Kajian Pendidikan Inklusif

3. Kajian Pendidikan Inklusif

a. Sejarah Pendidikan Inklusif

Menurut Sunardi (2002) dalam makalah Program Pengajaran Individual dijelaskan sejarah pendidikan lnklusi. Pada awal XX, layanan PLB di sediakan di sekolah-sekolah khusus (segregatif) bagi penyandang gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, cacat mental dan gangguan emosi. Penyediaan layanan PLB di sekolah biasa tidak dimungkinkan, karena pendidikan pada saat itu

commit to user

ditekankan pada pemberian ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Anak luar biasa kan mengalami kesulitan mengikuti kecepatan belajar anak- anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari penyediaan layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak luar biasa mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan sekolah-sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti pemeliharaan dan penampungan.

Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat mental tingkat ringan dan sedang. Anak-anak ini dididik sepenuhnya di kelas- kelas khusus terpisah dari teman-teman sebaynya yang normal. Untuk itu, diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus dipisahkan di kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Alferd Binet dan Theodore Simon. Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh menjamur di Amerika Serikat. Keadaan ini berlangsung sampai pertengahan abad XX.

Perubahan terbesar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan kelas-kelas khusus ini mulai dipertanyakan. Pendidikan luar biasa di kelas- kelas khusus yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma yang akan terbawa oleh anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga diri anak, dan menghambat perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis, pendidikan segregatif ini juga tidak masuk akal, sebab tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di masyarakat, tetapi anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain yang dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus secara tidak proposional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas. Dari beberapa kasus tersebut menunjukan bahwa telah terjadi salah identifikasi yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yang dipakai yang terbias oleh faktor bahasa dan budaya.

Berbagai kasus peradilanpun banyak bermunculan di berbagai negara bagian, yang intinya memprotes kasus-kasus diskriminasi dalam pendidikan

commit to user

dan asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat dan yang paling penting bagi dunia PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar anak tuna grahita ringan dan sedang yang dididik di kelas khusus dan kelas biasa tanpa layanan khusus. Dengan demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ekstra yang tidak kecil tidak efisien.

Pada saat itulah bentuk penyediaan pendidikan khusus terpisah dari pendidikan untuk anak normal mulai dipertanyakan. Pada pertengahan abad

XX pula munculah konsep baru yang dikenal dengan mainstreaming atau normalisasi atau least restrictive environment. Konsep ini muncul pertama kali di Eropa. Mainstreaming disebut juga dengan pendidikan terpadu, yaitu pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkelainan bersekolah di sekolah umum, belajar bersama anak normal, tapi anak berkelainan harus menyesuaikan sistem yang berlaku di sekolah umum. Belajar dari model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan di sekolah umum. Alternatifnya yaitu: kelas biasa/reguler penuh; kelas biasa/reguler dengan tambahan bimbingan di dalam kelas; kelas biasa /reguler dengan tambahan bimbingan di luar kelas; kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa; kelas khusus penuh; sekolah khusus dan sekoalh khusus berasrama.

Dikutip dalam Widyastono (2004) Selanjutnya pada era 90-an muncul model pendidikan inklusif, yang merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan bagi Anak Berkelainan pada bulan Juni 1994 yang dihadiri oleh Menteri Pendidikan sedunia bahwa ”Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memunginkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.

commit to user

b. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkebutuhan khusus kedalam program sekolah. Konsep inklusif memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.

Nasichin (2001) yang menjelaskan Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum , dan pada akhirnya mereka bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.

Stainback dan stainback menjelaskan pengertian pendidikan inklusif sebagai berikut: Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi (Widyastono:2004).

Staub dan Peck dalam mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan , sedang dan berat secara

commit to user

penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukan bahwa kelas inklusif merupakan kelas yang sesuai bagi anakl berkelainan apapun jenis kelainan dan bagaimanapun gradasinnya (Widyastono:2004).

Sedangakan menurut UNESCO dalam Girma Berhanu (2011) yang dimuat di ( http//www.international journalofspecialeducation.com/articles ) menjelaskan pengertian inklusif, sebagai berikut:

The fundamental principle of the inclusive school is that all children should learn together, wherever possible, regardless of any difficulties or differences they may have. Inclusive schools must recognize and respond to the diverse needs of their students, accommodating both different styles and rates of learning and ensuring quality education to all through appropriate curricula, organizational arrangements, teaching strategies, resource use and partnerships with their communities. Yang atinya, ” Pada prinsipnya sekolah inklusif yaitu bahwa seluruh anak-anak seharusnya belajar bersama, dimanapun hali itu dimungkinkan terjadi, meski beberapa kesulitan atau perbedaan- perbedaan yang mungkin mereka miliki. Sekolah inklusif harus mengetahui dan tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan murid/siswa mereka yang sangat bervariasi, mengakomodasi keduanya baik gaya maupun tingkat belajar yang berbeda dan memastikan pendidikan yang berkualitas bagi semua melalui kurikulum yang tepat, penyusunan keorganisasian, strategi- strategi mengajar, penggunaan sumber daya dan rekan kerja dengan komunitas mereka.

Baihaqi dan Sugiarmin (2006:75-76) menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan

commit to user

bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif adalah system layanan pendidikan yang menerima semua siswa tanpa terkecuali, dan menyatukan antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal dalam satu kelas yang sama. Sehingga akan terjadi interaksi sosial yang baik antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus.

c. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

commit to user

1) Landasan Filosofis Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah pancasila yang merupakan falsafah bangsa, dasar negara, dan lima pilar sekaligus merupakan cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filosofi ini merupakan wujud pengakuan kebhinekaan manusia. Bertitik tolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan dan keberbakatan merupakan salah satu bentuk kebhinekaan individu manusia atau disebut ”individual difference” seperti halnya perbedaan warna kulit, suku, ras, bahasa, budaya atau agama. Dalam individu penyandang kelainan pasti juga mempunyai keunggulan- keunggulan tertentu, demikian juga di dalam diri individu yang berbakat tentu juga terdapat kelemahan/kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Keunggulan dan kelemahan/kecacatan harus dapat diwujudkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap toleransi dan menghargai perbedaan individu.

2) Landasan Yuridis Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:

a) Undang-Undang Dasar 1945 (1) Pasal 31 ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Pasal 31 ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan

dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, terutama pada pasal-pasal: (1) Pasal 5: Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan

yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. (2) Pasal 6 ayat 1: Setiap penyandang cacat berhal memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan.

c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, utamanya pada pasal:

commit to user

(1) Pasal 49: Negara, pemerintah, keluarga dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

(2) Pasal 51: Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (1) Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengemban kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

(2) Pasal 5 ayat 1: Setiap warga negara mempunyai hakk yang sama

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (3) Pasal 5 ayat 3: Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh layanan pendidikan khusus.

(4) Pasal 5 ayat 4: Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Pasal 12 ayat 1.b: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

(6) Pasal 12 ayat 1.f: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

(7) Pasal 32 ayat 1: Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti

commit to user

proses pembelajaran karena kelainan fisik, mental, social, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(8) Pasal 32 ayat 2: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di: Daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,bencana social, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(9) Pasal 33 ayat 3: Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

(10)Pasal 45 ayat 1: Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, social, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

(11)Pasal 61 ayat 1: Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat

kompetensi. (12)Pasal 61 ayat 2: ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(13)Pasal 61 ayat 3: Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

g) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan

commit to user

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

h) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

i) Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

3) Landasan Empiris Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:

a) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human

Rights)

b) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)

c) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World

Conference on Education for All)

d) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities)

e) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusif 1994

(Salamanca Statement on Inclusive Education)

f) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000

(The Dakar Commitment on Education for All)

g) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju

Pendidikan Inklusif”

h) Rekomendasi Bukit tinggi 2005 mengenai pendidikan yang

inklusif dan ramah.

commit to user

Menurut Widyastono (2004) Penyelenggaraan pendidikan inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris seperti di bawah ini.

1) Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi ini. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan hanyala satu bentuk kebhinekaan seperti halnya bahasa, budaya atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu anak normal pasti terdapat juga kecacatan tertentu. Karena semua manusia tidak ada yang sempurna. Hal ini juga sebaiknya diterapkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkanadanya pergaulan atau interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh.

2) Landasan Yuridis

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah deklarasi Salamanca oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagi integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memunginkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Di Indonesia, penerapan inklusif dijamin undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang

commit to user

dalam penejalasan pasal 15 antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.

3) Landasan Pedagogis

Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretaif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melaui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartispiasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4) Landasan Empiris

Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara- negara barat sejak tahun1980-an. Penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Science (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat, yang betul-betul dapat menentukan anak berkelainan yang tergolong berat. Namun, beberapa pakar mengemukakan sangat sulit untuk melakukan identifikasi anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.

Beberapa penelitian kemudian melakukan meta analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale(1980) terhadapa 50 buah penelitian; oleh Wang dan Barker (1994/1995) terhadap 11 buah

commit to user

penelitian; dan oleh Barker (1994) terhadap 13 buah penelitian, menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

d. Karakteristik Pendidikan Inklusif

Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid. Untuk itu, Sapon-Shevin mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusif.

1) Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, social- ekonomi, suku, agama, dsb.

2) Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogen memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.

3) Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas; semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajar dari yang lain.

4) Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingi oleh orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi

commit to user

pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur ketrampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama tim antara guru dengan profesi lain diperlukan, seperti para profesional, ahli bina bahasa dan wicara, petugas bimbingan, dsb. Meskipun untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan, kerjasama yang diinginkan ternyata dapat terwujud.

5) Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusif sangat bergantung kepada masukan orangtua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual. (Sunardi 2011: 7-8).

Kelas inklusif menampung anak yang heterogen, ditangani oleh tenaga dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional seperti yang dipakai di Indonesia sekarang.

e. Model-Model Sekolah Inklusif

Banyak model sekolah inklusif yang dilaksanakan diberbagai negara, tetapi pada prinsipnya mempunyai kesamaan dalam implementasinya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yang lebih sesuai adalah model bahwa pendidikan inklusif sama dengan istilah ”mainstreaming“ yang diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan/berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya. Dengan demikian penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas diantara alternatif layanan yang disediakan dan didasarkan pada potensi dan jenis serta ingkat kelainannya. Penempatan tersebut tidak permanen, tetapi sementara; dengan demikian siswa bekelainan dimungkinkan secara fleksibel pindah dari satu alternatif layanan ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya inklusif, tetapi dalam prakteknya menyediakan berbagai alternatif layanan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Model ini sering disebut dengan nklusi moderat.

commit to user

Menurut Vaughn, Bos & Schumn penempatan anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus di sekolah inklusif di Indonesia dapat dilakukan dengan dengan berbagai model, yaitu: (a) Kelas reguler ”Full Inclusion”; (b) Kelas reguler dengan cluster; (c) Kelas reguler dengan pull out; (d) Kelas reguler dengan cluster dan pull out; (e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian; (f) Kelas khusus penuh. Seterusnya dapat dikaji lebih lanjut tentang model sekolah inklusif di Indonesia sebagai berikut:

1) Kelas reguler ”Full Inclusion”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama anak lain sepanjang hari di kelas reguler/inklusif dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2) Kelas reguler dengan “cluster”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus.

3) Kelas reguler dengan “pull out”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif, namun dalam waktu- waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus.

4) Kelas reguler dengan “cluster” dan “pull out”

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar bersama dengan anak lain di kelas reguler/inklusif dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik/keluar dari kelas reguler/inklusif ke ruang sumber untuk belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus.

5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler/inklusif, tetapi dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler/inklusif.

6) Kelas khusus penuh

Anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus belajar dan mendapat layanan bimbingan dari Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di dalam kelas khusus pada sekolah reguler/inklusif. (Widyastono:2004)

Dalam model sekolah inklusif tersebut anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus tidak harus berada di kelas reguler/inklusif pada setiap saat untuk mengikuti semua mata pelajaran atau “inklusif penuh”, tetapi sebagai

commit to user

anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dapat berada di kelas khusus/ruang sumber atau ruang terapi karena jenis dan tingkat kelainan yang cukup berat. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya tergolong berat, memungkinkan untuk lebih banyak waktunya berada di kelas khusus/ruang sumber pada sekolah reguler/inklusif. Bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang jenis dan tingkat kelainannya sangat berat, sehingga tidak memungkinkan belajar di sekolah reguler/inklusif dapat disalurkan ke sekolah khusus atau disebut Sekolah Luar Biasa atau Panti Rehabilitas/Sosial, dan atau sekolah rumah sakit “Hospital School”.

Sekolah inklusif dapat memilih model mana yang akan diterapkan secara fleksibel, artinya suatu saat dapat berganti model, karena pertimbangan berbagai hal, tergantung pada hal-hal yang antara lain adalah sebagai berikut: (1) jumlah anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang dilayani; (2) jenis dan tingkat kelainan anak; (3) ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) termasuk Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembbimbing Khusus; dan (4) sarana dan prasarana yang tersedia.

f. Pendidikan Inklusif di Indonesia

Berdasarkan Proposal Hibah Bersaing, Sunardi (2012) menjelaskan bahwa pada tahun 2010, Sunardi dkk meneliti implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, dengan fokus pada manajemen institusi, penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, pembelajaran, evaluasi, dan sarana penunjang eksternal. Sampel yang diteliti meliputi 186 sekolah dengan total 24.412 siswa, yang 12 persen-nya (3.419) tergolong siswa dengan kebutuhan khusus. Di sekolah-sekolah tersebut, juga terdapat 34 siswa luar biasa atau gifted (0.1 persen). Dari sekian siswa berkebutuhan khusus, 56 persen-nya adalah lelaki dan 44 persen-nya adalah perempuan. Hasil penelitian

commit to user

menunjukkan, dalam hal manajemen institusi, mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin.

Namun, masih banyak sekolah yang belum merestrukturisasi organisasi mereka. Mengenai penerimaan/identifikasi/penilaian siswa, 54 persen sekolah telah menyiapkan kuota untuk siswa berkebutuhan khusus. Hanya 19,4 persen sekolah yang menerapkan proses seleksi penerimaan siswa, yang mana separuhnya menggunakan prosedur berbeda untuk calon siswa berkebutuhan khusus. Kurang lebih 50 persen sekolah-sekolah ini telah memodifikasi kurikulum mereka, termasuk beberapa standar. Terkait dengan pembelajaran,

68 persen sekolah inklusif melaporkan, mereka telah memodifikasi proses pembelajarannya. Sayangnya, hanya sedikit sekolah yang menyediakan peralatan khusus bagi siswa dengan gangguan penglihatan, keterbatasan fisik, gangguan wicara dan pendengaran, dan siswa autis, berbakat luarbiasa. Dalam hal evaluasi siswa, lebih dari 50 persen sekolah melaporkan, mereka telah memodifikasi soal ujian, administrasi dan alokasi waktu, serta laporan kemajuan siswa. Ditengarai, terdapat penurunan dramatis untuk ujian nasional. Sementara itu, sarana penunjang eksternal dalam bentuk dana, pelatihan dan fasilitas sebagian besar disediakan oleh pemerintah provinsi dan Direktorat Pendidikan Khusus (hlm.9).

g. Kebijakan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Kebijakan menuju pendidikan iklusi telah lama dilaksanakan di Indonesia, yaitu antara lain pada tanggal 8 September 1977 telah ditandatangani perjanjian kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia yang diwakii Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan Hellen Keller International Incorporated (HKI) dari Amerika Serikat guna peningkatan pendidikan anak tunanetra di Indonesia. Proyek kerjasama dimakdsud mempunyai dua program utama, yaitu pengembangan orientasi dan mobilitas dan pendidikan terpadu anak tunanetra.

commit to user

Dalam merintis pendidikan terpadu menuju inklusif bagi anak tunanetra telah diselenggarakan kursus/penetaran untuk menyiapkan Guru khusus/Guru Pembimbing Khusus, yang pertama kali dilakukan di IKIP Bandung pada tahun 1978. Setelah menyelesaikan kursus/penataran, para calon Guru Pembimbing Khusus mendapat tugas mempersiapkan diri di kancah dengan Tim/Unit Pelaksanaan Pendidikan Terpadu/Inklusif, antara lain dengan melakukan survey anak tunanetra, studi fisibilitas dan sosialisasi implementasi pendidikan terpadu/inklusif di wilayah setempat, yaitu antara lain Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Jawa Timur. Pada awal tahun ajaran 1979-1980, rintisan pendidikan terpadu menuju inklusif bagi anak tunanetra dengan resmi dilaksanakan di Bandung dan sekitarnya.

Dengan prosedur yang sama, rintisan pendidikan terpadu menuju inklusif bagi anak tunanetra dilaksanakan secara resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada awal tahun ajaran 1980-1981. Kemudian menyusul Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Timur pada tahun 1981-1982, disusul dengan daerah-daerah lainnya.

Pada tahun 1984 rintisan pendidikan terpadu/inklusif bagi anak tunanetra telah diadakan evaluasi, dan menunjukkan hasil yang baik, serta mendapat rekomendasi untuk dilaksanakan bagi anak-anak berkelainan yang lain, di daerah-daerah lain di Indonesia. Seterusnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu Bagi Anak Cacat. Selain itu Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI juga telah mengeluarkan Surat Edaran nomor: 6718/C/I/89 tertanggal 15 Juli 1989 perihal perluasan kesempatan belajar bagi anak berkelainan di sekolah umum, dan Direktur Pendidikan Dasar Ditjen PDM Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI mengirimkan surat nomor: 0267/C2/U. 1994 tertanggal 30 Maret 1994 perihal Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu yang ditujukan

commit to user

kepada para Kepala Kanwil Depdikbud Propinsi diseluruh Indonesia, untuk perhatian Kepala Bidang Pendidikan Dasar/Pendidikan Dasar dan Guru.

Dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, (1986:2) tersebut dijelaskan antara lain bahwa yang dimaksud dengan:

1)Pendidikan terpadu adalah model penyelenggaraan program kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan, 2) anak cacat ialah anak yang memiliki kelainan jasmani dan atau rohani yang terdiri dari cacatnetra, cacatrungu, cacatgrahita, cacatdaksa, cacatlaras, 3) Guru Pembimbing Khusus ialah guru khusus yang bertugas di sekolah umun, memberikan bimbingan dan pelayanan kepada anak cacat yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan di sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan terpadu, 4) Kurikulum yang digunakan pada sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan terpadu adalah kurikulum yang berlaku pada sekolah yang bersangkutan, 5) Anak cacat yang mengikuti program Pendidikan Terpadu, adalah mereka yang mempunyai kemampuan mengikuti pendidikan dengan anak normal di lembaga pendidikan berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan oleh tenaga ahli yang relevan.