Analisis Produktivitas Tanaman Pohon

D. Analisis Produktivitas Tanaman Pohon

Produktivitas yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah produktivitas dari segi finansial, yaitu pengukuran produktivitas atas input dan output yang telah dikuantifikasi (Theresia 2004). Model pendekatan yang digunakan adalah model David J. Sumanth yang mengukur produktivitas dengan memperhitungkan faktor keluaran dan masukan dalam suatu produksi. Produktivitas berhubungan dengan efisiensi penggunaan sumber daya seminimal mungkin untuk mendapatkan keluaran yang maksimal. Tinggi rendahnya tingkat produksi hasil pertanian ditentukan oleh tingkat penggunaan faktor produksi. Salah satu faktor produksi yang turut menentukan tingkat produksi hasil pertanian adalah luas lahan (Ekaputri 2008).

Gambar 15. Produktivitas pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl, 300-400 m

dpl, dan > 400 m dpl

300-400 m dpl

ketinggian tempat

commit to user

yang sudah berproduksi, dalam hal ini produknya sudah bisa dijual dan menguntungkan secara finansial dalam kurun waktu satu tahun. Berdasarkan hasil survei dapat diketahui produktivitas pekarangan pada masing-masing ketinggian tempat. Produktivitas pekarangan tertinggi terdapat di pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl yaitu sebesar (0,20). Hal ini disebabkan karena pada ketinggian > 400 m dpl tanaman pohon buah-buahan lebih banyak dibandingkan dengan pekarangan di ketinggian < 300 m dpl (0,12) dan ketinggian 300-400 m dpl (0,17). Tanaman pohon yang mampu menghasilkan buahan-buahan dan dijual akan membantu menyokong biaya perawatan tanaman pohon kayu dan perkebunan yang baru bisa dijual setelah berumur minimal 20 tahun. Oleh sebab itu, produktivitas yang dihasilkan oleh pekarangan dalam kurun waktu satu tahun sangat kecil.

Gambar 16. Rerata Input (Rp) dan output (Rp) pekarangan per 100 m 2 Input dihitung berdasarkan asumsi pemilik pekarangan terhadap besarnya biaya produksi atau pengelolaan lahan dari semua komoditas pohon yang ada di pekarangan dalam kurun waktu satu tahun. Dihitung dari input pekarangan per

100 m 2 dapat diketahui bahwa pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl memiliki nilai terkecil (Rp 1.980,15) dibandingkan dengan pekarangan pada pekarangan di ketinggian < 300 m dpl dan 300-400 m dpl. Pemupukan dan pengairan merupakan input yang menyumbangkan nilai terbesar dalam pendekatan produktivitas

< 300 m dpl

300-400 m dpl

> 400 m dpl

input/100 m²

output/100 m²

Rp 250.000,00 Rp 200.000,00 Rp 150.000,00 Rp 100.000,00

Rp 50.000,00 Rp -

commit to user

pekarangan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan frekuensi pemupukan, jenis pupuk, dan jumlah penggunaan pupuk yang dilakukan oleh pemilik pekarangan pada responden di ketinggian > 400 m dpl menunjukkan nilai yang kecil. Artinya pemilik lahan pekarangan pada ketinggian > 400 m dpl tidak menjadikan pemupukan sebagai prioritas utama dalam pengelolaan lahan pekarangan. Input tertinggi ditunjukkan pada pekarangan 300-400 m dpl. Sumbangan terbesarnya adalah dari pengolahan tanah, pemupukan, pengairan, kegiatan pra-panen, dan kegiatan panen. Pemilik pekarangan pada ketinggian 300- 400 m dpl memberikan input berupa pupuk yang tinggi pada komoditas pohon yang ada di pekarangannya. Penggunaan tenaga kerja luar (selain keluarga) juga cukup banyak, terutama untuk pemanenan beberapa komoditas seperti kelapa dan pengolahan tanah. Jumlah air yang digunakan untuk pengairan pun cukup tinggi mengingat pada ketinggian ini buah duku dan durian yang menjadi tanaman unggulan membutuhkan banyak air ketika musim kemarau.

Output dihitung berdasarkan asumsi pemilik pekarangan terhadap besarnya hasil penjualan dari komoditas pohon yang sudah berproduksi dalam

kurun waktu satu tahun. Ditinjau dari output pekarangan per 100 m 2 dapat dilihat

bahwa pekarangan pada ketinggian < 300 m dpl memiliki nilai yang terkecil dibandingkan dengan pekarangan pada ketinggian 300-400 m dpl dan > 400 m dpl; dan nilai tertinggi berada pada pekarangan di ketinggian 300-400 m dpl. Pada ketinggian < 300 m dpl komoditas yang sudah mampu berproduksi masih terlalu sedikit dibandingkan dengan komoditas yang ada di pekarangan pada ketinggian 300-400 m dpl. Jenis pohon yang dominan pada masing-masing ketinggian juga mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan. Pada ketinggian 300-400 m dpl banyak ditemukan duku. Duku merupakan komoditas dengan nilai jual yang cukup tinggi, dan nilai pemeliharaan yang cukup tinggi juga; di sisi lain kelapa dan melinjo juga memberikan kontribusi yang tidak sedikit, hal ini dapat dilihat dari produksinya yang kontinyu dan frekuensi panen yang cukup tinggi.

commit to user

Pekarangan adalah sebidang tanah yang mempunyai batas-batas tertentu, yang di atasnya terdapat bangunan tempat tinggal dan mempunyai hubungan fungsional baik secara ekonomi, biofisik, maupun sosial budaya dengan penghuninya (Rahayu dan Prawiroatmodjo 2005). Peranan dan pemanfaatan pekarangan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung pada tingkat kebutuhan, sosial budaya, pendidikan masyarakat maupun faktor fisik dan ekologi setempat.

Pekarangan dapat diatur untuk tujuan komersial atau mata pencaharian, agroforestri, konservasi sumberdaya alam yang bersifat genetik, spesies, dan ekosistem (tanah dan air), produksi pertanian, serta hubungan sosial budaya di area pedesaan. Sepanjang waktu, pemilik pekarangan berusaha membudidayakan dan menyeleksi tanaman yang diinginkan untuk ditanam di pekarangannya. Oleh sebab itu, pekarangan berperan sebagai bank gen bagi sumber daya nabati potensial tertentu (Molebatsi et al. 2010).

Pekarangan yang ideal adalah pekarangan yang dimanfaatkan secara optimum dengan memadukan aspek nilai ekonomi dan stabilitas lingkungan. Dalam hal ini pemanfaatan pekarangan ditujukan untuk menambah pendapatan bagi pemilik pekarangan tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga kelestarian lingkungan, serta meminimalkan input dari luar melalui jasa lingkungan. Jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam rangka membantu memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan (Suprayitno 2008).

Komposisi pekarangan yang baik yaitu terdiri dari tanaman tahunan, semusim, dan hewan ternak di sekeliling rumah. Pemilihan komoditas pohon selain memiliki nilai ekonomi juga harus sesuai dengan kondisi lingkungan tumbuh. Selain itu, pemilihan dan pengaturan komposisi pohon harus sedemikian rupa agar tercipta kondisi pekarangan yang ideal untuk menjaga kestabilan

commit to user

bagi tanah. Kadar bahan organik dalam tanah mempengaruhi sifat kimia dan fisika tanah yang efektivitasnya tergantung dari jumlahnya dalam tanah. Bahan organik menyumbangkan kurang lebih 1/3 dari kapasitas pertukaran kation (KTK) permukaan tanah dan berperan dalam peningkatan stabilitas agregat tanah melebihi faktor-faktor lain. Sifat kimia dari bahan organik sangat dinamis dan kompleks yang menyebabkan bahan organik menjadi sumber hara utama bagi tanaman. Dekomposisi bahan organik akan menjadi sumber utama pemasok unsur hara makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Sudarmo 2008).

Pekarangan yang ditanam dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi diharapkan dapat menambah pendapatan keluarga pemilik pekarangan. Tetapi pemilihan komoditas harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan pekarangan, agar tanaman dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan yang dikehendakinya. Sebagai contoh, tanaman duku akan tumbuh secara optimal pada ketinggian antara 300-650 m dpl dengan suhu rerata harian sebesar 19 o C dan intensitas curah hujan tinggi. Jika ditanam pada kondisi yang sesuai maka tanaman duku akan mampu berproduksi secara maksimal.

Berdasarkan penelitian Kabir dan Webb (2009) di Bangladesh bagian Barat Daya dapat diketahui bahwa 99% dari total responden pemilik pekarangan yang diobservasi menyatakan pekarangannya dapat memberikan penghasilan tambahan sebesar 6% dari total penghasilan keluarga. Jadi, pekarangan berfungsi sebagai pendukung kesejahteraan pemilik pekarangan melalui pendapatan tambahan dari produksi tanaman di pekarangan. Penanaman pohon di pekarangan dapat meningkatkan diversifikasi hasil melalui penanaman beraneka jenis pohon, selain pohon buah juga dapat ditanami komoditas kayu maupun komoditas industri.

Selain fungsi ekonomi, pemilihan komoditas pohon harus juga mem- perhatikan kelestarian lingkungan, seperti pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, dan konservasi biodiversitas. Dalam pengendalian erosi, vegetasi pohon berperan baik dari sisi hidrologi maupun dari sisi mekanik. Dari sisi hidrologi mekanisme intersepsi dan transpirasi serta

commit to user

(Anonim 2009). Dari sisi mekanik, peran dari vegetasi adalah dalam pengendalian erosi yaitu melalui sumbangan seresah yang dihasilkan oleh pohon (Anonim 2009). Lapisan seresah yang tebal pada suatu lahan dapat memberikan tutupan lahan sehingga dapat melindungi agregat tanah dari pukulan air hujan. Selain sebagai pelindung tanah, manfaat seresah ini adalah untuk menyediakan bahan organik tanah dan menyediakan makanan bagi organisme tanah terutama makroorganisme penggali tanah, seperti cacing. Dengan demikian, jumlah pori makro tetap terjaga. Selain itu, peran seresah juga sebagai pengendali penguapan yang berlebihan pada musim kemarau, sehingga tanah tetap lembab (Hairiah et al. 2004).

Oleh karena itu, pemilihan komoditas pohon pada suatu pekarangan harus diperhatikan, yaitu mengkombinasikan tanaman pohon dengan berbagai macam kecepatan pelapukan, sehingga kebutuhan untuk penyediaan hara dan mulsa dapat dipenuhi. Beberapa contoh tanaman pohon yang kecepatan pelapukannya tergolong cepat yaitu lamtoro dan petai. Tanaman pohon yang kecepatan pelapukannya tergolong sedang yaitu alpukat dan jengkol. Dan tanaman pohon yang kecepatan pelapukannya tergolong lama antara lain, durian, kopi, cokelat, cengkeh, nangka, melinjo, kelapa, aren, mangga, mahoni, dan rambutan (Hairiah et al. 2004).

Pohon dengan batang dan tajuk merupakan mediator yang penting bagi perilaku air hujan dan mampu mengaturnya menjadi aliran air ke permukaan tanah dan ke dalam tanah. Dalam kondisi intensitas hujan yang tinggi, butir air akan mengalir melalui batang, menetes berupa tetesan tajuk dan bahkan menguap dengan proporsi masing-masing tergantung pada percabangan, bentuk, dan ukuran daun, sedangkan air yang tidak tertahan tajuk akan lolos melalui celah-celah tajuk dan mencapai permukaan tanah dengan kekuatan tertentu (Budiastuti dan Purnomo 2012).

Tajuk dengan bentuk globular dan memiliki tingkat multistrata tajuk yang tinggi tentu akan menghasilkan lolos tajuk dengan kuantitas yang lebih rendah daripada tajuk dengan bentuk kerucut dan tingkat multistrata yang rendah.

commit to user

dibandingkan dengan jati dan mahoni karena pohon pinus memiliki kondisi tajuk yang padat yang terbentuk akibat seluruh permukaan cabang tertutup daun dengan bentuk tajuk (Budiastuti dan Purnomo 2012).

Pekarangan umumnya tidak hanya ditanami dengan komoditas pohon, tetapi beberapa tanaman semusim juga diusahakan pada pekarangan. Semua tanaman membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis menghasilkan cadangan makanan. Pepohonan yang umumnya lebih tinggi dan luasan tajuknya lebih besar daripada tanaman semusim akan memberikan efek naungan. Penaungan ini menyebabkab jumlah cahaya matahari yang dapat ditangkap tanaman semusim menjadi berkurang. Oleh karena itu, pemilihan pohon harus memperhatikan sebaran dan bentuk tajuk, karena keduanya berhubungan dengan besarnya intersepsi cahaya yang dapat lolos ke dalam pekarangan untuk dapat dimanfaatkan oleh tanaman semusim yang dibudidayakan di bawah pepohonan.

Pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi dengan sebaran tajuk yang rapat tetapi tidak terlalu lebar cocok digunakan sebagai tanaman pagar, sebagai contoh adalah tanaman jengkol, jambu air, melinjo, jambu mete, nangka, mangga, dan durian sedangkan contoh tanaman yang kurang cocok sebagai tanaman pagar karena bentuk kanopinya yang menyebar dan lebar yaitu lamtoro, petai, sengon, dan randu (Noordwijk, Mulia, dan Hairiah ?).

Akar pepohonan diketahui juga berperan dalam mengurangi kehilangan akar, atau dikenal dengan istilah jaring penyelamat hara. Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi dengan tanaman semusim, sehingga mengurangi pencucian hara ke lapisan yang lebih dalam, namun pada batas tertentu kompetisi ini akan merugikan tanaman semusim. Semakin dalam dan berkembang perakaran pohon tersebut semakin banyak unsur hara yang dapat diselamatkan, sehingga akar pepohonan ini menyerupai jaring yang akan menangkap unsur hara yang mengalir ke lapisan bawah (Suprayogo et al. 2003). Beberapa komoditas dengan perakaran dangkal yaitu lamtoro, jengkol, petai, sengon, dan jambu air. Contoh komoditas dengan perakaran dalam antara lain randu dan jambu mete, sedangkan komoditas yang memiliki perakaran sangat

commit to user

berperan untuk memperbaiki porositas tanah dan struktur tanah, misalnya akar pohon yang mati akan meninggalkan lubang pori, sehingga menambah porositas tanah (Noordwijk, Mulia, dan Hairiah ?).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pekarangan yang ideal adalah pekarangan yang mampu menyediakan manfaat baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Secara ekonomi, pekarangan mampu meningkatkan pendapatan keluarga melalui komoditas-komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, baik sayur, buah, kayu, maupun komoditas industri. Namun di sisi lain, pemilihan komoditas bernilai ekonomi tinggi ini harus pula memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yaitu seperti pengendalian limpasan permukaan, meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, dan konservasi biodiversitas, serta interaksi yang ditimbulkan antara tanaman pohon dengan tanaman semusim yang dibudidayakan di pekarangan, sehingga komposisi tanaman pada pekarangan dapat bersinergi untuk memberi tambahan pendapatan keluarga dan turut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.

commit to user