dengan Tuhannya. Dalam Risalah al- Qusyairiyah dinukil ungkapan para sufi sebagai berikut : “Pecinta itu syaratnya sampai mabuk gila cinta, bila belum
sampai seperti itu, cintanya belum benar-benar belum sempurna. Juga dalam Risalah di atas di nukil kata Sari Al-Saqti : ” Tidak sempurna
percintaan antara dua orang sehingga keduanya saling mendaku ”. Jelasnya, mendalamnya cinta rindu terhadap Tuhan menurut ajaran tasawuf
para sufi sampai mabuk cinta, sehingga meningkat menjadi wahdat al-syuhud, yakni segala yang mereka pandang tampak wajah Tuhan. Kemudian dari wahdat
a-syuhud memuncak jadi wahdat al-wujud atau monisme, segala yang ada ini adalah Allah.
Dalam tasawuf kecenderungan ke arah paham kesatuan antara Tuhan ini di mulai tampak dalam penghayatan ittihad the unitive state yang diungkapkan
oleh Abu Yazid al-Bisthomi w.261 H.875M. Dalam perkembangan pemikiran sufisme Abu Yazid al-Busthomi dipandang
sebagai tokoh yang memperkenalkan paham ittihad atau kesatuan antara manusia dengan Tuhan, atau dalam konsep kejawen dinyatakan dengan konsep
Manunggaling Kawulo Gusti.
11
B. Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti Sebagai Soko Guru Ajaran Syekh Siti Jenar.
Di dalam Serat Wedhatama, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Backy Syafa’, “Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar”, disebutkan bahwa jalan untuk
11
Simuh, Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, h. 139-143.
mencapai Manunggaling Kawulo Gusti seperti ajaran Siti Jenar dapat diperoleh dengan cara “ Ngelmu Kang NyataNgelmu LuhungIlmu Hakikat”.
Adapun jalan untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dirumuskan menjadi Sembah Catur Empat macam sembah.
Hal ini diungkapkan sebagai berukut : “ Semengko insun tutur Sembah catru supaya lamuntur Dhihn raga, cipta,
jiwa, rasa kakiingkono lamun tinemo Tandha nugrahaning Mathan.“Kini kuterapkan empat macam sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Keempatnya
apabila berhasil, itu pertanda anugerah Tuhan”.
Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan gubahan dari keempat tingkat dalam pengamalan ajaran tasawuf. Sembah raga adalah Syariat,
sembah cipta adalah Tarekat, sembah jiwa adalah Hakikat, sedang sembah rasa adalah Hakikat. Jadi keempatnya adalah gubahan dari syariat, tarekat, hakikat dan
makrifat. Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air dan
menjalakan shalat lima waktu dan berpegang aturan syariat. Adapun sembah qalbu cipta secinya tanpa air akan tetapi menahan dan mengurangi kridanya
hawa nafsu. Kemudian sembah jiwa hakikat diterangkan merupakan puncak akhir dari pada laku bathin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Apabila
mendapat anugerah Tuhan qalbu akan terbuka ke alam batin dan akan nampak terang benderang. Adapun sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun,
hanya terasa dalam batin. Segala menjadi terang benderang, segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan.
12
12
Ahmad Zacky Syafa’, Ajaran dan Pemikiran Syaikh Siti Jenar, h. 83-85.
Cara Syekh Siti Jenar memaparkan pandangannya tampak lebih sesuai logika dan kesadaran hidup orang jawa yang karena itu ajarannya tampak lebih
meresap-menyatu di pasar kepercayaan mereka. Nama Syekh Siti Jenar sulit ditemukan di dalam kitab-kitab resmi terbitan Indonesia atau jawa, namun
ajarannya begitu populer bagi publik jawa. Ensklopedia Islam yang disusun Departemen Agama pun tidak menyebut tokoh ini ketika menjelaskan panjang
lebar tentang sejarah kehadiran wali atau Wali Songo di negeri ini. Nasib Syekh Siti Jenar seperti tokoh-tokoh besar sufi lainnya yang menentang arus kekuasaan
politik pada masanya seperti Al-Hallaj. Salah satu uraian panjang yang dikemukan Syekh Siti Jenar yang akrab bagi
wong jawa ialah konsepnya tentang warongko Manjing curigo yang dalam khasanah Islam di kenal dengan wahdatul wujud. Sikapnya yang anti kemapanan
yang memang mudah dicapai melalui doktrin-doktrin hukum fiqih atau syariah yang formal dan positifistik telah membuat tokoh ini tak pernah di akui
kehadirannya dalam sejarah Islam di Nusantara. Kehadiran Siti Jenar sebagai manusia historis yang pernah hidup dalam bentangan sejarah nasional memang
menjadi bahan perdebatan panjang yang tidak pernah berakhir. Namun, pandangan Siti Jenar bukanlah barang asing bagi sejarah pemikiran Islam seperti
ia juga tidak asing dalam kesadaran orang jawa. Kejawen sebagai salah satu bentuk kesadaran keagamaan dan praktek hidup
kaum abangan hampir selalu menimbulkan salah paham dan perdebatan di antara para ilmuwan atau para pelakunya sendiri. Kedudukan kejawen sebagai suatu
sistem kepercayaan itu sendiri juga menjadi perbantahan apakah ia merupakan bagian dari kebudayaan orang jawa atau merupakan salah satu bentuk kecerdasan
lokal dari praktik Islam yang oleh pihak lain dikatakan sebagai praktik Islam yang belum selesai atau belum sempurna. Sementara yang lain lagi memandang
kejawen sebagai suatu lapis tipis kesadaran keagamaan orang jawa yang tak memiliki akar yang kokoh, sehingga mudah berubah bentuk atau mudah
bercampur dengan bentuk keagamaan yang bersumber dari beragam agama yang biasa disebut sebagai sinkretisme.
Cara berpikir yang mendua inilah yang menyebabkan adanya sikap dan perilaku keagamaan orang jawa yang dapat mengekspresikan emosi keagamaan
melalui ajaran dari keyakinan manapun, baik melalui agama-agama monoteis Ilam dan kristen maupun dengan cara mengikuti ritual suatu aliran kebatinan
tertentu.
13
Diluar perdebatan di atas, kasus orang jawa yang merupakan bagian dari penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan sesungguhnya bisa
memberi bahan untuk memahami berbagai praktik keberagaman di kawasan nusantara, terutama di pulau jawa. Mereka, orang jawa itu, umumnya tinggal dan
menetap di pulau jawa yang dalam mitologi jawa di percaya sebagai “punjering jagad” atau pusat kosmos dan sebagai pusat kehidupan umat manusia. Secara
geografis pusat jagad itu terletak di satu wilayah kecil di sisi selatan jawa tengah, dan yang lebih spesifik lagi menunjukkan kawasan yogyakarta dan solo yang juga
di tempatkan sebagai pusat kebudayaan jawa.
13
M. Soehadha, orang jawa memaknai agama, Jogjakarta, PT Kreasi Wacana, Cet 1, 2008, h. 20-21.
Dalam kaitan itu pula pergumulan keberagaman dari agama –agama besar di negeri ini sesudah beberapa abad agama itu merasuk ke wilayah nusantara
nampak akan terus berlangsung dalam aras dan dimensi yang tentunya berbeda dari masa ke masa. Salah satu dari banyak hal yaitu tentang pergumulan
keberagaman itu ialah hubungan mistisme di dalam semua agama-agama besar tersebut dan dimana posisi kejawen beradan dan akan berada. Niels Mulder,
dalam bukunya yang edisi terjemahan Indonesia berjudul Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, dengan jelas menyatakan adanya kesepadanan antara
mistisisme dengan kebatinan dan ilmu jawa kadang dan lebih sering disebut kejawen.
Namun, disaat yang sama ekspansi kolosal orang jawa ke berbagai pulau di wilayah nusantara beserta budaya yang diusungnya, melalui transmigrasi, semakin
menghadapi kritik amat tajam. Suatu praktik kekuasaan model Mataraman jawa yang juga mulai digugat sesudah jatuhnya rezim orde baru.
Dilihat dari komunitas pemeluk Islam, agama yang dipeluk mayoritas penduduk di negeri ini, sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan
Nusantara lebih dari 10 abad lalu. Jauh sebelum majapahit runtuh, beberapa komunitas pemeluk Islam, konon bahkan sudah ada di pusat pemerintahan
kerajaan besar tersebut. Sejak kerajaan Demak berdiri, lebih lima abad Islam terus berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek kehidupan
nasional. Namun, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh untuk meneguhkan diri sebagai orang jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya
sendiri.
Sistem kepercayaan orang jawa, yang lebih dikenal sebagai kejawen, oleh sementara pihak di duga telah mengalami kebangkitan di akhir abad ke-20.
banyak pihak berpendapat adalah kesalahan besar menganggap orang jawa itu begitu gampang menjadi muslim atau kristen, Budha atau Hindu. Menurut pihak
ini, hal itu di sebabkan karena penganjur agama Islam atau kristen gagal memahami kesadaran hidup orang jawa dan kekuatan kejawen.
14
Di jawa memang perpaduan antara mistik Islam dengan budaya cukup kental. Bukan sekedar itu saja, bahkan ada aliran kebatinan yang cenderung
menggerogoti dan menyerang umat Islam dengan karya-karya kebhatinannya. Sebut saja, misalnya kitab Gatoloco dan Darmogandul, yang menurut T.E.
Behrend, menjadi lambang pornografi dan anti Islam dalam sastra jawa prakontemporer.
15
Secara teoritis, sufí atau sufisme memang ditolak oleh berbagai gerakan Islam dan kaum sunni yang dianut mayoritas muslim di dunia. Namun demikian,
praktek sufí merupakan fenomena umum yang mudah ditemukan dalam kehidupan mayoritas pemeluk Islam dari strata rakyat kebanyakan di dunia
Islam.
16
Sufisme berkembang meluas ditengah kekacauan politik yang berubah menjadi gerakan radikal sebagai penerapan syariah sebagai dasar hukum negara
ialah wahabisme ketika mendukung kekuasaan Ibnu Saud. Di kemudian hari
14
Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Burung Surga dan Ilmu kasampurnaan Syekh Siti Jenar, h. 101-106.
15
Alwi Shihab, Islam sufistik, bandung : Mizan 2001, h. 159-160.
16
Lihat, Abdul Munir Mulkhan, Islam sejati KH.Ahmad Dahlan dan petani Muhammadiyah Jakarta, PT. serambi ilmu semesta, cet 1, 2003, h. 98.
wahabisme juga mengintegrasikan beberapa unsur sufisme ke dalam Islam murni syariah tersebut.
Walaupun sufime ditolak kaum sunni, namun peletak pemahaman sufi juga memberi perhatian serius atas pokok ajaran-ajaran sufisme. Hasan Basri wafat
728 M, guru pendiri Mu’tazilah dan Asy’ary, sangat mendorong hidup saleh baca;zuhud dalam menghadapi pengadilan kiamat yang populer dikalangan
penganut sufi. Ibn Taimiyah mengakui sahnya beberapa ajaran Sufisme, termasuk kasyf-nya Al-ghazali, pembela sunni paling masyhur dan tokoh terpenting sufisme
sepanjang sejarah Islam. Gagasan dasar sufisme sebenarnya sama dengan syariah, termasuk tujuan
pendekatan diri kepada Tuhan dan pencarian perkenan keridlaan Tuhan. Gerakan ini sering dikaitkan dengan pemikiran sufi Abu Hasyim Al Kufi dari
Irak, wafat Tahun 770 M. untuk mencapai tujuan itu seorang sufi menempuh jalan tarekat yang panjang dan sistematis yang dikenal dengan maqam-maqam.
17
Sebagaimana di ketahui, ajaran Syekh Siti Jenar banyak terkait dengan praktek hidup sufi sebagai model kehidupan pemeluk Islam baik dalam
berhubungan dengan menyembah Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan sosial kemasyarakatan. Termasuk dalam hubungan sosial itu berbagai masalah
kehidupan politik dan juga ekonomi. Praktik hidup sufi itu sendiri memiliki sejarah panjang, bahkan pada masa jauh sebelum kerasulan Muhammad saw.
Sebagian pemikir Islam ahli syari’ah berpendapat bahwa ajaran praktik hidup sufi tidak diketemukan dasar tekstualnya dalam Al-Quran ataupun sunnah.
17
Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan jalan kematian Syekh Siti Jenar, h. 11.
Walaupun demikian juga cukup banyak yang menghubungkan praktik hidup sufi itu dengan perikehidupan Nabi sendiri. Mereka berpendapat bahwa perikehidupan
Rasul adalah sebuah contoh kehidupan sufistik itu sendiri.
18
Munculnya tasawuf juga bersamaan dengan rekonstruksi kekuasaan Islam yang dengan hebat menguasai hampir seluruh wilayah-wilayah utama dunia.
Proses pembentukan sistem kekuasaan ini diikuti oleh pengembangan hukum positif fiqih sebagaimana telah disebutkan. Akibatnya, hampir semua pemikiran
lain dinyatakan dilarang kecuali pemikiran yang memperoleh dukungan kekuasaan resmi. Di sinilah pemikiran sufistik mulai mengambil posisi
oposisional yang tak kalah kerasnya dengan ketaatan hukum fiqih dalam praktik tarekat.
19
Pada saat yang sama, ajaran Syekh Siti Jenar seharusnya dapat diletakkan sebagai media dialog ajaran Islam yang berkembang dengan kepercayaan lama
yang selama ini diyakini oleh hampir semua lapisan sosial di bawah sistem politik dan budaya Majapahit. Suatu hal yang dengan keras ditolak oleh Raden fatah dan
dewan keagamaan yang dipimpin para wali. Sayangnya, pemikiran dan ajaran Syekh Siti Jenar yang memang cukup bukti menyimpang dari mainstreem atau
pola umum sistem keagamaan dan kekuasaan resmi itu kurang disikapi secara jernih.
Walaupun demikian, sikap Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya yang tak kalah keras juga harus dijernihkan. Namun jika pemikiran dan ajaran Syekh Siti
Jenar itu diletakkan dalam konteks peralihan kekuasaan dan sekaligus peralihan
18
Ibid, h. 29-30.
19
Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar’ Pergumulan Islam-Jawa, Jogjakarta, h. 31.
kesadaran budaya ketika itu, mungkin pemikiran Syekh Siti Jenar dapat dikaji secara lebih proporsional. Harus pula disadari bahwa peralihan kekuasaan dan
budaya yang terjadi secara mendadak harus menyesuaikan diri dengan sistem keagamaan dan kekuasaan Islam di bawah pemerintahan demak Bintara. Tidak
bisa ini dihindari hal ini akan menimbulkan kejutan dan hentakan kesadaran sosial, politik dan ekonomi yang tak mudah bagi seseorang untuk mengambil
posisi yang tepat. Dalam hubungan itulah kajian terhadap pemikiran dan ajaran Syekh Siti
Jenar menjadi relevan. Hal ini menjadi semakin strategis di tengah pertumbuhan bangsa yang mayoritas penduduknya umat Islam. Lebih strategis lagi ketika ketika
bangsa ini tak lagi dapat menghindar untuk menempatkan diri ditengah percaturan budaya mondial yang semakin mengglobal seperti sekarang ini.
20
Ketika ajaran sufi itu dikembangkan Syekh Siti Jenar, kegelisahan para wali, bahkan diantara para elit penguasa kerajaan demak pun muncul. Karena itu, upaya
memahami berbagai dimensi ajaran dan kepercayaan sufi itu diharapkan setidaknya bisa mengurangi kesalahpahaman tersebut.
21
20
Ibid, h. 32-33.
21
Dr. Abdul Munir Mulkhan, ajaran kematian h. 35.
BAB III PERIBADATAN SYEKH SITI JENAR
DALAM KITAB BAYAN BUDIMAN A.
Tinjauan Umum Tentang Kitab Bayan Budiman.
Kitab Bayan Budiman adalah kitab rakyat yang selalu dibaca di hampir setiap peristiwa penting kehidupan. Misalnya, di baca di malam-malam upacara di
dalam siklus kehidupan seperti; mitoni, kelahiran bayi dan sunatan, hingga hari pernikahan. Seorang pembaca mendendangkan tembang-tembang dalam kitab
yang untuk hal-hal tertentu disela-selai disenggakijw oleh pendengar. Buku yang di beri judul Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan
Syekh Siti Jenar cukup menjelaskan uraian singkat tentang Kitab Bayan Budiman. Di dalamnya, berisi tentang kiasan bahwa burung surga yang mewakili fabelisasi
seekor burung yang disebut Burung Bayan sebagai aktor utama dalam Kitab Bayan Budiman yang bertindak sebagai penyampai pesan ajaran kasampurnaan.
Pemberian judul yang berkaitan dengan Syekh Siti Jenar didasari alasan karena nama Siti Jenar memang disebut dalam Kitab Bayan Budiman. Alasan berikutnya
ialah karena kitab ini memang berisi penjelasan tentang sikap hidup manusia muslim yang mencerminkan konsep wahdatul wujud yang menjadi inti ajaran
Syekh Siti Jenar. Lebih menarik ketika penjelasan tentang sikap hidup berdasar dengan konsep warongko manjing curigo dalam konteks kehidupan sehari-hari.
1
Dalam pengantar editor, terbayang kalau kitab ini seperti buku-buku yang mengurai kisah-kisah dalam Hikayat Bayan Budiman yang pernah editor baca.
1
Dalam pengantar, Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, tanpa halaman
Namun meskipun ada persamaan ini kisah ternyata bayangan tersebut keliru. Ada perbedaan yang mendasar antara Hikayat Bayan Budiman dengan Serat
Bayan Budiman, yaitu kedalaman ruh makrifat dan model kritik sosialnya. Kitab Bayan Budiman ini terdiri dari 13 bab, Terdiri dari: Pembukaan. Bab
1 Kasampurnaan Makrifat Bab 2 Makrifat Kesetiaan. Pupuh Pangkur: Kesetiaan Rumah Tangga. Pupuh Kinanti: Hijrah Kesetiaan. Pupuh Dandang
Gula: Ketaatan Sesama Makhluk. Pupuh Gambuh:Raja Agung Dan Raja Dunia. Bab 3 Makrifat Sifat Manusia. Pupuh Roning Kemala: Dongengan Tentang Tiga
Hal. Pupuh Mijil: Bersatunya Kekuatan Empat Pencuri. Pupuh Pucung: Menggunakan Kekuatan Secara Bersama. Pupuh Yuda Kenaka: Empat Pencuri
Menjelaskan Sifat. Bab 4 Makrifat Keulamaan. Pupuh Pucung: Ulama Dan Godaan Kekuasaan. Pupuh Artane: Ujian Guru Sejati. Pupuh Yuda Kenaka: Siasat
Jahat Ulama Sesat. Pupuh Sinom: Balasan Bagi Ulama Sesat. Bab 5 Makrifat Rumah Tangga. Pupuh Pangkur: Godaan Cemburu. Pupuh Kinanti: Siasat Wanita
Setia. Pupuh Maskumambang: Keteguhan Membawa Rizki. Bab 6 Makrifat Keserakahan. Pupuh Durmo: Memberi Pelajaran Penyembah Patung. Pupuh
Wirangrong: Makrifat Mensikapi Keserakahan. Pupuh Gambuh: Kesadaran Buah Makrifat. Bab 7 Makrifat Keutamaan Priyayi Santri-Santri Priyayi. Pupuh
Maskumambang: Jalan Santri Menjadi Priyayi. Pupuh Gambuh: Perempuan Dalam Kebusukan Lingkungan Priyayi. Pupuh Pucung: Perselingkuhan Priyayi
Dan Bahaya Fitnah. Bab 8 Makrifat Cinta Kasih. Pupuh Dandang Gula: Sumpah Setia Cinta Kasih. Pupuh Kinanti: Cinta Sejati Atau Cinta Jasad Semata. Pupuh
Maskumambang: Kekuatan Cinta Kasih. Pupuh Simon: Cinta Versus