72 dan menjadikan gedung ibadah sebagai pusat kehidupan dari segala aspek kehidupan
mereka. Gedung ibadah dijadikan sebagai pusat kehidupan, karena di dalam gedung ibadah dapat melepaskan mereka dari kenyataan hidup yang membuat mereka terbelenggu dalam
ketidaknyamanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa gereja hanya sebagai
opium
, sebagai ruang yang memberikan kenyamanan meski itu hanya sesaat.
V. Gereja di Tahap Prakondisi Lepas Landas
Pada prinsipnya, warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki motivasi dan potensi untuk melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, motivasi dan
potensi itu perlu kembali digali dan membutuhkan dorongan dari luar atau secara eksternal. Proses pembangunan gedung ibadah merupakan pergumulan besar yang digumuli oleh
pendeta jemaat dan panitia pembangunan. Pergumulan besar yang dihadapi, yaitu mereka harus berjuang untuk memotivasi dan membangun kesadaran warga gereja agar bersepakat
dan berjuang bersama untuk membangun gedung ibadah dengan estimasi biaya dan perencanaan pembangunan yang akan dilakukan. Di mana, pada awalnya warga gereja
tidak setuju dengan adanya pembangunan gedung ibadah karena bagi mereka estimasi biaya yang dibuat tidak akan mampu dicapai, dan mereka merasa tidak sanggup
membangun gedung ibadah yang megah sebagaimana saat ini telah berdiri dengan indah. Kekhwatiran dan keraguan warga gereja merupakan kelemahan bagi pendeta jemaat dan
panitia pembangunan untuk melangkah maju dalam pembangunan gedung ibadah. Namun, karena perjuangan memotivasi warga jemaat terus-menerus dilakukan,
maka pada akhirnya mereka mampu membangun gedung ibadah dengan megah sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Fenomena pembangunan gedung ibadah GMIT
Jemaat Zaitun menunjukkan, bahwa pada dasarnya warga gereja dalam hal ini juga
73 masyarakat desa Tuapukan dapat mewujudkan perubahan dalam kehidupan mereka.
Namun, perubahan itu akan terjadi bila ada dorongan dan motivasi secara eksternal. Melihat minimnya kesadaran dalam diri warga gereja untuk memberikan
perubahan sosial dalam kehidupan mereka, maka dalam hal ini gereja dapat hadir untuk memahami bagaimana kehidupan sosial dan religius secara utuh dijalani oleh warga
gerejanya. Gereja juga perlu melihat bagaimana pemahaman warga gereja tentang persoalan sosial yang sebernarnya adalah realitas sosial di tengah kehidupan mereka. Ada lima tahap
pembangunan yang digunakan oleh W. W. R ostow untuk “mengukur” serta meninjau tahap
perkembangan masyarakat dalam kehidupannya. Lima tahap pembangunan yang dimaksud oleh Rostow. Pertama,
Masyarakat Tradisional
; dalam tahap ini masyarakat belum begitu menguasai ilmu pengetahuan yang ada, sehingga manusia hanya tunduk kepada alam, dan mengikuti arus kehidupan yang ada.
19
Kedua,
Prakondisi untuk Lepas Landas
; pada tahap ini masyarakat sudah lebih bergerak daripada masyarakat tradisional, namun untuk mengalami perubahan dan perkembangan
tahap ini membutuhkan dorongan dan bantuan secara eksternal.
20
Artinya, untuk lepas dari kehidupan masyarakat tradisional, maka masyarakat tidak dapat mengubah dirinya sendiri.
Ketiga
, Lepas landas;
pada tahap ini telah ada perkembangan lebih maju dari tahap sebelumnya.
21
Dalam tahap ini, masyarakat sudah dapat mengendalikan hambatan- hambatan yang ada dan masyarakat sudah memiliki investasi serta tabungan. Keeempat
, Bergerak ke kedewasaan;
industri berkembang dengan pesat. Untuk itu, pada tahap ini mengalami peningkatan pesat dari tahap-tahap sebelumnya.
22
Kelima,
Jaman Konsumsi masal yang tinggi;
karena kenaikan pendapatan masyarakat, maka konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih
19
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. 26.
20
Budiman, Teori Pembangunan, 26
21
Budiman, Teori Pembangunan, 27.
22
Budiman, Teori Pembangunan, 28.
74 tinggi.
23
Pada tahap ini nilai produksi dan konsusmi semakin tinggi, dan perkembangan ekonomi mulai terlihat. Sebagaimana uraian Rostow terkait lima tahap pembangunan yang
dideskripsikannya, maka GMIT Jemaat Zaitun dapat digolongkan dalam tahap prakondisi untuk lepas landas. Artinya, untuk melakukan perubahan sosial, maka warga gereja
masyarakat desa Tuapukan tidak dapat berjuang dan berjalan sendiri. Untuk itu, mereka membutuhkan fasilitator sebagai motivasi dan dorongan secara eksternal.
Masyarakat desa Tuapukan tidak bisa melakukan perubahan melalui dirinya sendiri. Oleh karena itu mereka membutuhkan gereja sebagai fasilitator yang hadir di
tengah kehidupan sosial mereka. Dengan demikian, gereja yang ada di dunia adalah gereja bagi orang lain, yakni dapat berfungsi di tengah kehidupan desa Tuapukan. Melalui tahap
ini maka gereja dapat memerankan tugasnya sebagai fasilitator untuk membangun kesadaran masyarakat desa Tuapukan, memberikan motivasi dan dorongan untuk
mewujudkan perubahan sosial seperti menanggulangi persoalan kemiskinan.
IV. Sistem