Tafakur Tazkiyat An-Nafs Ajaran Makrifat

tahalli. Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin Abdullah Ash-Shuffi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Tazkiyat an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasarkan pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materiel. Kegiatan sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa, sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah. 4. Zikrullah Secara etimologi, zikir adalah mengingat, sedangkan berdasarkan istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam munqidz, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi. Syarat utama bagi orang yang menempuh jalan Allah adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selian Allah, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan zikir kepada Allah. Dalam pandangan sufi, zikir akan membuka tabir dalam malakut, yakni dengan datangnya malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa zikir merupakan kunci pembuka kewalian. Zikir juga bermanfaat untuk membersihkan hati. Berkenaan dengan fungsi zikir, Al-Ghazali pun dalam Ihyanya menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil zikir kepada Allah. 18 Sampai di mana tingkat ma’rifah manusia kepada Tuhan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifah itu tidak menyebabkan seseorang menjadi satu ittihad dengan Tuhan. Menurutnya, ma’rifah ialah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan keteraturan hukum-hukum ilahi pada segala benda. Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu, beliau juga mengungkapkannya dengan istilah : “Memandang wajah Allah Ta’ala” ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata inderanya. Dan menurut al-Ghazali, inilah maqam yang tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Akan tetapi menurut beberapa sufi, antara lain Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lain-lain, tingkatan ini masih bisa dilampaui manusia, sampai tingkat ittihad dengan Tuhan. 19 18 M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf, h. 52-58. 19 Asmaran A., Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, h. 139-140.

BAB IV KONSEP PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR

DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Syariah dalam Pandangan Syekh Siti Jenar. Di kalangan kaum sufi, istilah syariat mempunyai makna tersendiri yang dapat dikatakan berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para ahli hukum Islam. Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariah diartikan seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Quran dan Al-sunnah, baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun aktivitas manusia baik yang berupa ibadah maupun muamalah. 1 Syariat dan fiqih memiliki perbedaan-perbedaan terutama setelah masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Asaf A.A.Fyzee, misalnya mengatakan : “ Syariat mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia;sedangkan ruang lingkup fiqh lebih sempit, dan hanya menyangkut hal-hal yang pada umumnya dipahami sebagai aturan-aturan hukum, Syariat senantiasa mengingatkan kita bahwa ia bersumber pada wahyu, ilm pengetahuan tentang wahyu itu tidak akan dapat diperoleh kecuali dari atau dengan perantara Al-Quran dan Hadits; dalam Fiqh kemampuan penalaran ditekankan sekali, dan kesimpulan-kesimpulan hukum yang didasarkan kepada ‘ilm itu senantiasa dilakukan dengan cara yang meyakinkan. Arah tujuan syariat ditetapkan oleh Tuhan dan Nabi-nya;sedangkan materi yang tercantum dalam fiqh disusun dan diangkat atas usaha manusia. Dalam fiqh suatu pekerjaan bisa sah atau haram, boleh atau tidak. Sedangkan dalam syariat banyak terdapat tingkatan-tingkatan yang dibolehkan atau tidak. Dengan demikian, fiqh merupakan terminologi tentang hukum sebagai suatu ilmu;sementara syariat lebih merupakan perintah Ilahi yang harus diikuti. 2 1 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas, h. 26. 2 Asaf A.A. Fyee, Outlines of Muhammedan Law, London : 1960, h.21. Dari penjelasan itu terlihat bahwa syariat meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aqidah,ibadah, maupun mu’amalah dan juga akhlak. Di kalangan para sufi, syariat berarti amal ibadah lahiriyah eksoterik. Gerakan-gerakan shalat dimulai dari menghadap kiblat, berdiri, ruku’sujud dan seterusnya, demikian pula bacaan-bacaan yang telah ditentukan di dalamnya adalah amal ibadah lahiriyah syariat. Perjalanan ke Baitullah, thawaf, sai, wukuf, di’Arafah dan lainnya adalah syariat, amal ibadah yang bersifat lahiriyah. Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah yang hanya melakukan gerakan- gerakan dan bacaan-bacaan tanpa memahami makna yang ada di dalam ibadah tersebut, maka tidak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya terkonsentrasi kepada amal lahiriyah syariat ini akan hampa, karena hati kosong dari hakikat ibadah yang sedang dilakukan. Makna yang terkandung di dalam ibadah- ibadah inilah di kalangan tasawuf yang dkenal dengan istilah haqiqah hakikat. 3 Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan Al-Junayd Al-Baghdadi sebagai mana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq: “Barangsiapa yang mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barangsiapa bertasawuf tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Barangsiapa melakukan keduanya berarti ia melakukan kebenaran tahaqquq”. 4 3 M. Jamil, Cakrawala Tasawuf sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas, h. 27. 4 Abdurrahman Shiddiq, Risalah Amal Ma’rifah, Singapura: Mathba’ah al-Ahmadiyah, 1332 H., h.7.