum informasi itu datang.

Berdasarkan hasil analisis, faktor pendorong paling kuat perusahaan memberikan perlindungan hukum pada pekerja perempuan adalah kesadaran pentingnya perlindungan hukum pada tenaga kerja perempuan dan kondisi perusahaan yang baik. Sedangkan sebagai faktor kendala paling kuat perusahaan tidak memberikan perlindungan hukum pada pekerja perempuan adalah tidak


(19)

ada pengawasan pemerintah dan tidak ada kepastian hukum bagi perusahaan yang melanggar.

1 Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang ?

2. Bagaimanakah peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang ?

3. Hambatan - hambatan apakah yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor industri pertekstilan Kabupaten Deli Serdang?.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan pegawai pengawas ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang, Pengurus Serikat Pekerja Sektor Industri Tekstil dan Sandang Cabang Deli Serdang, Pengusaha dan Pekerja Perempuan, Sumber Data Sekunder berasal dari berbagai bahan kepustakaan yang relevan dengan tema penelitian dan berbagai peraturan yang mengatur tentang perlindungan hukum pekerja perempuan serta Peraturan Perusahaan dan PKB Perusahaan . Teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan di sektor Industri pertekstilan dan sandang Kabupaten Deli Serdang berpedoman pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khususnya pasal 76, 81, 82, 83 84, pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi: a. Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja perempuan (pukul

23.00 sampai pukul 07.00). Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan minuman bergizi


(20)

tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang.

b. Perlindungan terhadap pekerja perempuan yang dalam masa haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaannya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir. c. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya

melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.

d. Pemberian kesempatan pada pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.

2. Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan dibidang ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan

3. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.

Langkah yang signifikan yang menuju ke pengakuan tentang hak-hak perempuan adalah apa yang disetuskan pada tahun 1979 pada Sidang Umum PBB yang mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of


(21)

Discrimination Against Women) yang membuka jalan bagi semua negara untuk meratifikasinya (Indonesia sudah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 1984).1

Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut kedalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi, dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengatakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal.

CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang :2

1. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

2. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau

3. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya.

Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada

1

Sugiyono, Konvensi-konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, Alumni, Bandung, 1997, hal. 118.

2


(22)

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki adalah sama. Untuk melindungi tenaga kerja, maka perusahaan wajib memberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya ketentuan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang terpaksa bekerja. Karena di dalam praktek kerja yang ada di masyarakat, sering terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan yang bekerja. Kesewenang-wenangan ini berupa jam kerja yang terlalu panjang, gaji di bawah standar, sakit karena haid tetap disuruh bekerja, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, harus mempunyai produktivitas yang sama dengan pekerja laki-laki, tidak disediakan ruang kamar mandi khusus (kamar mandi jadi satu dengan pekerja laki-laki) sehingga bisa mengundang pelecehan seksual, dan lain-lain.3

Adanya ketentuan bahwa pengusaha harus memenuhi syarat-syarat kerja pemberian pekerjaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuat pengusaha yang tidak mau memenuhi ketentuan syarat kerja yang ditujukan bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, antara lain sanksi denda, sanksi kurungan/penjara, sanksi ditutup usahanya, dan lain-lain.

Perempuan sebagai pekerja berhak mendapat perlindungan hukum dari berbagai kemungkinan buruk yang dapat menimpanya. Apalagi jika perempuan tersebut melakukan pekerjaannya di malam hari. Untuk itu ada beberapa konvensi

3


(23)

tentang perlindungan terhadap perempuan yang bekerja di malam hari, antara lain :4

1. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1919 (Indonesia tidak ikut meratifikasi).

2. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1934 (Indonesia tidak ikut meratifikasi).

3. Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948 (Indonesia tidak ikut meratifikasi).

Dari ketiga konvensi tentang perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari tersebut, tidak satupun yang pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah Indonesia khawatir tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh konvensi tersebut yang dirasa berat oleh pengusaha.

Salah satu dari ketentuan konvensi-konvensi itu yang dirasa berat untuk dilaksanakan adalah ketentuan Pasal 3 Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948, yang menentukan bahwa “Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun, atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha dimana hanya angota-anggota dari keluarga yang sama dipekerjakan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa ada suatu ketentuan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan di malam hari hanya boleh dilakukan jika di dalam usaha yang sama, bekerja juga anggota keluarganya yang lain. Ketentuan ini dirasa berat, karena belum tentu di dalam satu perusahaan bekerja juga anggota keluarga yang sama, sehingga ketentuan ini dirasa hanya akan mematikan potensi ekonomi yang dimiliki usaha tersebut. Karena jika ternyata pengusaha Indonesia melakukan pelanggaran, maka sanksinya usaha tersebut harus ditutup.

4

Anonim, Perisai Perempuan, Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, 1996, hal. 44-46.


(24)

Akan tetapi walaupun Indonesia tidak meratifikasi konvensi internasional tersebut, tetap ada perlindungan hukum yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Perlindungan itu diberikan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh PerempuanAntara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00.

Peraturan ini dibuat dalam rangka memberikan peraturan pelaksanaan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.


(25)

C. UPAYA MENGHADAPAI HAMBATAN PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Tuntutan mengenai perempuan harus diperlakukan sama dengan pria ini telah ada sejak lama, diantaranya adalah tuntutan yang diajukan oleh R.A Kartini. Sebelum adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, R.A. Kartini pada tanggal 10 Juni 1901, menulis surat kepada rekannya di Negeri Belanda yang menceriterakan tentang harapan akan adanya emansipasi antara kaum perempuan dan lelaki, kebebasan berpikir mereka dan sebagainya. Disini Kartini telah membuka sebuah human right discourse (wacana hak asasi manusia), meskipun artikulasi mengenai hak-hak asasi masih amat sumir.5

Di tingkat dunia, telah ada Deklarasi dan Program Aksi Wina yang pada bagian I ayat 18, menentukan bahwa hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan yang sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan berprioritas pada masyarakat internasional.6

Langkah yang signifikan yang menuju ke pengakuan tentang hak-hak perempuan adalah apa yang diayunkan pada tahun 1979 pada Sidang Umum PBB yang mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) yang membuka jalan bagi semua negara untuk meratifikasinya (Indonesia sudah meratifikasinya dengan UU No. 7 Tahun 1984).7

Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut kedalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, perempuan sendiri

5

Rutman Sirait, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 23.

6

Ibid., hal. 45. 7

Sugiyono, Konvensi-konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, Alumni, Bandung, 1997, hal. 118.


(26)

masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi, dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengatakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal.

CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang :8

1. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

2. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau

3. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya.

Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003 sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki adalah sama. Untuk melindungi tenaga kerja, maka perusahaan

8


(27)

wajib memberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya ketentuan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang terpaksa bekerja. Karena di dalam praktek kerja yang ada di masyarakat, sering terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan yang bekerja. Kesewenang-wenangan ini berupa jam kerja yang terlalu panjang, gaji di bawah standar, sakit karena haid tetap disuruh bekerja, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, harus mempunyai produktivitas yang sama dengan pekerja laki-laki, tidak disediakan ruang kamar mandi khusus (kamar mandi jadi satu dengan pekerja laki-laki) sehingga bisa mengundang pelecehan seksual, dan lain-lain.9

Perempuan sebagai pekerja berhak mendapat perlindungan hukum dari berbagai kemungkinan buruk yang dapat menimpanya. Apalagi jika perempuan tersebut melakukan pekerjaannya di malam hari. Untuk itu ada beberapa konvensi tentang perlindungan terhadap perempuan yang bekerja di malam hari, antara lain :

Adanya ketentuan bahwa pengusaha harus memenuhi syarat-syarat kerja pemberian pekerjaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuat pengusaha yang tidak mau memenuhi ketentuan syarat kerja yang ditujukan bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, antara lain sanksi denda, sanksi kurungan/penjara, sanksi ditutup usahanya, dan lain-lain.

10

1. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1919 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 2. Konvensi Kerja Malam (Perempuan), 1934 (Indonesia tidak ikut meratifikasi). 3. Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948 (Indonesia tidak ikut

meratifikasi).

9

http://www.kompas.com. 10

Anonim, Perisai Perempuan, Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, 1996, hal. 44-46.


(28)

Dari ketiga konvensi tentang perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari tersebut, tidak satupun yang pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemerintah Indonesia khawatir tidak dapat memenuhi ketentuan yang ditentukan oleh konvensi tersebut yang dirasa berat oleh pengusaha.

Salah satu dari ketentuan konvensi-konvensi itu yang dirasa berat untuk dilaksanakan adalah ketentuan Pasal 3 Konvensi Kerja Malam (Perempuan) (Revisi), 1948, yang menentukan bahwa “Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun, atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha dimana hanya angota-anggota dari keluarga yang sama dipekerjakan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa ada suatu ketentuan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan di malam hari hanya boleh dilakukan jika di dalam usaha yang sama, bekerja juga anggota keluarganya yang lain. Ketentuan ini dirasa berat, karena belum tentu di dalam satu perusahaan bekerja juga anggota keluarga yang sama, sehingga ketentuan ini dirasa hanya akan mematikan potensi ekonomi yang dimiliki usaha tersebut. Karena jika ternyata pengusaha Indonesia melakukan pelanggaran, maka sanksinya usaha tersebut harus ditutup.

Akan tetapi walaupun Indonesia tidak meratifikasi konvensi internasional tersebut, tetap ada perlindungan hukum yang diberikan kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari. Perlindungan itu diberikan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00.

Peraturan ini dibuat dalam rangka memberikan peraturan pelaksanaan Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :

(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.


(29)

(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :

a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan

b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.

(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Demi melindungi eksistensi peran dari tenaga kerja perempuan maka pemerintah menetapkan apa saja yang menjadi hak dari tenaga kerja perempuan. Hal ini di atur secara khusus dengan sebagai cara untuk melindungi tenaga kerja perempuan yang khususnya yang berkerja di malam hari. Dalam hal ini pemerintah menetapkan dalam KEPMEN NO.224 TAHUN 2003 tenaga kerja perempuan yang berkerja di malam hari berhak mendapatkan:

a. Mendapat makanan dan minuman bergizi;

b. Mendapat keamanan selama di tempat kerja.dan pengamanan terhadap tindakan yang melanggar kesusilaan

c. Mendapatkan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00. d. Mendapat kamar mandi/wc yang layak dengan penerangan yang memadai

serta terpisah antara pekerja/buruh perempuan dan laki-laki.

Dimana telah diatur dalam undang-undang bahwa pekerja perempuan mempunyai hak-hak khusus yang tidak diberikan oleh pekerja laki-laki. Hal ini terkait dengan perlindungan fungsi reproduksi yang dimiliki oleh perempuan, dan


(30)

tidak dimiliki oleh laki-laki. Perlindungan fungsi reproduksi ini antara lain menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.

Menurut Undang-undang dan konvensi ILO yang telah diratifikasi, perlindungan tenaga kerja perempuan meliputi :

1. Kerja Malam Perempuan

Perempuan yang bekerja di malam hari harus mendapat perlindungan khusus berdasarkan pertimbangan bahwa perempuan itu lemah dari segi fisik maupun untuke menjaga kesehatan dan kesusilaan. Menurut UU no.13 tahun 2003, perempuan dilarang bekerja pada malam hari bila berumur kurang dari 18 tahun atau pekerja / buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya dan dirinya. Sedangkan bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan pada malam hari mempunyai kewajiban memberikan makanan dan minuman bergizi, menjaga kesusilaan dan keamanan selama bekerja dan menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh yang berangkat dan pulang antara jam 23.00 s/d05.00

2. Cuti Haid

Cuti ini diberikan kepada pekerja perempuan yang menderita gangguan kesehatan karena haidnya, sehingga hak istirahat ini tidak bersifat mutlak sehingga bagi pekerja perempuan yang akan menggunakan hak ini harus disertai surat keterangan dari dokter atau bidan. Sehubungan dengan hak ini, pengusahan berkewajiban untuk tidak mempekerjakan pekerja perempuan pada hari pertama dan kedua waktu haid dan membayar upah penuh bagi pekerja perempuan yang menggunakan hak ini.

3. Cuti Hamil melahirkan dan Gugur Kandungan

Untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja perempuan beserta anaknya, maka khusus pekerja perempuan mendapatkan cuti selama 1,5 (satu setengah) bulan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter.


(31)

4. Kesempatan Menyusui Anaknya

Menurut pasal 83 UU No.13 tahun 2003, pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatitnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan di waktu kerja. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin agar pekerja perempuan dapat memenuhi kewajibannya sebagai ibu untuk memberi ASI walaupun harus bekerja untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya.

5. Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Bagi Pekerja Perempuan Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan

Pekerja perempuan yang karena menikah, hamil atau melahirkan dilindungi peraturan Menteri Tenaga Kerja, yaitu pengusaha dilarang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena ketiga hal di di atas. Apabila di suatu perusahaan ada pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan perempuan hamil, maka harus dilakukan pengalihan pekerjaan kepada pekerja lain. Bila pengalihan kerja tidak dimungkinkan maka pengusaha wajib memberikan cuti di luar tanggungan perusahaan sampai waktu cuti hamil atu melahirkan dengan ketentuan jangka waktu cuti 7,5 bulan. Tenaga kerja perempuan yang sudah mendapatkan cuti hamil atau melahirkan,pengusaha wajib mempekerjakan perempuan tersebut pada tempat dan jabatan yang sama tanpa mengurangi hak-haknya.

6. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Bunyi pasal 5 UU No.13 tahun 2003 tersebut mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan hak antara pria dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan. Disamping diatur dalam undang-undang, Pemerintah juga telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 100 tentang pengupahan yang sama dalam pekerjaan yang sama nilainya bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi yang kedua nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan , isinya antara lain memuat ketentuan-ketentuan tentang larangan segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan ras, warna


(32)

kulit, seks,agama,aliran politik dan sebagainya. Larangan diskriminasi ini termasuk kesempatan mengikuti pelatihan ketrampilan, memperoleh pekerjaan dan mematuhi syarat-syarat mendapatkan kondisi kerja.

7. Perlindungan Upah Bagi Pekerja Perempuan

Pada prinsipnya, upah yang diberikan kepada pekerja adalah sama dan berbentuk uang. Menurut Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1981 disebutkan bahwa pengusaha dalam menetapkan upah, tidak boleh mengadakan diskriminasi antara pekerja / buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi dalam pasal di atas adalah bahwa upah dan tunjangan-tungangan lainnya yang diterima oleh pekerja/buruh laki-laki harus sama besarnya dengan upah dan tunjangan lain-lain yang diterima pekerja/buruh perempuan. Berbagai bentuk perlindungan kepada pekerja/buruh perempuan di atas, pada awalnya untuk melindungi pekerja perempuan dari kemungkinan eksploitasi yang dilakukan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga perlakuan terhadap pekerja perempuan lebih manusiawi. Disamping itu, perlindungan ini didasarkan pula bahwa secara kodrati pekerja perempuan memiliki kondisi fisiologi yang berbeda dengan pria. Dimana pekerja perempuan mempunyai fungsi reproduksi, sebagai salah satu fungsi sosial yang dimiliki kaum perempuan yang akan berpengaruh pada kehidupan keluarga, masyarakat dan bernegara. Dengan berbagai aturan ini diharapkan fungsi reproduksi dapat berlangsung aman dan sehat, sehingga peran ganda yang dimiliki bisa berjalan dengan seimbang disamping menjadi pekerja yang lebih bermartabat.


(33)

CAMPUR TANGAN PEMERINTAH DALAM MENEGAKKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA PEREMPUAN

YANG BERKERJA DI MALAM HARI

A. BENTUK CAMPUR TANGAN PEMERINTAH TERHADAP TENAGA

KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki adalah sama. Untuk melindungi tenaga kerja, maka perusahaan wajib memberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adanya ketentuan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan ini merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang terpaksa bekerja. Karena di dalam praktek kerja yang ada di masyarakat, sering terjadi kesewenang-wenangan terhadap kaum perempuan yang bekerja. Kesewenang-wenangan ini berupa jam kerja yang terlalu panjang, gaji di bawah standar, sakit karena haid tetap disuruh bekerja, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, harus mempunyai produktivitas yang sama dengan pekerja laki-laki,


(34)

tidak disediakan ruang kamar mandi khusus (kamar mandi jadi satu dengan pekerja laki-laki) sehingga bisa mengundang pelecehan seksual, dan lain-lain.11

Campur tangan negara dalam masalah ketenagakerjaan sangat diperlukan. Campur tangan ini mewajibkan negara untuk membentuk suatu instansi khusus yang berwenang melakukan campur tangan tersebut. Instansi ini pada masa sekarang adalah Departemen Tenaga Kerja.

Adanya ketentuan bahwa pengusaha harus memenuhi syarat-syarat kerja pemberian pekerjaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, membuat pengusaha yang tidak mau memenuhi ketentuan syarat kerja yang ditujukan bagi pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, antara lain sanksi denda, sanksi kurungan/penjara, sanksi ditutup usahanya, dan lain-lain.

12

Campur tangan pemerintah diperlukan untuk melindungi tenaga kerja, karena jika tanpa adanya campur tangan pemerintah maka sifat dasar pengusaha yang ingin mengejar keuntungan, dapat menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja hanya demi mencapai keuntungan yang diinginkannya. Sebagai contoh pekerja tidak diberi jam istirahat, pekerja tidak diberi perlindungan di tempat kerja, dan sebagainya. Adanya campur tangan pemerintah, maka jika ada pengusaha yang melanggar ketentuan yang dibuat pemerintah tentang perlindungan tenaga kerja, maka kepada pengusaha itu dapat dikenakan sanksi.13

Jika hubungan antara buruh dengan majikan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (buruh dan majikan), maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial di bidang perburuhan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homini lupus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang lemah. Atasa dasar

11

http://www.kompas.com. 12

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1992, hal. 39. 13

Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju, 1999, hal. 91.


(35)

itulah pemerintah secara berangsur-angsur turut serta menangani dalam masalah perburuhan ini melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja/buruh. Tujuan campur tangannya pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk mewujudkan perburuhan yang adil, karena peraturan perundang-undangan perburuhan memberikan hak-hak bagi buruh/pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak, dan sebagainya. Selain itu pemerintah juga memperhatikan kepentingan pengusaha/majikan, yakni kelangsungan hidup perusahaan.

Intervensi pemerintah dalam bidang perburuhan melalui peraturan perundang-undangan tersebut telah membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda, yakni sifat privat dan publik. Sifat privat melekat pada prinsip dasar adanya hubungan kerja yag ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara buruh/pekerja dengan pengusaha/majikan. Sedangkan sifat publik dari hukum perburuhan itu dilihat dari :14

1. Adanya sanksi pidana, denda dan sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang hukum perburuhan/ketenagakerjaan.

2. Keharusan mendapatkan izin pemerintah dalam masalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

3. Ikut campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).

Selain pergeseran sifat hukum perburuhan, kehadiran UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan telah banyak memberikan perubahan dalam khasanah hukum ketenagkerjaan Indonesia, yakni secara yuridis formal :15

1. Menggantikan istilah buruh menjadi pekerja, majikan menjadi pengusaha yang secara politis telah lama diupayakan untuk diganti dengan alasan buruh

14

Lalu Husni, op. cit., hal. 8. 15


(36)

maupun majikan kurang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Buruh berkonotasi pihak yang selalu berada di bawah tekanan pihak majikan.

2. Menggantikan istilah perjanjian perburuhan (labour agreement) menjadi perjanjian kerja bersama (PKB) yang berupaya diganti dengan alasan bahwa perjanjian perburuhan berasal dari negara liberal yang sering kali dalam pembuatannya menimbulkan benturan kepentingan antra pihak buruh dengan majikan.

3. Memberikan ruang telaahan untuk menggantikan istilah hukum perburuhan menajdi hukum ketenagakerjaan

Campur tangan pemerintah dalam rangka melindungi tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari juga diwujudkan dengan menetapkan syarat-syarat khusus bagi pengusaha yang akan mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari.

Tata cara pengusaha mempekerjakan pekerja perempuan pada malam hari telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-04/Men/l989, antara lain :

1. Jenis usaha dan sifat pekerjaan perusahaan yang bersangkutan.

Jika jenis usaha dan sifat pekerjaan perusahaan yang bersangkutan memang membutuhkan perempuan untuk melakukannya, maka pekerjaan itu boleh dilakukan perempuan, walaupun pada malam hari. Akan tetapi apabila pekerjaan tersebut bisa dilakukan perempuan maupun pria, maka yang dipekerjakan malam hari harus pria. Sebagai contoh, pekerjaan yang harus dilakukan perempuan adalah sebagai perawat di Rumah Sakit bersalin, maka boleh mempekerjakan perempuan pada malam hari. Di lain pihak pekerjaan menjaga warung internet, dapat dilakukan baik oleh pria maupun oleh perempuan , sehingga pekerjaan itu di malam hari tidak boleh mempekerjakan perempuan.


(37)

2. Sifat pekerjaan atau jenis usaha memerlukan kerja terus-menerus.

Pekerjaan yang perlu dilakukan terus-menerus ini misalnya pekerjaan di pabrik yang untuk efisiensi dan efektivitasnya harus dilakukan terus-menerus, karena jika dilakukan terputus oleh waktu, maka produk yang dibuat tidak jadi. Sebagai contoh pabrik plastik, karena plastik membutuhkan proses yang berkesinambungan, maka pekerjaan di pabrik plastik harus dilakukan terus-menerus, sehingga boleh mempekerjakan tenaga kerja perempuan pada malam hari.

3. Untuk mencapai target produksi.

Untuk mencapai suatu target produksi tertentu, maka terpaksanya sebuah pekerjaan dilakukan dengan lembur sehingga terpaksa mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari.

4. Untuk memperoleh mutu yang lebih baik bila di kerjakan oleh perempuan.

Sebuah pekerjaan ada yang hanya dapat dilakukan dengan baik apabila dilakukan oleh perempuan. Contoh pekerjaan seperti ini adalah pekerjaan sebagai juru tulis/sekretaris, dimana sang sekretaris terpaksa untuk ikut menghadiri sebuah rapat guna mencatat semua hasil rapat yang dilakukan.

Tidak semua pekerja perempuan dapat bekerja di malam hari. Hanya seorang pekerja perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu saja yang dapat bekerja di malam hari. Syarat-syarat ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 198/1999 tentang Syarat Pekerja Perempuan di Malam Hari.

Adapun syarat-syarat perempuan yang dapat bekerja di malam hari menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan pekerja Perempuan pada Malam Hari adalah sebagai berikut :

1. Ada surat izin dari suami, jika sudah bersuami.

Jika pekerja perempuan yang akan bekerja di malam hari itu sudah mempunyai suami, maka surat izin yang harus diperolehnya bukan lagi dari orang tuanya, tetapi dari suaminya. Sama seperti halnya surat izin dari orang


(38)

tua, maka surat izin dari suami ini harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh suami.

2. Sehat jasmani dan rohani.

Pekerjaan di malam hari menuntut kondisi kesehatan yang prima. Oleh karena itu syarat wajib bagi perempuan yang akan bekerja di malam hari adalah sehat jasmani dan rohani. Jika perempuan yang akan bekerja itu tidak sehat, maka walaupun telah ada surat izin dari orang tua atau dari suaminya, tetap saja perempuan itu tidak diperbolehkan untuk bekerja di malam hari.

3. Mampu menjaga diri.

Kemampuan untuk menjaga diri ini mutlak diperlukan bagi perempuan yang akan bekerja di malam hari. Hal ini dikarenakan risiko yang dihadapi perempuan yang bekerja di malam hari lebih besar daripada perempuan yang bekerja di siang hari. Oleh karena itulah maka syarat ini menjadi syarat wajib bagi perempuan yang akan bekerja di malam hari.

B. PENGAWASAN DEPARTEMEN KETENAGAKERJAAN BAGI TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Dalam hubungan ini, maka suatu perekonomian yang digerakkan oleh rakyat untuk kepentingan rakyat banyak, merupakan cita-cita yang perlu diwujudkan. Perekonomian rakyat semacam ini akan lebih tahan atas gejolak yang terjadi, karena pada dasarnya kuat berakar ke bawah. Sejalan dengan upaya untuk menggerakkan perekonomian rakyat dan sekaligus memberikan peran yang lebih besar terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional, proses otonomi daerah mulai dilakukan pada akhir pembangunan jangka panjang 25 tahun ke dua ini. Dengan demikian demokratisasi ekonomi dan


(39)

sekaligus politik akan menampakkan wujudnya secara lebih nyata. Proses demokratisasi semacam ini pada gilirannya akan mampu menumbuhkan nilai tambah kemartabatan yang akan mengarah pada terciptanya kemandirian dan keswadayaan dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan. Untuk menjamin bahwa pengusaha mematuhi semua ketentuan yang ditetapkan mengenai tata cara dan syarat-syarat memepekerjakan tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, maka diadakan pengawasan perburuhan.

Pengawasan perburuhan yang diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 dimaksudkan agar perusahaan yang merupakan alat perekonomian tersebut dapat berjalan dengan lancar, berkembang menjadi perusahaan yang kuat dan tidak mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku.16

Selain itu pengawasan perburuhan dimaksudkan untuk mendidik agar pengusaha/perusahaan selalu tunduk menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sehingga akan dapat menjamin keamanan dan kestabilan pelaksanaan hubungan kerja, karena seringkali perselisihan perburuhan disebabkan karena majikan tidak memberikan perlindungan hukum kepada buruhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disamping itu pelaksanaan pengawasan perburuhan akan menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perburuhan disemua perusahaan secara sama, sehingga akan menjamin tidak terjadinya persaingan yang tidak sehat (unfair competition).17

1. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan pada khususnya.

Pemerintah (dalam hal ini Depnaker) melalui pengawas perburuhan berdasarkan UU. No. 13 Tahun 2003 tentang pengawasan perburuhan memberikan wewenang :

16

Bambang Setiaji, Perkembangan Perjanjian Perburuhan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2001, hal. 45.

17

Guntur Wicaksono, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal. 177.


(40)

2. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan lainnya.

3. Menjalankan pekerjaan lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengawasan perburuhan/ketenagakerjaan dilakukan dengan melakukan kunjungan ke perusahaan-perusahaan untuk mengamati, mengawasi pelaksanaan hak-hak normatif pekerja. Jika hak-hak pekerja belum dipenuhi oleh pengusaha pegawai pengawas dapat melakukan teguran agar hak-hak pekerja diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, jika tidak diindahkan pegawai pengawas yang merupakan penyidik pegawai negeri sipil di bidang perburuhan dapat menyidik pengusaha tersebut untuk selanjutnya dibuatkan berita acara pemeriksaan untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan.18

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.19

Dalam hal ini karyawan mempunyai peranan sangat strategis karena merupakan pihak korban atau saksi dari suatu penyimpangan ketentuan tentang ketenagakerjaan. Jadi pelaporan dari karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk menyingkap telah terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha. Akan tetapi sebaliknya, jika karyawan tidak mau melaporkan kesewenang-wenangan yang dialaminya atau dialami oleh rekan kerjanya, maka Karyawan sebagai pihak yang dilindungi juga mempunyai peranan yang penting dalam perlindungan tenaga kerja. Dalam hal ini peranan karyawan adalah sebagai pelapor kepada instansi yang berwenang bilaman karyawan tersebut mendapatkan atau melihat hal-hal yang bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan dilakukan oleh perusahaan.

18

Suradji Mulkan, Segi-segi Pengawasan Perburuhan, Eresco, Bandung, 2003, hal. 167. 19


(41)

akan sulit bagi instansi terkait untuk membongkar bahwa di dalam suatu perusahaan telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan.

Dalam prakteknya, kadang-kadang karyawan bersikap menerima dan pasrah terhadap kesewenang-wenangan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan karyawan takut kehilangan pekerjaannya. Kehilangan pekerjaan bagi karyawan merupakan masalah besar, karena itu berarti karyawan tidak akan mendapat penghasilan lagi untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

Adanya sikap-sikap seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi. Oleh karena itu pemerintah mengadakan jaminan perlindungan bagi tenaga kerja yang melaporkan kesewenang-wenangan yang diterimanya di tempat kerja. Sehingga jika karena laporannya maka karyawan mendapat perlakuan yang tidak pantas, pemerintahlah yang turun tangan terhadap pengusaha tersebut.

Karyawan sebagai pihak yang dilindungi juga mempunyai peranan yang penting dalam perlindungan tenaga kerja. Dalam hal ini peranan karyawan adalah sebagai pelapor kepada instansi yang berwenang bilaman karyawan tersebut mendapatkan atau melihat hal-hal yang bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan dilakukan oleh perusahaan.

Dalam hal ini karyawan mempunyai peranan sangat strategis karena merupakan pihak korban atau saksi dari suatu penyimpangan ketentuan tentang ketenagakerjaan. Jadi pelaporan dari karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk menyingkap telah terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha. Akan tetapi sebaliknya, jika karyawan tidak mau melaporkan kesewenang-wenangan yang dialaminya atau dialami oleh rekan kerjanya, maka akan sulit bagi instansi terkait untuk membongkar bahwa di dalam suatu perusahaan telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan.

Dalam prakteknya, kadang-kadang karyawan bersikap menerima dan pasrah terhadap kesewenang-wenangan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan karyawan takut kehilangan pekerjaannya. Kehilangan pekerjaan bagi karyawan merupakan masalah besar, karena itu berarti karyawan tidak akan mendapat penghasilan lagi untuk menunjang kelangsungan hidupnya.


(42)

Adanya sikap-sikap seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi. Oleh karena itu pemerintah mengadakan jaminan perlindungan bagi tenaga kerja yang melaporkan kesewenang-wenangan yang diterimanya di tempat kerja. Sehingga jika karena laporannya maka karyawan mendapat perlakuan yang tidak pantas, pemerintahlah yang turun tangan terhadap pengusaha tersebut.

C. ASPEK NORMATIF YANG MENGATUR TENTANG PERLINDUNGAN

TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja, yakni suatu perjanjian dimana pekerja menyatakan kesanggupan untuk bekerja pada pihak perusahaan/majikan dengan menerima upah dan majikan/pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.20

Adapun dasar hukum dari pembuatan perjanjian kerja adalah Undang-undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang-undang Ketenagakerjaan yang terdahulu adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 jo. UU No.1 Tahun 1951. Dalam kedua undang-undnag ini disebutkan bahwa buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, karena umumnya pada hari aaaaid pertama dan kedua kondisi pisik wanita sedikit terganggu. Buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut

Ketentuan dalam perjanjian kerja atau isi perjanjian kerja harus mencerminkan isi dari perjanjian perburuhan/perjanjian kerja bersama (PKB). Kedua perjanjian inilah yang mendasari lahirnya hubungan kerja dengan kata lain hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha harus dituangkan dalam PKB dan perjanjian kerja.

Perjanjian kerja diadakan guna memberikan perlindungan kepada pekerja. Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kewajiban pekerja yang berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti), waktu kerja malam hari bagi pekerja wanita.

20


(43)

perhitungan akan melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan, perlindungan ini sesuai dengan kodrat kewanitaannya.21

Adapun dasar pertimbangan diperlukannya perlindungan terhadap tenaga kerja itu adalah bahwa bruh/pekerja adalah manusia biasa yang memerlukan waktu istirahat, karena itu untuk menjaga kesehatan fisiknya harus dibatasi waktu kerjanya dan diberikan hak istirahat. Undang-undang di bidang ketenagakerjaan memberikan batasan mengenai hal ini, misalnya untuk pekerja yang bekerja 6 hari dalam seminggu tidak boleh melakukan pekerjaan lebih dari tujuh jam sehari dan atau empat puluh jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari enam jam sehari atau tiga puluh lima jam seminggu. Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama empat jam sehari terus-menerus, harus diadakan waktu istirahat yang sekurang-kurangnya setengah jam lamanya, di mana waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja dan dalam seminggu diadakan sedikitnya sehari istirahat.

Di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 ketentuan ini juga masih sama.

22

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

Dalam Pasal 77 ayat Undang-undang No. 13 Tahun 2003 diatur tentang waktu kerja. Ketentuannya adalah sebagai berikut :

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

21

Pasal 81 jo. Pasal 82 UU No. 13 Th. 2003. 22

Ibnu Sukatmono, Perlindungan Hukum terhadap Pekerja, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 34.


(44)

Selanjutnya di dalam Pasal 78 diatur lebih lanjut mengenai tata cara mempekerjakan karyawan yang melebihi jam kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut :

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b

tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Sebagai manusia biasa, maka seorang karyawan mempunyai keterbatasan tenaga. Untuk itu seorang karyawan memerlukan waktu untuk beristirahat. Adapun ketentuan mengenai waktu istirahat bagi karyawan diatur dalam Pasal 79 UU No. 13 Th. 2003, yang ketentuannya adalah sebagai berikut :

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :

a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah

pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan

d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi


(45)

pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.

(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Berkenaan dengan hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing, maka seorang karyawan walaupun di tempat kerja, tetap mempunyai hak untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Unutk itu pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya (Pasal 80 UU No. 13 Th. 2003).

Seorang pakar Hukum Perburuhan dan Hukum Sosial Belanda Rood mengatakan bahwa perjanjian kerja mengandung keempat unsur yakni: 23

Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk melaksanakannya sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk melaksanakan pekerjaannya, untuk dilakukan

1. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan

Suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja merupakan unsur penting dalam perjanjian kerja. Pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja.

23

Rood, M.S., Hukum Perburuhan, Bahan Penataran, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1989, hal. 28.


(46)

sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Bahkan pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan upah, menyatakan bahwa upah tidak dibayar bila tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan tersebut di atas, bila disebut When do not work, do not get pay atau no work no pay.24

a. Jika buruh sendiri sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya. Maksud dari kalimat tersebut adalah jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti seseorang tersebut tidak berhak untuk mendapatkan upah. Walaupun demikian di dalam pelaksanaan, jika pihak pekerja sewaktu akan melaksanakan pekerjaan berhalangan, maka pekerja bisa diwakili atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak majikan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 1383 KUH Perdata jo 1603 a KUH perdata jo Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1981.

Pasal 1383 KUH Perdata :

"Sesuai perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dari pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang. jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang".

Pasal 1603a KUH Perdata menyatakan :

"Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya".

Sementara Pasal 40 jo Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 1981 menyatakan sebagai berikut:

Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pengusaha wajib membayar upah :

24


(47)

b. Jika buruh tidak masuk bekerja karena hal-hal sebagaimana dimaksud di bawah ini :

1) Buruh sendiri kawin 2) Menyunatkan anaknya 3) Mengawinkan anaknya 4) Istri melahirkan anak.

2. Adanya Service atau Pelayanan

Bahwa yang melakukan pekerjaan sebagai manisfestasi adanya perjanjian kerja tersebut, adalah bahwa pekerja harus tunduk pada/di bawah perintah orang lain, yaitu pihak pemberi kerja si majikan (pengusaha).

Dengan adanya ketentuan tersebut maka seorang dokter misalnya, dalam melaksanakan tugasnya, yaitu memeriksa atau mendiagnose pasiennya atau seorang notaris yang melayani kliennya, mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak dapat disamakan dengan pengertian melaksanakan perjanjian kerja. Alasannya karena unsur service dalam melakukan pekerjaan tersebut tidak terdapat di dalamnya. Sebab mereka itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak tunduk dan di bawah perintah orang lain. Karena mereka mempunyai keahlian tertentu yang tidak dipunyai dan dikuasai si pemberi kerja, yaitu si pasien atau klien. 25

Di samping itu dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerjaan itu harus bermanfaat bagi si pemberi kerja, misalnya jika dalam suatu perjanjian kerja yang mereka buat, dinyatakan bahwa bidang pekerjaan yang dijanjikan adalah suatu pekerjaan pengerasan atau pengaspalan jalan. Maka pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya haruslah bermanfaat bagi si pemberi kerjanya, misalnya sejak si pekerja bekerja memecah batu dan menghamparkannya di sepanjang jalan yang sedang diperkeras atau diaspal. Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa prinsip dalam unsur ini, adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pekerja dan harus bermanfaat bagi si pemberi pekerja, sesuai dengan apa yang dimuat dalam perjanjian kerja. Oleh karena itu bila

25


(1)

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00, maka pengusaha UD.CENTRAL BACERY tidak melanggar ketentuan dari peraturan yang berlaku.

Menurut ketentuan UD.CENTRAL BACERY sudah memenuhu segala persyaratan yang diperlukan dalam mengadakan suatu perkrjaan yang memakai tenaga kerja perempuan di lakukan di malam hari. Sebagai salah satu unit usaha kecil yang terletak di kabupaten DELISERDANG di kota DELITUA UD.CENTRAL BACERY memiliki nilai plus di bandingkan oleh perusahaan yang besar yangg cenderung menghadapai masalah tentang ketentuan tenaga kerja.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari di UD.CENTRAL BACERY cukup optimal. Hal ini dapat diketahui dari telah dilaksanakannya sebagian besar persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari, antara lain diadakannya fasilitas antar jemput bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari, dan juga diberikannya fasilitas makanan dan minuman yang bergizi yang seharusnya diberikan oleh pengusaha kepada tenaga kerjanya yang bekerja di malam hari. Selain itu UD.CENTRAL BACERY sudah melapor kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Deli Serdang bahwa perusahaan tersebut mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari, sehingga pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja dapat maksimal dilaksanakan.

2. Faktor pendukung dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari di UD.CENTRAL BACERY adalah adanya ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan pekerja Perempuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di


(3)

malam hari. Selain itu faktor pendukung lainnya adalah adanya pengawasan dari Departemen Tenaga Kerja yang diatur dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 181 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa guna menjamin pelaksanaan pengaturan ketenagakerjaan menurut undang-undang ini serta pengaturan pelaksana lainnya, diadakan suatu sistem pengawasan tenaga kerja.

Sedangkan faktor penghambat yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja pada malam hari di UD.CENTRAL BACERY berasal dari tenaga kerja itu sendiri, pihak pengusaha maupun pihak pemerintah. Secara garis besar hambatan yang berasal dari tenaga kerja itu sendiri adalah kurangnya pengetahuan tenaga kerja mengenai hak dan kewajibannya sebagai tenaga kerja perempuan yang bakerja di malam hari. Di samping itu tingkat penghidupan yang tergolong kelas berpenghasilan rendah dan sangat tergantung kepada pekerjaannya membuat mereka takut untuk mengambil sikap, karena takut dipecat.

Hambatan yang berasal dari pengusaha, adalah kurangnya optimalnya kesadaran pengusaha untuk memberikan hak-hak pekerja, karena hal itu dianggap dapat mengurangi keuntungannya perusahaan. Di samping itu adanya arogansi dari pengusaha, bahwa jika ingin bekerja di perusahaan berarti tenaga kerja harus mau menerima keadaan apa adanya tanpa protes, karena jika mereka keberatan, maka mereka dapat memilih untuk tidak bekerja saja, dan untuk menggantikan tenaga kerja tersebut perusahaan tidak mengalami kesulitan sama sekali.

Hambatan yang berasal dari pihak pemerintah adalah kurangnya sikap proaktif dari pemerintah mengenai penegakan peraturan hukum dan perundang-undangan, sehingga ketika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, pemerintah tidak memantaunya secara cepat.


(4)

71

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, diberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Kepada pihak pengusaha, yaitu disarankan untuk mengupayakan pemenuhan

persyaratan yang dituntut peraturan perundang-undangan sebagai perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja perempuan di malam hari, karena jika pihak pengusaha tidak mau memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tersebut, maka akan merugikan pengusaha itu sendiri, karena akan berurusan dengan hukum. Padahal jika telah berurusan dengan hukum, maka usaha tersebut akan terhambat.

2. Kepada pihak pekerja perempuan yang bekerja di malam hari disarankan untuk selalu mempelajari mengenai peraturan perundang-undangan yang memuat hak dan kewajibannya sebagai tenaga kerja perempuan yagn bekerja di malam hari. Setelah mengetahui hak dan kewajibannya, kepada tenaga kerja disarankan untuk berani menyuarakan kepentingannya kepada pengusaha. Untuk menjaga keamanan posisinya sebagai pekerja, disarankan dalam menyuarakan aspirasinya itu untuk melakukan koordinasi dengan teman-teman pekerja yang lain, dan juga mengadakan kerjasama dengan instansi terkait guna meminta perlindungan, yaitu Dinas Tenaga Kerja.

3. Kepada pemerintah disarankan untuk bersikap proaktif dalam menegakkan hukum dan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, karena posisi pekerja dalam hal ini khususnya perempuan adalah lemah, dan satu-satunya pihak yang dapat membela hak-hak perempuan itu adalah pemerintah, yakni Dinas Tenaga Kerja. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa hak-hak tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari kurang dipedulikan oleh pihak pengusaha, padahal hal tersebut sangat penting bagi keamanan dan keselamatan tenaga kerja perempuan tersebut. Oleh karena itulah maka sudah sepatutnya Dinas Tenaga Kerja memberikan perhatian yang lebih kepada tenaga kerja perempuan yang bekerja di malam hari.


(5)

A. Buku

Anonim, Perisai Perempuan, Kesepakatan Internasional untuk Perlindungan Perempuan, 1996.

Arif S., Hukum Perburuhan Indonesia (Himpunan Peraturan Perundang-undangan), Tinta Mas, Surabaya, 1986.

Djumadi, Perjanjian Kerja, Radjawali Pers, Jakarta Cet. 1, 1995.

Djumialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Liberty, Yogyakarta, 1995.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Kosidin, Koko, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan, Mandar Maju, 1999.

Mulkan, Suradji, Segi-segi Pengawasan Perburuhan, Eresco, Bandung, 2003.

Rood, M.S., Hukum Perburuhan, Bahan Penataran, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1989.

Setiaji, Bambang, Perkembangan Perjanjian Perburuhan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Sirait, Rutman, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1992.

Subari, Pengawasan Pelaksanaan Ketenagakerjaan, Bulan Bintang, Jakarta, 2003.

Sudibyo, Hubungan Industrial Pancasila, Gunung Agung, Jakarta, 2003.

Sugiyono, Konvensi-konvensi tentang Perlindungan Tenaga Kerja, Alumni, Bandung, 1997.

Sukatmono, Ibnu, Perlindungan Hukum terhadap Pekerja, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.


(6)

70 Suratmoko, Hukum Perburuhan di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1992.

Wicaksono, Guntur, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.

B. Media Massa

”Hak dan Kewajiban Pengusaha dan Tenaga Kerja”, updated tanggal 17 Mei 2003.

Nasib Tenaga Kerja Perempuan, updated tanggal 2

November 2001.

“Penyakit Masyarakat”, http://www.mail-archive.com., updated tanggal 19 Januari 2002.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan Pukul 07.00.