Peribadatan Syekh Siti Jenar

umum umat terletak pada hakikat hidup dan ada serta ketaatan terhadap syariat sebagai akar dari segala tindakan. Sebagian tokoh pembaharu gerakan Islam memandang bahwa aturan formal syariat hanya kulit luar dari sebuah ketaatan batin dan spritual. Di sini ketaatan formal syariat berupa ketaatan dalam tindakan fisik hanya bernilai jika didasari ketaatan batin dan spritual. 17 Ketaatan batin dan spiritual adalah wujud kesampurnaan hamba untuk selalu dekat dengan sang khaliq. Ketaatan tersebut di implementasikan dengan bentuk peribadatan yang lebih serius lagi. Keseriusan agar untuk mencapai tingkat kualitas ibadah yang lebih baik adalah tujuan dari pada pencapaian kasampurnaan ajaran Syehk Siti Jenar. Seseorang yang dengan taat menjalani semua ketentuan syariat baik dalam ragam kegiatan ibadah Mahdlah atau khash atau pun dalam bidang mu’amalat atau hidup sosial, tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali ia mampu menyentuh dimensi esoterik dari segala tindakan yang eksoterik. Aqidah iman bukan sekedar mengucap dua kalimat syahadat yaitu persaksian tentang keesaan Tuhan dan kerasulan dan kerasulan Muhammad Saw. Dan tindakan ragawi, melainkan harus disertai kehadiran spritual-ruhaniyah di dalam hati atau kalbu. Tindakan fisik dalam melakukan shalat, zakat, puasa, dan haji saja juga belum cukup jika tidak disertai keterlibatan intensif ruhaniyah-batiniyah yang disebut dalam banyak istilah seperti keikhlasan, ke-khusyuk-an, dan tumakminah. 18 17 Ibid, h. 158-159. 18 Ibid, h. 144. Ditinjau dari segi psikologisnya, terdapat suatu karakteristik mistis yang disebut-sebut para sufi, yaitu hilangnya perasaan dan kesadaran, dimana seorang sufi tidak lagi merasakan apa yang terjadi pada organ-organ tubuhnya, tidak pula dirinya dalam alam luasnya. Dalam bahasa psikologis modern dapat dikatakan bahwa fana adalah intuitif, dimana seseorang untuk beberapa lama kehilangan perasaannya terhadap ego. Dan dalam Trimologi para sufi hal itu berarti, ”Ketidaksadaran seseorang terhadap dirinya maupun hal-hal yang berkaitan dengannya. 19 Di dalam serat wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Simuh dalam ” Sufisme Jawa” disebutkan bahwa jalan untuk mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat di peroleh dengan cara ” Ngelmu Kang NyataNgelmu LuhungIlmu Hakikat”. Ilmu ini lebih tinggi tingkatannya dari pada Ngelmu Karang ilmu yang dikarang-karang, untuk mempelajari dan mendapatkan Ngelmu Nyata ini orang harus berguru kepada seorang gutu. Dalam ungkapan Serat Wedhatama guru ini dinyatakan sebagai Sarjana Kang Matrapi, yaitu para pertapa yang bijaksana. Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama di rumuskan menjadi Sembah catur Empat macam sembah. Hal ini diungkapkan sebagai berikut : ” Semengko insun tutursembah catur supaya lamunturDhihin raga, cipta, jiwa, rasa kakiing kono lamun tinemuTandha nunggrahaning Manon. Kini kuterangkan empat macam sembah, agar dijalankannya. Yaitu sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan. 19 H. Ahmad Zacky Syafa, Ajaran dan Pemikiran Syekh Siti Jenar, h. 117. Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan suatu gubahan dari keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga adalah Syariat, sembah cipta adalah Tarekat, sembah jiwa adalah Hakikat, sedang sembah rasa adalah Ma’rifat. Jadi keempatnya adalah gubahan dari syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan menjalankan shalat lima waktu dan berpegang pada aturan-aturan syari’at. Adapun sembah Qalbu Cipta, sucinya tanpa air akan tetap menahan dan mengurangi kridanya hawa nafsu. Berusaha mengenal Tuhan di lakukan dengan penguasaan batin dan berlatih secara tekun, tertib dan teratur. Berlatih mengheningkan cipta untuk menanti terbuknya alam ghaib eneng, ening, eling hening, awas, dan ingat. Adapun sembah jiwa hakikat diterangkan merupakan puncak akhir dari pada laku batin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Berusaha menggulung alam raya ke alam batin jasad gedhe ginulung lan jagad cilik. Apabila mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang, terlihat serupa dengan Tuhan yang laksana bintang gemerlap. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun, hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan. 20

C. Telaah Kritis Terhadap Konsep Peribadatan Syekh Siti Jenar Dalam

Perspektif Hukum Islam 20 Ibid, h. 83-85. Secara umum, hukum Islam fiqh didefinisikan sebagai berikut : “ ilmu tentang hukum-hukum syar’iyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci adillah tafshiliyyah. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa hukum Islam fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah yang amaliyyah yakni yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. Dari sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam fiqih, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat dimasukkan kedalamnya. 21 Tetapi, mau di akui atau tidak, persoalan yang paling mengakar dalam kehidupan umat Islam adalah persoalan ibadah –ritual. Tidak heran jika fiqh klasik identik dengan tatacara bersuci al-thaharah, salat, puasa, haji, dan nikah. Fiqh klasik telah menjadi ajaran antroposentris. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan seolah-olah hilang di tengah hiruk-pikuknya persoalan ibadah-ritual. 22 Dalam artian seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun muamalah. Dalam bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat, rukun-rukun, sunnat-sunnat ibadah. Ibadah akan dianggap sah jika telah memenuhi syarat-syarat dan rukun- rukunnya. Sebagai contoh, shalat seseorang sah dari segi fiqih apabila ia shalat di waktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat di mulai dari pusat sampai lutut bagi laki-laki, menghadap kiblat, memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun lainnya. 21 M. Jamil. Cakrawala Tasawuf sejarah, pemikiran, dan kontekstualitas, h. 72. 22 A. Fawaid Sjadzili dan Moh Guntur Romli, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Jakarta, PT LSIP Jakarta, cet pertama, 2004, h. 43.