60
BAB IV GEDUNG IBADAH SEBAGAI PUSAT KEHIDUPAN BERGEREJA GMIT
JEMAAT ZAITUN TUAPUKAN
I. Pendahuluan
Kehadiran gedung ibadah yang megah dan bagus tidak saja dipandang sebagai ruang persekutuan yang nyaman dan aman bagi warga gereja, akan tetapi keberadaan
gedung ibadah juga merupakan suatu kebanggaan bagi seluruh masyarakat desa Tuapukan. Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun merupakan
icon
kebanggaan dan sebuah prestasi yang mengangkat nama baik seluruh masyarakat desa Tuapukan meskipun berada di
tengah konteks kemiskinan. Desa Tuapuakn merupakan desa yang masih ketinggalan dalam bidang ekonomi. Namun, masyarakat desa Tuapukan dapat dikatakan memiliki
potensi dalam diri mereka untuk mencapai perubahan sosial. Salah satu bukti, bahwa masyarakat desa Tuapukan memiliki potensi, yaitu mereka mampu bekerja sama dan
berjuang membangun gedung kebaktian walaupun dalam keterbatasan ekonomi. Sikap antusias membangun gedung ibadah adalah peluang bagi seluruh masyarakat
desa Tuapukan dalam hal ini juga warga gereja GMIT Zaitun untuk menghadirkan transformasi atas realitas sosial seperti kemiskinan. Artinya, gereja memiliki peran dan
pengaruh untuk memberikan motivasi serta membangun kesadaran warga gereja dalam melakukan perubahan sosial di desa Tuapukan sebagaimana yang mereka lakukan untuk
membangun gedung ibadah yang megah. Masyarakat desa Tuapukan dan warga gereja memiliki potensi untuk memperbaiki kehidupan sosial, dan untuk menggali potensi
tersebut maka memerlukan kesadaran dalam diri.
61
II. Gedung Ibadah sebagai Wujud Syalom Allah
Pemerintahan desa Tuapukan mencatat, bahwa desa Tuapukan memiliki jumlah penduduk 2.236 yang termasuk dalam 500 KK Kepala Keluarga tergolong miskin, 150
KK penjual gula merah, 130 KK memiliki rumah bebak dan 354 KK menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas. Dengan kategori kehidupan masyarakat desa
Tuapukan ini, maka dapat disimpulkan bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen yang juga masih tertinggal dalam bidang ekonomi yang mana mengakibatkan adanya
ketinggalan dalam pendidikan, sumber daya manusia yang rendah, dan pengangguran. Dengan kata lain, adanya persoalan sosial seperti kemiskinan yang merupakan pergumulan
dalam kehidupan masyarakat desa Tuapukan, Pergumulan masyarakat desa Tuapukan terkait persoalan kemiskinan merupakan
tantangan iman dan pergumulan yang perlu dijawab oleh gereja dalam hal ini GMIT Jemaat Zaitun. GMIT Jemaat Zaitun hadir di tengah persoalan sosial seperti kemiskinan,
dan dalam kondisi tersebut maka gereja kembali dipanggil untuk melihat visi dan misi akan kehadirannya di tengah dunia. Di mana gereja hadir tidak dengan
“ketelanjangannya,” akan tetapi kehadiran gereja dengan tujuan yang ingin dicapai, yakni sebagaimana yang dinyatakan dalam visi dan misi gereja.
Pesan penting dalam kehidupan bergereja berdasarkan visi dan misi gereja, yaitu bagaimana gereja dapat berupaya untuk menyatakan Syalom Allah bagi dunia. Syalom
Allah dimaknai sebagai kesanggupan gereja untuk menyatakan kehendak Allah melalui sikap-sikap konkret dalam hidup bergereja. Untuk mewujudkam visi gereja, yakni hadir di
tengah dunia atas teladan Yesus Kristus, maka GMIT terpanggil untuk melaksanakan misi pelayanan dalam bidang Koinonia, Marturia, Diakonia, Liturgia, dan Oikonomia. Kelima
bidang yang menjadi bagian penting dalam kehidupan bergereja, karena melalui kelima bidang ini akan terpancar visi dan misi gereja dalam tindakan yang konkret.
62 Hal tersebut sebagaimana yang tecatat dalam bab sebelumnya terkait program
pelayanan tahunan yang dilakukan dalam hidup bergereja di GMIT Jemaat Zaitun. Di mana dalam pelaksanaan pelayanan tahunan, dilakukan berdasarkan kelima bidang yang
diatur sesuai visi dan misi gereja. GMIT Jemaat Zaitun telah menerapkan kehidupan bergereja berdasarkan kelima bidang dengan baik. Dalam program pelayanan tahunan
disusun sesuai dengan bidangnya masing-masing, dan gereja berupaya untuk mencapai program pelayanan yang dirancang secara bersama-sama. Namun, pada tahap ini di tengah
fenomena kemiskinan yang dihidupi oleh masyarakat desa Tuapukan, maka gereja kembali diajak untuk melihat visi dan misi seperti apa yang telah diwujudkan dalam program
pelayanan tahunan berdasarkan pergumulan atas realitas sosial. GMIT Jemaat Zaitun memiliki anggota gereja yang menghidupi nilai spiritual
begitu tinggi. Artinya, bahwa warga gereja begitu memperhatikan nilai religiositasnya ke- iman-annya dibandingkan dengan kehidupan sosial. Hal tersebut berdampak pada sikap
antusias membangun gedung ibadah meskipun di tengah keterbatasan ekonomi. Gedung ibadah dianggap sebagai wujud mereka menyampaikan Syalom Allah di tengah dunia,
karena gedung ibadah merupakan ruang yang tepat untuk membangun iman. Kehidupan yang berpusat pada gedung ibadah dan Yesus Kristus sebagai kepala gereja. Dalam hal ini,
Leonardo Boff menyatakan, bahwa iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk penindasan.
1
Dengan kata lain, penegasan Boff tentang iman manusia terhadap Yesus Kristus bukanlah sebatas bagaimana manusia dapat membangun kehidupan rohani yang semakin
baik, tetapi iman yang hidup adalah bagaimana manusia mampu menyatakan pembebasan bagi dunia, karena Yesus Kristus adalah pembebas. Mengimani Yesus Kristus, dan
membangun persekutuan dalam rumah Tuhan baca:gedung ibadah berarti belajar
1
Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas Maumere: LPBAJ, 1999, 15.
63 meneladani sikap Yesus yang hadir di tengah dunia sebagai penyelamat dan pembebas. Hal
inilah yang masih belum begitu terlihat dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun. Di mana gereja berupaya untuk mencapai visi dan misi GMIT, akan tetapi tindakan
dan upaya yang dilakukan masih bersifat seremonial dan vertikal. Keyakinan warga gereja kepada Yesus Kristus Sang pemilik gereja bernilai tinggi, namun sikap dalam kehidupan
sosial masih begitu minim. Dengan demikian, untuk melihat kembali akan visi dan misi gereja, di tengah
fenomena kemiskinan dan kekhasan desa Tuapukan yang adalah desa Kristen, maka di sinilah gereja dapat melihat teologi pembebasan sebagai cara memerangi kemiskinan
dalam upaya mewujudkan visi dan misi GMIT yang sebenarnya. Teologi pembebasan adalah upaya refleksi atas praksis pembebasan kaum miskin dengan cara mengangkat
realitas sosial kaum miskin dalam dialog dengan sabda Tuhan.
2
Gereja tidak menjadi gereja yang hanya bersifat seremonial, tetapi gereja juga perlu memperhatikan kehidupan
sosial atau secara horizontal. Dalam mewujudkan hal ini maka gereja perlu untuk melakukan teologi
pembebasan. Dalam arti ini, teologi pembebasan merupakan satu corak baru dalam
hermeneutik
di mana realitas sosial orang miskin diangkat ke dalam pengertian teologis.
3
Artinya, realitas kemiskinan tidak sekadar diterima sebagai sebuah fenomena sosial dan kultural, melainkan juga dipahami dalam perspektif teologi, yakni kehadiran Allah dalam
realitas itu dan perjuangan kaum miskin akan pembebasan dilihat dalam perspektif realitas Allah.
4
GMIT Jemaat Zaitun masih menerjemahkan visi dan misi GMIT sebatas kehidupan gerejawi. Artinya, belum ada sikap sosial yang disinggung dan dijadikan
sebagai bagian dalam hidup bergereja. Gedung ibadah dimaknai sebagai rumah Tuhan
2
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik Salaitiga: Satya Wacana University Press, 2015, 32.
3
Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 33.
4
Nuban Timo, Polifonik Bukan Monofonik, 33.
64 yang merupakan bagian dari wujudnya Syalom Allah, namun gedung ibadah belum
dimanfaatkan dengan baik dalam memberikan perubahan sosial. Oleh karena itu, pada bagian ini maka gereja masih memerlukan adanya transformasi pemahaman, sehingga
gereja hadir di tengah dunia dan menyatakan Syalom Allah melalui tindakan-tindakan konkret yang melibatkan kepedulian serta kepekaan atas realitas sosial.
III. Rumah Tuhan sebagai Ruang Alienasi Sosial