1 Besaran Subsidi dan Harga Minyak Indonesia

2.2.3 Evaluasi Kebijakan

Untuk menilai tingkat keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan tindakan berupa evaluasi. Dye yang dikutip Parsons (2005, hal. 547) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. Lester dan Stewart (2000) mendefinisikan evaluasi kebijakan sebagai berikut.

“ Policy evaluation is concerned with what happens as a result of the public policy, that is, what happens after a policy implemented. It is concerned

with the actual impacts of legislation or the extent to which policy actually achieves its intended results .”

Evaluasi kebijakan bukan hanya dilakukan untuk menilai dampak atau hasil, tetapi dapat dilakukan pada tahap perumusan maupun tahap implementasi. Palumbo yang dikutip Parsons (op.cit., hal. 549) menyatakan:

“Evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan/program sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah

program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Oleh karena itu, fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang memonitor cara dimana sebuah

program dikelola atau diukur untuk menghasilkan umpan balik yang bisa berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.”

Evaluasi menurut para analis kebijakan diartikan sebagai aktivitas menilai, mengukur, menimbang suatu tujuan atau manfaat dari sebuah kebijakan. Jones (1991, hal. 351) menyebutkan empat sub aktivitas evaluasi yaitu spesifikasi, pengukuran, analisis, dan rekomendasi. Spesifikasi adalah aktivitas pengidentifikasian tujuan, kriteria yang perlu dievaluasi dari sebuah kebijakan. Sedangkan pengukuran secara sederhana diartikan sebagai pengumpulan informasi yang erat kaitannya dengan tujuan kebijakan. Kegiatan mengolah dan menyimpulkan informasi tersebut dapat diartikan sebagai kegiatan analisis. Pada kegiatan analisis, umumnya sering terjadi diskusi yang intens antara para evaluator yang menyangkut gaya, metode, dan teknis menganalisis. Kegiatan terakhir yaitu rekomendasi, adalah penentuan hasil akhir yang dijadikan referensi untuk melakukan pekerjaan selanjutnya, misalnya a) Kebijakan dilanjutkan b) Kebijakan diubah c) Kebijakan dihentikan.

Evaluasi memainkan fungsi utama dalam kebijakan melalui tujuan-tujuannya. Tujuan evaluasi seperti yang diungkapkan oleh Subarsono (2005, hal 120-121) adalah

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran ( outcome ) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak dari suatu kebijakan, baik positif maupun negatif.

5. Mengetahui apabila terdapat penyimpangan, dengan membandingkan tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

6. Memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Dalam melakukan evaluasi kebijakan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu

1. Mengidentifikasikan tujuan kebijakan, program dan kegiatan

2. Penjabaran tujuan kegiatan, program, dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan

3. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program

4. Pencarian data di lapangan berdasarkan indikator pencapaian tujuan

5. Pengolahan dan komparasi data lapangan dengan kriteria pencapaian tujuan kebijakan (Widodo, 2006, hal.125)

Untuk menilai atau melakukan evaluasi kebijakan diperlukan beberapa kriteria atau indikator. Dunn yang dikutip Subarsono (2005, hal. 126) mengembangkan indikator evaluasi sebagai berikut.

Tabel 2.2 Indikator Evaluasi Kebijakan

No Kriteria

Penjelasan

1. Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

2. Kecukupan Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dalam memecahkan masalah?

3. Pemerataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda?

4. Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka?

5. Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

Sumber: Dunn, 1994 Mengingat pentingnya pengaruh dari suatu kebijakan, maka pembuat kebijakan

harus dapat menilai pengaruh dari suatu kebijakan yang dibuat dan dilaksanakannya. Pengaruh dan hasil kebijakan tersebut dapat menjadi umpan balik atau masukan dalam proses perumusan kebijakan selanjutnya. Masukan tersebut dalam proses pembuatan suatu kebijakan dapat meningkatkan mutu atau kualitas suatu kebijakan.

2.2.3.1 Efektivitas

Dalam kegiatan evaluasi, faktor efektivitas merupakan hal utama yang menjadi perhatian. Efektivitas dipandang sebagai tingkat pencapaian Dalam kegiatan evaluasi, faktor efektivitas merupakan hal utama yang menjadi perhatian. Efektivitas dipandang sebagai tingkat pencapaian

Dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dikatakan efektif bila kebijakan tersebut dilaksanakan dengan benar dan memberikan hasil yang bermanfaat. Kebijakan dikatakan efektif apabila menghasilkan output sesuai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan adanya kebijakan tersebut menjadi faktor utama berhasilnya suatu pencapaian.

Pengukuran efektivitas menurut Mahmudi (2010) adalah mengukur hasil akhir suatu pelayanan dikaitkan dengan outputnya. Karena output yang dihasilkan organisasi sektor publik lebih banyak bersifat tidak berwujud ( intangible ) yang tidak mudah dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan ( judgment ).

Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan Lubis (1987, hal.55), yakni:

1. Pendekatan Sumber ( resource approach ) yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun nonfisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

2. Pendekatan proses ( process approach ) adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi.

3. Pendekatan sasaran ( goals approach ), yaitu efektivitas berpusat perhatian pada output, dengan mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana.

Sedangkan Duncan yang dikutip Steers (1985, hal.53) dalam bukunya “Efektivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran

efektivitas, sebagai berikut:

1. Pencapaian Tujuan Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: Kurun waktu dan sasaran yang merupakan target kongkrit.

2. Integrasi Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi .

3. Adaptasi Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori efektivitas Mahmudi dengan pendekatan sasaran ( goal approach ), dan mengaitkannya dengan ukuran efektivitas oleh Duncan. Teori-teori di atas digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemberian insentif Pajak Penghasilan kepada industri Bahan Bakar Nabati di Indonesia.

2.2.4 Kebijakan Fiskal

Mankiw yang dikutip Subiyantoro dan Riphat (2004, hal. 3) mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai “The government’s choice regarding levels of spending and taxation ”. Sementara menurut Barrow, kebijakan fiskal akan berkaitan pula dengan aspek pinjaman/utang jika dalam kebijakan tersebut diputuskan besar pengeluaran melampaui penerimaan (op cit., 2004, hal. 3).

Samuelson dan Nordhaus yang dikutip Mansury (1999, 1) menyatakan bahwa kebijakan fiskal adalah proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan terhadap penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dirumuskan pemerintah di bidang ekonomi dan sosial masyarakat.

2.2.5 Kebijakan Pajak

Kebijakan pajak merupakan pengertian sempit dari kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut meliputi apa yang dijadikan sebagai tax base , siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa saja yang dikecualikan, apa yang dijadikan sebagai objek pajak, apa saja yang dikecualikan dari objek pajak, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terhutang dan bagaimana menentukan prosedur pelaksanaan kewajiban pajak terhutang.

Selain itu, kebijakan pajak merepresentasikan komitmen pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya, mendorong perkembangan dunia usaha, dan pencapaian program-program pemerintah lainnya. Kebijakan pajak adalah representasi grand design atau blue print pembangunan manusia, ekonomi suatu pemerintahan, dan legislator (Rosdiana dan Irianto, 2011, hal. 2).

Kriteria kebijakan pajak yang baik menurut Schlesinger adalah

1. Kebijakan pajak mempunyai pola yang selaras. Suatu kebijakan berorientasi pendek jangan sampai menimbulkan kesenjangan dengan pola kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang;

2. Suatu kebijakan pajak yang baik memerlukan suatu administrasi yang baik;

3. Suatu kebijakan pajak dikatakan baik jika dapat diimplementasikan secara teknis melalui peraturan perundang-undangan yang praktis atau melalui prosedur administratif yang efisien;

4. Suatu kebijakan pajak memerlukan fleksibilitas untuk memadukan metode dan pemikiran dalam pembuatan kebijakan pajak. Fleksibilitas 4. Suatu kebijakan pajak memerlukan fleksibilitas untuk memadukan metode dan pemikiran dalam pembuatan kebijakan pajak. Fleksibilitas

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan pajak merupakan representasi komitmen pemerintah dalam perkembangan kesejahteraan masyarakat dengan pencapaian program-program pemerintah sebagai salah satu cara untuk mewujudkannya. Suatu kebijakan pajak yang baik adalah yang tidak berbenturan dengan rencana jangka panjang pemerintah yang lain dan dapat diimplementasikan dengan efisien. Implementasi yang efisien berasal dari administrasi yang baik.

2.2.6 Insentif Pajak

Konsep insentif pajak digunakan untuk menganalisis kebijakan fasilitas pajak yang diberikan untuk membantu mengembangkan industri Bahan Bakar Nabati. Dalam rangka menarik minat investor melakukan investasi atau mendorong berkembangnya suatu sektor ekonomi di suatu negara, pemerintah dapat memberikan suatu fasilitas berupa kenyamanan ( convenience ), kepastian hukum ( legal certainty ), dan keamanan ( security ). Salah satu bentuk fasilitas yang dapat diberikan adalah insentif pajak berupa tarif dan non tarif ( tax and non tax rate ). Insentif pajak berupa tarif seperti pembebasan pajak ( tax exemption ) atau pengurangan tarif pajak ( reduced tax rate ). Sedangkan insentif berupa non tarif seperti pelayanan perpajakan yang cepat, murah, aman, dan nyaman atau sering disebut pelayanan perpajakan yang prima ( excellent tax service ) (Hutagaol, 2007, hal. 175).

Dalam bukunya yang berjudul Tax Incentives in Developing Countries and International Taxation , Viherkenttä mengatakan bahwa tidak ada definisi yang tetap untuk mendefinisikan insentif (Viherkenttä, 1991, hal. 6). Sedangkan Aaron

yang dikutip Viherkenttä menyatakan bahwa “ tax incentives are often understood to be spesific provisions intended by the lawgiver to encourage certain kinds of

behaviour in response to tax benefits granted in the provision.” (Viherkenttä, 1991, hal. 7)

Easson mendefinisikan insentif fiskal atau insentif pajak sebagai pengecualian, penghapusan, pengurangan, atau kredit khusus yang merupakan perlakuan pajak istimewa atau penangguhan kewajiban pajak. Lebih lanjut, Easson menjelaskan sebagai berikut:

Fiscal incentives are defined as those special exclusions, exemptions, deductions or credits that provide special credits a preferential tax treatment or deferral of tax liability. Tax incentives for foreign direct investment (FDI), are often structured through income tax systems, providing relief from corporate-level taxes on income from capital (e.g., tax holidays, reduced corporate tax rates, special corporate tax deductions, allowances and credits), and in some cases providing relief from personal income tax (e.g., imputation relief, preferential tax treatment for expatriates). They can also take the form of reduced import tariffs or customs duties (2007, hal.4) .

Insentif pajak merupakan salah satu tindakan pemerintah untuk menarik investor. Pemerintah cenderung memilih insentif dibandingkan tipe tindakan pemerintah yang lain. Hal ini karena insentif pajak memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri, yaitu:

1. Insentif pajak merupakan tindakan yang lebih mudah diberikan dibanding memperbaiki kekurangan sistem hukum atau mengembangkan sistem komunikasi dalam suatu negara secara dramatis.

2. Insentif pajak tidak membutuhkan pengeluaran atau dana aktual dari pemerintah. Salah satu alternatif untuk menggunakan insentif pajak adalah untuk menyediakan bantuan atau subsidi uang bagi investor. Meskipun insentif pajak dan bantuan dana adalah mirip secara ekonomi, untuk alasan politik dan alasan lainnya akan lebih mudah menyediakan tax benefit daripada menyediakan dana aktual bagi para investor (Easson dan Zolt, hal. 10).

Dari teori tersebut dapat dilihat bahwa insentif pajak merupakan sebuah fasilitas yang diberikan kepada investor agar tertarik untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Insentif pajak juga dianggap sebagai alat yang dapat digunakan oleh Dari teori tersebut dapat dilihat bahwa insentif pajak merupakan sebuah fasilitas yang diberikan kepada investor agar tertarik untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Insentif pajak juga dianggap sebagai alat yang dapat digunakan oleh

2.2.6.1 Jenis –Jenis Insentif Pajak

Jenis-jenis insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah pada umumnya terdapat suatu pola yang sama. Hanya dalam penerapannya terdapat berbagai macam variasi yang disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing. Menurut Holland dan Vann dalam Tax Law Design and Drafting secara umum insentif pajak yang berupa tarif dapat dibagi menjadi tiga jenis jenis insentif pajak yaitu sebagai berikut (Thuronyi, 1996, Ch. 23 hal. 4 – 9).

a) Tax holidays Insentif pajak tax holidays ini biasanya digunakan oleh negara-negara berkembang untuk menarik minat para investor agar mau berinvestasi di negaranya. Dengan insentif pajak ini, Wajib Pajak memperoleh hak berupa pembebasan dari pengenaan pajak dalam suatu periode waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Holland dan

Vann yaitu “... new firms are allowed a period of time when they are exempt from the burden of income taxation .” (Thuronyi, 1996, Ch. 23

hal. 4).

b) Investment Allowances and Tax Credits Menurut Holland dan Vann, jenis insentif ini merupakan insentif yang berdasarkan jumlah investasi yang bersangkutan yaitu “ Investment

allowances and tax credit are forms of tax relief that are based on the value of expenditures on qualifying investments (Thuronyi, 1996, Ch.

23 hal. 6)”. Pada umumnya jenis insentif ini menggunakan suatu presentase tertentu yang ditentukan oleh pemerintah dan kemudian

diperhitungkan dalam penghitungan pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak.

c) Tax Rate Reductions Sesuai dengan namanya, jenis insentif ini berupa pengurangan tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak dari suatu presentase atau tingkatan tarif tertentu ke tingkatan tarif yang berada di bawahnya.

Heller dan Kauffman (1963, hal. 25 – 29) memberikan jenis insentif pajak lain dalam bidang industri yang dibedakan menjadi dua kategori.

“Tax incentives for industries may be conveniently classified into two categories:

a. Exemption from variety of taxes

b. Special allowance In considering the general characteristic of the tax incentives, it should be born in mind that combination of incentives offeres, the form of business or organizations that may qualify as recepients of the tax reliefs; the types, extent and durations of benefit offered; and the value of their benefits to investors very substantially from one country to the next, as do the basic system themseleves .”

Exemption from variety of taxes atau pembebasan pajak dapat diberikan atas pembebasan kewajiban pajak penghasilan dan pembebasan kewajiban bea dan cukai. Pembebasan berdasarkan aturan Pajak Penghasilan biasanya diterapkan untuk suatu waktu yang terbatas. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa aturan pembebasan ini adalah kebijakan untuk waktu yang singkat dimana fungsinya adalah menghasilkan keringanan pajak sementara bagi investasi baru dan bukannya merupakan subsidi jangka panjang bagi beroperasinya perusahaan.

Special allowance atau disebut juga kelonggaran khusus dapat berupa kebijakan penyusutan yang dipercepat serta kelonggaran pada reinvestasi. Kelonggaran penyusutan yang dipercepat memberikan

kebebasan penuh pada wajib pajak untuk memilih tarif penyusutan atau dibatasi pada waktu tertentu, misalnya untuk lima tahun pertama dari pengakuan aset atau wajib pajak sendiri yang membatasi penghapusan biaya pemeliharaan aset dalam beberapa tahun, dimana masa ini lebih pendek dari umur yang diperkirakan.

2.2.7 Supply-side Policy

Supply-side policy adalah kebijakan yang menitikberatkan pada tujuan peningkatan kinerja pasar dengan cara meningkatkan kapasitas ekonomi untuk berproduksi sehingga penawaran bertambah.

Supply side policies are policies that improve the working of markets. In this way they improve the capacity of the economic to produce and so shift the aggregate supply curve to the right. This should be enable economic to grow in non-inflantionary way.... (Rosdiana dan Tarigan, 2005, hal.17).

Rosdiana dalam jurnal “Rekonstruksi Konsepsi Supply- side Tax Policy” menyatakan bahwa secara umum, cakupan kebijakan supply-side menekankan

pada kebijakan yang dapat meminimalisir distorsi dalam pasar, yang diakibatkan oleh pengaruh regulasi pemerintah terhadap harga, subsidi dan tingginya pajak pengasilan; dan dorongan kebijakan tadi terhadap investasi dan produksi dengan cara membuat bekerja insentif ekonomi pasar bebas. Kebijakan untuk mengurangi cost of taxation melalui regulasi dan deregulasi dapat dipandang sebagai bagian

dari supply-side tax policy (2008). Roerts dalam artikel “ The U.S Supply Side Revolution” menjelaskan bahwa insentif pajak dapat mempengaruhi harga dalam

kebijakan supply-side sebagai berikut. Supply side economis showed that taxation (and government spending) affect incentives and relative price and these supply side effect are not washed out when spending is transferred from the private to the government sector. The disincentives effect of the higher tax rate remaining. Therefore as government grows, the incentives to produce decline. This accumulation of disincentive leads stagnation and worsening trade-off between inflation and unemployment as succesive increases in government spending call forth weaker increase in real output and stronger increases in price or inflation (Stein, 1988, hal.222).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa supply-side policy adalah kebijakan yang mendorong penawaran. Kebijakan tersebut baik berupa regulasi maupun deregulasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan investasi, secara langsung maupun tidak langsung.

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk penelitian ini, peneliti memulainya melalui suatu kerangka berpikir sederhana. Kerangka berpikir yang melatarbelakangi penelitian ini digambarkan sebagai berikut.

Produksi BBM yang tidak seimbang dengan konsumsi domestik

Pemerintah mengimpor BBM dan mempengaruhi ekonomi Indonesia dengan

subsidi

Diperlukan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain untuk

diversifikasi energi

Potensi penyediaan BBN dan target pemanfaatan telah disusun oleh

pemerintah sehingga butuh dorongan untuk pengembangan BBN

Diperlukan dorongan dari sisi pajak bagi industri BBN untuk mendorong

supply

Insentif Pajak Penghasilan di Indonesia menurut PP No 1 Tahun 2007 dan

PMK No.130 Tahun 2011

Evaluasi Implementasi Insentif Pajak Penghasilan menurut PP No. 1 Tahun

Efektivitas, pemerataan, dan ketepatan Insentif Pajak Penghasilan bagi perkembangan industri BBN di Indonesia