Kondisi Lingkungan Pekarangan

2. Kondisi Lingkungan Pekarangan

Suatu ekosistem alami maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar, dan lain-lain. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami di wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastis karena pengaruh manusia (Arrijani et al. 2006).

commit to user

Iklim mikro merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan. Unsur-unsur iklim seperti temperatur, curah hujan, kelembaban, dan tekanan uap air berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon (Indriyanto 2006).

Gambar 1. Suhu rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300 m

dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl Suhu merupakan ukuran relatif dari kondisi termal yang dimiliki oleh suatu benda. Suhu udara mengalami fluktuasi selama periode 24 jam (Lakitan 1994). Berdasarkan hasil pengamatan, suhu rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl pagi hari berkisar antara 26-27 o

C, pada siang hari berkisar antara 33-34 o

C, dan 30-31 o C pada sore hari. Pada ketinggian tempat antara 300-400 m dpl suhu rerata harian di pekarangan pada pagi hari berkisar antara 25-

23 o

C, pada siang hari berkisar antara 31-32 o

C, dan pada sore hari mencapai 28-29 o

C. Suhu udara pada ketinggian > 400 m dpl memiliki rerata yang cukup berbeda dengan kedua lokasi sampel pekarangan, pada pagi hari suhu udaranya berkisar antara 23-24 o

C, pada siang hari berkisar antara 30-31 o

C, dan pada sore hari mencapai 25-26 o C. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa lokasi sampel pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl

periode waktu

< 300 m dpl 300-400 m dpl > 400 m dpl

commit to user

pada lokasi sampel < 300 m dpl dan 300-400 m dpl. Menurut Lakitan (1994) suhu maksimum akan mengalami penurunan sebesar 0,6 o C untuk setiap kenaikan elevasi setinggi 100 meter, sedangkan suhu minimum menurun 0,5 o

C untuk kenaikan elevasi setinggi 100 meter. Bakri (2009) juga menyatakan bahwa di tempat yang lebih tinggi, sinar matahari lebih sedikit kehilangan energi karena melalui lapisan udara yang tipis. Penyinaran pada permukaan tanah sangat intensif sehingga suhu di dekat tanah jauh lebih tinggi daripada suhu udara di sekelilingnya. Panas tanah ini cepat hilang karena radiasi di waktu malam, dan kisaran suhu harian dapat mencapai 15-20°C di tempat- tempat yang tinggi.

Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam udara. Umumnya, kelembaban udara yang digunakan adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif merupakan perbandingan antara tekanan uap aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh.

Gambar 2. Kelembaban rerata harian di pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di pekarangan dapat diketahui kelembaban relatif udara di pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl pada pagi hari yaitu berkisar antara 66-67%, pada siang hari berkisar antara 55-56%, dan pada sore hari berkisar

k elem

periode waktu

< 300 m dpl 300-400 m dpl > 400 m dpl

commit to user

kelembaban relatifnya berkisar antara 70-71%, pada siang hari mengalami penurunan berkisar antara 56-57%, dan pada sore hari meningkat lagi berkisar antara 60-61%. Pada lokasi sampel pekarangan di ketinggian > 400 m dpl kelembaban relatif pada pagi hari berkisar antara 81-82%, pada siang hari 65-66%, dan pada sore hari 72-73%. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban relatif sampel pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua lokasi sampel pekarangan, yaitu < 300 m dpl dan 300-400 m dpl. Hal ini juga menunjukkan bahwa kelembaban relatif mengalami fluktuasi berbanding terbalik mengikuti fluktuasi suhu udara.

Gambar 3. Persentase intersepsi cahaya matahari di dalam pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl

Intersepsi cahaya matahari ke dalam pekarangan sangat dipengaruhi oleh arsitektur tajuk pohon. Arsitektur tajuk pohon yaitu bagian pohon yang berhubungan dengan bentuk tajuk, tinggi tajuk, diameter tajuk, dan percabangan serta bentuk daun. Berdasarkan perbedaan komponen arsitektur tajuk maka setiap jenis pohon memiliki karakteristik kepadatan tajuk. Kepadatan tajuk lebih banyak ditentukan oleh jumlah dan ukuran cabang serta didukung oleh tipe daun. Tajuk padat digambarkan oleh jumlah cabang yang banyak dan

300-400 m dpl

> 400 m dpl

intersepsi cahaya matahari dalam pekarangan (%)

commit to user

(Budiastuti dan Purnomo 2012). Jadi, intersepsi cahaya matahari ke dalam pekarangan berhubungan dengan dominansi.

Intersepsi cahaya dalam pekarangan di lokasi penelitian pada ketinggian < 300 m dpl memiliki rerata sebesar 21,77% dari total intensitas cahaya matahari di luar pekarangan. Hal ini menunjukkan bahwa tajuk-tajuk tanaman pohon di pekarangan kurang rapat sehingga cahaya matahari yang dapat lolos ke dalam pekarangan cukup tinggi. Pada ketinggian ini dominansi pohon tertinggi terdapat pada pohon pohon mangga, jati, rambutan, melinjo, dan nangka. Mangga, jati, dan rambutan memiliki kanopi yang luas tetapi tidak rimbun, sehingga kemampuan meloloskan cahaya matahari sangat tinggi; sedangkan melinjo dan nangka memiliki kanopi yang rimbun tetapi tidak begitu luas, sehingga memungkinkan cahaya matahari yang masuk ke dalam pekarangan cukup tinggi.

Pada ketinggian 300-400 m dpl, rerata intensitas cahaya di dalam pekarangan sebesar 7,84%. Hal ini menunjukkan bahwa tajuk- tajuk pohon yang menutupi pekarangan pada ketinggian 300-400 m dpl memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl. Dan intersepsi cahaya dalam pekarangan di lokasi sampel pada ketinggian > 400 m dpl memiliki rerata sebesar 4,45%. Data ini menunjukkan bahwa kerapatan tajuk tanaman yang ada di pekarangan pada ketinggian ini lebih tinggi dibandingkan dengan sampel pekarangan yang ada di ketinggian < 300 m dpl dan 300-400 m dpl. Pada ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl, pekarangan didominasi oleh jenis-jenis pohon yang memiliki kanopi luas dan rimbun seperti kelapa, alpukat, duku, dan durian, sehingga intersepsi cahaya matahari yang dapat lolos ke dalam pekarangan relatif kecil.

Pekarangan yang sempit jika didominasi oleh tanaman pohon dengan luas kanopi yang besar maka akan menunjukkan intersepsi

commit to user

intersepsi cahaya juga dipengaruhi oleh jumlah pohon per pekarangan. Pekarangan yang sempit namun memiliki jumlah tanaman yang banyak dan rapat tentu memiliki intersepsi cahaya yang lebih kecil dibandingkan dengan pekarangan yang luas namun memiliki jumlah tanaman pohon yang lebih sedikit.

Gambar 3. Rerata intensitas curah hujan dalam 10 tahun terakhir

(2002-2012) Hasil pengamatan curah hujan sepuluh tahun terakhir dapat dilihat bahwa curah hujan tertinggi pada ketiga lokasi dengan ketinggian berbeda terjadi pada bulan Februari dengan rerata 348,27 mm/bulan (ketinggian < 300 m dpl) dan 473,55 mm/bulan (ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl), sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dengan rerata 10,27 mm/bulan (ketinggian < 300 m dpl) dan 7,55 mm/bulan (ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan pada ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan pada ketinggian < 300 m dpl.

Bulan kering terjadi sekitar 4 bulan, bulan lembab terjadi selama 1 bulan, dan bulan basah terjadi sekitar 7 bulan dalam satu tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, hasil

n sita

Desa Jantiharjo dan Desa Bolong (< 300 m dpl) Desa Dawung dan Desa Plosorejo (300-400 m dpl); Desa Karang Bangun, Desa

Koripan, Desa Bandar Dawung (> 400 m dpl)

commit to user

lokasi penelitian di ketiga ketinggian tempat memiliki tipe iklim C (agak basah).

b. Karakteristik tanah Tanah merupakan tubuh alam yang berasal dari berbagai campuran hasil pelapukan oleh iklim dan terdiri atas komposisi bahan organik dan anorganik yang menyelimuti bumi, sehingga mampu menyediakan air, udara, dan hara bagi tumbuhan, serta sebagai tempat berdiri tegaknya tumbuh-tumbuhan. Kesuburan tanah mempengaruhi keadaan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di atasnya. Oleh karena itu, tanah merupakan salah satu faktor pembatas alam yang mempengaruhi pertumbuhan semua spesies tumbuhan, struktur, dan kompisisi vegetasi (Indriyanto 2006).

Jenis tanah yang terdapat di pekarangan pada semua ketinggian adalah mediteran cokelat kemerahan, menurut klasifikasi sistem Pusat Penelitian Tanah (PPT). Berdasarkan taksonomi tanah USDA tanah mediteran cokelat kemerahan memiliki nama inceptisol, sedangkan menurut klasifikasi FAO/UNESCO tanah ini memiliki nama luvisol. Sampel tanah yang dianalisis merupakan komposit dari masing-masing sampel pekarangan pda tiap-tiap ketinggian tempat.

Inceptisol adalah tanah muda dan mulai berkembang. Inceptisol banyak digunakan untuk pertanaman padi sawah dan pada tanah berlereng sesuai untuk tanaman tahunan. Tanah inceptisol memiliki kesuburan yang rendah (Munir, 1996). Hardjowigeno (2007) menambahkan bahwa tanah inceptisol memiliki pH mendekati netral sampai pH agak alkalis, dan jika pH tanah kurang dari 4 maka tanah tersebut dikatakan tanah bermasalah. Lokasi penelitian merupakan daerah berbukit-bukit serta berlereng dan pemanfaatan lahan pekarangan dengan jenis tanaman pohon tahunan merupakan pilihan yang tepat untuk menjaga kelestarian tanah.

commit to user

< 300 m dpl, 300-400 m dpl, dan > 400 m dpl