Program Utama PKSN sebagai Pusat Pelayanan Utama Kawasan Perbatasan

Program Utama PKSN sebagai Pusat Pelayanan Utama Kawasan Perbatasan

Berdasarkan RTR Kawasan Perbatasan Negara, terdapat indikasi program utama untuk PKSN sebagai pusat pelayanan utama kawasan perbatasan negara, antara lain: pengembangan prasarana dan sarana pertahanan, promosi, investasi, pemasaran, simpul transportasi, dan/atau kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; pengembangan industri pengolahan dan industri jasa hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan; pengembangan pariwisata; pengembangan prasarana dan sarana air minum, jaringan air limbah, drainase, dan pengelolaan sampah; pengembangan

prasarana dan sarana pelayanan tenaga listrik, telekomunikasi, fasilitas sosial, dan fasilitas umum; serta pengembangan atau pemantapan jaringan jalan arteri primer, kolektor primer, dan jaringan jalan strategis nasional untuk meningkatkan aksesibilitas PKSN.

Tahun 2015, beberapa PKSN dan atau pusat pelayanan pintu gerbang yang menjadi prioritas pengembangan antara lain PKSN Entikong, PKSN Nangabadau, PKSN Paloh-Aruk, PKSN Nunukan, PKSN Atambua, Motaain, Motamasin, dan Skow.

Terkait program pengembangan infrastruktur, terdapat beberapa contoh yang menjadi prioritas untuk tahun 2015-2019, antara lain:

1. Pada kawasan perbatasan di Kalimantan: (i) pengembangan jaringan jalan arteri primer Balai Karangan-Entikong-Batas Negara: (ii) pengembangan jaringan jalan kolektor primer Aruk-Teberau-Rasau-Sepulau-Nanga Badau dan Nanga Badau- Lanjak-Mataso-Tanjung Kerja-Putussibau; (iii) pengembangan dan peningkatan jaringan jalan strategis nasional PKSN Nunukan - Pelabuhan Tunon Taka-Bandar Udara Nunukan; (iv) peningkatan pengelolaan sumber air dari daerah Aliran Sungai (DAS) Sambas; (v) pengembangan Irigasi di Sanggau; (vi) pembangunan Embung Sanggau dan Embung Bolang; (vii) pengembangan Waduk Bilal; (viii) pengembangan sistem pengamanan pantai di Pulau Sebatik; (ix) pengembangan SPAM dan sistem drainase di Paloh-Aruk, Entikong, Nanga Badau, Nunukan; (x) pengembangan prasarana dan sarana dasar Kawasan PPLB Aruk; (xi) pengembangan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA) di Nangabadau dan Nunukan; (xii) peningkatan dan pemantapan Bandar Udara Paloh; dan (xiii) pengembangan depo minyak dan gas bumi Tanjung Api.

2. Pada kawasan perbatasan di Provinsi NTT: (i) peningkatan dan pemantapan jaringan jalan arteri primer Kefamenanu-Maubesi- Nesam/Kiupukan-Halilulik-Atambua-Lahafeham-Motoain; (ii) peningkatan dan pemantapan jaringan jalan strategis nasional

Kawasan Perbatasan di Kec. Lumbis Ogong, Kab. Nunukan, Prov. Kalimantan Utara. sumber: citizendaily.net

18 buletin tata ruang & pertanahan

Batuputih-Panite-Kalbano-Boking-Wanibesak-Besikama- Motamasin; (iii) pengembangan Embung Haekrit; (iv) peningkatan dan pemantapan Daerah Irigasi (DI) Haliwen, DI Haekesak, DI Maubusa, DI Holeki, DI Halileki, DI Nobelu; (v) pengembangan dan peningkatan SPAM jaringan perpipaan di Atambua; (vi) pengembangan dan peningkatan sistem jaringan drainase di Atambua; (vii) pengembangan TPA di Kecamatan Kakuluk Mesak; (viii) pengembangan dan peningkatan Pelabuhan Wini; (ix) pengembangan dan peningkatan Bandar Udara Haliwen; (x) pengembangan depo minyak dan gas bumi pada PKSN Atambua; dan (xi) pengembangan jaringan satelit untuk melayani pusat pelayanan kawasan perbatasan negara.

3. Pada kawasan perbatasan di Provinsi Papua: (i) pengembangan jaringan jalan arteri primer (4 Jalur) yang menghubungkan Sentani-Abepura-Hamadi-Jayapura-Koya- Skow untuk melayani Skow; (ii) pengembangan sumber air permukaan pada Danau Sentani; (iii) pengembangan DI Koya; (iv) pengembangan sistem pengaman pantai di Distrik Jayapura Utara dan Distrik Muaratami di Kota Jayapura; (v) pengembangan intake dan jaringan pipa transmisi air baku di Kabupaten Keerom, Kota Jayapura, dan Kabupaten Jayapura; (vi) pengembangan SPAM non perpipaan di desa rawan air/pesisir/terpencil di distrik yang belum terjangkau SPAM dan/atau Pos Pengaman Perbatasan yang berada di distrik Muara Tami di Kota Jayapura, distrik Towe, distrik Senggi, distrik Waris, dan distrik Arso Timur di Kabupaten Keerom; (vii) pengembangan dan peningkatan sistem jaringan air limbah terpusat di Jayapura; (viii) penataan kawasan (kawasan perdagangan, fasilitas CIQS, permukiman petugas, fasilitas pertahanan dan keamanan) di sekitar pos lintas batas skow dan Waris; (ix) pengembangan Pelabuhan Jayapura; (x) pemantapan Bandar Udara Sentani; (xi) pengembangan PLTU PLTU Jayapura-Skouw; dan (xii) pengembangan Jayapura ( Skyland)-Sentani.

Dukungan Pertanahan untuk Perwujudan Kawasan Perbatasan Negara

Terkait pertanahan, setidaknya terdapat 4 (empat) bentuk dukungan untuk perwujudan kawasan perbatasan negara. Pertama, pemberian sertiikat hak atas tanah di kawasan perbatasan negara dan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Upaya ini selain sebagai pengakuan atas wilayah negara, juga sebagai upaya modal ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan negara dan PPKT. Pemberian hak atas tanah tersebut harus sesuai dengan peruntukan lahan yang ditetapkan dalam RTR. Kedua, neraca tanah sebagai dasar pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan izin lokasi investasi. Ketiga, evaluasi hak atas tanah sebagai penegasan tertib penataan ruang

di kawasan perbatasan khususnya yang menyimpang dari RTRW. Keempat, pemberian hak komunal bagi masyarakat adat yang telah bertempat tinggal selama 10 (sepuluh) tahun sebagai hak pengakuan negara.

Perlu digarisbawahi beberapa hal sebagai tindak lanjut, tidak hanya bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN saja, namun juga bagi semua stakeholders terkait, antara lain:

1. percepatan penyelesaian RTR Kawasan Perbatasan Negara khususnya RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi Utara-Provinsi Gorontalo-Provinsi Sulawesi Tengah- Provinsi Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, RTR Kawasan Perbatasan Negara di Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, dan RTR Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau;

2. partisipasi masyarakat/dunia usaha sangat dibutuhkan tetapi kegiatan harus sesuai dengan RTR dan manajemen pertanahan yang efektif dan berkelanjutan;

3. khusus pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan negara adalah hal utama dan pertama untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

Gapura yang Membatasi Wilayah Indonesia dan Papua Nugini sumber: www.kabarpapua.net

Gerbang perbatasan Skouw-Wutung antara Indonesia dengan Papua Nugini sumber: www.kanalsatu.com

buletin tata ruang & pertanahan 19

Kecamatan Entikong merupakan kecamatan perbatasan yang berlokasi di ujung utara kabupaten Sanggau yang berbatasan langsung dengan Serawak – Malaysia. Kecamatan Entikong memiliki luas 506, 89 km2, yang terdiri dari 5 desa dan 28 dusun, dengan jumlah penduduk ±13.514 jiwa (tahun 2012). Sebagian besar penduduk Entikong bermata pencaharian sebagai petani.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Entikong menjadi salah satu Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang berada di pintu perbatasan darat Indonesia, dengan sudut kepentingan pertanahan dan keamanan, dan menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Propinsi Kalimantan Barat. Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara. Berdasarkan rancangan Rencana Tata Rinci (RTR) Kawasan Perbatasan Kalimantan, PKSN Entikong ini berfungsi sebagai: (i) pintu gerbang utama; (ii) pusat pelayanan kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; (iii) pusat kegiatan hankam negara; (iv) pusat perdagangan dan jasa; (v) pusat industri; dan (vi) pusat pelayanan sistem angkutan umum penumpang.

Sementara, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Kalimantan, PKSN dan PKW Entikong akan dikembangkan sebagai pusat industri pengolahan hasil perkebunan (kelapa sawit dan karet), hasil hutan, dan hasil pertanian. Selain itu, fungsinya ditingkatkan sebagai pusat kegiatan pertanahan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, pintu gerbang internasional dan simpul transportasi kawasan perbatasan.

Pada tahun 2013, Ditjen Cipta Karya – Kementerian PU telah menyusun masterplan dan DED ( Detail Engineering Design) di kawasan PLBN (Pos Lintas Batas Negara) Entikong. Tujuannya adalah untuk menciptakan kawasan perbatasan ( border area) yang representatif dan tertata dengan baik, yang nantinya akan menjadi panduan terukur dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Sebagaimana dapat dilihat pada rencana struktur ruang lokasi prioritas (lokpri) Entikong, berdasarkan evaluasi dan peninjauan kembali Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perbatasan Entikong Tahun 2012, pusat primer bertumpu pada PBLN Entikong dan memiliki pusat sekunder dan tersier sebagai buffer zone.

Dibandingkan dengan kawasan perbatasan lainnya, Entikong sudah memiliki Custom, Immigration, Quarantine, and Security (CIQS) dengan kondisi yang cukup baik, dan termasuk dalam PLBN Tipe

A. PLBN Tipe A, yaitu gerbang lintas batas negara yang dilengkapi dengan CIQ dan status keimigrasianya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), bagi para pelintas batas diwajibkan menggunakan dokumen paspor atau pas lintas batas bagi penduduk kecamatan perbatasan. PLBN ini bersifat internasional,

yang dilengkapi dengan sedikitnya 5 (lima) jenis pemeriksaan, yaitu: (i) C ( Custom), pemeriksaan bea dan cukai; (ii) I (Imigration), pemeriksaan imigrasi; (iii) Q1 ( Quarantine-1, pemeriksaan Kesehatan Manusia; (iv) Q2 ( Quarantine-2), pemeriksaan kesehatan Hewan/tumbuhan; (v) Q3 ( Quarantine-3), pemeriksaan kesehatan ikan. Unsur S ( Security), yang meliputi pemeriksaan keamanan melalui jajaran TNI/POLRI merupakan unsur pelayanan pendukung yang sangat penting dan sebagai back up atas unsur pelayanan utama PLBN (CIQ).

Isu – isu yang mengemuka di kawasan PLBN Entikong, antara lain: (i) masih terdapat beberapa wilayah yang belum dapat dijangkau dengan transportasi darat (kawasan terisolir); (ii) rentan terhadap iniltrasi karena keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki terutama dalam hal pengawasan dan pengamanan wilayah; (iii) pembangunan dilakukan secara parsial dan temporal sehingga pembangunan yang dilaksanakan selama ini kurang sinergis dan terpadu; dan (iv) belum ada peraturan pelaksanaan terkait pengelolaan kawasan perbatasan yang menyangkut Badan Pengelola Perbatasan Negara sehingga hal ini mengakibatkan kurangnya koordinasi antarinstansi – instansi terkait di tingkat daerah maupun pusat.

Banyak masalah yang harus diatasi, untuk itu secara bertahap pembangunan fasilitas di kecamatan Entikong terus ditingkatkan, baik oleh pemerintah kabupaten Sanggau, pemerintah provinsi, maupun pemerintah pusat. Beberapa kegiatan skala besar yang sudah dilaksanakan, antara lain: (i) pembangunan perumahan taman perbatasan indah Entikong; (ii) Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa); (iii) Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong; (iv) Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Entikong; (v) Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Entikong; (vi) Jalan batas kabupaten Entikong – Suruh Tembawang; (vii) pasar tradisional Entikong; (viii) Balai Latihan Kerja (BLK) Entikong; (ix) perkantoran stasiun karantina ikan, tumbuhan dan kesehatan; dan (x) pembangunan sarana dan prasarana bea dan cukai entikong (perbatasan).

Sebagaimana janji Presiden Joko Widodo, “wilayah perbatasan akan dijadikan etalase Indonesia”, maka pembangunan kawasan perbatasan menjadi prioritas 5 (lima) tahun mendatang. Hal ini dibuktikan dengan alokasi dana Rp 1 triliun lebih untuk pembangunan perbatasan Entikong, salah satunya melalui pembangunan dry port yang akan memudahkan kegiatan ekspor – impor [gp].

sumber: diolah dari berbagai sumber

S ecara geograis, Indonesia berbatasan darat dengan negara Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini sepanjang 3092,8 km. Titik

perbatasan tersebar di 3 (tiga) pulau, 4 (empat) Provinsi, dan 15 Kab/Kota dengan karakteristik yang berbeda. Buletin TRP kali ini melihat lebih dekat salah satu kawasan perbatasan yang menjadi titik awal pembangunan perbatasan di era Presiden Joko Widodo,

yaitu kecamatan Entikong, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat.

melihat dari dekat