4 Proyeksi Pengembangan Bahan Bakar Nabati dari Kelapa Sawit

Tabel 4.4 Proyeksi Pengembangan Bahan Bakar Nabati dari Kelapa Sawit

Parameter

Unit/tahun

Jangka Menengah(2010-

Jangka Panjang

Ton minyak

6.000.000

80.000.000 Industri

Ton biji

4.000.000 Tenaga kerja langsung

Hektar

1.500.000

2.000.000 Tenaga kerja tak langsung

Orang

750.000

3.111 Pendapatan/orang (@2 ha)

Rp/orang

20.000.000

540.000.000 Investasi on farm

Ton batang

202.500.000

120.000.000 Investasi off farm

Juta

45.000.000

26.666.667 Sumber: Timnas BBN, 2006

Juta

10.000.000

Dari berbagai jenis bahan baku Biodiesel maka Biodiesel dari minyak kelapa sawit (CPO) mempunyai prospek untuk dikembangkan mengingat jumlah ketersediaan dan potensi pengembangan tanaman kelapa sawit yang cukup besar. Dalam penggunaannya Biodiesel harus dicampur dengan minyak solar/diesel. Program uji coba pemasaran campuran 5% Biodiesel dengan 95% minyak solar yang diberi nama dagang biosolar dimulai pada Maret 2006 sampai April 2007 di wilayah Jabotabek. Biosolar dipasarkan pada 201 SPBU dan volume penjualannya mencapai 314.187 kl. Sedangkan untuk wilayah Surabaya dilaksanakan pada 15 SPBU dengan volume penjualannya mencapai 9.845 kl. Produksi Biodiesel pada April 2007 mencapai 520.000 kl yang diproduksi oleh sekitar 8 perusahaan dengan PT. Wilmar, Dumai merupakan pemasok terbesar dengan kapasitas 350.000 ton/tahun disusul PT. Eterindo Wahanatama, Gresik dengan kapasitas 120.000 ton/tahun.

Dari sisi hilir, teknologi pengolahan Biodiesel terus dikembangkan dan secara nasional sudah dapat dikuasai rancang bangun industri pengolahan

Biodiesel. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mendisain dan membangun pabrik Biodiesel dengan kapasitas 1,5 ton per hari sebagai prototipe pada tahun 2000. Prototipe ini kemudian dikembangkan lagi dan bersama dengan Pemda Provinsi Riau mendirikan pabrik Biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari tipe batch . Pada tahun 2006 didirikan pilot plant pabrik Biodiesel skala 3 ton/hari tipe kontinu berlokasi di Puspiptek, Serpong. Detail disain pabrik Biodiesel skala komersial 80 ton per hari sudah dapat diselesaikan pada tahun 2007. Disamping BPPT, institusi lain seperti Lemigas, ITB, Departemen Pertanian, LIPI, PT. Rekin, dan beberapa perusahaan swasta, seperti PT. Energy Alternative Indonesia (EAI) dan PT. Eterindo Wahanatama juga mengembangkan pabrik Biodiesel yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia (Sugiyono, 2008). Hingga tahun 2013, industri dan program pengembangan Bahan Bakar Nabati telah berjalan di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terkait dengan ketersediaan lahan dan kesiapan pemerintah daerah untuk membantu program pengembangan Bahan Bakar Nabati dengan sumber daya yang berasal dari daerah masing-masing. Penyebaran implementasi pengembangan Bahan Bakar Nabati tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4.3 Pelaksanaan Program Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Sumber: APROBI, 2013

Penyebaran tersebut sementara terkonsentrasi di pulau Sumatera dan Jawa, dan Kalimantan. Di Sumatera dan Kalimantan pabrik-pabrik Biodiesel berdiri karena lahan sawit yang pada umumnya banyak terdapat di tempat tersebut. Sementara di pulau Jawa, pabrik yang didirikan lebih banyak bertempat di sekitar Penyebaran tersebut sementara terkonsentrasi di pulau Sumatera dan Jawa, dan Kalimantan. Di Sumatera dan Kalimantan pabrik-pabrik Biodiesel berdiri karena lahan sawit yang pada umumnya banyak terdapat di tempat tersebut. Sementara di pulau Jawa, pabrik yang didirikan lebih banyak bertempat di sekitar

Tabel 4.5 Rencana Pengembangan Pabrik Biodiesel dan Lahan untuk Bahan Baku sampai Tahun 2009

Sumber: Sugiyono, Pengembangan Bahan Bakar Nabati, 2008

4.2 Kebijakan Pajak Atas Bahan Bakar Nabati yang Berlaku di Indonesia Di Indonesia saat ini belum terdapat peraturan pajak yang termasuk supply side policy khusus untuk Bahan Bakar Nabati. Peraturan yang ada masih berupa peraturan umum mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk bidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu ( tax allowance ) dan tax holiday bagi industri pionir.

Industri Bahan Bakar Nabati termasuk dalam bidang usaha tertentu yang ditetapkan pemerintah sehingga fasilitas pajak tersebut juga berlaku terhadap Bahan Bakar Nabati. Penjelasan mengenai kebijakan pajak tersebut serta mekanisme kebijakan yang berjalan akan dipaparkan sebagai berikut.

4.2.1 Kebijakan Pajak Dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2011

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 mengatur tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 mengatur tentang fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau

Nomor 16 PMK/03/2007 dengan perubahan terakhir PMK No. 144/PMK.011/2012 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Fasilitas Pajak Penghasilan tersebut sebagai berikut.

Fasilitas Pajak Penghasilan menurut PP No.1 Tahun 2007 s.t.d.t.d PP No. 52 Tahun 2011

Pajak Penghasilan yang dimaksud dalam PP No.1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d) PP No. 52 tahun 2011 adalah Pajak Penghasilan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008. Fasilitas tersebut berdasarkan Pasal 31 A UU Pajak Penghasilan yang terbagi menjadi lima macam, yaitu:

 Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-

masing sebesar 5% (lima persen) pertahun. Fasilitas ini bersifat mengurangi penghasilan neto (dalam hal mendapat keuntungan usaha) atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat kerugian usaha);

 Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat diberikan untuk aktiva tetap yang diperoleh dan digunakan dalam rangka penanaman modal sebagai berikut.

Tabel 4.6 Rate Penyusutan Dipercepat

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Kelompok Aktiva

Masa Manfaat

Berdasarkan Metode Tetap Berwujud

Menjadi

Garis Lurus

Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan: Kelompok I

100% (dibebankan sekaligus) Kelompok II

2 tahun

50% Kelompok III

4 tahun

25% Kelompok IV

II. Bangunan: Permanen

- Tidak Permanen

10 tahun

- Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2007

5 tahun

 Pengenaan Pajak atas Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subejek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif

yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

 Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh). Kerugian fiskal yang dapat dikompensasikan dengan keuntungan dalam 5 tahun berikutnya sesuai dengan ketentuan

Pasa 6 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dalam rangka penanaman modal yang diberikan fasilitas kompensasi kerugian fiskal yang lebih lama yakni dalam hal dipenuhinya persyaratan/ ketentuan sebagai berikut: 1). tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru dilakukan pada

bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan kawasan berikat;

2). tambahan 1 tahun : apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;

3). tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);

4). tambahan 1 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau

5). tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun 4 (empat).

4.2.1.1 Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan menurut PER-67/PJ./2007 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang- Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.

Dalam melaksanakan peraturan di atas, terdapat peraturan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang sebagai pedoman pelaksanaan. Peraturan tersebut berdasarkan PER- 67/PJ./2007 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Penjelasannya sebagai berikut.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan usulan dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk diteliti dan dievaluasi oleh Direktur Peraturan Perpajakan II. Persyaratan yang diteliti adalah kesesuaian bidang usaha dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang terdapat dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan usulan dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk diteliti dan dievaluasi oleh Direktur Peraturan Perpajakan II. Persyaratan yang diteliti adalah kesesuaian bidang usaha dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang terdapat dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut

Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan atau Penolakan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu 10 hari, maka permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan usulan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dianggap disetujui. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan atau Penolakan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan tersebut menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan maka dalam rangka pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto, Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan untuk Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu tersebut, maka saat dimulainya produk sebagaimana tercantum dalam permohonan Wajib Pajak dianggap Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu tersebut, maka saat dimulainya produk sebagaimana tercantum dalam permohonan Wajib Pajak dianggap

Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan maka dalam rangka pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berupa penambahan jangka waktu kompensasi kerugian, Pajak mengajukan permohonan untuk Penetapan Penambahan Kompensasi Kerugian kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu tersebut, maka penambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana tercantum dalam permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

4.2.2 Kebijakan Pajak Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011

Kebijakan pajak dalam PMK 130/PMK.011/2011 mengatur tentang pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan bagi industri pionir, atau yang dikenal dengan tax holiday . Syarat industri pionir tersebut adalah telah memilki rencana investasi atau penanaman modal miminal 1 triliun rupiah, menempatkan dana di perbankan Indonesia minimal 10% dari total rencana investasi, dan berstatus sebagai badan hukum Indonesia. Industri pionir yang dimaksud pada peraturan ini mencakup: Kebijakan pajak dalam PMK 130/PMK.011/2011 mengatur tentang pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan bagi industri pionir, atau yang dikenal dengan tax holiday . Syarat industri pionir tersebut adalah telah memilki rencana investasi atau penanaman modal miminal 1 triliun rupiah, menempatkan dana di perbankan Indonesia minimal 10% dari total rencana investasi, dan berstatus sebagai badan hukum Indonesia. Industri pionir yang dimaksud pada peraturan ini mencakup:

b. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;

c. Industri permesinan;

d. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau

e. Industri peralatan komunikasi. Industri Bahan Bakar Nabati termasuk dalam bidang sumberdaya terbarukan

sehingga berhak mendapatkan fasilitas pajak ini. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa kepada Wajib Pajak Badan, termasuk dalam hal ini industri Bahan Bakar Nabati, dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Pembebasan Pajak Penghasilan badan tersebut dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. Setelah berakhirnya pemberian fasilitas tersebut, industri Bahan Bakar Nabati dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 tahun pajak. Selama masa pemberian fasilitas pajak tersebut belum berakhir, industri dapat diberikan jangka waktu melebihi jangka waktu pemberian fasilitas di awal dengan pertimbangan Menteri Keuangan tentang kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis usaha Bahan Bakar Nabati.

Menurut data dari BKPM, terdapat beberapa pelaku usaha bidang Bahan Bakar Nabati yang telah memanfaatkan insentif Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2011. Namun belum terdapat industri Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan insentif Pajak Penghasilan berdasarkan PMK No. 130/PMK.011 Tahun 2011, sehingga untuk pembahasan selanjutnya peneliti hanya akan membatasi pada pelaksanaan pemberian insentif Pajak Penghasilan menurut Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2011

BAB 5 EVALUASI IMPLEMENTASI INSENTIF PAJAK PENGHASILAN ATAS INDUSTRI BAHAN BAKAR NABATI DI INDONESIA

5.1. Peran Insentif Pajak Penghasilan bagi Industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia merupakan salah satu upaya kebijakan utama prioritas penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan. Kebijakan tersebut termasuk konservasi energi dan diversifikasi energi. Konservasi energi adalah peningkatan efisiensi penggunaan energi di sisi suplai dan pemanfaatan, sedangkan diversifikasi energi adalah peningkatan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional. Hal ini karena hampir 95% energi yang dimanfaatkan saat ini merupakan energi fosil yang mempunyai masa penyediaan terbatas karena tidak dapat diperbarui. Kondisi energi Indonesia saat ini disajikan oleh gambar berikut.

Gambar 5.1

Kondisi Bauran Energi Primer Nasional 2011

Sumber: Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, 2013

Minyak bumi masih merupakan energi utama yang dimanfaatkan untuk saat ini di berbagai sektor kegiatan masyarakat selain gas alam dan batubara. Energi baru dan terbarukan (EBT) termasuk di dalamnya Bahan Bakar Nabati, hanya menempati 5, 03% dari total bauran energi. Mengingat keberadaan energi fosil yang terbatas, maka pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006

61 Universitas Indonesia 61 Universitas Indonesia

Gambar 5.2 Target Bauran Energi Primer Nasional

Sumber: Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, 2013

Pada gambar tersebut target energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 17% dari total bauran energi primer nasional, naik sebesar 12% dari tahun 2011. Termasuk di dalamnya target Bahan Bakar Nabati sebagai sumber energi primer sebesar 5%. Untuk memenuhi target tersebut, maka pemerintah mulai mengeluarkan berbagai peraturan untuk mendorong perkembangan dan penyediaan Bahan Bakar Nabati.

Pengembangan Bahan Bakar Nabati sangat penting sebagai sumber penyediaan kebutuhan energi di masa mendatang, mengingat keterbatasan cadangan energi konvensional (minyak dan gas bumi serta batubara) dan harganya yang fluktuatif. Pengembangan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati selain dalam rangka peningkatan keamanan pasokan energi ( security of supply ) juga merupakan salah satu upaya dalam mitigasi gas rumah kaca karena Bahan Bakar Nabati merupakan energi bersih. Pengembangan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sangat berdampak positif pada perekonomian karena akan mengembangankan industri hilir pertanian, peningkatan nilai tambah produk, dan dampak positif pada neraca perdagangan karena akan mengurangi impor BBM yang semakin besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“Nah dulu kan alasan penggunaan BB N itu kan karena untuk menyerap tenaga kerja, untuk mengurangi emisi. Jadi tahun lalu itu industri BBN bisa “Nah dulu kan alasan penggunaan BB N itu kan karena untuk menyerap tenaga kerja, untuk mengurangi emisi. Jadi tahun lalu itu industri BBN bisa

fokusnya jadi untuk mengatasi defisit ini.” (Hasil wawancara Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Dari segi harga, saat ini salah satu Bahan Bakar Nabati yaitu Biodiesel berada di bawah harga BBM sehingga menjadi nilai tambah bagi potensinya sebagai pengganti BBM. Untuk mengetahui perbandingan harga tersebut ditunjukkan dengan ilustrasi berikut.

Tabel 5.1 Ilustrasi Harga Solar dan Biodiesel

Harga Solar

a. Harga dasar Pertamina per Liter Rp 9.400,00 b. PPN 10%

Rp 940,00 c. PBBKB (100% x 7,5% dr harga dasar

Rp 705,00 d. PPh 0,3%

Rp 28,20 Total

Rp 11.073,20/ liter

Harga Biodiesel Rp 7.715,00/ liter

Sumber: APROBI, 2013

Tabel di atas merupakan ilustrasi harga solar dan Biodiesel yang terjadi pada 15-

31 Februari 2013 di Kalimantan. Harga solar setelah adanya tambahan pajak menjadi Rp. 11.073,20 per liter. Sedangkan harga Biodiesel yang merupakan sumber Energi Terbarukan setelah penetapan Indeks Perkiraan Harga oleh pemerintah adalah Rp. 7.715,00 per liter. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:

“ ...kalau dilihat dari harga sekarang itu, Biodiesel harganya 924 USD per ton. Kalau dijadiin liter itu Rp 7.800,00 per liter. Kalau solar industri saat “ ...kalau dilihat dari harga sekarang itu, Biodiesel harganya 924 USD per ton. Kalau dijadiin liter itu Rp 7.800,00 per liter. Kalau solar industri saat

Tjakrawan, 21 Juni 2013) Perbedaan harga ini diharapkan mendorong konsumen khususnya pada sektor

transportasi dan industri untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati sebagai campuran dengan jumlah minimal sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 32 tahun 2008.

Sebagai campuran BBM saat ini, Bahan Bakar Nabati diharapkan dapat memiliki pengaruh terhadap tingkat reduksi penggunaan BBM. Berikut adalah proyeksi reduksi kebutuhan pada solar setelah adanya substitusi Biodiesel.

JUT A KILO LIT ER 25.0

2011 2012 Solar BAU

Solar s etelah s ubs titus i

Biodies el 10%

Gambar 5.3 Proyeksi Kebutuhan Solar setelah Substitusi oleh Biodiesel

Sumber: Departemen Pertanian, 2006

Berdasarkan gambar di atas, pada awal tahun 2006 Biodiesel tidak terlalu mempengaruhi kebutuhan masyarakat pada solar karena pengembangannya di Indonesia yang terhitung baru. Namun setelah dikeluarkannya berbagai peraturan untuk mendorong industri Bahan Bakar Nabati pada pertengahan 2006 hingga 2007, diharapkan produksi Bahan Bakar Nabati dapat berkembang dan penggunaannya dapat mereduksi kebutuhan solar nasional.

Dapat diperkirakan peluang suplai Biodiesel 10% yang diperlukan hingga tahun 2012. Kebutuhan Biodiesel yang cukup besar membuka peluang bagi para pengusaha yang tertarik untuk melakukan bisnis dan investasi Biodiesel. Berikut Dapat diperkirakan peluang suplai Biodiesel 10% yang diperlukan hingga tahun 2012. Kebutuhan Biodiesel yang cukup besar membuka peluang bagi para pengusaha yang tertarik untuk melakukan bisnis dan investasi Biodiesel. Berikut

Gambar 5.4 Milestone Biodiesel Indonesia

Sumber: Blueprint PEN, 2007

Dalam blueprint Pengembangan Energi Nasional, pemerintah menetapkan target perkembangan Biodiesel dari tahun 2005-2025 di Indonesia. Dari gambar di atas dijelaskan bahwa selama 10 tahun target pengembangan Biodiesel dalam negeri diproyeksikan akan dibutuhkan kapasitas terpasang produksi pada industri- industri Biodiesel dengan jumlah akumulatif sebesar 222 ribu barel per hari atau sekitar 810 juta barel sampai tahun 2025. Sedangkan kumulatif investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi Biodiesel sejumlah kapasitas terpasang tersebut adalah 2.384 juta USD dalam waktu 10 tahun. Hal ini menjadikan tambahan investasi Biodiesel yang dibutuhkan semakin besar setiap tahun dan merupakan penarik investor untuk menanamkan modal pada usaha Biodiesel. Selain Biodiesel, pemerintah juga menyusun target investasi pada perkembangan Bioetanol sebagai berikut.

Gambar 5.5 Milestone Bioetanol Indonesia

Sumber: Blueprint PEN, 2007

Dalam blueprint Pengembangan Energi Nasional, pmerintah menetapkan target perkembangan Bioetanol dari tahun 2005-2025 di Indonesia. Dari gambar di atas dijelaskan bahwa selama 10 tahun target pengembangan Bioetanol dalam negeri diproyeksikan akan dibutuhkan kapasitas terpasang produksi pada industri- industri Bioetanol dengan jumlah akumulatif sebesar 201,7 ribu barel per hari atau sekitar 736 juta barel sampai tahun 2025. Sedangkan kumulatif investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi Bioetanol sejumlah kapasitas terpasang tersebut adalah 6.124 juta USD dalam waktu 10 tahun. Investasi yang dibutuhkan lebih besar daripada investasi Biodiesel karena peralatan pengolah Bioetanol yang cenderung lebih mahal daripada Biodiesel (Ditjen Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, 2013).

Sejak dikeluarkannya berbagai kebijakan untuk mendorong penyediaan Bahan Bakar Nabati, di Indonesia telah berkembang beberapa pabrik industri Bahan Bakar di Indonesia dengan kapasitas terpasang produksi yang terus bertambah setiap tahun untuk mengejar target pada proyeksi pengembangan Bahan Bakar Nabati pada gambar 5.4 dan gambar 5.5.. Untuk mengetahui perkembangan kapasitas terpasang produksi industri Bahan Bakar Nabati Nasional ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 5.6

Kapasitas Terpasang Industri Bahan Bakar Nabati Nasional

Sumber: Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, 2013

Gambar di atas menunjukkan grafik kapasitas terpasang produksi Bahan Bakar Nabati yang tumbuh seiring berkembangnya industri Bahan Bakar Nabati nasional. Kapasitas terpasang produksi adalah perencanaan produksi yang ditetapkan sebelum realisasi produksi oleh industri Bahan Bakar Nabati. Hal tersebut dijelaskan oleh pernyataan berikut

“ Kapasitas produksi itu telah ditentukan pada awal prinsip pendirian usaha. Jadi awal itu PT A bidang usahanya industri Bahan Bakar Nabati

dengan produknya adalah Biodiesel dan Bioetanol dengan kapasitas 10.000 ton pertahun. Nah, disitu ditentukan. Jadi dari situ nanti dia akan mengajukan permohonan mesin dengan kemampuan membuat bahan bakar diesel dan Bioetanol sebesar 10.000 ton tadi. Jadi kapasitas

produksi itu sudah dicantumkan di awal. Mesinnya mengikuti kapasitas.” (Hasil Wawancara dengan Alma Karma, 4 April 2013)

Pada tahun 2006 saat pertama kali program pengembangan Bahan Bakar Nabati diberlakukan, jumlah kapasitas produksi Biodiesel dan Bioetanol memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Hal ini dijelaskan pernyataan berikut.

“ Yak, 2005 kan pabrik Biodiesel nggak begitu banyak. Baru tumbuh setelah adanya Perpres Nomor 5 tahun 2006 dan Inpres nomor 1 tahun

2006. Nah, kapasitas dulu itu masih sekitar satu jutaan lah tahun 2006 itu. Sekarang sudah 4,3 juta kiloliter Biodiesel pertahun dan Bioetanol 272.000 kiloliter pertahun. ” (Hasil Wawancara dengan Lila Harsyah, 29 April 2013).

Mulai tahun 2007 kapasitas produksi Biodiesel cenderung jauh meningkat dari tahun ke tahun sehingga mencapai angka 4,3-5,5 juta kL pada tahun 2012, sementara kapasitas produksi Bioetanol cenderung tetap pada angka rata-rata 270.000 kL per tahun. Sementara menurut Kementerian Perindustrian, saat ini industrialisasi Biodiesel Nasional berjalan baik dengan kapasitas terpasang pabrik Biodiesel Nasional mencapai 4,6 Juta kL dengan utilisasi sekitar 80% didominasi oleh bahan baku minyak sawit; RBD Palm Oil, Palm Kernel Oil, PFAD, RBD Stearine, dan sebagainya (Direktorat Jenderal Industri Agro, 2013). Dominasi Biodiesel disebabkan bahan baku Bioetanol yang tinggi dan teknologi yang diperlukan cenderung mahal. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Ya, penyebabnya pertama karena teknologinya mahal. Terus bahan bakunya juga mahal, kan bahan bakunya singkong ya, sama molases, dari

tebu. Lalu, ada kompetisi bahan baku. Di sisi lain singkong itu dipakai untuk industri tapioka, tebu diolah juga dipakai untuk gula. Sementara kalau dia bermitra dengan petani, harganya itu terlalu mahal. Kan teknologinya udah mahal, berarti kan bahan bakunya harus murah. Sementara bahan bakunya mahal, begitu. Singkong untuk dimakan sama singkong untuk bahan baku kan lain. ” (Hasil wawancara dengan Lila

Harsyah, 29 April 2013) Bahan baku dan teknologi mahal menjadikan jumlah pelaku usaha yang bergerak

di bidang industri Bioetanol di Indonesia lebih sedikit dibandingkan Biodiesel. Saat ini di Indonesia terdapat 23 produsen Biodiesel dan 13 produsen Bioetanol (APROBI, 2013). Sementara menurut data kementerian ESDM, terdapat 26 produsen Biodiesel dan 13 produsen Bioetanol dengan 7 diantaranya telah memiliki izin usaha niaga Bahan Bakar Nabati (Ditjen Energi Baru Terbarukan di bidang industri Bioetanol di Indonesia lebih sedikit dibandingkan Biodiesel. Saat ini di Indonesia terdapat 23 produsen Biodiesel dan 13 produsen Bioetanol (APROBI, 2013). Sementara menurut data kementerian ESDM, terdapat 26 produsen Biodiesel dan 13 produsen Bioetanol dengan 7 diantaranya telah memiliki izin usaha niaga Bahan Bakar Nabati (Ditjen Energi Baru Terbarukan

Tabel 5.2

Industri Biodiesel Indonesia (APROBI)

Kapasitas (Ton per

NO Perusahaan Lokasi

tahun)

1. Energi Alternatif

Jakarta 2 Eterna Buana Chemical Industries

Tangerang 3 Indo Biofuels Energy

Merak 4 Anugrah Inti Gemanusa

Gresik 5 Eterindo Nusagraha

Gresik 6 Wilmar Bioenergi Indonesia

Dumai 7 Wilmar Nabati Indonesia

Gresik 8 Sumi Asih Oleo Chemical

Bekasi 9 Darmex Biofuels

Bekasi 10 Pelita Agung Agri Industri

Deli Serdang 11 Musim Mas

Batam 12 Multikimia Intipelangi

Bekasi 13 Cemerlang Energi Perkasa

Dumai, Riau 14 Kenzie Megapolitan

Makasar 15 Ganesha Energi

Medan 16 Damai Sejahtera Sentosa Cooking

Surabaya 17 Bioenergi Pratama Jaya

Kutai Timur 18 Nusantara Bio Energi

Medan Sumber: APROBI, 2013

NA

Banyaknya industri Biodiesel yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia tidak terlepas dari ketersediaan bahan baku yang berlimpah. Ketersediaan Crude Palm Oil (CPO) sebagai salah satu bahan baku Biodiesel memegang peranan penting perkembangan Bahan Bakar Nabati. Di antara produk olahan CPO yang beragam, kapasitas yang dialokasikan untuk menghasilkan Biodiesel termasuk yang paling tinggi seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 5.3 Kapasitas Produksi Olahan CPO di Indonesia

Produk Hasil Olahan

Pemanfaatan CPO

Kapasitas Produksi (per

tahun)

Fatty acids

Margarin Fatty alcohol

983.000 ton

Kosmetik, makanan Glycerin

500.000 ton

Sabun, kosmetik Biodiesel

142.000 ton

Campuran bahan bakar Sumber: Ditjen Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, 2013

3,4 juta ton

Kementerian Perindustrian berharap pelaku usaha di sektor CPO dapat menambah invcstasinya. Diharapkan produsen bisa meningkatkan nilai tambah produk CPO, salah satunya yaitu Biodiesel untuk meningkatkan pertumbuhan industri (“Hilirisasi Industri Sawit”, 2013).

Kebutuhan investasi untuk pengembangan pabrik Biodiesel kapasitas 6.000 ton per tahun (6.600 kl per tahun) dan kapasitas 100.000 ton per tahun (110.000 kl per tahun) masing-masing adalah Rp. 12 milyar dan Rp. 180 milyar. Apabila setiap tahun dibangun satu pabrik skala kecil dan besar, maka total biaya investasi yang diperlukan dalam lima tahun ke depan Rp. 860 milyar. Nilai investasi tersebut diperlukan untuk membeli peralatan dan mendirikan bangunan pabrik (Litbang Departemen Pertanian). Sementara untuk pengembangan satu pabrik Bioetanol sendiri dibutuhkan biaya investasi dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 5.4 Biaya Investasi Fasilitas Produksi Bioetanol

No

Jenis Peralatan

Harga (US$)

1 Peralatan Utama 5.580.000 2 Peralatan Pengumpanan

400.000 3 Unit Pengolah Limbah

690.000 4 Tanah (min 30 Ha)

60.000 5 Power Plant

450.000 6 Bangunan Pabrik dan Kantor

200.000 Total

7.380.000 1$= Rp. 9.000,-

Rp. 66.420.000.000 Sumber: Wibowo dan Bari, 2006

Biaya investasi di atas belum termasuk penyediaan bahan baku untuk produksi. Harga bahan baku Bahan Bakar Nabati adalah untuk CPO sebesar 60,2 US$/SBM dan untuk ubi kayu atau singkong sebesar 60,8 US$/SBM. Dengan mempertimbangkan bahan baku tersebut maka biaya produksi Biodiesel dari CPO dengan kapasitas 100.000 ton/tahun adalah Rp. 4.240/liter dan biaya produksi Bioetanol dari ubi kayu dengan kapasitas 60 kl/hari adalah sebesar Rp. 4.720/liter (Sugiyono, 2005).

Upaya pemerintah mendukung industri Bahan Bakar Nabati tidak hanya berasal dari perumusan kebijakan, tetapi juga dalam bentuk bantuan langsung yang diberikan melalui program pembangunan pabrik Biodiesel dan Bioetanol di berbagai wilayah dengan kapasitas produksi tertentu. Dengan bantuan pabrik tersebut, pelaku usaha mendapatkan keringanan dari sisi penyediaan lahan pabrik dan mengurangi biaya investasi dari yang seharusnya dibutuhkan untuk membangun industri Bahan Bakar Nabati. Bantuan yang pernah diberikan pemerintah tersebut dijelaskan oleh tabel berikut.

Tabel 5.5

Bantuan Pabrik Bahan Bakar Nabati dari Pemerintah

No Jenis Bantuan

Propinsi

Kapasitas

Bahan Baku Tahun Pemberian

2008 Mini

1 Pabrik Bioetanol Jawa Tengah

2.000 lt/hari

Tebu

Sulawesi Utara

2.500 lt/hari

Tebu

Singkong 2 Pabrik Biodiesel

Lampung

500 lt/hari

Sumatera

200 lt/hari

Minyak Sawit

Selatan Kalimantan Timur

3 Pabrik Bioetanol

Jawa Tengah

250 lt/hari

Tebu

Jawa Barat

500 lt/hari

Singkong

NAD

3.000 lt/hari

Tebu

Papua Barat

500 lt/hari

Nipah

4 Pabrik Bioetanol

Papua

500 lt/hari

Bangka 500 lt/hari

Singkong

Belitung

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011

Dengan adanya proyeksi kumulatif investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan dan penyediaan Bahan Bakar Nabati hingga tahun 2025, pemerintah terus berupaya khususnya dalam memperbarui kebijakan dan regulasi untuk mendorong bisnis dan investasi di bidang tersebut, salah satunya adalah insentif Pajak Penghasilan bagi industri penyedia Bahan Bakar Nabati sebagai sumber energi baru dan terbarukan.

Insentif Pajak Penghasilan merupakan bagian dari kebijakan yang diciptakan pemerintah untuk mendorong suatu kegiatan perekonomian masyarakat. Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah dimaksudkan agar mencapai tujuan tertentu atau untuk mengatasi suatu persoalan dengan berbagai program sebagai instrumen. Demikian pula dengan kebijakan berupa insentif investment allowance untuk mendorong perkembangan industri Bahan Bakar Nabati yang termasuk kategori industri pionir. Industri pionir menurut peraturan perundang- undangan perpajakan merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Insentif Pajak Penghasilan diharapkan menjadi instrumen penarik investor agar tertarik menanamkan modal pada usaha Bahan Bakar Nabati. Dengan kesempatan pasar yang besar, adanya mandatory pemanfaatan dari pemerintah dan proyeksi investasi untuk mencapai kapasitas produksi tertentu, maka modal yang masuk diharapkan akan membantu perkembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Hal ini menjadi alasan pentingnya insentif Pajak Penghasilan bagi pelaku usaha pada bidang industri Bahan Bakar Nabati karena insentif pajak adalah instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perilaku investor dalam menentukan kegiatan bisnisnya. Dengan pemberian insentif pajak, investasi akan meningkat dan tujuan pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati akan terealisasi di masa depan.

5.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan kepada Industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Evaluasi mengenai suatu kebijakan atau program pemerintah berarti menilai antara tujuan, kriteria, dan sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan dengan realitas atau pencapaian yang telah ada. Evaluasi juga berarti berarti pembuatan informasi mengenai seberapa jauh suatu hasil kebijakan memberi kontribusi terhadap pencapaian tujuan-tujuan dan sasaran. Oleh karena itu dalam melakukan evaluasi pemberian kebijakan pajak atas industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia, peneliti akan membahas mengenai implementasi pemberian insentif Pajak Penghasilan, tujuannya, serta evaluasi terhadap implementasi tersebut.

5.2.1 Gambaran Implementasi Insentif Pajak Penghasilan atas Industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Insentif Pajak Penghasilan menurut Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2007 dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah No.52 tahun 2011 untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu merupakan jenis keringanan pajak yang mulai berlaku sejak Januari 2007 dan telah berjalan selama 6 tahun. Peraturan tersebut disusun demi meningkatkan investasi langsung baik melalui penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan untuk bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah- daerah tertentu. Dengan kata lain, fasilitas insentif pajak tersebut hanya dapat diberikan kepada Wajib Pajak berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada bidang usaha yang ditetapkan dalam lampiran peraturan tersebut. Insentif ini diberikan kepada industri yang mempunyai prioritas tinggi; mendukung diversifikasi ekonomi; memperkuat struktur industri nasional; dan yang melakukan alih teknologi dan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga sering disebut industri yang diproyeksikan memiliki multiplier effects bagi suatu negara.

Dalam lampiran peraturan tersebut yang dapat diberikan insentif pajak diantaranya industri Kimia dasar Organik yang bersumber dari Hasil Pertanian, termasuk di dalamnya industri penghasil Biodiesel dan Bioetanol (Bahan Bakar Nabati). Oleh karena itu industri Bahan Bakar Nabati termasuk yang dimaksudkan untuk didorong perkembangannya dari sisi investasi karena memiliki nilai tambah bagi perekonomian masyarakat.

Insentif Pajak Penghasilan dipilih sebagai suatu tindakan untuk mendorong perkembangan Bahan Bakar Nabati dari sisi supply karena memiliki beberapa kelebihan. Menurut Easson dan Zolt, insentif Pajak Penghasilan memiliki 2 kelebihan. Pertama, insentif Pajak Penghasilan merupakan tindakan pemerintah untuk mendorong perkembangan Bahan Bakar Nabati yang lebih mudah diberikan dan dibandingkan dengan insentif pajak dari negara lain. Dengan adanya insentif pajak yang memuat isi insentif dan tarif yang diberlakukan, investor akan lebih mudah melihat dan menimbang untuk menanamkan modal di bidang usaha Bahan Bakar Nabati. Selain itu, insentif Pajak Penghasilan lebih mudah diberikan dibanding mengurangi subsidi negara kepada bahan bakar fosil yang melibatkan berbagai pertimbangan politis sehingga masyarakat akan beralih kepada Bahan Bakar Nabati, atau dibanding mengembangkan sistem komunikasi untuk menghimbau masyarakat untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati sebagai pengganti BBM secara dramatis.

Kedua, insentif Pajak Penghasilan tidak membutuhkan pengeluaran atau dana aktual dari pemerintah. Salah satu alternatif untuk menggunakan insentif Pajak Penghasilan adalah untuk menyediakan bantuan atau subsidi uang bagi investor. Meskipun insentif pajak dan bantuan dana adalah mirip secara ekonomi, untuk alasan politik dan alasan lainnya akan lebih mudah menyediakan tax benefit daripada menyediakan dana aktual bagi para investor.

Insentif yang diberikan untuk mendorong investasi di bidang Bahan Bakar Nabati adalah insentif Pajak Penghasilan karena Pajak Penghasilan merupakan pajak yang langsung dikenakan atas subjeknya, yaitu industri Bahan Bakar Nabati dan merupakan porsi terbesar pajak yang dibayar oleh industri. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

Kebijakan berupa insentif investment allowance ini telah diimplementasikan atau diberlakukan di Indonesia sejak Februari 2007 dan berlaku surut mulai 1 Januari 2007. Maksud dari ketentuan berlaku surut di sini adalah, industri-industri Bahan Bakar Nabati yang mulai atau telah berproduksi secara komersial sejak 1 Januari 2007, berhak memanfaatkan insentif investment allowance berdasarkan kebijakan tersebut. Sejak saat itu terdapat beberapa industri Bahan Bakar Nabati yang telah mengajukan izin penggunaan kepada instansi terkait dan memenuhi syarat untuk mendapatkannya.

Pertama yang harus dilakukan oleh investor bidang usaha Bahan Bakar Nabati yang ingin mendapatkan insentif tersebut adalah perizinan. Proses perizinan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sesuai dengan aturan hanya membutuhkan waktu lima hari kerja. Selama periode tersebut, dilakukan verifikasi syarat-syarat yang diajukan perusahaan, sebelum diteruskan ke Kementerian Keuangan dengan menyampaikan surat usulan atau rekomendasi pemberian fasilitas. Verifikasi salah satunya dilakukan dengan mengadakan technical meeting dengan perusahaan penghasil Bahan Bakar Nabati dan kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian. Proses perizinan di BKPM bisa dipercepat jika persyaratan yang disampaikan oleh perusahaan lengkap. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Sebenarnya ada SOP kita dalam memberikan fasilitas kepada investor. Setelah mereka mengajukan izin fasilitas, itu biasanya kita mengadakan

technical meeting dengan perusahaan dan instansi lain yang terkait. Dalam meeting tersebut, perusahaan akan mengajukan semua rencana proyek yang mereka lakukan, menceritakan semua flow chart, semua proses mulai dari bahan baku menjadi bahan jadi. Bagaimana alur produksi, kapasitas, dan kalkulasi untuk bisa menghasilkan kapasitas produksi sekian, komponen mesin dan peralatan yang mereka pakai .”(Hasil wawancara dengan Alma

Karma, 4 April 2013) Sementara itu proses pengajuan insentif investment allowance di tingkat

Kementerian Keuangan butuh waktu maksimal 10 hari kerja. Prosedur pengajuan lebih sederhana hanya dengan melampirkan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak hanya Kementerian Keuangan butuh waktu maksimal 10 hari kerja. Prosedur pengajuan lebih sederhana hanya dengan melampirkan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak hanya

“ Kalau lewat dari 10 hari, permohonan akan dianggap diterima. Yang harus diperhatikan waktunya tidak lewat dari 10 hari, sudah ada keputusan dari sini. karena kan keputusan terakhir dari sini, jangan sampai berlarut-

larut. Itu terakhir kalau dari sini. Jika persyaratannya kurang, kita aka n kembalikan ke BKPM, balik lagi. Ini misalnya ada persyaratan yang kurang lengkap .” (Hasil Wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Dokumen yang masuk dari BKPM untuk diteruskan pada Dirjen Pajak pada umumnya adalah dokumen dari industri Bahan Bakar Nabati yang telah memenuhi syarat menurut SOP BKPM. Hal ini menyebabkan dokumen yang telah diterima Dirjen Pajak pada umumnya memiliki dua keputusan. Pertama, dokumen permohonan yang diterima dan kedua, dokumen permohonan yang dikembalikan karena ada persyaratan yang kurang menurut ketentuan Dirjen Pajak.

Insentif ini secara umum telah diberikan kepada beberapa industri pionir, atau yang terdapat klasifikasinya dalam lampiran PP No.1 tahun 2007 s.t.d.t.d PP No.52 tahun 2011. Dari tahun diterbitkannya peraturan tersebut sampai tahun 2012 terdapat 78 total Wajib Pajak yang memanfaatkan insentif investment allowance . Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Untuk yang telah mendapatkan investment allowance ini selama kurun waktu enam tahun itu sudah ada 78 Wa jib Pajak. Dari 2007 sampai 2012, karena untuk 2013 sampai sekarang itu belum ada Wajib Pajak yang

mendapatkan fasilitas investment allowance. Karena tahun 2007 saat pertama kali fasilitas investment allowance itu diterbitkan, itu booming, maksudnya karena baru, dari BKPM sendiri itu dia mengajukan ratusan permohonan sekali pengajuan. Pada saat itu lah investment allowance paling banyak diterbitkan, itu ada 52 SK pemberian fasilitas investment mendapatkan fasilitas investment allowance. Karena tahun 2007 saat pertama kali fasilitas investment allowance itu diterbitkan, itu booming, maksudnya karena baru, dari BKPM sendiri itu dia mengajukan ratusan permohonan sekali pengajuan. Pada saat itu lah investment allowance paling banyak diterbitkan, itu ada 52 SK pemberian fasilitas investment

10 setiap tahunnya. Terakhir tahun 2012 itu hanya 1. ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Seperti tujuan pemberian insentif Pajak Penghasilan yang tercantum pada PP No.1 tahun 2007 s.t.d.t.d PP No.52 tahun 2011, industri Bahan Bakar Nabati yang telah mendapatkan insentif investment allowance memiliki keuntungan lebih yang dapat diperoleh dibandingkan dengan industri yang tidak mendapatkan insentif. Investment allowance dimaksudkan agar pada awal periode operasi komersial, Wajib Pajak tidak dibebani dengan pengenaan Pajak Penghasilan Badan yang besar sehingga dapat mempercepat pengembalian investasi dan meningkatkan imbal hasil investasi. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sehingga masa total penyusutan aktiva menjadi setengah dari masa penyusutan dan amortisasi yang berlaku normal. Insentif percepatan masa penyusutan dan amortisasi aktiva ini dimaksudkan untuk mengurangi penghasilan kena pajak pada awal periode operasi komersial investasi untuk meringankan cash flow usaha.

Contoh penerapan investment allowance adalah sebagai berikut. PT. Biodiesel A yang sebelumnya telah mendapatkan izin prinsip penanaman modal baru dari BKPM dengan rencana penanaman modal sebesar Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) mengajukan permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 pada tanggal 20 Desember 2011. PT Biodiesel A telah melakukan realisasi penanaman modal sebesar 100% pada 2 Januari 2012 sehingga memenuhi syarat untuk memanfaatkan investment allowance (telah melakukan realisasi penanaman modal minimal 80% dari rencana penanaman modal) mulai tahun 2012 sampai 2017. Berikut adalah perhitungan pengurang penghasilan neto sesuai PP No. 52 Tahun 2011.

a). Pengurangan Penghasilan Neto Pengurang penghasilan neto per tahun dari 2012 s.d 2016:

= 5% x Rp. 200.000.000.000,00 = Rp. 10.000.000.000,00 Pengurang penghasilan neto tahun 2017 (tahun keenam):

= (30% x Rp 200.000.000.000,00) - (5 x Rp 10.000.000.000,00) = Rp 60.000.000.000,00 - Rp 50.000.000.000,00 = Rp 10.000.000.000,00

Tabel 5.6 Ilustrasi Penerapan Insentif Pengurangan Penghasilan Neto (dalam jutaan rupiah)

Tahun Pengurang Penghasilan Neto

Tarif PPh Badan

Penghematan Pajak

Rp 2.500,00 Sumber: Hasil Olahan PP No.52 Tahun 2011

Rp 10.000,00

Dengan demikian dari tahun 2012 sampai 2017, penghasilan sebelum pajak PT Biodiesel A menjadi berkurang sebesar Rp. 10.000.000.000,00 sehingga pajak yang dikenakan terhadap penghasilan menjadi lebih kecil dan penghasilan setelah pajak menjadi lebih besar, dibandingkan jika PT Biodiesel tidak memanfaatkan insentif tersebut. Dengan menggunakan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan sesuai dengan ketentuan UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008, maka penghematan pajak ( tax saving ) yang diperoleh investor adalah sebesar Rp 2.500.000.000,00 per tahun. Hal ini merupakan keuntungan yang dapat diperoleh investor yang memanfaatkan insentif investment allowance tersebut, karena cash outflow perusahaan menjadi lebih kecil sehingga mempercepat perputaran modal. Dengan insentif ini dapat meringankan beban Pajak Penghasilan Badan pada awal usaha menghasilkan Biodiesel.

Bagi pemerintah, pemberian insentif ini menimbulkan potensi berkurangnya penerimaan pajak dari tahun 2012 sampai 2017 yang seharusnya masuk ke kas negara. Namun sesuai dengan tujuan pemberian insentif, dengan pemberian insentif diharapkan industri Bahan Bakar Nabati yang biasanya rugi pada awal usaha dapat berkembang sehingga di masa depan dapat meningkatkan Bagi pemerintah, pemberian insentif ini menimbulkan potensi berkurangnya penerimaan pajak dari tahun 2012 sampai 2017 yang seharusnya masuk ke kas negara. Namun sesuai dengan tujuan pemberian insentif, dengan pemberian insentif diharapkan industri Bahan Bakar Nabati yang biasanya rugi pada awal usaha dapat berkembang sehingga di masa depan dapat meningkatkan

b). Penyusutan dan Amortisasi yang Dipercepat

Menurut Heller dan Kauffman (1963, hal. 25-29), jenis insentif ini merupakan special allowance berupa kebijakan penyusutan dipercepat yang dibatasi pada waktu tertentu. Hal tersebut terjadi dikarenakan perbedaan waktu pengakuan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan pajak dalam pengakuan biaya dan juga dalam hal pengakuan penghasilan. Fasilitas penyusutan dan amortisasi yang dipercepat termasuk ke dalam perbedaan pengakuan biaya, yaitu pembebanan aktiva disusutkan lebih cepat dari ketentuan penyusutan aktiva ekonomis yang sebenarnya sehingga pada masa awal investasi, jumlah beban pengurang penghasilan kena pajak akan lebih besar dari yang seharusnya. Akan tetapi percepatan penyusutan dan amortisasi ini hanya mengalihkan beban pajak dari masa yang sekarang ke masa yang akan datang. Sehingga bagi pemerintah dalam hal ini tidak ada potensi penerimaan pajak yang hilang. Yang ada hanyalah pengalihan dari penerimaan pajak di awal masa investasi menjadi ke masa yang akan datang.

Dalam PP No.1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011, percepatan pembebanan penyusutan dan amortisasi atas aktiva tetap dilakukan sebesar 2 kali lipat dari pembebanan penyusutan yang sebenarnya sebagaimana diatur Pasal 11 UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.

Tabel 5.7

Perbandingan Penyusutan Aktiva Tetap UU No. 36 Tahun 2008 dan PP

No. 52 Tahun 2011

Penyusutan Berdasarkan Kelompok Aktiva

Penyusutan Berdasarkan

PP No. 52/2011 Tetap Berwujud

UU No. 36 Tahun 2008

Garis Saldo

Lurus Menurun

1. Bukan Bangunan: Kelompok I

50% 100% Kelompok II

25% 50% Kelompok III

12,5% 25% Kelompok IV

10% - Tidak Permanen

Sumber : UU No. 36 Tahun 2008 dan PP No. 52 Tahun 2011 Sebagai ilustrasi, PT. Biodiesel A menanamkan modalnya di Indonesia sebesar Rp

1.000.000.000,00 pada bidang Biodiesel dalam bentuk aktiva tetap berwujud kelompok 1. Berdasarkan PP No. 1 tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011, Biodiesel merupakan bidang usaha yang mendapat fasilitas pajak sehingga investor tersebut memperoleh fasilitas penyusutan dan amortisasi yang dipercepat dengan persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Direktorat Jenderal Pajak. Rinciannya adalah sebagai berikut.

Tabel. 5.8

Ilustrasi Penyusutan Dipercepat dengan Metode Garis Lurus

CIT Komersial

Tahun Penyusutan

Beda Temporer

Tax Saving Rate

Tahun ke-1 Rp 250.000.000,- Rp 500.000.000,-

25% (Rp 62.500.000,-) Tahun ke-2

(Rp 250.000.000,-)

Rp 250.000.000,- Rp 500.000.000,- (Rp 250.000.000,-) 25% (Rp 62.500.000,-) Tahun ke-3

25% Rp 62.500.000,- Tahun ke-4

Keterangan : tanda negatif merupakan penghematan beban pajak Sumber : Hasil Olahan Peneliti

Berdasarkan ilustrasi di atas, nilai investasi berupa aktiva tetap berwujud kelompok 1 yang seharusnya disusutkan selama 4 tahun dengan beban penyusutan sebesar Rp 250.000.000,00, per tahun tetapi karena mendapat fasilitas perpajakan maka penyusutan dipercepat menjadi 2 tahun dengan beban penyusutannya adalah Rp 500.000.000,00 per tahun. Pada tahun pertama hingga tahun kedua, PT. Biodiesel A memiliki beban penyusutan yang lebih besar. Hal tersebut akan memperkecil nilai penghasilan kena pajak yang juga berimplikasi pada berkurangnya beban pajak yang harus dibayar. Tabel 5.8 menunjukkan bahwa beban pajak yang dapat dihemat pada dua tahun pertama dikarenakan fasilitas percepatan penyusutan adalah sebesar Rp 62.500.000,00 per tahun. Namun beban pajak yang dihemat pada dua tahun pertama tersebut kemudian dibebankan pada dua tahun berikutnya. Meskipun demikian, fasilitas accelerated depreciation ini tetap bermanfaat bagi investor dalam memperkecil cash outflow perusahaan pada awal investasi.

c). Pengurangan Tarif Pajak atas Dividen yang Dibayarkan ke Luar Negeri

Insentif Pajak Penghasilan ketiga yang diberikan menurut PP No. 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011 adalah pengurangan tarif pajak atas dividen yang dibayarkan ke luar negeri. Tarif pengenaan pajak penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) menjadi sebesar 10 (sepuluh) persen atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Berdasarkan klasifikasi jenis insentif pajak menurut Holland dan Vann (Thuronyi, 1996, Ch. 23 hal. 8), fasilitas pengurangan tarif pajak atas dividen yang dibayarkan ke luar negeri ini termasuk ke dalam tax rate reductions yaitu pengurangan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak dari suatu presentase atau tingkatan tarif tertentu ke tingkatan tarif yang berada di bawahnya. Jenis insentif ini bertujuan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena jumlah pajak yang harus dibayarkan ke Indonesia menjadi lebih rendah.

Sebagai ilustrasi, seorang investor A merupakan warga negara X yang memiliki tax treaty dengan tarif Pajak Penghasilan atas dividen sebesar 15%, dan Sebagai ilustrasi, seorang investor A merupakan warga negara X yang memiliki tax treaty dengan tarif Pajak Penghasilan atas dividen sebesar 15%, dan

36 Tahun 2008 Pasal 26 dengan tarif 20%. Namun dikarenakan ketentuan PP No.

1 Tahun 2007 mengatur adanya pengurangan tarif pajak atas dividen yang dibayarkan ke luar negeri bagi industri penghasil Bahan Bakar Nabati, maka PT Biodiesel C dapat melakukan pemotongan pajak atas dividen hanya sebesar 10% setelah mengajukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan diteliti oleh Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu. Berikut adalah perhitungannya.

Tabel 5.9

Ilustrasi Pengurangan Tarif Pajak atas Dividen (dalam ribu rupiah)

Penerima DPP atas

PPh atas Tax Saving Dividen

Tarif

PPh atas

Tarif sesuai

Insentif PPh

Dividen

Investor A 600.000

60.000 30.000 Investor B

Sumber: Hasil Olahan Peneliti

Bagi investor A yang memiliki tax treaty dengan Indonesia, diberikannya insentif berupa pengurang tarif pajak atas dividen menambah cash inflow dirinya karena penghematan pajak sebesar Rp 30.000.000,-. Sedangkan bagi investor B yang tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia, insentif berupa pengurang tarif pajak atas dividen dapat memberikan penghematan pajak sebesar Rp 60.000.000,- . Namun pajak yang dibayarkan investor asing di Indonesia nantinya akan menjadi kredit pajak di negara X dan Y sehingga jika dikenakan pajak lebih rendah di Indonesia maka beban pajak yang dibayar di negaranya akan menjadi lebih besar.

d). Kompensasi Kerugian Lebih Lama Dari 5 Tahun Tetapi Tidak Lebih Dari

10 Tahun Kompensasi kerugian ( loss carry forward ) merupakan fasilitas pajak yang

diberikan bagi investor untuk mengkompensasikan kerugian yang dialami perusahaan pada masa awal investasi ke tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, kerugian yang diderita wajib pajak dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Dalam PP No. 1 Tahun 2007 sebagaimana terakhir diubah dengan PP No.

52 Tahun 2011, kompensasi kerugian yang diberikan dapat diperpanjang hingga

10 tahun sepanjang Wajib Pajak memenuhi ketentuan penambahan kompensasi kerugian selama satu tahun sebagaimana peraturan tersebut, yaitu:

a). apabila penanaman modal baru dilakukan pada bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan kawasan berikat; b). apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut; c). apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah);

d). apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau

e). apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun 4 (empat).

Sebagai ilustrasi, PT Bioetanol X menanamkan modalnya pada kegiatan pemanfaatan sumber energi terbarukan di bidang Bioetanol sebesar Rp 2.000.000.000,00, mempekerjakan 780 orang warga negara Indonesia, dan mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi sebesar 10% (lima persen) dari investasi, yaitu Rp 200.000.000,00, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Pada tahun pertama, PT Bioetanol X menderita kerugian sebesar Rp 300.000.000,00; Sebagai ilustrasi, PT Bioetanol X menanamkan modalnya pada kegiatan pemanfaatan sumber energi terbarukan di bidang Bioetanol sebesar Rp 2.000.000.000,00, mempekerjakan 780 orang warga negara Indonesia, dan mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi sebesar 10% (lima persen) dari investasi, yaitu Rp 200.000.000,00, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Pada tahun pertama, PT Bioetanol X menderita kerugian sebesar Rp 300.000.000,00;

36 Tahun 2008. Berikut adalah ilustrasi kompensasi kerugian bagi PT Bioetanol

X.

Tabel 5.10 Ilustrasi Kompensasi Kerugian (dalam jutaan rupiah)

Tahun Tahun Komersial

Tahun Tahun

Keenam Ketujuh

50 70 80 Kena Pajak

Laba/Rugi (300)

LCF 5 Tahun (300)

25% 25% Tax Burden

CIT Rate 25%

LCF 7 Tahun (300)

25% 25% Tax Burden

CIT Rate 25%

Tax Saving 0 0 0 0 0 17,5 20

Ket: LCF = Loss Carry Forwa rd; CIT = Corporate Income Tax Sumber : Hasil Olahan Peneliti Tabel 5.10 di atas menunjukkan bahwa apabila PT Bioetanol X menggunakan

mekanisme kompensasi kerugian yang normal menurut ketentuan dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, maka kerugian yang diderita PT Bioetanol X hanya bisa dikompensasikan selama 5 tahun berturut-turut sehingga pada tahun keenam dan

tahun ketujuh, perusahaan harus menanggung beban pajak karena pada tahun tersebut telah memiliki laba kena pajak yang tidak dikurangi dengan kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya. Namun apabila PT Bioetanol X memanfaatkan fasilitas penambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama dua tahun, perusahaan masih dapat mengkompensasikan kerugiannya pada tahun keenam dan tahun ketujuh. Oleh karena belum menanggung beban pajak penghasilan badan, PT Bioetanol X memperoleh tax saving senilai Rp 17.500.000,00 pada tahun keenam dan Rp 20.00.000,00 pada tahun ketujuh. Meskipun bagi pemerintah nilai tersebut merupakan tax expenditure karena penerimaan pajak yang seharusnya diterima pemerintah pada tahun keenam dan ketujuh hilang, fasilitas ini bermanfaat bagi perusahaan dalam menjaga kondisi keuangannya pada tahap awal investasi yang umumnya mengalami kerugian agar dimungkinkan tetap berproduksi.

5.2.2 Evaluasi Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas Industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Untuk mengetahui pencapaian tujuan pemerintah yaitu mendorong investasi dengan adanya insentif Pajak Penghasilan atau investment allowance ; meningkatkan produksi; dan pada akhirnya dapat memenuhi penyediaan untuk demand dalam negeri yang telah ditargetkan menjadi mandatory pemanfaatan Bahan Bakar Nabati di Indonesia, dibutuhkan gambaran tentang pemerataan, keefektifan dan ketepatan insentif investment allowance atas industri Bahan Bakar Nabati dengan melihat kepada rumusan tujuan pemerintah memberikan insentif dengan fakta yang terdapat di lapangan. Dalam hal ini peneliti menggunakan indikator yang diolah dari indikator evaluasi Dunn.

5.2.2.1 Pemerataan

Untuk insentif investment allowance sendiri tidak bisa didapatkan oleh industri Bahan Bakar Nabati secara otomatis. Dalam PP No.1 tahun 2007 ditentukan bahwa untuk mendapatkan insentif tersebut industri telah harus berproduksi secara komersil, yaitu Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan telah dijual baik di dalam negeri maupun diekspor. Namun pada perubahan terakhir yaitu PP No.52 tahun 2011, insentif bisa didapatkan jika investasi pada bidang Untuk insentif investment allowance sendiri tidak bisa didapatkan oleh industri Bahan Bakar Nabati secara otomatis. Dalam PP No.1 tahun 2007 ditentukan bahwa untuk mendapatkan insentif tersebut industri telah harus berproduksi secara komersil, yaitu Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan telah dijual baik di dalam negeri maupun diekspor. Namun pada perubahan terakhir yaitu PP No.52 tahun 2011, insentif bisa didapatkan jika investasi pada bidang

“ Untuk fasilitas yang pengurangan penghasilan neto 5% selama 6 tahun itu kan tidak otomatis ya mendapatkannya. Di PP nomor 1 tahun 2007

dan di PP nomor 62, dia sudah harus berproduksi secara komersil. Artinya ketika dia sudah berproduksi dan barang tersebut sudah bisa dijual, dia sudah masuk kategori berproduksi secara komersil. Itu penentuannya ada di direktorat Penagihan dan Pemeriksaan yang berhak menentukan, dia sudah bisa memanfaatkan atau tidak. Itu SMB istilahnya...Saat Mulai Berproduksi, itu titiknya. Nanti ketika dia sudah mempunyai SK saat mulai berproduksi yang telah diterbitkan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, saat itulah dia bisa menikmati fasilitas investment allowance tadi. Kemudian untuk PP 52, jadi itu ada 2 rezim yang berbeda. kalau untuk PP 1 dan PP 62 hitungannya adalah saat mulai berproduksi secara komersil. Kalau di PP 52 itu saat ketika realisasi investasi dia sudah mencapai 80% atau lebih. Ketika dia sudah 80%, kita tidak melihat dia sudah berproduksi atau tidak . ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Hal ini menjadikan investor bidang usaha Bahan Bakar Nabati bisa memperoleh insentif investment allowance sebelum tahun 2011 dengan syarat telah berproduksi secara komersial meski realisasi investasinya kurang dari 80%. Sementara setelah ketentuan menurut PP No. 52 tahun 2011 diterbitkan, industri Bahan Bakar Nabati yang ingin memperoleh insentif tersebut tidak akan memenuhi syarat jika realisasi investasinya kurang dari 80% walau telah berproduksi secara komersial. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ ...relatif sebenarnya. Kalau peraturan lama, ketika dia sudah bisa SMB, dia sudah bisa mendapatkan fasilitas walaupun realisasinya kurang dari

80%. Kalau yang baru dia tidak melihat apakah sudah SMB a tau belum, yang jelas realisasi investasinya harus 80% atau lebih. ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Oleh karena itu, pada dasarnya jika telah memenuhi syarat baik telah berproduksi secara komersial (menurut PP No. 1 Tahun 2007) atau telah merealisasikan penanaman modal paling sedikit 80% dari total rencana penanaman modal (menurut PP No. 52 Tahun 2011), semua investor bidang Bahan Bakar Nabati yang mengajukan permohonan fasilitas pajak investment allowance dapat memanfaatkan jenis insentif tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut,

“ ...permohonan dari investor bidang usaha Bahan Bakar Nabati yang biasanya jarang yang kita tolak, karena BKPM telah memfilter sesuai persyaratan. ” (Hasil

Wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013) Namun terjadi kesenjangan antara investor yang telah menanamkan modal pada bidang Bahan Bakar Nabati sebelum tahun 2007, dengan yang menanamkan modal pada tahun 2007. Beberapa investor Bahan Bakar Nabati yang pernah menanamkan modal di Indonesia sebelum tahun 2007 tertarik karena adanya peluang pasar yang besar.

Pada tahun awal gencarnya perkembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia karena Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006, di Indonesia jumlah industri Bahan Bakar Nabati yang ada belum signifikan. Yang ada hanyalah beberapa industri yang berkapasitas kecil dan terdapat di wilayah tertentu di Indonesia, seperi Riau dan Jawa Timur yang memiliki banyak perkebunan sawit. Namun secara kuantitas, industri Bahan Bakar Nabati pada saat itu belum berkembang seperti saat ini.

Pelaku usaha yang sebelumnya memiliki perusahaan olahan kelapa sawit ataupun olahan tebu, memperluas usahanya untuk menghasilkan Biodiesel maupun Bioetanol dengan melakukan penanaman modal baru khusus untuk produksi Bahan Bakar Nabati. Dalam tahun ini peraturan mengenai insentif Pajak Penghasilan masih dalam tahap perumusan dan belum dilaksanakan sehingga para investor tidak dapat difasilitasi oleh pemerintah dengan insentif Pajak Penghasilan.

Pada tahun 2007, sejak diberlakukan peraturan mengenai insentif Pajak Penghasilan yang dapat dimanfaatkan oleh industri Bahan Bakar Nabati, terdapat

17 investor yang menanamkan modal pada bidang Bahan Bakar Nabati dan 12 diantaranya memanfaatkan insentif berdasarkan PP No. 1 Tahun 2007. Pada 17 investor yang menanamkan modal pada bidang Bahan Bakar Nabati dan 12 diantaranya memanfaatkan insentif berdasarkan PP No. 1 Tahun 2007. Pada

“ Begini, itu ada kelemahannya, hanya diberikan bagi perusahaan- perusahaan yang berdiri setelah peraturan itu kan. Padahal perusahaan BBN itu kan ada yang berdiri tahun 2006. Jadi perusahaan yang jadi

pelopor justru tidak dapat. Hanya investor baru...Tapi ya saya mengerti kalau peraturan di Indonesia itu kan tidak berlaku surut. Kan itu lumayan ya fasilitasnya. ” (Hasil wawancara Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Sehingga untuk indikator pemerataan, insentif Pajak Penghasilan ini secara umum tidak dapat diberikan kepada industri Bahan Bakar Nabati yang ingin memanfaatkan. Insentif tersebut hanya dapat diberikan secara merata kepada investor Bahan Bakar Nabati yang menanamkan modalnya dan mulai produksi secara komersial pada tahun 2007 hingga 2010. Mulai tahun 2011, hanya untuk perusahaan yang telah yang telah merealisasikan penanaman modal paling sedikit 80% dari rencana penanaman modal yang berhak memanfaatkan insentif investment allowance tersebut.

5.2.2.2 Efektifitas

Mahmudi (2010) berpendapat bahwa efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif sebuah kebijakan atau program. Suatu kebijakan atau program dinilai efektif apabila output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan yang diharapkan. Jika dihubungkan dengan insentif Pajak Penghasilan, maka dapat dikatakan efektif jika output yang dihasilkan bisa memenuhi tujuan insentif, yaitu penambahan realisasi investasi di bidang usaha Bahan Bakar Nabati.

Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas pemberian insentif Pajak Penghasilan kepada industri Bahan Bakar Nabati, pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Sasaran ( goals approach ) dari Martani dan Lubis (1987, hal.55), yaitu efektivitas berpusat perhatian pada output, dengan mengukur keberhasilan insentif Pajak Penghasilan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas pemberian insentif Pajak Penghasilan kepada industri Bahan Bakar Nabati, pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Sasaran ( goals approach ) dari Martani dan Lubis (1987, hal.55), yaitu efektivitas berpusat perhatian pada output, dengan mengukur keberhasilan insentif Pajak Penghasilan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan

Pada tahun 2007, pada saat awal Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan, terdapat 17 investor yang menanamkan modal di bidang Bahan Bakar Nabati baik berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalan Negeri (PMDN). Hal ini merupakan pertumbuhan jumlah perusahaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Iya, dan jumlahnya signifikan. Jadi PP 52 ini sebelumnya kan PP 62 tahun 2008. Sebelumnya lagi ada PP nomor 1 tahun 2007. Di tahun 2007, investasinya semakin meningkat, hanya pada Biodiesel. Bioetanol ya,

nggak terlalu menggembirakan lah. ” (Hasil wawancara dengan Lila Harsyah, 29 April 2013)

Khusus pemberian insentif kepada industri Bahan Bakar Nabati cukup berjalan baik dengan melihat kepada jumlah industri yang memperoleh persetujuan insentif investment allowance tersebut. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan berikut.

“ Implementasinya sejauh ini sudah cukup berjalan baik kalau dari kita, yang diberikan juga sudah cukup banyak. Penerapan di lapangan ya, sudah

ada beberapa Wajib Pajak yang memanfaatkan...Sejauh ini untuk industri kimia dasar dari olahan hasil pertanian seperti biofuel (Bahan Bakar Nabati), itu kita paling banyak memberikan fasilitas. Sekitar 21-22 Wajib Pajak yang kita berikan, cuma kan itu macam-macam seperti minyak goreng, bukan hanya biofuel. Secara umum kita paling banyak memberikan kepada industri tersebut dibanding industri yang lain. ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Dari 22 Wajib Pajak industri kimia dasar dari olahan hasil pertanian yang telah mendapatkan insentif investment allowance pada tahun 2007, 16 diantaranya Dari 22 Wajib Pajak industri kimia dasar dari olahan hasil pertanian yang telah mendapatkan insentif investment allowance pada tahun 2007, 16 diantaranya

Tabel 5.11 Realisasi Investasi Bahan Bakar Nabati di Indonesia Tahun 2007

NO PERUSAHAAN

STATUS

LOKASI

INVESTASI (dalam JUTA)

1 PT. PAAI

Rp. 626.000,00 2 PT. MS

PMA

Riau

Rp. 515.000,00 3 PT. DB

PMA

Riau

Rp.423.000,00 4 PT. SDS

PMA

Jawa Barat

Rp.422.000,00 5 PT. EBCE

PMA

Riau

Rp. 399.000,00 6 PT. ENG

PMA

Banten

Rp. 357.000,00 7 PT. CP

PMA

Jawa Timur

Rp. 293.000,00 8 PT. MPM

PMA

Riau

Rp. 146.000,00 9 PT. AIGN

PMA

Bengkulu

Rp. 123.000,00 10 PT. BFJ

PMA

Jawa Timur

Rp. 115.000,00 11 PT. ASP

PMA

Riau

Rp. 709.000,00 12 PT. BSA

PMDN

Jambi

Rp. 709.000,00 13 PT. BEM

PMDN

Sumsel

Rp. 611.000,00 14 PT. BEA

PMDN

Riau

Rp. 575.000,00 15 PT. BA

PMDN

Sumut

Rp. 575.000,00 16 PT. NEM

PMDN

Sumut

Rp. 570.000,00 17 PT. ILBM

PMDN

Sumut

Rp. 500.000,00 Sumber: Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007

PMDN

Lampung

Dari 17 perusahaan yang menanamkan modal pada bidang usaha Bahan Bakar Nabati pada tahun 2007, terdapat 12 perusahaan yang memanfaatkan insentif yang disediakan pemerintah. Berikut adalah data perusahaan Bahan Bakar Nabati yang telah mendapatkan insentif investment allowance , nilai investasi dan tahun persetujuan dari BKPM dan Dirjen Pajak.

Tabel 5.12 Daftar Perusahaan Bahan Bakar Nabati yang Memanfaatkan Insentif Investment allowance Tahun 2007

No. Nama

Tahun Perusahaan

Nilai Investasi (dalam juta)

Biodiesel 2007 2. PT. ENG

Rp. 120.900,00

Biodiesel 2007 3. PT. BSE

Rp. 357.000,00

Biodiesel 2007 4. PT. AKP

Rp. 709.935,00

Biodiesel 2007 5. PT. HAI

Rp. 709.935,00

Bioetanol 2007 6. PT. WHG

Rp. 268.450,00

Bioetanol 2007 7. PT. IHK

Rp. 268.450,00

Biodiesel 2007 8. PT. IMK

Rp. 321.600,00

Biodiesel 2007 9. PT. SM

Rp. 321.600,00

Bioetanol 2007 10. PT. WCN

Rp. 247.000,00

Biodiesel 2007 11. PT. SMM

Rp. 225.000,00

Biodiesel 2007 12. PT. MS

Rp. 3.650,00

Biodiesel 2007 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012

Rp. 515.000,00

Sebelumnya dapat dijelaskan bahwa dari 22 industri kimia organik hasil pertanian yang menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak merupakan kelompok industri paling banyak menerima persetujuan insentif investment allowance , lebih dari setengahnya merupakan industri Bahan Bakar Nabati yaitu 8 perusahaan penghasil Biodiesel dan 4 perusahaan penghasil Bioetanol pada tahun 2007. Dengan menggunakan ukuran efektivitas oleh Steers yaitu pencapaian tujuan, jika dibandingkan dengan jumlah investor bidang usaha Bahan Bakar Nabati yang melakukan penanaman modal di Indonesia selama tahun 2007 pada tabel 5.10 yaitu sejumlah 17 perusahaan, jumlah ini menunjukkan insentif investment allowance tahun 2007 efektif karena dapat menarik 12 dari 17 investor untuk memanfaatkannya.

Jumlah investor baru yang menanamkan modal pada bidang Bahan Bakar Nabati tahun 2008 sampai 2013 bertambah dibandingkan jumlah investor tahun 2007, sehingga saat ini terdapat lebih dari 20 perusahaan Biodiesel dan 7 perusahaan Bioetanol di Indonesia. Berikut adalah data perusahaan baru bidang

Biodiesel yang merealisasikan penanaman modal di Indonesia pada rentang waktu 2008 sampai Juni 2013.

Tabel 5.13 Perusahaan Baru Biodiesel di Indonesia Tahun 2008-2013

No

Nama Perusahaan

Kapasitas per Tahun

1 PT Musim Mas 850.000 MT 2 PT Petro Andalan Nusantara

150.000 kl 3 PT Cemerlang Energi Perkasa

400.000 MT 4 PT Oil Tanking

504.000 MT 5 PT Bioenergy Pratama Jaya

66.000 MT 6 PT Sumi Asih Oleochemical

100.000 MT 7 PT Wahana Abdi Tirta

13.200 kl 8 PT Ala Mada Perkasa

11.000 kl 9 PT Sintong Abadi

35.000 kl 10 PT Pasadena Biofuel Mandiri

10.240 kl 11 PT Tjengkareng Djaya

72.000 MT 12 PT Multikimia Inti Pelangi

14.000 kl 13 PT Energi Alternatif

7.000 MT 14 PT Primanusa Palma Energi

24.000 kl 15 PT Damai Sejahtera Sentosa

120.000 MT

Sumber: Ditjen EBTKE, 2013 Namun dari tahun ke tahun terlihat penurunan jumlah penerima persetujuan

insentif investment allowance tersebut. Penurunan cukup signifikan yaitu dari 12 perusahaan Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan insentif pada tahun 2007 menjadi 4 perusahaan saja pada tahun 2008. Berikut adalah data perusahaan Bahan Bakar Nabati yang memanfaatkan insentif Pajak Penghasilan pada tahun 2008.

Tabel 5.14 Daftar Perusahaan Bahan Bakar Nabati yang Memanfaatkan Insentif Investment allowance Tahun 2008

No Nama

Produk Tahun Perusahaan

Nilai Investasi (dalam juta)

Persetujuan

Biodiesel 2008 2. PT. BKR

1. PT. WBI

Rp 90.000,00

Biodiesel 2008 3. PT. PN

Biodiesel 2008 Sumber: BKPM, 2013

PT. SAP

Rp 105.700,00

Pada tabel di atas dapat dijelaskan terdapat 4 perusahaan yang memanfaatkan insentif investment allowance pada tahun 2008. Namun menurut data APROBI, ada lebih dari 4 perusahaan baru bidang Bahan Bakar Nabati yang berproduksi pada tahun tersebut. Sehingga apabila dibandingkan, pemanfaatan pada tahun 2008 cukup menarik minat investor namun tidak signifikan karena jumlahnya berkurang drastis dari pemanfaatan tahun 2007.

Dari beberapa perusahaan yang merealisasikan penanaman modal pada tahun 2008 sampai dengan Juni 2013 di atas, tidak terdapat perusahaan yang memanfaatkan insentif investment allowance dari rentang waktu 2009 sampai 2013. Hal ini disebabkan berkurangnya investor yang mengajukan izin untuk memperoleh insentif tersebut, seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut.

“ Namun seiring berjalannya waktu itu sedikit yang mengajukan...jumlah permohonan yang dikirimkan dan yang diteruskan ke DJP PP II itu semakin berkurang, jadi otomatis yang mendapatkan fasilitas semakin

sedikit... ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013) Sebab insentif Pajak Penghasilan tidak efektif terhadap industri Bahan Bakar

Nabati pada rentang 2009-2013 dilihat dari minimnya pemanfaatan menurut Badan Kebijakan Fiskal disebabkan oleh dua hal. Pertama, pengusaha tidak butuh fasilitas tersebut karena masalah birokratis. Masalah birokratis berasal dari pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk penentuan industri yang memenuhi syarat untuk memperoleh investment allowance. Pemeriksaan pada umumnya hanya berupa penyesuaian barang modal dengan dokumen rencana penanaman modal dan realisasi produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Untuk fasilitas yang pengurangan penghasilan neto 5% selama 6 tahun itu kan tidak otomatis ya mendapatkannya. Di PP nomor 1 tahun 2007 dan di PP nomor 62, dia sudah harus berproduksi secara komersil. Artinya

ketika dia sudah berproduksi dan barang tersebut sudah bisa dijual, dia sudah masuk kategori berproduksi secara komersil. Itu penentuannya ada di direktorat Penagihan dan Pemeriksaan yang berhak menentukan, dia sudah bisa memanfaatkan atau tidak. ” (Hasil wawancara dengan Rienal Yaffid, 7 Juni 2013)

Menurut evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), bagi Wajib Pajak dalam hal ini perusahaan Bahan Bakar Nabati, pemeriksaan tersebut disalahtafsirkan sebagai audit secara keseluruhan yang akan membuka rahasia perusahaan. Hal ini cenderung dihindari oleh perusahaan sehingga mereka memilih tidak memanfaatkan insentif tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Penerimaan Kemenko Perekonomian berikut.

“ Ketika mereka akan mendapatkan fasilitas, mereka kan ada sedikit intervensi, semacam pemeriksaan dari Dirjen Pajak. Artinya mereka sedikit sensitif. Mereka menganggap itu semacam audit, akan

mengganggu privasi pengelolaan perusahaan mereka. Itu yang menjadi persoalan juga...Mereka pikir bakal di cek sampai ke dalam-dalamnya, padahal tidak. Teman-teman di Dirjen Pajak kan hanya melihat, menyesuaikan usulan mereka, catatan-catatan dan rencana investasi mereka, bener nggak yang ada...Wajib Pajak mensalahtafsirkannya sehingga mereka enggan untuk mengajukannya. Daripada rahasia perusahaannya terbuka, mending nggak usah terima fasilitas. Begitu biasanya .” (Hasil wawancara dengan Amar Yasir, 25 Juni 2013)

Penyebab kedua yang menyebabkan insentif Pajak Penghasilan tidak efektif dari tahun ketiga pelaksanaannya menurut ukuran efektivitas kedua, yaitu Integrasi (Steers, 1985) yang berhubungan dengan kegiatan sosialisasi. Insentif Pajak Penghasilan tidak efektif karena kurangnya sosialisasi atau promosi pada calon investor yang akan menanamkan modal usaha Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Hal ini disebabkan sosialisasi yang belum dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia, karena keterbatasan waktu, khususnya daerah tertentu yang ditetapkan dalam lampiran PP No. 1 Tahun 2007 maupun PP No. 52 Tahun 2011. Keterbatasan waktu tersebut berasal dari proses antara penetapan dengan dimulainya pelaksanaan peraturan yang singkat, sehingga sosialisasi tak dapat dilakukan secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian berikut.

“ Sudah dilakukan, cuma kurang. Kalau kita refer ke negara lain itu kan, sebelum peraturan berjalan, 2 tahun sudah ada sosialisa si kan? tapi kita “ Sudah dilakukan, cuma kurang. Kalau kita refer ke negara lain itu kan, sebelum peraturan berjalan, 2 tahun sudah ada sosialisa si kan? tapi kita

Menurut Easson dan Zolt (2001, hal.6), efektifitas dari insentif pajak tertentu biasanya tergantung pada tipe investasi yang diharapkan dapat ditarik oleh pemerintah. Untuk investasi pada bidang usaha Bahan Bakar Nabati sendiri, tipenya merupakan investasi yang terjadi karena adanya peluang pasar atau demand yang tinggi sehingga menarik investor untuk menanamkan modalnya pada bidang usaha ini. Sehingga insentif investment allowance yang disediakan pemerintah sebenarnya tidak terlalu menarik perhatian investor dan bukan merupakan faktor utama adanya penanaman modal pada industri Bahan Bakar Nabati. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut

“ Insentif pajak itu perannya tidak signifikan terhadap industri BBN. Jadi pertumbuhan industri BBN itu faktor utamanya karena calon investor itu melihat peluang demand, ada demand begitu. Jika perusahaan

berkecimpung di Biodiesel itu memang iya demand nya akan semakin meningkat. Pengaruhnya pajak itu ada, tapi belum signifikan. Faktor utamanya karena ada demand dari mandatory ini ...” (Hasil wawancara dengan Maslan Lamria, 7 Juni 2013)

Sehingga secara umum bagi industri Bahan Bakar Nabati khususnya dalam hal peningkatan investasi, insentif Pajak Penghasilan tidak menjadi alasan utama meningkatnya penanaman modal. Pada kenyataannya, realisasi investasi pada bidang ini meningkat setiap tahunnya, namun berbanding terbalik dengan investor yang memanfaatkan insentif pajak. Hal ini karena investor tidak melihat pada insentif yang disediakan pemerintah ketika akan melakukan penanaman modal di bidang Bahan Bakar Nabati di Indonesia, melainkan menimbang faktor-faktor lain di luar insentif pajak.

5.2.2.3 Ketepatan

Menurut Easson dan Zolt (2001, hal. 11-12) ukuran sebuah insentif pajak yang sukses dan tepat adalah jika dapat menghasilkan investasi tambahan dalam bidang Bahan Bakar Nabati di suatu negara yang tidak akan terjadi tanpa adanya insentif pajak. Terkadang tambahan investasi tersebut, baik berupa penanaman modal kembali atau perluasan dari usaha yang telah ada, akan memperbaiki keadaan pasar Bahan Bakar Nabati yang saat ini masih berada di bawah Bahan Bakar fosil sehingga dapat menggantikan dominasi Bahan Bakar fosil. Namun yang terjadi di Indonesia saat ini adalah, dominasi tersebut masih belum bisa digantikan. Yang bisa dilakukan masih sebatas pencampuran Bahan Bakar Nabati dengan Bahan Bakar Minyak yang disubsidi.

Dari penjelasan mengenai efektifitas insentif investment allowance sebelumnya, dapat diketahui bahwa insentif tersebut kurang efektif dalam

tujuannya meningkatkan investasi baru bidang Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Hal ini disebabkan investor asing maupun dalam negeri tersebut memiliki pertimbangan lain dalam menanam modal di bidang Bahan Bakar Nabati. Kriteria pertimbangan investasi menurut The Prosperity Papers #2 oleh Center for International Private Enterprise (2006, hal. 10) adalah: a) karakteristik pasar lokal, b) akses pasar, c) tenaga kerja, d) risiko keuangan, e) pengembalian modal,

f) perlindungan Hak milik dan Hak Kekayaan Intelektual, f) kebijakan perdagangan, g) peraturan pemerintah, h) tarif dan insentif pajak, i) stabilitas politik, dan j) kerangka kebijakan makroekonomi.

Dalam kriteria tersebut, insentif pajak bukan merupakan pertimbangan investasi yang utama. Begitu pula yang terjadi pada investasi di bidang Bahan Bakar Nabati. Yang menjadi faktor utama pertimbangan investasi adalah adanya pasar atau demand untuk kebutuhan negara akan Bahan Bakar Nabati untuk diversifikasi energi dan mengurangi impor BBM. Namun pada dasarnya insentif pajak yang disediakan pemerintah yang memiliki tujuan baik, tidak dapat berjalan efektif tanpa faktor pendukung lain yang lebih menarik investasi. Hal ini sesuai pernyataan berikut.

“ Fasilitas itu sangat bagus, tapi sebagus apapun fasilitasnya kalau tidak ada market, itu tidak bisa jalan. Jadi pada akhirnya fasilitas itu harus “ Fasilitas itu sangat bagus, tapi sebagus apapun fasilitasnya kalau tidak ada market, itu tidak bisa jalan. Jadi pada akhirnya fasilitas itu harus

Jika melihat pada tujuan lain pemberian insentif Pajak Penghasilan, yaitu mendorong perkembangan produksi Bahan Bakar Nabati sehingga dapat mempengaruhi konsumsi BBM, insentif yang telah berjalan pada praktiknya tidak memiliki peran signifikan. Hal tersebut disebabkan masih terdapatnya subsidi BBM dan kondisi politik lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi Bahan Bakar Nabati yang masih rendah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan menurut narasumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berikut.

“ ...isu pajak ini masih agak jauh. Jadi masalah utama saat ini adalah subsidi terhadap BBM yang hampir setengah harga tersebut. Jadi untuk kondisi saat ini, kalau mau insentif pajak itu ada perannya, itu setelah

subsidi ini perlahan ditiadakan. ” (Hasil wawancara Maslan Lamria, 7 Juni 2013)

Sebagai perbandingan, di negara lain yang menetapkan tarif pajak yang tinggi dan pajak tambahan seperti Pajak Lingkungan terhadap BBM, menjadikan insentif pajak yang disediakan pemerintah untuk mendorong perkembangan Bahan Bakar Nabati menjadi efektif. Hal ini karena penerimaan yang didapat dari pajak BBM yang tinggi dapat digunakan untuk menyediakan insentif pajak bagi Bahan Bakar Nabati, sehingga harga Bahan Bakar Nabati dijaga untuk selalu di bawah BBM dan mempengaruhi perilaku konsumen. Hal ini sesuai pernyataan berikut.

“ Seperti di negara lain, ada pengenaan pajak terhadap bensin dan solar, ada juga yang mengenakan pajak lingkungan. Nah itu dilakukan di

negara-negara yang tidak mensubsidi BBMnya. Jadi harga BBNnya dijaga di bawah BBM...Nah, masalah subsidi itu dulu yang dilihat. Jadi insentif pajak itu akan efektif jika masalah subsidi BBM dituntaskan dulu.

Kalau negara lain menikmati revenue yang mereka dapat dari BBM yang dijual di negaranya. Kalau negara lain itu makin banyak BBM yang dipakai, karena orang perlu, udah dibuat sistem (BBM yang dikenakan pajak), makin banyak pemasukannya. Nanti pemasukan itu untuk membangun mendukung sektor energi yang berkelanjutan... ” (Hasil wawancara Maslan Lamria, 7 Juni 2013)

Jika melihat pada kenyataan yang ada di lapangan saat ini, harga Bahan Bakar Nabati telah berada di bawah harga BBM non subsidi untuk konsumsi industri. Berbeda dengan tahun awal perkembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia, harga saat itu masih di atas harga BBM karena biaya produksi yang masih tinggi. Industri dapat menggunakan Bahan Bakar Nabati secara massal, namun upaya ini masih butuh dorongan berupa kewajiban dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Pernah harga Biodiesel itu lebih tinggi Rp 1.000,00 dari solar industri...Nah, kalau dilihat dari harga sekarang, itu Biodiesel harganya

924 USD per ton. Kalau dijadiin liter itu Rp 7.800,00 per liter. Kalau solar industri saat ini harganya Rp 8.400,00 per liter. Lebih murah kan? Industri akan lebih untung jika pakai BBN untuk saat ini. Jadi udah tidak ada alasan lagi. Pemerintah tinggal, mau pakai atau nggak industrinya. ” (Hasil wawancara Paulus Tjakrawan, 21 Juni 2013)

Usaha yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong perkembangan industri Bahan Bakar Nabati saat ini adalah dengan menjadikan mandat pemanfaatan Bahan Bakar Nabati pada sektor transportasi dan industri sebagai kewajiban. Dengan adanya kewajiban pemanfaatan akan mempengaruhi produktifitas industri Bahan Bakar Nabati karena melihat adanya peluang pasar yang besar. Namun selain kewajiban, perlu diiringi pula dengan pengawasan serta sanksi, sehingga menjadikan peraturan yang ada dapat berjalan sebagaimana tujuan yang ingin dicapai pemerintah sehubungan perkembangan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Jadi karena cuma ada mandat, bukan kewajiban, sejak tahun 2008 sampai sekarang itu belum ada industri yang memanfaatkan BBN. Bar u “ Jadi karena cuma ada mandat, bukan kewajiban, sejak tahun 2008 sampai sekarang itu belum ada industri yang memanfaatkan BBN. Bar u

Kembali kepada insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk mendorong perkembangan industri dan Bahan Bakar Nabati di Indonesia, menurut Easson dan Zolt (2010, hal. 1-2), insentif pajak dalam kebijaksanaan konvensional khususnya untuk menarik investasi luar negeri biasanya kurang baik secara teori dan praktek ( bad in theory and bad in practice ). Insentif pajak kurang baik secara teori karena menyimpangkan atau menjadikan distorsi suatu keputusan investasi. Insentif pajak kurang baik secara praktek karena biasanya tidak efektif, tidak efisien, dan cenderung mudah disalahgunakan dan dikorupsi. Insentif pajak juga cenderung bersifat dikriminatif karena hanya ditujukan bagi beberapa kondisi investasi. Contohnya bagi insentif investment allowance dalam PP No. 1 Tahun 2007 seperti telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011 yang ditujukan bagi kondisi investasi dengan syarat tertentu; seperti jumlah penanaman modal, lokasi, lapangan usaha, dan investasi yang ditetapkan sebagaimana lampiran peraturan tersebut.

Namun demikian, hampir seluruh negara menggunakan insentif pajak. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia yang memiliki fokus tambahan. Insentif pajak digunakan untuk mendorong industri dalam negeri dan menarik investasi asing. Instrumen yang sering dipilih pemerintah adalah tax holidays , regional investment allowance, kawasan industri khusus, dan reinvestment incentives.

Bukti nyata tentang efektifitas menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi tidak bisa diyakini. Dalam beberapa kasus menunjukkan peran penting dari insentif pajak dalam menarik investasi baru yang berkontribusi nyata meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Namun kasus lain secara relatif menunjukkan bahwa beberapa insentif pajak tidak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan investasi yang ada di suatu negara, salah satunya insentif Pajak Penghasilan yang ditujukan untuk menarik investasi pada industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Dengan melihat pada penjelasan sebelumnya, Bukti nyata tentang efektifitas menggunakan insentif pajak untuk menarik investasi tidak bisa diyakini. Dalam beberapa kasus menunjukkan peran penting dari insentif pajak dalam menarik investasi baru yang berkontribusi nyata meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Namun kasus lain secara relatif menunjukkan bahwa beberapa insentif pajak tidak memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan investasi yang ada di suatu negara, salah satunya insentif Pajak Penghasilan yang ditujukan untuk menarik investasi pada industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Dengan melihat pada penjelasan sebelumnya,

5.3 Upaya Penyempurnaan Pemberian Insentif Pajak Penghasilan atas Industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Dari pembahasan pada subbab sebelumnya dapat dijelaskan bahwa insentif Pajak Penghasilan menurut PP No. 1 Tahun 2007 seperti telah diubah terakhir dengan PP No. 52 Tahun 2011 kurang diminati dan dimanfaatkan oleh investor, khususnya investor pada bidang Bahan Bakar Nabati dari tahun ke tiga sejak pertama hadirnya peraturan tersebut hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya insentif Pajak Penghasilan dan insentif pajak pada umumnya bukan menjadi faktor penarik investor untuk menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha. Yang menjadi salah satu faktor utama investor bidang Bahan Bakar Nabati menanamkan modal di Indonesia adalah adanya peluang pasar yang berasal dari mandat pemanfaatan Bahan Bakar Nabati di berbagai sektor di Indonesia dan adanya Pertamina yang membeli produk Bahan Bakar Nabati pada perusahaan tersebut.

Pemanfaatan insentif Pajak Penghasilan yang kurang dari bidang usaha Bahan Bakar Nabati diakui oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai salah satu pihak yang melakukan monitoring dan evaluasi pada pelaksanaan insentif Pajak Penghasilan ini, dikarenakan 2 faktor utama. Pertama, masih banyak investor yang tidak mengetahui mengenai insentif Pajak Penghasilan yang disediakan pemerintah. Kedua, investor yang mengetahui insentif tersebut sebagian menyalahartikan proses pemeriksaan dan verifikasi sederhana untuk memenuhi persyaratan pemberian insentif dengan audit perusahaan secara umum yang memakan waktu lama dan khawatir hal tersebut akan membongkar rahasia perusahaan mereka. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan insentif Pajak Penghasilan, pemerintah melakukan beberapa kegiatan pendukung yang sedang dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Salah satunya adalah sosialisasi dalam bentuk seminar yang ditujukan kepada investor bidang usaha tertentu dan di daerah tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Itu dalam bentuk seminar. Kalau misalnya di Sulawesi Tengah itu kan fokus Kakao, kita akan mengadakan sosialisasi di sana. BKPMD akan “ Itu dalam bentuk seminar. Kalau misalnya di Sulawesi Tengah itu kan fokus Kakao, kita akan mengadakan sosialisasi di sana. BKPMD akan

Sosialisasi tersebut selain melibatkan pihak investor, juga melibatkan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Direktorat Jenderal Pajak, Badan Kebijakan Fiskal, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai narasumber dengan masing-masing spesialisasi tugas dan wewenang. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Jadi dalam sosialisasi itu kita melibatkan beberapa narasumber. Pertama itu ada BKF yang menjelaskan secara umum, Menko Perekonomian

menjelaskan secara umum PP 52 nya itu apa, PMK 144 itu apa. Kemudian nanti Dirjen Pajak sama BKPM itu menjelaskan bagaimana prosedur pengajuan, termasuk di dalamnya mekanisme yang selama ini menjadi momok bagi Wajib Pajak. Sepertinya kita akan diperiksa ini. Padahal nggak sampai sejauh itu. Begitu pula dengan BKPM yang mengklarifikasi, dia memverifikasi usulan sebelum diajukan ke Dirjen Pajak, kan dia melihat. Tapi kalau BKP M biasanya tidak terlalu detail. Karena keputusan itu ada di Dirjen Pajak, mereka harus detail. Artinya untuk menjaga akuntabilitas pemberian yang mereka putuskan. ” (Hasil wawancara Amar Yasir, 25 Juni 2013)

Dalam sosialisasi tersebut juga akan diperjelas mengenai permasalahan yang terjadi dan solusi ke depan dalam pelaksanaan pemberian insentif Pajak Penghasilan. Menurut Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Kementerian Keuangan RI, permasalahan yang kerap timbul adalah ketidakjelasan bidang usaha dari Wajib Pajak dengan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI). Hal itu menyulitkan pihak Kementerian Keuangan melakukan uji kesesuaian bidang usaha atau wilayah tertentu ( Investor Penerima Tax , 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam sosialisasi akan dijelaskan mengenai berbagai macam detail terkait KBLI sehingga terjadi kesamaan pemahaman antara Dalam sosialisasi tersebut juga akan diperjelas mengenai permasalahan yang terjadi dan solusi ke depan dalam pelaksanaan pemberian insentif Pajak Penghasilan. Menurut Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Kementerian Keuangan RI, permasalahan yang kerap timbul adalah ketidakjelasan bidang usaha dari Wajib Pajak dengan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI). Hal itu menyulitkan pihak Kementerian Keuangan melakukan uji kesesuaian bidang usaha atau wilayah tertentu ( Investor Penerima Tax , 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dalam sosialisasi akan dijelaskan mengenai berbagai macam detail terkait KBLI sehingga terjadi kesamaan pemahaman antara

“... kita harus memperjelas cakupan produknya, kriterianya, dan kesamaan pandangan atas produk tersebut, antara stakeholder. Supaya ke depan,

jangan sampai peraturan yang ada itu nggak durable, begitu. Peraturan yang bagus kan peraturan yang dapat berjalan. Nah itu ya ng sedang kita lakukan. Kita sedang mencari apa penyebab kenapa sedikit peminatnya. Kan kalau sedikit itu banyak sebab. Satu, mungkin apa yang dikasih nggak cocok dengan apa yang diminta. Yang kedua, apa yang dikasih cocok dengan apa yang diminta, tapi nggak tahu. Yang ketiga, mungkin syaratnya terlalu berat. Dalam hal ini pengusul, pemberi, dan pelaksana harus satu pandangan. Kita mencoba untuk mengsingkronkan antara kebutuhan investor dengan fasilitas yang kita berikan .” (Hasil wawancara Andie Megantara, 19 Juni 2013)

Selain sosialisasi untuk meminimalisir dispute antara pengusul, pemberi dan penerima insentif Pajak Penghasilan, saat ini setelah adanya evaluasi, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menghapus pasal tertentu dalam Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2011. Pasal tersebut, yaitu pasal 4B terkait dengan persyaratan investment allowance yang bisa diberikan hanya jika telah terjadi realisasi penanaman modal sebesar minimal 80%. Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang telah berproduksi secara komersial sebelum realisasi penanaman modal dengan jumlah tersebut. Sehingga sebelum bisa memanfaatkan insentif yang tujuan dasarnya untuk membantu meringankan beban perusahaan di awal produksi, perusahaan telah terlebih dahulu memiliki beban berupa penyusutan dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan investor untuk memanfaatkan atau tidak insentif Pajak Penghasilan yang telah disediakan pemerintah. Penjelasan di atas sesuai dengan pernyataan berikut.

“ Nah, itu sedang kita pertimbangkan untuk dihapuskan. Investment dan amortisasi kan berhubungan dengan itu. Agak berat sepertinya bagi investor jika harus menunggu realisasi investasi 80%, sementara mesinnya

tiap tahun kan sudah terpakai juga. Lalu dia juga sudah produksi secara komersil walau belum realisasi 80%, biayanya sudah ada, tapi belum bisa tiap tahun kan sudah terpakai juga. Lalu dia juga sudah produksi secara komersil walau belum realisasi 80%, biayanya sudah ada, tapi belum bisa

Sehingga pada dasarnya, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk penyempurnaan pelaksanaan insentif Pajak Penghasilan untuk mencapai tujuannya menarik investor di bidang dan wilayah tertentu. Caranya adalah dengan melakukan sosialisasi yang terfokus sesuai spesifikasi usaha di daerah tertentu, kejelasan kriteria cakupan produk yang dapat diberikan insentif, sosialisasi mengenai mekanisme pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dan menghapuskan pasal tertentu dalam peraturan terkait sehingga dapat menarik investor dan mengoptimalkan pemanfaatan insentif Pajak Penghasilan tersebut.

Alternatif Kebijakan Pajak untuk Perkembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia

Selain upaya penyempurnaan insentif Pajak Penghasilan dari pemerintah, terdapat alternatif kebijakan pajak lain untuk meningkatkan investasi dan perkembangan Bahan Bakar Nabati. Alternatif tersebut termasuk demand – side policy , yaitu kebijakan yang ditujukan bagi konsumsi atau pemanfaatan Bahan Bakar Nabati yang secara tidak langsung akan menarik investasi. Hal tersebut karena investasi bidang Bahan Bakar Nabati sesuai penjelasan sebelumnya adalah jenis investasi yang melihat peluang pasar atau demand sebagai faktor penarik realisasi penanaman modal. Kebijakan pajak untuk demand ini merupakan salah satu cara yang tepat dengan memberikan insentif kepada pihak konsumen sehingga konsumen lebih tertarik menggunakan Bahan Bakar Nabati. Dengan sendirinya mekanisme ini akan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modal pada bidang tersebut.

Peraturan mengenai fasilitas pajak bagi pemanfaatan Bahan Bakar Nabati secara khusus pernah ada di Indonesia. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 156/PMK.011/2009 tentang PPN Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati. Menurut penelitian yang dilakukan Ansoriyyah (2011, hal. 86-91), fasilitas dalam peraturan tersebut berbeda dengan fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas Dibebaskan Dari Pengenaan PPN yang diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 Peraturan mengenai fasilitas pajak bagi pemanfaatan Bahan Bakar Nabati secara khusus pernah ada di Indonesia. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 156/PMK.011/2009 tentang PPN Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati. Menurut penelitian yang dilakukan Ansoriyyah (2011, hal. 86-91), fasilitas dalam peraturan tersebut berbeda dengan fasilitas PPN Tidak Dipungut dan fasilitas Dibebaskan Dari Pengenaan PPN yang diatur dalam Pasal 16B Undang-Undang No. 8 Tahun 1983

Saat Bahan Bakar Nabati diserahkan kepada pembeli, pengusaha atau pihak yang menyerahkan barang kena pajak tersebut tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dari pihak penerima barang kena pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Bahan Bakar Nabati dan mendapat fasilitas ditanggung pemerintah, tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan tersebut. Namun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan dan/atau menyerahkan Bahan Bakar Nabati tetap merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Dikarenakan Pajak Masukan tetap diperhitungkan dalam mekanisme pengkreditan sedangkan Pajak Keluaran tidak ada, maka Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran. Dengan demikian, SPT Masa PPN yang disampaikan oleh Pengusaha Bahan Bakar Nabati berstatus Lebih Bayar.

Contoh :

Penyerahan Bahan Bakar Nabati sebanyak 2.000.000 liter dengan harga jual Rp 6.000,00/liter dan mendapat fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah sesuai dengan PMK Nomor 156/PMK.011/2009. Pajak masukan yang telah dibayar sebesar Rp 400.000.000,00. Pajak Masukan

: Rp 400.000.000,00

Pajak Keluaran

: (Rp

Lebih bayar

: Rp 400.000.000,00

Sumber: Ansoriyyah, 2011 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156 Tahun 2009 mengatur bahwa atas kelebihan pembayaran PPN yang telah dilakukan pengusaha Bahan Bakar Nabati dapat dimintakan pengembalian oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Dikarenakan PMK No. 156/PMK.011/2009 tersebut terbit sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 sebagai perubahan terbaru dari ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku di Indonesia, maka mekanisme restitusi bagi Pengusaha Kena Pajak Bahan Bakar Nabati yang memperoleh fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah masih merujuk pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2000.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, PKP menyampaikan SPT Masa PPN atau surat tersendiri ke KPP tempat PKP dikukuhkan. Permohonan tersebut dilampiri dengan dokumen pendukung yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak. Dirjen Pajak kemudian akan melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut, kecuali atas kegiatan tertentu akan dilakukan penelitian. Berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, PKP menyampaikan SPT Masa PPN atau surat tersendiri ke KPP tempat PKP dikukuhkan. Permohonan tersebut dilampiri dengan dokumen pendukung yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak. Dirjen Pajak kemudian akan melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut, kecuali atas kegiatan tertentu akan dilakukan penelitian. Berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6

Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai bagi pengusaha Bahan Bakar Nabati membutuhkan waktu dan prosedur yang cukup panjang sehingga menimbulkan dampak bagi pengusaha Bahan Bakar Nabati di Indonesia. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang tidak berstatus Wajib Pajak Patuh, restitusi kelebihan pembayaran pajak dilakukan melalui pemeriksaan terlebih dahulu yang besar kemungkinannya pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap seluruh jenis pajak ( all taxes ). Jangka waktu pemeriksaan atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut adalah satu tahun pajak dan pengembalian baru akan dilakukan setelah hasil dari pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dapat diterima. Jangka waktu pengembalian yang terlampau lama tersebut menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kondisi usaha Bahan Bakar Nabati.

Sebagai industri yang masih berkembang, profit margin yang dimiliki para pengusaha Bahan Bakar Nabati tidaklah besar. Terlebih lagi harga jual Bahan Bakar Nabati di dalam negeri tidak diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi ditetapkan oleh pemerintah sesuai hasil kesepakatan para pengusaha dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia dengan pihak pemerintah, yaitu Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral dan PERTAMINA. Bagi para produsen Bahan Bakar Nabati, nilai restitusi kelebihan PPN yang telah dibayarkan pada satu masa pajak dapat menjadi modal untuk produksi di periode selanjutnya. Dengan demikian, mekanisme pengembalian pajak tersebut mengganggu cashflow usaha Bahan Bakar Nabati dan menimbulkan cost of money yang cukup besar bagi perusahaan.

Tanpa fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah, produsen dapat langsung memungut PPN atas penyerahan Bahan Bakar Nabati yang dilakukannya. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dapat langsung diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dimiliki pada masa pajak yang sama. Akan tetapi karena diberikan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah, tidak ada Pajak Keluaran yang dapat dikreditkan dengan Pajak Masukan pada masa pajak tersebut karena tidak ada pajak yang dipungut atas penyerahan Bahan Bakar Nabati.

Ketentuan peraturan perpajakan di Indonesia sebenarnya memberikan pilihan agar para pengusaha dapat menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan jangka waktu yang lebih cepat, yaitu paling lama satu bulan. Syarat yang harus dipenuhi pengus aha Bahan Bakar Nabati adalah berstatus “Wajib Pajak Patuh”. Berdasarkan ketentuan Pasal 17C ayat (2) Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2007, persyaratan Wajib Pajak Patuh adalah sebagai berikut:

a). tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b). tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan

pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;

c). laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

d). tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Dari keempat syarat perolehan status Wajib Pajak Patuh sebagaimana dijelaskan di atas, syarat ketiga merupakan syarat yang sulit untuk dipenuhi oleh para pengusaha Bahan Bakar Nabati di Indonesia pada saat itu. Hal ini dikarenakan seluruh pengusaha baru berdiri kurang dari tiga tahun pada saat PMK No. 156/PMK.011/2009 ditetapkan. Oleh karena itu, tidak ada pengusaha Bahan Bakar Nabati yang ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh pada saat itu.

Perolehan status Wajib Pajak Patuh dapat mempermudah para pengusaha Bahan Bakar Nabati untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran Perolehan status Wajib Pajak Patuh dapat mempermudah para pengusaha Bahan Bakar Nabati untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran

Namun jika melihat pada kondisi terkini yaitu terdapat beberapa perusahaan yang telah berdiri lebih dari 3 tahun sejak 2006, maka perusahaan dapat memenuhi syarat untuk mendapat status Wajib Pajak patuh. Dengan status tersebut pengusaha bidang Bahan Bakar Nabati dapat memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang lebih cepat dibandingkan waktu pada mekanisme biasa. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan agar fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah tersebut kembali dianggarkan sehingga dapat menarik pemanfaatan Bahan Bakar Nabati dan meningkatkan minat investor dalam menanamkan modal pada bidang tersebut karena melihat peluang pasar yang besar.

Insentif Pajak Penghasilan yang dijelaskan sebelumnya, menurut Center for International Private Enterprise (2006) adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi negara. Pemerintah memiliki banyak tujuan dan sasaran sosial ekonomi dan berbagai alternatif instrumen untuk mencapainya. Insentif pajak hanya merupakan satu diantara alternatif tersebut. Investor mencari negara dengan keadaan ekonomi yang dapat diprediksi, sistem hukum yang baik, tingkat korupsi rendah, mekanisme badan hukum yang efektif, dan khusus bagi industri Bahan Bakar Nabati, peluang pasar yang mencukupi.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN