Tanggung Jawab Direksi Bank sebagai Mudharib Dalam perjanjian

13 Variabel yang menentukan besarnya pembagian laba pada tabungan ini sama dengan deposito mudharabah. Namun karena dalam tabungan dimungkinkan adanya mutasi variabel besarnya dana yang disimpan diperhitungkan menurut saldo rata- rata. 33 Syarat-syarat sahnya perjanjian mudharabah dalam perbankan Islam 34 : 1. Bank menerima dan dari nasabah penyimpan dana dalam bentuk mudharabah tidak terbatas. 2. Bank boleh menggunakan dana yang diterima untuk keperluan investasi bank 3. Untuk menentukan besarnya keuntungan nasabah dan membayar keuntungan itu, bank mengumpulkan keuntungan dari semua proyek investasi yang dibiayai bank. 4. Bank dalam memberikan pembiayaan dilakukan dengan mudharabah terbatas. Bank tidak boleh mencampuri manajemen nasabah yang memperoleh pembiayaan mudharabah. 5. Dalam mudharabah, bank tidak boleh meminta jaminan apapun. 6. Tanggung jawab Shahibul mal dan mudharib. Tanggung jawab dari bank dalam kedudukannya sebagai shahibul mal terbatas hanya sampai pada modal yang disediakan. Sedangkan tanggung jawab nasabah dalam kedudukannya sebagai mudgarib terbatas semata-mata kepada kerja dan usahanya jerih payahnya saja. Namun, apabila dapat dibuktikan terhadap kecurangan atau terjadi mismanajemen, maka nasabah tersebut harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian keuangan perusahaan dan berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut kepada bank. 7. Pembagian keuntungan ditentukan dimuka 8. Mudharib boleh diberi gaji

3. Tanggung Jawab Direksi Bank sebagai Mudharib Dalam perjanjian

Mudharabah Pada Bank Syariah Seperti telah dikemukan bahwa dalam perjanjian mudharabah tanggung jawab shahibul mal terbatas hanya sampai modal yang disediakan sedangkan tanggung jawab mudharib terbatas pada kerja dan usahanya. Dalam peerjanjian pembiayaan mudharabah pada bank syariah, tanggung jawab bank dalam kedudukannya sebagai shahibul mal terbatas hanya pada modal yang disediakan. Sedangkan tanggung jawab nasabah dalam kedudukannya sebagai mudharib terbatas semata-mata kepada kerja dan usahanya jerih payahnya saja. 33 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bahkti, bandung, 2000, hal. 338. 34 Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal 47 s.d. 52. 14 Namun, ketentuan ini tidak berlaku apabila dapat dibuktikan adanya kecurang atau terjadi mismanajemen, maka nasabah tersebut harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian keuangan perusahaan dan berkewajiban untuk mengganti kerugian kepada bank. Demikian halnya, bank syariah dalam kedudukannya selaku mudharib bagi para nasabah penyimpan dana bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada para nasabah penyimpan dana tersebut apabila terjadi mismanajemen salha arus. Misalnya karena direksi bank syariah tersebut telah dengan sengaja melanggar rambu-rambu kesehatan bank yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan sengaja melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit BMPK, memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabah mudharib tanpa melakukan analis secara profesional sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, melanggar ketentuan mengenai net open position, melanggar ketentuan capital adequacy ratio dan melanggar rambu-rambu kesehatan bank lain. Dalam hal hubungan antara bank sebagai shahibul al-mal dan nasabah yang menerima fasilitas pembiayaan sebagai mudharib, nasabah tersebut harus mengganti kerugian kepada bank apabila kegagalan usaha atau kegagalan pembiayaan pembiayaan menjadi non performing loan disebabkan karena nasabah menyalahgunakan fasilitas pembiayaan tersebut untuk tujuan-tujuan selain yang telah ditentukan dalam perjanjian fasilitas mudharabah antara bank dengan nasabah yang bersangkutan. 35 Untuk mengetahui lebih jauh tentang tanggung jawab direksi bank syariah, terlebih dahulu kita kaji bentuk hukum bank. Menurut Pasal 21 UU No. 10 tahun 1998, bentuk hukum suatu bank dapat berupa Perseroan terbatas, Koperasi atau Perusahaan Daerah. Sedangkan bentuk hukum BPR, baik menurut UU No. 7 tahun 1992 maupun menurut UU No. 1998 dapat berupa Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan Terbatas atau bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 36 Makalah ini akan membahas bagaimana tanggung jawab direksi bank yang berbadan hukum Perseroan Terbatas dengan tidak melihat apakah bank tersebut merupakan bank umum atau BPR. Untuk melihat tanggung jawab direksi bank yang berbadan hukum Perseroan terbatas, kita harus menelaah dari Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas. Menurut Pasal 97 UU PT Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. 35 Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal.51. 36 Hal ini merupakan perubahan dari Pasal 21 UU No. 7 tahun 1992. Menurut UU No. 7 tahun 1992 bentuk hukum Bank Umum adalah perusahaan perseroan, Peruasahaan Daerah, Koperasi, perseroan Terbatas. 15 Tugas dan kewajiban Direksi ditentukan dalam Pasal 97 ayat 1 yaitu melakukan kepengurusan perseroan dan Pasal 98 yaitu mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan harus dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Menurut Sutan Remy Syahdaeni 37 sekalipun ungkapan yang dipakai dalam Pasal 92 yaitu “untuk kepentingan dan tujuan perseroan” berbeda dengan ungkapan yang dipakai dalam Pasal 85 ayat 1 yaitu : “untuk kepentingan usaha dan perseroan” tetapi maksudnya sama. Menurutnya seyogyanya apabila mau konsisten dipakai ungkapan yang sama, “untuk kepentingan dan tujuan perseroan” seperti yang dipakai pada Pasal 82. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 junto Pasal 85 ayat 1 terdapat dua unsur pokok yang harus diperhatikan oleh Direksi perseroan dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan sebagaiman dimaksud dalam pasal 79 ayat 1 yaitu melakukan kepengurusan perseroan, dan pasal 82 yaitu mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Unsur-unsur tersebut adalah : 1. kepentingan dan tujuanusaha perseroan, dan 2. itikad baik dan penuh tanggung jawab. Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif, artinya harus dipenuhi keduanya. Apakah sanksinya bila tugas anggota direksi itu tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal 85 ayat 1. Menurut Pasal 85 ayat 2 setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 itu. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai apa yang dimaksud Pasal 85 ayat 91 “dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” tersebut ? UUPT baik pasal-pasalnya maupun penjelasannya tidak memberikan penjabaran yang jauh mengenai maksud atau kandungan dari konsep “itikad baik dan penuh tanggung jawab itu. Oleh karena UUPT tidak memberikan batasan itu. Mengenai hal ini menurut Sutan Remy Syahdaeni yurisprudensi Indonesia belum menampilkan doktrin maksud “itikad baik dan penuh tanggung jawab” yang dimaksud dalam UUPT, demikian halnya pustaka hukum Indonesia belum banyak yang mengungkapkan doktrin-doktrin mengenai asas tersebut. Oleh karena itu maka pengkajiannya harus dilakukan dengan menggali psutaka-pustaka hukum dan yurisprudensi pengadilan luar negeri. Oleh karena UUPT telah mengacu pada hukum perseroan Inggris dan negara- negara yang menganut common law system, Sutan Remy Syahdaeni menganalisa dengan menggali pustaka-pustaka hukum yang tertulis oleh para pakar hukum dari 16 company law atau corporate law Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara yang menganut common law system dan pada putusan pengadilan Inggris dan Amerika Serikat yang telah menjadi sumber pembuatan UUPT. Di negara-negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah standard of care atau standar kehati-hatian, apabila direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah melanggar duty of care-nya. 38 Sebagai contoh dari standar kehati-hatian itu antara lain sebagi berikut : 1. Anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan atas beban biaya perseroan, apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun demikian, hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya refresentasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2. Anggota direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogyanya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang didalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu. 3. Anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui yang akan mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lian. 4. Anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaianya telah melakukan atau telah cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. 5. Anggota direksi sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cakap melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. Standar kehati-hatian tersebut harus diterapkan pada bank syariah misalnya standar kehati-hatian yang ketiga, direksi bank perlu memperhatikan rambu-rambu kesehatan bank. 39 Rambu-rambu kesehatan bank merupakan pengejawatan dari prinsip kehati-hatian prudential principle. Khusus untuk bank syariah kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian itu tidak secara eksplisit diatur dalam UU No. 7 tahun 1992, baru pada UU No. 10 tahun 1998 hal ini diatur. Aturan tersebut ditegaskan dalam Surat-surat Keputusan Direksi Bank Indonesia. 40 37 Sutan Remy Syahdaeni, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Artikel pada Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14 bulan Juli 2000, hal. 100. 38 Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal. 100. 39 Pelanggaran rambu-rambu kesehatan bank oleh bank syariah memberikan dampak kerugian yang lebih besar daripada apabila hal itu dilakukan oleh bank konvensional terutama dalam pembiayaan berdasarkan mudharabah. 40 Jenis prudential standards bagi bank syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, antara lain : Analisis pembiayaan, batas maksimum pemberian kredit, Loan to deposit ratio. Kewajiban penyediaan modal minimum bank CAR, posisi devisa neto, giro wajib minimum, kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan labarugi tahunan. 17 Berkaitan dengan tanggung jawab direski perseroan ini, Inggris telah memiliki Insolvency Act 1986 yang memuat sejumlah ketentuan mengenai risiko yang harus dipikul oleh para kreditur perseroan untuk bertanggung jawab secara pribadi. 41 Yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat dan perkara Francis vs United Jersey Bank, 432 A.2d 814 NJ. 1981 menawarkan pedoman yang dapat sangat berguna untuk dijadikan rujukan bagi setiap anggota Direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus : 1. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya 2. Dari waktu ke waktu mengetahui kegiatan usaha perseroan 3. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan 4. Menghadiri rapat-rapat direksi secara teratur 5. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secaar teratur 6. Menanyakan apabila menjumapi masalah-masalah yang meragukan 7. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas melanggar hukum 8. Berkonsultasi dengan penasehat counsel perseroan 9. Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan. Menurut Sutan Remy Syahdaeni 42 selain doktrin duty of care, dikenal pula Busines Judgement Rule pertimbangan-pertimbangn bisnis 43 yang kandungan dari kedua doktrin tersebut di atas dapat dipakai untuk mengisi atau dijadikan acuan dimaksudkan dalam Pasal 85 UUPT. Inggris memiliki Undang-undang seperti itu yaitu : Directors Liability Act 1890. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa direksi bank syariah sebagai mudharib pada perjanjian mudharabah tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh bank sebagai pihak pengelola dana masyarakat nasabah penyimpan dana, namun ketentuan ini tidak berlaku jika kerugian yang diderita oleh bank syariah tersebut dikarenakan oleh kesalahan, kelalaian, atau ketidakhati-hatian direksi bank. Jika kerugian tersebut terbukti dikarenakan kesalahan, kelalaian, atau ketidakhati-hatian direksi, misalnya karena direksi melanggar standar of care, atau prudential principle maka direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan UU Perbankan. Sanksi terhadap pelanggaran prudential principle meliputi sanksi pidana, sanksi administratif, dan sanksi perdata. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 49 dan 50 UU Perbankan sanksi administratif diatur dalam Pasal 52 UU Perbankan, dan Pasal 10 41 Sutan Remy Syahdaeni, ibid. 42 Sutan Remy Syahdaeni, Op.Cit.,hal.102. 43 Menurut Business judgement rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak akan ditantang diganggu gugat, atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham. 18 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30271KEPDIRtanggal 6 Maret 1998 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31176KEPDIR tanggal 31 Desember 1998. Sanksi Perdata diatur dalam Pasal 85 ayat 3 dan Pasal 1365 KUH Perdata. B. PENUTUP

1. Simpulan