Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Edisi

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Kajian Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas

Internalisasi Nawacita: Membangun Kawasan Perbatasan dalam perspektif Tata Ruang dan Pertanahan Ir. Budi Situmorang, MURP Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang

Entikong: gerbang terdepan perbatasan Indonesia Melihat dari Dekat

42 buletin tata ruang & pertanahan

Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan

dari redaksi

Otonomi Daerah Penanggung Jawab

Tidak terasa kita berjumpa kembali. Pada kesempatan pertama kami Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

Keluarga Besar Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Mohon Maaf Lahir

Pemimpin Redaksi Santi Yulianti

dan Batin.

Dewan Redaksi Pada edisi ini, kami menyajikan tema Peran Tata Ruang dan Pertanahan

Mia Amalia dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN Uke M. Hussein

2015-2019. Ada apa dengan kawasan perbatasan?. Tentu saja perhatian Nana Apriyana

terhadap kawasan perbatasan bukan tanpa alasan. Sebagaimana diketahui Rinella Tambunan bahwa salah satu agenda prioritas yang tercantum dalam Nawacita adalah

Editor “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa Gina Puspitasari

dalam kerangka negara kesatuan”. Dalam konteks inilah kemudian kawasan Rini Aditya Dewi

perbatasan dimaknai sebagai salah satu daerah pinggiran. Namun yang Redaksi

lebih penting lagi adalah adanya keinginan pemerintahan saat ini menjadikan Hernydawati

kawasan perbatasan sebagai beranda depan atau bagian dari etalase Aswicaksana

Indonesia.

Rafli Noor Elmy Yasinta Ciptadi

Untuk mewujudkan agenda maupun keinginan pemerintah tersebut, banyak Idham Khalik

Cindie Ranotra pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah melakukan Riani Nurjanah

pembenahan terhadap kondisi tata ruang dan pertanahan kawasan Aulia Oktriana Laiadji

perbatasan. Untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan kita, Buletin Zaharatul Hasanah Meddy Chandra

TRP kali ini mengetengahkan beragam materi mulai dari wawancara dengan Gita Nurrahmi

Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas yang selama ini Fadiah Adlina Ulfa

mengawal pembangunan kawasan perbatasan, tulisan dari Direktur Tata Reza Nur Irhamsyah

Ruang Wilayah Nasional Kementerian ATR/BPN yang banyak membahas Edi Setiawan RPJMN, dan dilengkapi dengan melihat dari dekat salah satu kawasan

Desain & Tata Letak perbatasan yang sudah sangat dikenal yaitu Entikong. Selain itu, disajikan Dodi Rahadian

pula Peraturan Presiden terkait RTR Kawasan Perbatasan di Provinsi NTT Indra Ade Saputra

sebagai contoh pengaturan tata ruang kawasan perbatasan. Tidak lupa juga Distribusi & Administrasi

disertakan ringkasan buku terkait Pengembangan Kawasan Perbatasan. Sylvia Krisnawati Redha Soiya

Diharapkan sajian kali ini dapat menambah khasanah pengetahuan pembaca Pratiwi Khoiriyah

terhadap pentingnya pembangunan kawasan perbatasan dan tentunya peran tata ruang dan pertanahan dalam pembangunan kawasan perbatasan.

Alamat Redaksi Direktorat Tata Ruang dan

Akhir kata, kami selalu menantikan kritik dan saran dari para pembaca demi Pertanahan, Kementerian PPN/

peningkatan kualitas Buletin TRP.

Bappenas Jl. Taman Suropati No. 2

Selamat membaca. Salam

Gedung Madiun Lt. 3 Jakarta 10310 telp: 021 - 392 66 01 email: trp@bappenas.go.id website: www.trp.or.id portal: www.tataruangpertanahan.com facebook: trp.bappenas

Redaksi menerima kiriman tulisan/artikel dari luar, Isi berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan dan belum pernah dipublikasikan.

Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas Panjang naskah tidak dibatasi. Sertakan identitas diri, Redaksi berhak mengeditnya. Silakan kirim ke alamat di atas

daftar isi Peran Tata Ruang dan Pertanahan dalam Pembangunan Kawasan

Perbatasan sebagai Prioritas RPJMN 2015 - 2019

Kebijakan Pembangunan Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Resiko Bencana: Materi Teknis Revisi Pedoman

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai

Rencana Induk Pembangunan: Lesson Learned dari Pelaksanaan RPJMN 2010-2014 Ir. Budi Situmorang, MURP

Direktur Tata Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional

Entikong: gerbang terdepan perbatasan Indonesia

Melihat dari Dekat

1 daftar isi

13 koordinasi trp

20 sosialisasi peraturan

22 dalam berita

27 ringkas buku

buletin tata ruang & pertanahan 1

Kebijakan Pembangunan

Kawasan Perbatasan 2015 – 2019

wawancara

Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Kementerian PPN/Bappenas

K awasan Perbatasan sebagai pintu gerbang negara yang berbatasan langsung dengan negara tetangga memiliki peran dan posisi yang

sangat strategis. Faktanya, masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi dan dilakukan untuk mewujudkan kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015 – 2019. Untuk itu, redaksi mewawancarai Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal – Bappenas, Ir. R. Aryawan Soetiarso Poetro, MSi, untuk mengupas lebih dalam kebijakan pembangunan kawasan perbatasan 2015 – 2019. Berikut hasil wawancara redaksi.

Pembangunan kawasan perbatasan harus memenuhi prinsip yang menunjukkan kedaulatan energi di perbatasan masih sustainability, prosperity, dan security. Bagaimana strategi

rendah.

memenuhi prinsip tersebut? Dari aspek telekomunikasi dan informasi juga masih mengalami

Pertama, prosperity atau kesejahteraan masyarakat perbatasan. krisis kedaulatan. Frekuensi termonitor di Entikong (kabupaten Ini dilakukan dengan mengorientasikan agar seluruh upaya

Sanggau) untuk siaran radio dan televisi hanya ada 3 (tiga) pembangunan perbatasan ditujukan untuk meningkatkan kegiatan

lembaga penyiaran Indonesia, sedangkan Malaysia ada 45 ekonomi dan lapangan kerja masyarakat, memberikan pelayanan

lembaga penyiaran. Minimnya akses transportasi ini juga sosial dasar masyarakat perbatasan, dan berkembangnya budaya

menjadi kendala dalam pelayanan dasar pendidikan dan dan kekerabatan masyarakat kedua Negara di perbatasan.

kesehatan, karena masyarakat harus berjalan kaki cukup jauh; Kedua, prinsip security atau pertahanan dan keamanan perbatasan,

2. Belum efektifnya pengembangan Pusat Kegiatan Strategis dilaksanakan dengan meningkatkan intensitas dan kualitas patroli

Nasional (PKSN) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di pengamanan perbatasan di darat dan laut termasuk menambah

perbatasan. Ditargetkan 10 (sepuluh) PKSN yang akan jumlah personil petugas pengamanan, meningkatkan kualitas pos-

dipercepat perkembangannya yaitu: Paloh-Aruk (kab Sambas), pos pengamanan perbatasan (pamtas), penegasan dan perapatan

Entikong (kab Sanggau), Nanga Badau (kab Kapuas Hulu), tanda batas darat, sosialisasi tanda batas laut bagi nelayan

Atambua (kab Belu), Jayapura (Kota Jayapura) untuk wilayah dan masyarakat penghuni pulau terluar. Prinsip terakhir adalah

daratan; Sabang (kota Sabang), Ranai (kab Natuna), Tahuna sustainability (keberlanjutan lingkungan). Mengingat kawasan

(kab Sangihe), dan Saumlaki (kab Maluku Tenggara Barat) untuk perbatasan pada umumnya masih terjalin keseimbangan lingkungan

wilayah kepulauan;

antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan sekitarnya, maka

3. Masih terdapat segmen batas wilayah negara Indonesia dengan setiap rencana pembangunan infrastruktur, pelaksanaan investasi

negara tetangga yang belum disepakati ( overlapping claim ekonomi, dan pelayanan dasar baik di hulu maupun hilir harus areas), yaitu 10 outstanding border problem (OBP) di perbatasan mempertimbangkan dan memperhitungkan tata kelola lingkungan

darat Kalimantan-Serawah dan Sabah, dan 3 (tiga) unresolved di kawasan sekitar, baik kawasan hutan lindung, lingkungan budidaya,

perbatasan darat NTT-RDTL;

dan lingkungan permukiman. ISU DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERBATASAN RPJMN 2015 – 2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden

No. 2 Tahun 2015. Terkait dengan kawasan perbatasan, apa isu dan permasalahan di kawasan perbatasan yang ingin dijawab/ diselesaikan dalam RPJMN 2015 – 2019?

1. Keterisolasian kawasan perbatasan negara merupakan isu utama perbatasan, karena keterbatasan infrastruktur dasar wilayah, yaitu transportasi, energi (listrik dan BBM), komunikasi dan informasi, menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi, dan minimnya pelayanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan. Keterisolasian kawasan perbatasan negara, terutama terhadap 737 desa di 187 kecamatan terdepan/terluar merupakan masalah utama kawasan perbatasan sebagai akar penyebab tidak sejahteranya masyarakat perbatasan.

Keterisolasian ini menyebabkan masyarakat perbatasan menjadi bergantung kebutuhan pokoknya terhadap negara tetangga terutama perbatasan RI-Malaysia. Tidak adanya akses jalan menjadi kendala PLN untuk memasang instalasi energi di desa- desa di perbatasan. Sebagai contoh, sumber energi perbatasan Kalimantan juga masih dipasok dari negara tetangga Malaysia,

Sumber: Dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas

2 buletin tata ruang & pertanahan

buletin tata ruang & pertanahan 3

4. Pengamanan dan pengelolaan batas wilayah laut, darat, dan udara di kawasan perbatasan negara belum optimal, sehingga masih banyak terdapat aktivitas ilegal di wilayah perbatasan Indonesia. Terkait pengamanan ini, sarana dan prasarana pengamanan kita masih minim fasilitas terutama pos pamtas, sarana pengawasan patok batas dan pelintas batas ilegal, serta sarana patroli pengawasan laut yang masih rendah kapasitas kapalnya;

5. Pengelolaan perbatasan negara belum terintegrasi antarprogram, antarK/L, sehingga pembangunan perbatasan masih dominan dengan pendekatan parsial/sektoral atau masih jalan sendiri-sendiri antarK/L. Belum optimalnya upaya integrasi menjadi tantangan tersendiri bagi BNPP untuk semakin memperkuat instrumen integrasi melalui Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun 2015-2019 dan semakin mengefektifkan mekanisme koordinasi antarK/L untuk mengintegrasikan program masing-masing K/L.

Apa penyebab keterisolasian kawasan perbatasan negara belum dapat terselesaikan hingga tahun 2014 lalu?

Penyebab keterisolasian perbatasan, terutama keterisolasian terhadap aspek transportasi di darat, adalah minimnya jalan yang dibangun untuk membuka akses kampung, desa di dalam kecamatan lokasi prioritas (LOKPRI). Disamping itu, tidak terkoneksinya antara jalan strategis nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten menuju kecamatan Lokpri tersebut. Jalan yang menuju kampung, desa pada umumnya merupakan jalan non status, dan jalan ini tidak ada yang memiliki kewenangan untuk membangunnya, karena Kementerian PU-Pera hanya memiliki kewenangan membangun jalan strategis dan jalan nasional. Hal ini perlu segera dicarikan solusi siapa yang berwenang membangun jalan non status ini. Terlebih sekarang UU 23/2014 mengamanatkan bahwa pemerintah wajib membangun infrastruktur di perbatasan negara. Demikian halnya untuk transportasi di pulau-pulau kecil, transportasi perintis disamping frekuensinya masih kurang juga kapal perintis hanya melayani sampai kota kabupaten, sedangkan yang melayani dari kota kabupaten ke pulau-pulau kecil di sekitarnya tidak ada, Jikapun diusahakan dari Pemda akan terkendala oleh minimnya anggaran untuk pengadaan kapal tersebut.

Perihal konlik perbatasan negara, bagaimana kondisinya atau peningkatan penyelesaian konlik tersebut hingga akhir 2014?

Konlik di perbatasan yang masih sering terjadi di perbatasan negara adalah antara NTT dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Konlik ini terjadi berkaitan dengan hak atas tanah antara masyarakat kedua negara. Akar penyebabnya adalah belum jelasnya beberapa segmen batas negara dan ketidakpahaman batas negara oleh masyarakat.

NAWACITA JOKOWI – JK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

Terdapat 9 (sembilan) agenda prioritas Jokowi – JK atau yang disebut Nawacita. Agenda ke berapa Nawacita yang mendorong pembangunan perbatasan serta berupaya mengatasi permasalahan di kawasan perbatasan?

Pembangunan kawasan perbatasan tertuang dalam Nawacita ketiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Ini ditunjang juga dengan Nawacita keenam dan ketujuh, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik.

Dalam sebuah berita media cetak, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa akan menjadikan kawasan perbatasan sebagai bagian dari etalase Indonesia. Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menerjemahkan hal tersebut ?

Percepatan pengembangan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara ditempuh melalui strategi pembangunan yang tertuang dalam RPJMN yaitu: (1) pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan negara; (2) pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang handal; (3) pembangunan konektivitas simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan dan kecamatan sekitarnya; (4) melakukan transformasi kelembagaan lintas batas negara, yaitu Custom, Immigration, Quarantine, Security (CIQS) sesuai dengan standar internasional dalam suatu sistem pengelolaan yang terpadu; (5) peningkatan kualitas dan kuantitas, serta standarisasi sarana-

Sumber: Dokumentasi Direktorat TRP, Bappenas

4 buletin tata ruang & pertanahan

prasarana pertahanan dan pengamanan perbatasan laut dan darat, serta melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengamankan batas dan kedaulatan negara; (6) penegasan batas wilayah negara di darat dan laut melalui pra-investigation, reixation, maintanance (IRM); (7) percepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas; (8) peningkatan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama pertahanan dan keamanan batas wilayah dengan negara tetangga; dan (9) penerapan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara dalam memberikan pelayanan publik dan distribusi keuangan negara.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBATASAN DALAM RPJMN 2015-2019

Secara singkat apa tujuan/visi yang ingin dicapai dari pengembangan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 – 2019?

Sasaran yang ingin dicapai yang termuat dalam RPJMN 2015- 2019 adalah: (1) berkembangnya 10 (sepuluh) PKSN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, simpul utama transportasi wilayah, pintu gerbang internasional/pos pemeriksaan lintas batas kawasan perbatasan negara, dengan 16 PKSN lainnya sebagai tahap persiapan pengembangan; (2) meningkatnya efektiitas diplomasi maritim dan pertahanan, dan penyelesaian batas wilayah negara dengan 10 (sepuluh) negara tetangga di kawasan perbatasan laut dan darat, serta meredam rivalitas maritim dan sengketa teritorial; (3) menghilangnya aktivitas illegal ishing, illegal logging, human traficking, dan kegiatan ilegal lainnya, termasuk mengamankan sumberdaya maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); (4) meningkatnya keamanan dan kesejahteran masyarakat perbatasan, termasuk di 92 pulau-pulau kecil terluar/terdepan; dan (5) meningkatnya kerjasama dan pengelolaan perdagangan perbatasan dengan negara tetangga, ditandai dengan meningkatnya perdagangan ekspor-impor di perbatasan, dan menurunnya kegiatan perdagangan ilegal di perbatasan.

Apa arah kebijakan dan strategi yang dilakukan untuk mempercepat pengembangan kawasan perbatasan, serta mengatasi berbagai masalah yang ada?

Pengembangan kawasan perbatasan negara yang selama ini dianggap sebagai pinggiran negara, diarahkan dalam RPJMN 2015-2019 menjadi halaman depan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman. Pendekatan pembangunan kawasan perbatasan terdiri: (i) pendekatan keamanan (security approach), dan (ii) pendekatan peningkatan

kesejahteraan masyarakat (prosperity approach), yang difokuskan pada 10 (sepuluh) Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dan 187 Kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) di 41 Kabupaten/Kota dan

13 Provinsi . Dalam sasaran pembangunan

kewilayahan dan antarwilayah, pengembangan kawasan perbatasan dilakukan salahsatunya melalui pengembangan pusat ekonomi perbatasan (Pusat Kegiatan Strategis Nasional/PKSN) di beberapa lokasi.

Dimana saja lokasi tersebut, dan apa saja kriteria untuk penentuan lokasi tersebut?

Pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan untuk 2015-2019 terdapat di 10 (sepuluh) lokasi dan 16 lokasi persiapan pengembangan yang ditetapkan sesuai dengan kriteria PKSN dalam UU 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yaitu (a) pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara tetangga; (b) pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga; (c) pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau (d) pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Adakah skema percepatan pembangunan, terutama kawasan perbatasan?

Skema percepatan pembangunan di kawasan perbatasan dilaksanakan dengan memadukan pengembangan PKSN sebagai pusat pertumbuhan dengan lokpri-lokpri sekitarnya sebagai hinterland.

Di dalam strategi pembangunan, akankah diterapkan kebijakan khusus dan penataan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di kawasan perbatasan? Kebijakan khusus seperti apa yang akan diterapkan?

Tidak ada kebijakan khusus pada Daerah Otonom Baru (DOB) karena kawasan perbatasan negara secara deinitif yang tertuang

Sumber: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

Prioritas Pengembangan PKSN

Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara mengunjungi Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara Sumber: www.beritadaerah.co.id

buletin tata ruang & pertanahan 5

dalam UU 23/2014 adalah kecamatan-kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.

Kekhususan masalah yang terjadi di kawasan perbatasan adalah status kewarganegaraan masyarakat perbatasan? Bagaimana kondisi saat ini? Dan strategi apa yang dicanangkan untuk menyelesaikan masalah tersebut?

Kondisi status kewarganegaraan masyarakat di kawasan perbatasan banyak yang memiliki status kewarganegaraan ganda, seperti yang terjadi di Miangas dan Nunukan. Dalam menangani permasalahan tersebut, sesuai dengan strategi pembangunan yang termuat dalam RPJMN Buku I akan dipercepat penyelesaian status kewarganegaraan pelintas batas melalui identiikasi, pendataan, serta veriikasi status kewarganegaraan masyarakat perbatasan.

Dalam mendukung kebijakan dan program – program, terutama untuk pengembangan kawasan perbatasan, adakah anggaran yang dialokasikan khusus untuk kawasan perbatasan? Seperti apa? Apa skema pendanaan yang digunakan?

Tidak ada alokasi khusus dalam anggaran pembangunan kawasan perbatasan. Penganggaran dilaksanakan oleh K/L terkait dalam komponen kegiatannya yang dialokasikan di kawasan perbatasan yang kemudian dimuat dalam Rencana Aksi BNPP. BNPP sendiri akan melaksanakan illing the gap bila K/L tidak dapat melaksanakan pembangunan tetapi dengan anggaran yang terbatas.

KOORDINASI LINTAS SEKTOR Pengembangan kawasan perbatasan bersifat lintas sektor, yaitu

pendidikan, kesehatan, energi, pertanian. Dari sisi perencanaan, bagaimana mengintegrasikan sektor – sektor tersebut?

Dalam pembangunan kawasan perbatasan, tidak dapat dilakukan oleh satu sektor sehingga perlu adanya koordinasi. Pembangunan

tersebut dikoordinasikan pelaksanaannya oleh Kemenko Polhukam dan BNPP serta Bappenas sebagai koordinator perencanaan, bagi Kementerian/lembaga pemerintah non kementerian (K/ LPNK) yang menjadi anggota BNPP sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Peran koordinasi lintas sektor dalam pembangunan kawasan perbatasan terbagi dalam 10 (sepuluh) sasaran yang memuat aspek kesejahteraan masyarakat dan aspek keamanan di perbatasan. Sepuluh sasaran yang dikoordinasikan, yaitu: (1) penyediaan lahan dan kebijakan tata ruang; (2) percepatan penyediaan infrastruktur dasar; (3) peningkatan nilai tambah dan daya saing produk serta penyediaan sarpras, termasuk invenstasi, ekspor-impor; (4) penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan perumahan; (5) perkuatan koordinasi kelembagaan BNPP; (6) pengembangan Customs, Immigration, Quarantine, Security (CIQS) Terpadu; (7) penyusunan regulasi dan perdagangan lintas batas negara; (8) peningkatan peran serta dalam menjaga kedaulatan megara, termasuk penegasan status warga negara; (9) peningkatan koordinasi dan peningkatan sarpras hankam batas darat dan batas laut negara; dan (10) penguatan infrastruktur diplomasi dan perundingan.

Dalam hal implementasi, adakah instrumen yang disiapkan untuk mengawal komitmen seluruh sektor membangun kawasan perbatasan? Adakah instrumen peraturan perundangan?

Dalam mengawal komitmen K/LPNK dalam membangun kawasan perbatasan, instrumen yang digunakan adalah Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Perbatasan yang ditetapkan oleh BNPP yang wajib dijadikan pedoman oleh anggotanya. Selain itu, instrumen perundangan yang digunakan adalah UU 23 Tahun 2014 pasal 361 tentang kawasan perbatasan yang menyatakan dengan tegas bahwa pembangunan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat sehingga mengharuskan sektor berkomitmen dalam membangun perbatasan.

Sumber: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas

6 buletin tata ruang & pertanahan

KAWASAN PERBATASAN NEGARA DALAM KONTEKS TATA RUANG

Di Bidang Tata Ruang, terdapat Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Perbatasan. Pada akhir 2014, telah ditetapkan RTR KSN Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Perpres No. 179 Tahun 2014. Bagaimana korelasi/ integrasinya antara RTR KSN Perbatasan dengan RPJMN 2015 – 2019 terkait kawasan perbatasan?

Dalam konteks tata ruang berdasarkan PP 26 Tahun 2008 Pasal

15, kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geograis dan demograis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Kawasan perbatasan negara meliputi kawasan perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut termasuk pulau-pulau kecil terluar.

Pembangunan kawasan perbatasan difokuskan pada Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Pengembangan PKSN dimaksudkan untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan kegiatan masyarakat di kawasan perbatasan, termasuk pelayanan kegiatan lintas batas antarnegara. Pengembangan PKSN dilakukan dalam kerangka sistem pusat perkotaan nasional sehingga pusat perkotaan tersebut dapat dilekati fungsi pelayanan, baik sebagai PKN, PKW, maupun PKL.

Pembangunan kawasan perbatasan dalam RPJMN 2015 -2019 mengacu pada rencana tata ruang kawasan perbatasan yang berfungsi sebagai pedoman dalam: (1) penyusunan rencana pembangunan di Kawasan Perbatasan Negara; (2) pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Perbatasan Negara; (3) perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor di Kawasan Perbatasan Negara; (4) penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi di Kawasan Perbatasan Negara; (5) penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Kawasan Perbatasan Negara; (6) pengelolaan Kawasan Perbatasan Negara; dan (7) perwujudan keterpaduan rencana pengembangan Kawasan Perbatasan Negara dengan kawasan sekitarnya.

Konsekuensi pasal 361 UU 23 Tahun 2014? Pada UU 23 Tahun 2014 pasal 361 ayat 2, 3 dan 7 menyebutkan

bahwa pembangunan kawasan perbatasan adalah kewenangan dan kewajiban pusat, baik dari pembangunan infrastruktur, penyusunan rencana detail tata ruang, maupun izin pemanfaatan ruangnya. Harapannya, pembangunan kawasan perbatasan dapat dilakukan dengan cepat. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah membantu pembebasan, pengamanan, dan penyediaan lahannya. Sedangkan, RDTR kawasan perbatasan yang saat ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini masih perlu disusun peraturan turunannya (Peraturan Pemerintah).

CONTOH KASUS KAWASAN PERBATASAN NEGARA Baru – baru ini, Presiden RI – Joko Widodo, mengunjungi salah

satu kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia, wilayah Entikong

di Kalimantan Barat. Disampaikan bahwa beliau memastikan sendiri bahwa memang sudah lebih dari 25 tahun tidak dilakukan pembangunan di kawasan tersebut dan dari segi pelayanan, terutama isik, kondisinya sangat jauh berbeda dengan kondisi di seberangnya, Malaysia. Bagaimana pendapat Bapak terkait hal tersebut? Bagaimana RPJMN 2015 – 2019 menjawab permasalahan tersebut?

Terkait penilaian Presiden terhadap perbatasan RI-Malaysia terutama di Entikong yang jauh berbeda dengan seberang memang demikian kenyataannya. Jalan yang bagus hanya menuju ke kota Entikong Sebatik. Selebihnya itu jalan menuju kampung- kampung dan desa di kecamatan Entikong masih banyak yang buruk kondisinya. Kebanyakan hanya jalan setapak, sedangkan jalan di negara tetangga sudah dapat mengakses ke lingkungan permukiman di samping penataan lingkungan permukiman juga sudah baik. Minimnya akses jalan ini menyebabkan minimnya pelayanan kesehatan, pendidikan, dan aktivitas ekonomi masyarakat. Untuk itu, target RPJMN pada tahun 2019 jalan non status pembuka akses ke kampung dan desa harus sudah terbuka, karena akan memberikan efek kemudahan bagi seluruh pelayanan dasar dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Bagaimana langkah strategis penyerasian penggunaan kawasan yang sama-sama penting secara nasional, untuk konservasi lingkungan dan untuk pertahanan negara seperti di Entikong?

Langkah strategis penyerasian kawasan perbatasan untuk konservasi dan pertahanan, telah didesain oleh BNPP, yaitu pada wilayah-wilayah perbatasan yang masih berupa hutan akan dibangun

“ jalan inspeksi perbatasan (JIP)”. Jalan ini dibangun oleh TNI, berupa jalan setapak selebar 1-2

meter untuk keperluan patroli jalan kaki atau pasukan berkuda. Dengan demikian patroli yang intensif di kawasan hutan ini akan meminimalkan pencurian kayu pada wilayah-wilayah batas negara yang masih terisolir.

Apa harapan Bapak untuk pembangunan kawasan perbatasan ke depan?

Dari sisi kelembagaan, perlu penguatan BNPP yang rencananya akan dilakukan revisi terhadap Perpres No. 12 Tahun 2010. Dalam Perpres tersebut perlu dikaji ulang kewenangan – kewenangan instansi yang terlibat. Selain itu, diharapkan ada perubahan pemikiran yang lebih pada koordinasi dan fasilitasi karena pengelolaan kawasan perbatasan harus dikelola secara utuh.

Kawasan perbatasan harus lebih baik dari kabupatennya. Untuk itu perlu peraturan desentralisasi airmatif yang mendukung kawasan perbatasan. Misalnya, standar biaya umum (SBU) harus disesuaikan dengan kebutuhan di kawasan perbatasannya. Alasannya, contoh kasus pengiriman vaksin, untuk sampai ke kawasan perbatasan dengan kondisi vaksi yang baik, vaksin seharusnya dikirim dengan menggunakan pesawat untuk menyesuaikan waktu dan temperatur yang dibutuhkan oleh vaksin. Tetapi dalam praktiknya di lapangan hanya bisa menggunakan kendaraan darat karena SBU hanya mengenal transportasi darat, hasilnya, vaksin sudah rusak dan tidak bisa digunakan ketika tiba di lokasi.

Pos Perbatasan Negara Republik Indonesia - Malaysia di Kalimantan Barat, Sumber: www.harianterbit.com

Penyusunan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Perspektif Pengurangan Resiko Bencana:

kajian

Materi Teknis Revisi Pedoman

S ebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Salah satunya,

melalui upaya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana yang timbul. Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan agar setiap daerah memiliki perencanaan penanggulangan bencana. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Rencana Tata Ruang.

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi,

rencana tata ruang, terdapat 3 (tiga) hal yang harus dilakukan, yaitu: kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah

1) Integrasi dokumen/proses: mengatur bagaimana (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan

mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam dokumen Daerah (Perda). RTRW tersebut memiliki masa berlaku selama

Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam dokumen

20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Dalam mendukung rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata upaya pengurangan risiko bencana, rencana tata ruang juga perlu

ruang.

memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentiikasikan

2) Integrasi spasial: mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian kerawanan, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat risiko bencana (KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini kapasitas di suatu wilayah. Mengintegrasikan upaya pengurangan sudah diatur dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan risiko bencana ke dalam penataan ruang harus menjadi prioritas

Bencana.

Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat. Rencana tata ruang

3) Koordinasi kelembagaan.

berdasarkan perspektif mitigasi bencana, sangat berguna dalam Sehubungan dengan itu, Materi Teknis ini lebih difokuskan pada mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kerugian sosial,

integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan, dengan ekonomi, dan sarana prasarana (isik) dari ancaman bencana.

tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan

Tujuan dan Ruang Lingkup Bencana (SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang

detil dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana disusun

sebagai bahan masukan terhadap penyempurnaan pedoman-

Metodologi

pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada Kajian ini dihasilkan melalui serangkaian proses yang telah saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko

menghasilkan keluaran (output):

bencana ke dalam penataan ruang, khususnya: (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b)

Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan

perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis Strategis Nasional (KSN).

(KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen- dokumen penunjang lainnya. Selain itu, juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir

Standar Penataan Ruang

dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K).

di Kawasan Rawan

Integrasi Integrasi

Integrasi

Bencana

Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan

Dokumen/ Spasial/

Spasial/Muatan

Materi Proses Muatan

perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir

Teknis

dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana,

Koordinasi Kelembagaan

dan dokumen-dokumen penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

3. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Melengkapi

Melengkapi

Pedoman Penyusunan

Pedoman Penyusunan

RTRW Provinsi

RTR KSN

Output ini dicapai dengan melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan

Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR

Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan

KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana

pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan

Sumber: Hasil Analisis

RTRW Provinsi dan RTR KSN.

buletin tata ruang & pertanahan 7

Peta Risiko yang bersifat jangka menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang (indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar

3. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/ penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.

1. Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Terkait dengan kebencanaan, Permen LH No. 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS tidak secara eksplisit menunjukkan keterkaitannya dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Namun, secara substansial 7 (tujuh) isu-isu pokok yang dipertimbangkan dalam penapisan KLHS sangat relevan dengan komponen-komponen kebencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa KLHS sejalan dengan perencanaan

Gambar 2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR

penanggulangan bencana. Keterkaitan

Sumber: Hasil Analisis

penapisan KLHS (7 isu pokok) dengan

4. Pemetaan Kelembagaan Pengintegrasian Pengurangan Risiko perencanaan penanggulangan bencana Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.

tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari output 3; dan (ii) Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan

ke tahap pelaksanaan KLHS. Pada tahap pelaksanaan KLHS, wawancara dengan stakeholder yang relevan. Hasil diskusi dengan

tahap pertama adalah mengkaji pengaruh Kebijakan, Rencana, berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan hasil

dan/atau Program terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan.

perencanaan dimana salah satu tahapnya adalah identiikasi isu pembangunan berkelanjutan. Aspek kebencanaan adalah salah

5. Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana satu isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Isu stategis Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana.

terkait kebencanaan tersebut antara lain dapat dilihat dari historical Output ini dilakukan melalui: diskusi terarah ( focus group

data, misalnya di suatu kawasan terjadi banjir terus menerus setiap discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil dari FGD ini menjadi masukan

tahun dan memiliki kecenderungan semakin parah dampaknya dan dalam perumusan draf materi teknis. Lokakarya diselenggarakan

semakin luas lingkupnya 1 . Maka banjir di daerah tersebut dapat untuk mendiseminasikan draf materi teknis revisi pedoman

dikategorikan sebagai isu strategis, dan karenanya menjadi salah penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan

satu hal yang dikaji dalam pelaksanaan KLHS. rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder

yang lebih luas. Penyelenggaraan KLHS bertujuan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam

Hasil Kajian dan Analisis pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai

program. Melalui KLHS, potensi dampak dan/atau risiko lingkungan sejak tahap persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji

yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kebijakan, rencana, dan/ muatan kebencanaan yang ada di RTR. Tahap paling penting adalah

atau program, sebelum pengambilan keputusan dilakukan, dapat tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini dilakukan

diantisipasi. Dengan demikian, melalui KLHS dapat diminimalkan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen

timbulnya dampak negatif suatu kebijakan, rencana, dan/atau Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis

program. Hal ini tentunya sejalan dengan atau bahkan menguatkan penyusunan RTR. Pengintegrasiannya adalah: (i) Peta Kerawanan

upaya mitigasi bencana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan tujuan,

aspek kebencanaan sangat relevan dengan KLHS dalam penataan kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan

ruang.

rencana pola ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan 1 Diskusi dengan Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014

8 buletin tata ruang & pertanahan

Gambar 3, Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR, Sumber: Hasil Analisis

2. Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-2016 sebelum Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K).

RTRW menjadi Perda. Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu Dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan

sampai dilakukan peninjauan kembali akan terlalu lama. Mengingat pulau-pulau kecil, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

hampir semua provinsi tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, memuat mitigasi bencana yang merupakan bagian dari Rencana

maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera. Penanggulangan Bencana (RPB). Muatan aspek kebencanaan

Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu dalam setiap dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir

2012-2016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

akan menjadi masalah. Alternatifnya adalah: (i) Pengintegrasian

i. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir (2014-2016); (RSWP3K) wajib memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan

(ii) Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun program yang memasukkan mitigasi bencana.

(jangka waktu 2017-2022); atau (iii) SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD

ii. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan penyusunan atau wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko

peninjauan kembali RTRW.

bencana yang disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (BNPB atau BPBD). RZWP3K provinsi dibuat dalam

Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan peta dengan skala 1:250.000 atau lebih besar. Jangka waktu

(iii), dengan pertimbangan (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman berlakunya RZWP3K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat

bersifat jangka panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP3K ditetapkan

ancaman yang ada dapat digunakan untuk acuan perumusan dengan Peraturan Daerah.

rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta

iii. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kapasitas, dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga (RPWP3K) wajib memasukkan rencana mitigasi bencana.

perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai waktu berkoordinasi dengan Rencana mitigasi bencana tersebut menjadi bagian dari Rencana

BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko yang Penanggulangan Bencana Daerah (RPB Daerah). Bila RPB Daerah

telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang

program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun membidangi kelautan dan perikanan menyusun rencana mitigasi

berikutnya; (c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP3K. RPWP3K berlaku

yang baru sudah disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-

kembali RTRW Provinsi tersebut.

kurangnya sebanyak 1 (satu) kali. RPWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko

iv. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau bencana menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana Kecil (RAPWP3K) wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana

tata ruang, dan dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan yang ada dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko

substansi, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Bencana (RAD PRB). Bila RAD PRB belum ditetapkan, SKPD yang

membidangi kelautan dan perikanan menyusun kegiatan mitigasi Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP3K. Kegiatan

Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda, mitigasi bencana meliputi kegiatan struktur/isik dan/atau non

pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat struktur/non isik mitigasi bencana yang berdampak langsung

peninjauan kembali RTRW tersebut. Untuk itu, diperlukan dalam pengurangan risiko. RAPWP3K provinsi atau kabupaten/

penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kota berlaku selama 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan

kembali RTRW Provinsi. Mengingat adanya keterbatasan kapasitas ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

BNPB/BPBD, maka penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan

3.a. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam dengan pemrioritasan berdasarkan kelas risikonya, semakin tinggi Penyusunan RTRW Provinsi.

kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin diprioritaskan penyusunannya. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka

Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum, risiko bencana secara mandiri yang jangka waktunya disesuaikan maka sebaiknya segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko

buletin tata ruang & pertanahan 9

10 buletin tata ruang & pertanahan

dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi. Hal ini sangat signiikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan kelas risiko suatu daerah. Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, dan rendah, dimana 322 kabupaten/kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas. Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan

c) kerusakan lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.

Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah. Karena tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas.

3.b. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi, tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN.

Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya.

Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut, tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.

Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi.

Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia” dengan perubahan.

Isu-isu Pokok Penapisan KLHS (Permen LH 09/2011)

Perencanaan Penanggulangan Bencana (PP 21/2008)

1. Perubahan iklim

• Perubahan Iklim berpotensi untuk menimbulkan bencana “Hydrometrology” yang meliputi: banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, abrasi dan cuaca ekstrim.

2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati

Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.

• Hal tersebut juga dapat merupakan salah satu dampak negatif

kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana

3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan

• Merupakan peningkatan ancaman bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan yang merupakan komponen ancaman dalam KRB.

4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam

Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah

5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadap ancaman bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan

6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat

• Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal ini juga

mengindikasikan peningkatan indeks jiwa terpapar dan kerugian harta benda dari bencana.

7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.

Tabel 1 Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana

buletin tata ruang & pertanahan 11

Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)

Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/ Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.

Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini: