64 yang merupakan bagian dari wujudnya Syalom Allah, namun gedung ibadah belum
dimanfaatkan dengan baik dalam memberikan perubahan sosial. Oleh karena itu, pada bagian ini maka gereja masih memerlukan adanya transformasi pemahaman, sehingga
gereja hadir di tengah dunia dan menyatakan Syalom Allah melalui tindakan-tindakan konkret yang melibatkan kepedulian serta kepekaan atas realitas sosial.
III. Rumah Tuhan sebagai Ruang Alienasi Sosial
Desa Tuapukan merupakan desa Kristen, dan juga salah satu desa yang tertinggal dalam bidang ekonomi. Kedua hal yang perlahan-lahan begitu melekat dalam kehidupan
masyarakat desa Tuapukan, dan kedua hal ini juga pada dasarnya saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Sebagaimana yang dikatakan Aloysius Pieris, bahwa
upaya teologis untuk menghadapi agama-agama Asia tanpa memberikan perhatian terhadap aspek
kemiskinan di Asia atau sebaliknya memperhatikan kemiskinan tanpa memberikan perhatian pada aspek religius, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia.
5
Keberagaman agama di tengah konteks kemiskinan, membuat aspek religius dan sosial perlu berjalan secara bersama-sama.
Menurut Pieris, keberagaman agama di Asia merupakan salah satu solusi bagi orang Asia untuk memberantas kemiskinan.
Masyarakat desa Tuapukan dalam hal ini warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, memiliki nilai juang untuk membangun kehidupan spiritual yang begitu tinggi. Mereka begitu
menjunjung tinggi nilai religiositas dalam kehidupan mereka dibandingkan aspek sosial. Kerinduan dan upaya membangun kehidupan rohani yang begitu besar dibandingkan nilai
kehidupan lainnya, maka hal ini yang dikatakan Pieris bahwa akan menjadi sia-sia. Artinya, bahwa sepatutnya mereka memperhatikan kehidupan secara seimbang dari berbagai aspek.
Nilai spiritual yang tinggi dihidupi sepatutnya dapat berpengaruh dan memberikan dampak
5
Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation New York: Orbis Books, 1988, 69.
65 baik dalam memperhatikan persoalan sosial seperti kemiskinan. Begitu juga berdasarkan
realitas sosial maka sepatutnya mempengaruhi kehidupan spiritual warga gereja. Melihat fenomena kemiskinan di desa Tuapukan, maka kemiskinan yang terjadi
merupakan kemiskinan mutlak. Kemiskinan mutlak, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, kerja yang wajar dan pendidikan dasar
tidak terpenuhi, apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan.
6
Dengan kata lain, kemiskinan multak berarti kehidupan orang-orang yang merasakan hidup dalam kemelaratan, misalkan seperti kelaparan
dan sumber daya manusia SDM yang begitu rendah dikarenakan ketinggalan pendidikan. Sikap warga gereja dan masyarakat sekitar yang kurang memberikan kepekaan
terhadap persoalan kemiskinan, karena mereka menganut ideologi konservatif sebagaimana yang diuraikan oleh Banawiratma.
Ideologi konservatif menjujung tinggi pengalaman mengenai struktur sosial.
7
Artinya, bahwa setiap nilai yang sudah ditetapkan dalam struktur, sangat dipegang teguh oleh kaum konservatif. Pada umumnya, kaum konservatif memandang
masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri. Akibatnya mereka tidak memandang masalah kemiskinan sebagai masalah yang serius, karena mereka merasa bahwa
penyebab kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri.
8
Hal tersebut tercermin dalam kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar, baik dalam lingkup gerejawi maupun sosial. Mereka menilai dan memaknai kemiskinan sebagai
sebuah nasib yang hanya perlu didoakan dan berserah kepada Tuhan. Dalam penyerahan pada Tuhan, maka bagi warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang diperlukan adalah
kesadaran diri sendiri dan bantuan dari pemerintahan. Gereja tidak dipandang sebagai
pemain
6
J. B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu Yogyakarta: Kanisius, 1993, 126.
7
A. Suryawasita, Analisis Sosial dalam Tulisan J. B. Banawiratma, Kemiskinan dan Pembebasan Yogyakarta: Kanisius, 1987, 16.
8
A. Suryawasita, Analisis Sosial, 17.
66 utama dalam penyelesaian persoalan kemiskinan, karena bagi mereka gereja hanyalah
bertugas untuk membangun iman. Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun memiliki sikap antusias untuk membangun
gedung ibadah dengan biaya yang besar meskipun di tengah kondisi ekonomi yang terbatas. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pemahaman mereka yang fundamental tentang gereja.
Pemahaman tentang gereja dan pengalaman spiritual warga gereja mampu mempengaruhi sikap mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan gedung ibadah. Warga gereja
memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, di mana dalam rumah Tuhan itu mereka akan mendapatkan kedamaian, kesejahteraan, ketentraman dan mampu mengikat tali
persaudaraan. Melalui rumah Tuhan, maka mereka tidak saja dapat membangun persekutuan dengan Tuhan tetapi juga dengan sesama, dan di dalamnya mampu membangun iman
mereka. Rumah Tuhan sebagai tempat di mana dapat “mendamaikan” mereka yang di luar gereja terlihat renggang, dan menenangkan mereka yang di luar gereja memiliki banyak
pergumulan. Pemaknaan-pemaknaan tersebutlah yang menjadi pengaruh dan peran penting di balik
sikap pembangunan gedung ibadah. Sebagaimana pemahaman gereja yang disampaikan dalam konsili Vatikan II, yakni gereja dipandang sebagai sakramen yang adalah tanda dan
sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.
9
Gereja sebagai sakramen, yaitu sebagai “ruang” untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama. Secara fundamental pemahaman demikian dihidupi oleh warga
gereja bahkan menjadi bagian dalam pengalaman spiritual mereka. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman spiritual inilah, maka adanya nilai juang
untuk membangun rumah Tuhan, karena bagi mereka rumah Tuhan sepatutnya lebih diutamakan daripada rumah mereka sendiri sebab berkat yang mereka terima juga berasal
9
Tom Jacobs., dkk, Gereja dan Masyarakat Yogyakarta: Kanisius, 1986, 25.
67 dari Tuhan. Di balik memaknai gedung ibadah sebagai rumah Tuhan, ada juga harapan dari
warga gereja atas pembangunan gedung ibadah. Warga gereja bersedia berjuang dan berpartisipasi membangun gedung ibadah dalam kondisi tidak mendukung, karena mereka
berharap melalui gedung ibadah yang bagus dapat berpengaruh dalam pertumbuhan iman mereka. Gedung ibadah tidak saja membantu terjadinya pertumbuhan iman warga gereja,
tetapi juga membantu melepaskan mereka dari segala pergumulan hidup yang dihadapi. Melalui persekutuan yang dibangun, ibadah-ibadah atau puji-pujian yang dilatunkan dalam
gedung ibadah yang bagus, tidak saja meningkatkan nilai religiositas dalam diri warga gereja, tetapi juga memberi ruang bagi warga gereja untuk terlepas dari tanggung jawab duniawi
meskipun hal tersebut hanya dirasakan dalam waktu satu sampai dua jam. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT Jemaat Zaitun
merupakan suatu fenonema alienasi sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, bahwa agama dalam hal ini gereja merupakan sebuah
opium
bagi warga gereja masyarakat, yaitu kehadiran gereja mampu menghilangkan rasa sakit dan sekaligus menciptakan fantasi.
10
Uraian Marx tentang agama sebagai opium bagi masyarakat, menunjukkan bahwa gereja yang adalah bagian dari agama juga dapat disebut sebagai ruang alienasi sosial.
Pandangan Marx tentang agama sebagai
opium
terlihat dalam kehidupan warga gereja GMIT Jemaat Zaitun. Di mana mereka melihat keberadaan gereja sebagai opium yang dapat
menciptakan fantasi, yakni memberikan kedamaian, ketentraman, dan melepaskan mereka dari pergumulan hidup sehari-hari. Kenyamanan dalam gedung ibadah tentu tidak ada dalam
diri warga gereja secara terus-menerus, tetapi paling tidak hal tersebut selalu didapatkan ketika berada dalam gedung ibadah. Dengan demikian, hal ini yang dikatakan bahwa gedung
ibadah baca:rumah Tuhan secara tidak langsung dibangun untuk menjadi ruang alienasi sosial dari kehidupan warga gereja dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dalam kondisi
10
Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Tulisan Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion Qalam: Yogyakarta, 2001, 237.
68 yang terbatas ataupun tidak, warga gereja tetap berjuang untuk mencapai pembangunan
gedung ibadah yang megah dan bagus. Warga gereja GMIT Jemaat Zaitun menjadikan gedung ibadah atau rumah Tuhan
sebagai ruang alienasi sosial. Hal tersebut berarti keberadaan gedung ibadah akan semakin membuat mereka kurang memberikan perhatian pada pesoalan sosial. Warga gereja
menganggap persoalan sosial seperti kemiskinan adalah pergumulan individual, dan untuk memberikan perubahan sosial atau memberantas kemiskinan adalah semata-semata tugas
pemerintahan. Bagi warga gereja, persoalan kemiskinan bukanlah persoalan bersama dan juga bukan merupakan tanggung jawab penuh oleh gereja. Adanya pemahaman demikian,
karena warga gereja memahami tanggung jawab gereja hanyalah sebatas persekutuan- persukutuan yang dibangun, dan perlu upaya untuk terus-menerus meningkatkan nilai
religiositas yang mana dapat membagun iman mereka pada kehidupan sehari-hari. Keberhasilan membangun gedung ibadah yang megah dipengaruhi oleh pemahaman tentang
gereja yang fundamental. Begitu juga kurangnya perhatian pada persoalan sosial seperti kemiskinan, karena minimnya pemahaman warga gereja tentang kemiskinan itu sendiri.
Hingga tahap ini, warga gereja lebih menjadikan gedung ibadah sebagai pusat kehidupan mereka dibandingkan memberikan perhatian pada persoalan kemiskinan di desa
Tuapuakan. Namun, gedung ibadah sebagai pusat kehidupan hanyalah dilihat dan dimaknai sebagai ruang persekutuan yang sakral. Di mana dalam gedung ibadah, maka yang
dilakukan masih sebatas persekutuan-persekutuan minggu, kegiatan-kegiatan gerejawi seperti perayaan hari raya gerejawi, tetapi belum bermanfaat dalam melakukan
pemberdayaan yang memberikan perubahan sosial. Gereja hadir di tengah dunia dan dalam realitas sosial, akan tetapi gereja belum secara sungguh-sunggu ada untuk dunia dalam
menjawab pergumulan dunia yang adalah realitas sosial. Catatan penting yang disampaikan oleh Andreas A. Yewangoe, yaitu bahwa gereja ada dalam dunia, tetapi tidak
69 berasal dari dunia.
11
Artinya, bahwa gereja dihadirkan di tengah dunia, tetapi gereja bukan milik dan ciptaan dunia. Hal itu berarti, gereja hadir dalam dunia atau ada dalam dunia
dengan tugas penting yang diembannya, yaitu menyatakan kerajaan Allah bagi dunia. Dengan kata lain, Yewangoe menegaskan bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain.
12
Dalam hal ini, gereja tidak hadir untuk diri sendiri melainkan gereja ada dalam dunia bagi orang lain, bagi mereka yang membutuhkan kehadiran gereja demi mencapai kehidupan
layak, perubahan sosial, dan keadilan. Pemahaman tersebut yang masih belum begitu dihidupi dengan baik oleh warga
gereja GMIT Jemaat Zaitun. Di mana, dalam kehidupan bergereja maka warga gereja masih melihat gereja sebagai identitas keagamaan mereka yang benar-benar perlu diperhatikan.
Namun, perhatian yang diberikan hanya sebatas internal, yakni untuk membangun diri sendiri dan belum secara eksternal seperti uraian di atas bahwa gereja adalah gereja bagi orang lain.
Gereja bagi orang lain, berarti gereja hadir memberikan kepedulian dan kepekaan terhadap kehidupan sekitar, dan gereja yang mampu membangun kehidupan vertikal persekutuan
dengan Tuhan dan horizontal relasi dalam kehidupan sosial secara seimbang. Gereja ada dan hidup bereksistensi tidak dalam suatu ruang yang kosong, melainkan
gereja hadir dalam suatu konteks kehidupan masyarakat tertentu secara nyata.
13
Sebagaimana yang digaribawahi oleh Yinger, bahwa agama yang sempurna bagaimanapun tetap harus
berupa fenomena sosial.
14
Agama harus bisa diidentifikasi sebagai kenyataan penting, bahwa keyakinan yang ada di dalamnya juga memiliki dampak pada asosiasi manusia.
15
Dengan kata lain, keberadaan agama perlu memberikan dampak baik dalam kehidupan manusia, dan
11
Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto gereja di dala du ia Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009, 3.
12
Yewangoe, Tidak Ada Ghetto, 4.
13
Daniel Numahara., dkk, Di dalam Dunia tetapi Tidak dari Dunia Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004, 148.
14
Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi: Religiositas Sipil di Indonesia Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 86.
15
Kholiludin, Pancasila dan Transformasi, 86.
70 salah satu peran yang perlu diperlihatkan oleh agama, yaitu ada dalam lingkup fenomena
sosial.
IV. Hakekat Hubungan Persekutuan dan Ketaatan Gereja Kepada Kristus