Sejarah Singkat Editorial Media Indonesia

B. Editorial Media Indonesia

1. Sejarah Singkat Editorial Media Indonesia

Menggunakan bahasa Indonesia jurnalistik yang sederhana, singkat, jelas, padat, lugas, alergi terhadap penghalusan bahasa eufemisme, Editorial Media Indonesia diakui terbukti telah memikat banyak pambaca, bahkan mempengaruhi masyarakat dan insan pers di Indonesia dalam mengungkapkan pendapat saat mengomentari sebuah isu atau permasalahan. Lambat laun, pendapat atau opini redaksi yang sebelumnya populer dengan sebutan “tajuk rencana” telah berganti menjadi “editorial.” Rubrik Editorial yang setiap hari dimuat di halaman satu Surat Kabar Media Indonesia, sampai sekarang menempati posisi teratas rubrik yang paling banyak dibaca pembaca surat kabar ini. Pada tahun 2004, surat kabar ini pernah melakukan angket dan melibatkan 794 pembaca. Kepada mereka diajukan pertanyaan “Setujukah Anda bahwa Media Indonesia dikenal publik karena editorialnya?” lebih dari 80 responden menjawab setuju. Mereka juga menyatakan sepakat tatkala disodorkan pertanyaan bahwa opini redaksi yang tertuang di kolom Editorial sangat kritis. Kali ini tim marketing mengadakan Focus Group Discussion FGD guna membedah performance surat kabar ini di mata pembaca. Lagi-lagi menghasilkan informasi bahwa rubrik editorial merupakan kekuatan Media Indonesia. Karena begitu besar dampak Editorial Media Indonesia, apalagi setelah divisualisasikan di metro TV, rubrik ini pun dijadikan objek penelitian bagi para mahasiswa program Strata 1, 2, maupun tingkat doktoral. Waktu terus bergulir demikian cepat. Tahun 2010 ini, usia Media Indonesia telah mencapai 40 tahun. Koran ini lahir di Jakarta pada 19 Januari 1970. Sang pemrakarsa adalah Teuku Yously Syah almarhum. Pada mulanya Media Indonesia hidup segan mati tak mau. Kadang- kadang terbit, kerap pula tidak menyapa pembacanya. Hidup di era “pers yang bebas dan bertanggung jawab” namun penuh tekanan baik politis maupun ekonomis, Media Indonesia sempat menjadi koran kelas papan bawah. Dalam suasana seperti itu, semasa Orde Baru, koran ini memang tetap terbit, tapi hanya untuk “nomor bukti” ke Departemen Penerangan agar Surat Izin Terbit SIT tidak dicabut. Waktu itu ada ketentuan, pemerintah akan mencabut SIT sebuah koran jika dalam waktu tiga bulan tidak terbit. Tahun 1989, koran itu berubah wajah dan manajemen setelah berkongsi dengan PT. Citra Media Nusa Purnama yang dipimpin Surya Paloh, yang ditolak pemerintah saat akan menghidupkan kembali Koran Prioritas, yang dibredel pemerintah Soeharto pada 1988. Sejak ada pergantian manajemen, koran Media Indonesia melakukan “revolusi”, baik di bidang isi, perwajahan, maupun sumber daya manusianya. Redaksi koran ini dari waktu ke waktu terus berbenah diri agar tetap professional demi pembaca. Seperti halnya surat kabar lain, semula rubrik editorial ada di halaman dalam. Namun pada tahun 1990, atas kesepakatan bersama, rubrik ini mendapat kehormatan tampil di halaman satu; dan ini lah satu- satunya koran di Indonesia yang menempatkan sikap redaksinya di halaman depan. Sejak itulah Editorial Media Indonesia dijadikan bacaan utama di samping headline oleh para pembaca. Seperti hujan di musim kemarau, editorial Media Indonesia menghadirkan kelugasan di tengah kegemaran berbasa-basi. Karena itulah, kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Menurut angket yang disebarkan Media Indonesia padatahun 2005, 77,3 pembaca menilai rubrik editorial sebagai yang paling menarik. Angket yang disebarkan setahun sebelumnya juga menunjukkan bahwa 80 responden menilai bahwa Media Indonesia dikenal karena editorialnya. Sebagaimana lazimnya bangsa-bangsa Timur dengan kesadaran tradisi dan budaya yang tinggi, berlawanan dengan bangsa Amerika Serikat yang merupakan kumpulan para imigran, misalnya. Indonesia dalam klasifikasi antropolog Edward T. Hall 1976 dapat digolongkan dalam kategori high context culture budaya dengan konteks tinggi. Dalam high context culture, pesan disampaikan dengan symbol dan kata-kata yang tidak langsung merujuk kepada persoalan. Maksudnya disembunyikan dalam kata-kata yang berputar-putar, membiarkan orang yang diajak bicara menebak pesan yang tersirat. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa kebiasaan masyarakat Indonesia menutupi keinginan dengan bahasa halus dan berputar-putar, tidak menafikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki keinginan- keinginan, kegelisahan-kegelisahan, protes-protes, dan bahkan kemarah- marahan. Keinginan, kegelisahan, protes, dan kadang-kadang kemarahan itulah yang setiap hari tampil dalam editorial Media Indonesia dengan tegas dan lugas. Masyarakat yang ingin menyampaikannya tetapi terikat oleh budaya high context yang melingkupinya kemudian mendapati mereka terwakili. Kadang, editorial tidak berhenti di situ. Tidak hanya mewakili suara masyarakat, editorial juga mampu menghancurkan bendungan yang menahan mengalirnya suara-suara masyarakat luas. Hal ini terlihat misalnya dari tanggapan terhadap editorial Media Indonesia, terutama setelah disiarkan di televisi, yang selalu mencapai ratusan setiap harinya. Dengan kerajinannya menyapa masyarakat Indonesia setiap hari, editorial bisa dikatakan sebagai salah satu cermin denyut nadi bangsa Indonesia. Ia merekam setiap detak dari berbagai permasalahan yang dihadapi dalam perjalanan bangsa ini. Meskipun permasalahan yang banyak dibahas adalah politik, Editorial Media Indonesia juga tidak melupakan aspek-aspek lainnya. pada edisi 22 Februari 2008 misalnya, di bawah tajuk kebijakan baru yang membingungkan, editorial membahas mengenai permasalahan kebijakan kesehatan, khususnya mengenai asuransi kesehatan. Kebijakan unik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota dalam menangani kemacetan, yaitu dengan memajukan jam masuk anak sekolah pun menjadi ledekan dalam edisi 8 Desember 2008 Mengorbankan Anak Sekolah. Membaca denyut nadi adalah salah satu cara untuk mengenali kesehatan seseorang. Jika ada gangguan, maka barangkali ada kelainan di salah satu organ penting organ tersebut. Demikian pula dengan Editorial Media Indoensia. Di saat banyak orang yang menyimpan rapat-rapat penyakit-penyakit yang dialami oleh bangsa ini, editorial berkata dengan lugas membuka satu demi satu penyakit itu, dan memanggil masyarakat untuk member jawaban yang tidak berlama-lama. Dalam ketegasan dan kelugasan, sense of urgency hadir dengan pekat, seperti sirene yang menyalak keras di atas sebuah mobil ambulans. Editorial menjelaskan alasannya memilih kata-kata lugas itu dalam kata-katanya sendiri : “Bangsa ini harus diingatkan, tanpa kecintaan dan komitmen kebangsaan yang kuat, negeri ini suatu saat bisa tinggal nama …” jagan Biarkan Bangsa Indonesia Terus Meluruh, 1 Juli 2007. 7

2. Visi dan Misi Editorial Media Indonesia