Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Asuransi PT. Asuransi Jiwasraya

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhamad, 22 Oktober 1988, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universiats Sumatera Utara Profil Hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) dikaitkan dengan Hukum UU tentang Peradilan Umum Tata Usaha Negara(PERATUN), Medan.

Emmy, Pangaribuan Simanjuntak, 1990, Hukum Pertanggungan Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

Emmy, Pangaribuan Simanjuntak, 1992 Aspek Yuridis dan Cara Penanggulangan Persaingan Curang,Makalah, Yogyakarta.

Effendi, Paulus, Lotulung, 1994, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuadi, Munir, 1999, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hornby, A.S, 1987, Oxford Advance Learner’s Dictionary Of Current English Oxford University Press Oxford (opp. To Producen) Person Who Uses Good.

Kumorotomo, Wahyudi, 1994, Etika Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Leader Malcolm, dan Peter Shears, 1991, Consumen Law Third Edition M and E Law Handsbook, Longman Groups UK Ltd.

Machmad, Mas Santoso, 1997, Konsep Penerapan Gugatan Perwakilan (class action), Jakarta.

Marbun, S.F, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta.

Maman, Ade Suherman, 2002, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia, Jakarta.

M.Echols, John, dan Hasan Sadily, 1986, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta.

Nasution, AZ, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.


(2)

Nasution, AZ, 1995, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Poejosoebroto, Santoso, 1969, Beberapa Aspek tentang Hukum Pertanggungan

Jiwa di Indonesia, Bharata, Jakarta.

Purwosutjipto, H.M.N, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta.

Prakoso, Djoko, dan I Ketut Murtika, 1989, Hukum Asuransi Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

Remi, Sutan Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir, Jakarta.

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. Steinwall, R, dan Layton, 1996, Annoated Trade Practise Act, Sydney.

Tim FH UI dan Depdagri, 1992, Rancangan Akademik UU Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta.


(3)

BAB III

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”.

Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan antara konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen.

A. Pengertian Konsumen 1. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 9 (UUPK). Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang/ jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri


(4)

sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan”. Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia.

Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000 satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen , yaitu “setiap pemakai atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain”. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.17

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah”pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Pakar masalah hukum konsumen di Belanda, Hondius sebagaimana dikutip oleh Tim FH UI dan DEPDAGRI (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia) disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan atau jasa (uinteindelijk gebruiker van goederen en diesten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dari konsumen pemakai terakhir.


(5)

Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Masalahnya, apakah pengertian konsumen hanya menyangkut orang atau termasuk bukan orang? Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obstains goods and service for personal or family purpose”.18

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commision Act 1975 mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di Perancis. Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (NBW Buku VI Pasal 236) walaupun terkesan lebih umum (karena di muat dalam bab tentang syarat-syarat umum perjanjian), yang dikandung tetap kurang lebih sama. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu, konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan.

Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Sekalipun demikian, maka kata “memperoleh” (to obtain) masih kabur, apakah maknanya hanya melalui hubungan jual beli atau lebih luas daripada itu ?

19

Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi lebih atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik

18

Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta 1992 hal 57

19

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995 hal 72


(6)

disini, konsumen tidak harus terkait dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.20

Consumer Protection of Act 1986, Nomor 68 dari negara India menyatakan konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya tetap tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.21

Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practises Act 1974, yang sudah berkali-kali diubah konsumen diartikan sebagai : seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000 dollar Australia. Artinya, sejauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melewati 40.000 dollar, keperluannya harus khusus.22

Istilah Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen sudah sangat sering terdengar. Namun belum ada yang jelas, apa saja yang termasuk di dalam cabang Hukum Konsumen dan atau Hukum Perlindungan Konsumen. Sekalipun demikian, hampir semua orang sudah menyebutkan tentang Hukum

Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukan sangat beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan.

B. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

20

Tim FH UI & Depdagri, op.cit, hal 58 21

Az. Nasution, op.cit 22


(7)

Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen. Kemungkinan besar meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perlindungan konsumen terdapat dampak (negatif) hubungan penyediaan barang atau jasa kebutuhan konsumen oleh pengusaha dan penggunaannya oleh konsumen merupakan salah satu penyebab. Tentu saja tidak dapat dihindarkan juga pengaruh global perkembangan kehidupan antar bangsa pada umumnya dan kehidupan sosial, ekonomi, hukum pada khususnya.

Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya bersaing/daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang tergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut, dibutuhkan perlindungan pada konsumen.

Adapun hukum konsumen diartikan sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain, berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.23

23

Az. Nasution, Konsumen, op.cit hal 64-65

Sejalan dengan batasan hukum konsumen, maka Hukum Perlindungan Konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum


(8)

yang mengatur melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen”.24

“asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.

Dari dua batasan tersebut di atas, hendaknya tidak dilupakan bahwa peran regulasi sendiri (self regulation) di kalangan pengusaha dan profesi, juga mempunyai pengaruh pada konsumen dan perlindungan konsumen seperti termuat dalam bentuk kode etik, kode praktek, kode pemasaran dan sebagainya.

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan social, ekonomi, daya asing maupun tingkat pendidikan.

AZ Nasution mengakui :

25

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli : (1) karena sengaja

Adapun yamg masih belum jelas dari pernyataan AZ. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk jelasnya dapat dilihat ketentuannya dalam Pasal 383 KUHP berikut ini :

24


(9)

menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli. (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP itu juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, persoalan ini bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian seyogyanya dikatakan hukum, konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum” termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak-hak lain.

Tujuan Perlindungan Konsumen

Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Pasal 3, perlindungan konsumen mempunyai 3 (tiga) tujuan :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konnsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.


(10)

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.

1. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu : (1) hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), (2) hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed), (3) hak untuk memilih (the right to choose), (4) hak untuk di dengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapat ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun tidak semua organisasi konsumen menerima pembahasan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat dasar hak konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca konsumen.


(11)

Ada delapan (8) hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK No 8 Tahun 1999 , sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.

Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK No 8 Tahun 1999, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan anatomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar) akan diperoleh, urutan sebagai berikut :

1. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsikan sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama, karena selama berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.

2. Hak untuk Mendapat Informasi yang Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi yang diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada


(12)

konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencamtumkan dalam kemasan produk (barang).

Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan, sebelum kita melangkah detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dahulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapat perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu konsumen yang terinformasi (well informed) dan konsumen yang tidak teeinformasi. Ciri-ciri tipe pertama, antara lain (1) memiliki tingkat pendidikan tertentu, (2) mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan (3) lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen kedua memiliki cirri-ciri, antara lain (1) kurang berpendidikan, (2) termasuk kategori kelas menengah ke bawah, dan (3) tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab negara untuk memberi perlindungan.

Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khususnya dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif).


(13)

3. Hak untuk Didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

4. Hak untuk Memilih

Dalam mengkonsumsikan suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk memilih erat kaitannya dengan situasi pasar.

Jika terdapat monopoli perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengkonsumsi barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian-perjanjian antara pelaku usaha yang bersifat membatasi hak konsumen untuk memilih.26

5. Hak untuk Mendapat Produk Barang dan atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar yang Diberikan

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang dikonsumsikan harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat

26

Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi Para Pihak dalam Peejanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993 hal 33-37


(14)

saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen diharapkan pada kondisi take it or leave it.

6. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian

Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapat ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.

7. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi dari pada hak pelaku usaha (produsen/ penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak menadapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan, karena mengkonsumsi produk itu.

Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak.


(15)

8. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan non fisik.

Desakan permukaan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat semakin mengemuka akhir-akhir ini. Karena hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bahian dari hak-hak subjektif (subjective rights) sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang.27

9. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya preventive yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah, guna mencegah muculnya akibat-akibat langsung yang merugikan

27


(16)

konsumen. Itulah sebabnya, gerakan kosumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak lain, seperti yang ada saat ini yaitu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.28

10.Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh sebab itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melalui media masa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian pendidikan konsumen ini tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya ssudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.29

28

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, “Aspek Yuridis dan Cara Penanggulangan Persaingan Curang”(makalah, yogya 6-7 Oktober 1992) hal 1


(17)

Di pihak lain, konsumen juga dibebani dengan kewajiban atau tanggungjawab terhadap pihak penjual atau pelaku usaha, dimana kewajiban konsumen meliputi sebagai berikut:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 3. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

4. Membayar upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 diperinci apa saja yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha. Pelaku usaha juga mempunyai hak-hak yang harus dihargai dan dihormati oleh konsumen, pemerintah, serta masyarakat pada umumnya karena pengusaha tanpa dilindungi hak-haknya akan mengakibatkan macetnya aktivitas perusahaan. Hal ini sejalan dengan asas-asas perlindungan konsumen, yaitu: (1) Asas Manfaat, (2) Asas Keadilan,(3) Asas Keseimbangan, (4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, (5) Asas Kepastian Hukum.

Adapun hak-hak pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen meliputi sebagai berikut:


(18)

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen, masyarakat, dan pemerintah yang dimuat dalam Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen meliputi:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatannya usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.


(19)

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jada yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.30

D. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Prof. Hans. W. Mickklitz,31

30

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta 2002 hal 65-66

31

Warta Konsumen, loc.cit

dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas keamanan dan kesehatan).


(20)

Prinsip tentang tanggung jawab merupkan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum namun berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: (1) Adanya perbuatan, (2) Adanya unsur kesalahan, (3) Adanya kerugian yang diderita, (4) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”. Tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alteram partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Disini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.


(21)

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si Tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. UUPK pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK)

Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidaklah berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan-gugatan. Posisi konsumen sebagai Penggugat selau terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principile) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.


(22)

4. Prinsip tanggung jawab mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.

Biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena: (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks. (2) waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga pokoknya, (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya ditentukan bila film yang dicuci cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen , bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.


(23)

Dalam UUPK yang baru, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus ada peraturan perundang-undangan yang jelas.32

32

Shidarta, op.cit hal 58-65


(24)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH ASURANSI

A. Perlindungan Hak Nasabah Asuransi

Menurut Pasal 246 KUHDagang premi merupakan kewajiban tertanggung untuk membayarnya kepada penanggung sebagai kontra prestasi dari ganti kerugian yang akan penanggung berikan kepadanya. Demikian pula menurut Pasal 256 ayat 7, polis harus memuat premi asuransi yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, premi merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.

Biasanya penetapan besarnya premi berdasarkan persentase tertentu harus memperhatikan beberapa faktor, seperti perkiraan resiko yang penanggung hadapi, dan besarnya uang asuransi. Mengingat setiap penanggung mempunyai penilaian sendiri-sendiri terhadap resiko yang dihadapi, penetapan besarnya persentase tersebut dapat berbeda-berbeda antara penanggung yang satu dengan penanggung yang lainnya.

Mengenai waktu pembayaran premi bergantung pada perjanjian antara para pihak dan biasanya disebutkan dalam polis bersangkutan atau dalam asuransi wajib bergantung kepada penentu undang-undang. Biasanya premi itu dibayar di muka secara tunai. Tetapi bila pertanggungan itu akan berlaku lama, maka pembayaran premi itu dapat dperjanjikan secara angsuran. Apabila penutupan perjanjian asuransi itu dilakukan dengan perantara makelar, maka penanggung


(25)

dapat membebani makelar itu untuk membayar premi, dan selanjutnya makelar itu yang akan menagih kepada tertanggung.

Contoh pemberian premi Asuransi Jiwasraya dalam Jiwasraya Prestasi (beasiswa) :

Ada 3 tahapan pemberian uang asuransi , yaitu :

a.Tahapan masuk SD 6 tahun lagi, maka saat anak tamat TK, menerima = Rp. 2.680.191,-

b.Tahapan masuk SMP 12 tahun lagi, maka saat anak tamat SD, menerima = Rp. 7.183.425,-

c.Tahapan masuk SMA 15 tahun lagi, maka saat anak tamat SMP, menerima = Rp. 12.473.569,-

d.Tahapan masuk PT 18 tahun lagi, maka saat anak tamat SMA, menerima = Rp. 24.066.192,-

Jumlah 46.403.378,-

Saat anak masuk ke Perguruan Tinggi maka beasiswa yang akan diberikan Rp. 962.648 (setiap bulannya selama 5 tahun), namun jika beasiswa diterima sekaligus maka beasiswa yang diberikan sebesar Rp. 48.132.385,-

Contoh pemberian premi Asuransi Jiwasraya Siharta (kecelakaan, hari tua, meninggal) :

Pembayaran premi dapat dilakukan secara berkala (bulanan, kuartalan, semesteran dan tahunan) dan secara sekaligus dengan ketentuan sebagai berikut :

a.Untuk pembayaran premi bulanan, minimal premi Rp. 200.000,- b. Untuk pembayaran premi kuartalan, minimal premi Rp. 600.000,-


(26)

c. Untuk pembayaran premi semesteran, minimal premi Rp. 1.200.000,- d. Untuk pembayaran premi tahunan, minimal premi Rp. 2.4000.000,- e. Untuk pembayaran premi sekaligus, minimal premi Rp. 5.000.000,- Disamping itu Asuransi Jiwasraya juga akan menambahkan manfaat yang disediakan yaitu, 100% Uang Asuransi apabila tertanggung mengalami cacat tetap total karena kecelakaan. Dan manfaat yang lain adalah manfaat santunan rawat Inap, karena kecelakaan Maksimum sebesar 105 Uang Asuransi.

Contoh yang lain pemberian premi dalam Asuransi Jiwasraya Dwiguna Menaik (hari tua, meninggal) Ada 3 pembagian premi :

a.Apabila premi tahunan untuk 5 tahun pertama sebesar Rp. 11.807.250,- b.Apabila premi tahunan untuk tahun-tahun berikutnya sebesar Rp. 11.245.000,-

c.Apabila premi dibayar sekaligus sebesar Rp. 101.894.000,-

Dan apabila tertanggung masih hidup sampai berakhirnya masa asuransi maka pembayaran uang asuransi sekaligus sebesar Rp. 250.000.000,-

Namun apabila tertanggung meninggal dunia sebelum waktunya pemberian uang asuransi maka uang yang akan dibayarkan adalah Rp. 100.000.000,- atau Rp 10.000.000,0 dikalikan usia pertanggungan.

B. Kewenangan Pemerintah Dalam Perlindungan Konsumen

Dalam perjalanannya sebagai negara, pasti ingin meraih berbagai bentuk kemajuan dalam mencapai apa yang dicita-citakan dalam tujuan nasional negara tersebut. Indonesia sebagai suatu negara juga memiliki tujuan sosial. Salah satu


(27)

tujuan yang ingin dicapai adalah peningkatan kesejahteraan seluruh warga negara, tidak hanya dalam arti materil akan tetapi juga dalam semua bidang kehidupan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.

Dalam negara kesejahteraan (welfare state) tugas pemerintah di dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, karena itu perlu adanya keleluasaan untuk bergerak dari administrasi negara sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Dalam menjalankan kekuasaannya yang dimilikinya, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang, penilaian penyelenggaraan pemerintah sewenang-wenang atau tidak dapat mengacu kepada asas-asas umum pemerintah yang baik, (beginselen van behoorlijk bestuur). Pada awalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik ini diperkenalkan oleh Crince Le Roy yang mengemukakan 11 (sebelas) butir asas pemerintahan seperti yang dikutip oleh Ateng Syafrudin :

1. Asas Kepastian Hukum 2. Asas Keseimbangan 3. Asas Bertindak Cermat

4. Asas Motivasi Untuk Setiap Keputusan Badan Pemerintahan 5. Asas Tidak Boleh Mencampuradukkan Kewenangan

6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan 7. Asas Permainan yang Layak

8. Asas Keadilan dan Kewajaran

9. Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar


(28)

11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi.33

Hal ini memberikan konsekuensi bahwa kebebasan pemerintah tersebut juga menyangkut Perlindungan Konsumen, artinya bahwa perintah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen harus dapat segera diantisipasi oleh pemerintah daerah sebagai pemegang kekuasan di daerah. Jika dibandingkan dengan perlindungan konsumen di luar negeri, seperti Inggris dapat dilihat begitu besar peran pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan :

1. Pusat konsultasi konsumen merupakan suatu alternatif yang dapat digunakan konsumen sebagai upaya awal sebagai tempat memperoleh bantuan hukum secara gratis. Pelayanan gratis dapat diperoleh konsumen melalui pusat nasehat konsumen ini. Peraturan Pemerintah Daerah 1972 merupakan landasan pendirian dan bantuan terhadap pendanaan diperoleh konsumen dari jaminan pemerintah. Saat ini pusat konsultasi konsumen telah berdiri hampir sekitar 50 (lima puluh) daerah. Di samping memberikan informasi dan literature sebelum berbelanja , pusat konsultasi konsumen juga merupakan instrument untuk menolong konsumen menyelesaikan sengketa dengan pedagang-pedagang setempat. Pusat konsultasi konsumen ini juga akan membantu konsumen dalam peradilan melawan pedagang nakal.

33


(29)

2. Badan Konsultasi Kemasyarakatan adalah suatu lembaga pelayanan sukarela yang terdiri dari 800 badan otonom, dengan pembiayaan yang sebagian besar merupakan bantuan pemerintah lokal. Badan daerah ini dipresentasikan melalui komisi registrasi dan penyusunan otoritas kebijakan pergerakan dari kumpulan dewan konsultasi kemasyarakatan nasional.

3. Penyediaan sebagai pelayanan hukum lingkungan secara komprehensif, termasuk keberadaan peradilan, bagi kelompok maupun bagi setiap individu.

4. Undang-undang ini disusun agar industri nasional memiliki kepedulian yang tinggi terhadap konsumen dan juga mengupayakan berdirinya dewan pembimbing konsumen. Sebagai bagian dari pertimbangan atas keberadaan masyarakat, dewan pertimbangan konsumen bertindak sebagai pemantau dan penasehat industri dalam mempertanyakan kebijakan secara umum.34

Selain itu lembaga-lembaga yang berfungsi sama yaitu untuk melindungi konsumen juga telah di bentuk di Belanda : Lembaga Konsumen Belanda (Consumentebond) mendirikan Yayasan Pengaduan Konsumen (Stinchting Consumentenklachten). Yayasan ini bersama-sama asosiasi-asosiasi tertentu kalangan bisnis membentuk beberapa Komisi Penyelesaian Sengketa Konsumen

34

Malcom Leader dan Peter shears, Consumer Law, Third Edition, M&E Law Handbooks, Longman Groups UK Ltd, 1991, hal 248-250.


(30)

(Consumentengelschillen commissies). Komisi ini mendapat dukungan kedudukan hukum dan sebagian penandaanya berasal dari pemerintah Belanda.35

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Fungsi dari lembaga-lembaga yang telah disebutkan adalah untuk memberikan perlindungan secara nyata kepada konsumen dan berupaya untuk membantu konsumen dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Jika dicermati kondisi itulah yang merupakan tujuan dari perintah Pasal 49 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen setiap daerah tingkat II. Pada dasarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah ini didasari oleh ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan.

Pasal 18 UUD 1945 :

2. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.


(31)

4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18 A

1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota diatur dalam Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keagamaan daerah.

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-undang.

“Wewenang itu sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan satu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.”36

36

S.F. marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997 hal 154


(32)

Pertimbangan lain dari pembuatan keputusan secara diskesi ini adalah secara pragmatis bahwa rumusan-rumusan legal yang ada sering kali tidak mampu menjawab permasalahan maupun situasi yang sedang dihadapi, “dengan alasan undang-undang biasanya selalu bersifat abstrak, sedangkan perkara-perkara yang muncul bersifat konkrit”. Dengan demikian negara memberikan kewenangan kepada pemerintah dan para hakim untuk menerapkan kaedah-kaedah hukum yang akan memberi rasa keadilan. Namun tidak dapat disangkal bahwa keputusan-keputusan yang dihasilkan lebih merupakan pandangan individual meskipun peraturan atau kaidah yang tata cara penyelesaian masalah yang sudah ditetapkan secara jelas. Lebih lanjut, “kebanyakan kebijakan pragmatis yang dibuat hanya merupakan penyelesaian secara coba-coba (trial and error)”.37

37

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal Perumusan nilai-nilai yudisial secara tepat merupakan hal yang sulit karena dituntut untuk memahami konteks budaya, persepsi hukum, kesadaran politis masyarakat, dan rasa keadilan yang dianut.

Sementara itu dalam menghadapi perubahan sistem pemerintahan di daerah dengan adanya pemberian otonomi kepada daerah yang diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah, maka pelaksanaan wewenang daerah yang disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, harus bersesuaian satu sama lain hingga tidak bertentangan dalam pelaksanaannya.


(33)

Pembinaan, pengawasan, dan perlindungan konsumen dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan, tetapi berkaitan juga dengan instansi-instansi lain yang terkait, seperti :

1. Departemen Kesehatan, sebagai instansi yang bertanggung jawab atas kelayakan produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika.

2. Departemen Pertanian, sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pembinaan hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan agar layak dikonsumsi.

3. Departemen Perundang-Undangan dan Hak Asasi Manusia, sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pembinaan hak merek, hak paten dan hak cipta.

4. Departemen Pariwisata Seni dan Budaya sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pembinaan pelayanan yang baik terhadap jasa pariwisata, kesenian dan budaya.

5. Departemen Perhubungan sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap jasa angkutan laut, darat dan udara.

6. Pemerintah Daerah sebagai instansi yang mempunyai otonomi di daerahnya, untuk melaksanakan pembinaan perlindungan konsumen.

Peranan pemerintah lainnya yang dapat dimanfaatkan dalam penyelesaian sengketa konsumen adalah sebagai mediator bagi masyarakat (konsumen).

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam Bab VII menyebutkan peranan pemerintah yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen.


(34)

I. Pembinaan

Pasal 29 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan :

1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak-hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh menteri atau menteri teknis terkait.

3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk :

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.


(35)

II. Pengawasan

Menurut Pasal 30 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masayarakat”.

Pengawasan oleh pemerintah apabila hasil yang dimaksud ternyata menyimpang dari undang-undang yang berlaku dan membahayakan konsumen ini dilaksanakan oleh menteri teknis terkait. Khusus bagi perusahaan asuransi dilakukan oleh Menteri Keuangan serta Menteri BUMN.

Lebih lanjut disebutkan bahwa pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar. Sehingga konsumen akan merasa aman dan terlindungi ketika membeli, mengkonsumsi, memakai, maupun menggunakan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar.

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen

AZ. Nasution, memberikan batasan pengertian sengketa konsumen adalah “setiap perselisihan antara konsumen dan penyedia produk konsumen (barang dan jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu”.38

Sementara itu Sidharta menyebutkan, “Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang lingkup nya

38


(36)

mencangkup semua segi hukum, baik keperdataan, baik pidana maupun tata negara”.39

Saat ketika sengketa terjadi, bisa saja sengketa konsumen tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh bagian pengaduan (complaint section) produsen dan/ atau organisasi konsumen yang ada atau antara konsumen dengan produsen itu sendiri secara langsung, namun dalam kenyataannya tidak selalu sesuai teori karena penyelesaian yang dilakukan di bagian pengaduan yang ditentukan oleh pelaku usaha pasti akan cenderung menguntungkan pihak pelaku

Perselisihan dapat terjadi apabila salah satu pihak atau keduanya tidak memenuhi perikatan yang telah disepakati bersama, yang dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Dalam perlindungan konsumen ini konsep memberikan sesuatu, berbuat atau tidak berbuat yang dapat menimbulkan perselisihan /sengketa dapat terjadi apabila antara pelaku usaha dan konsumen salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya sesuai perjanjian yang sudah dibuat (wanprestai). Dan mengingat kondisi dan perkembangan dalam kegiatan ekonomi masyarakat dalam dan luar negeri pada masa kini, termasuk pula berbagai kombinasi dari prestasi tersebut.

Obyek sengketa konsumen di batasi hanya menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang konsumen pada umumnya digunakan untuk keperluan memenuhi kebutuhan konsumen pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk komersil.

Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa


(37)

usaha bukan konsumen yang telah dirugikan. Maka peran pemerintah dalam hal ini, pemerintah daerah di tempat terjadinya sengketa memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antara produsen dan konsumen dengan sebaik-baiknya atau dengan jalan menyediakan suatu lembaga/ badan yang independent (tidak memihak) dalam penyelesaian sengketa konsumen ini.

“Umumnya dalam permasalahan hukum yang terjadi dalam hal ini persoalan penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu : a) cara perdamaian dan b) penyelesaian melalui instansi yang berwenang.”40

40

Az. Nasution,1995, Op.Cit,hal 179

Penyelesaian melalui instansi yang berwenang dapat meliputi penyelesaian melalui lembaga pemerintah, lembaga peradilan maupun melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berhak.

Selama ini dalam permasalahan yang ada, Pasal 1851- Pasal 1864, Bab ke-18 buku ketiga KUHPerdata digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian sengketa secara damai. Penyelesaian itu dapat langsung diadakan antara para pihak dan dapat pula dengan menggunakan jasa pihak ketiga yang disepakati.

YLKI pernah mencoba memanfaatkan pedoman ini, tapi dalam kenyataannya tidak disepakati oleh salah satu pihak, upaya YLKI dalam hal ini tidak berhasil. Kesimpulan dan saran dalam penyelesaian sengketa yang diberikan oleh YLKI adalah menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan maupun instansi pemerintah yang terkait.


(38)

Untuk kepentingan konsumen ini, YLKI memperkenalkan beberapa pilihan mekanisme :

a.class action, suatu pendekatan apabila ada kelompok masyarakat yang dirugikan, yang karena keterbatasan dari para korban. Gugatan perdata (berkaitan dengan ganti rugi) yang diajukan oleh sejumlah orang mewakili kepentingan mereka sebagai korban.41

c. Mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa melakukan musyawarah guna mencari pemecahannya dengan difasilitasi oleh mediator.

b..Small claim court, pemutusan perkara antara produsen dengan konsumen dan diselesaikan melalui pengadilan yang singkat dan praktis.

42

b. Memasukkan gugatan perdata ganti rugi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari hubungan hukum konsumen dan pelaku usaha yang merugikannya, kepada pengadilan negeri yang berwenang

Sementara itu dalam hal penyelesaian sengketa melalui instansi yang berwenang dapat dilakukan dengan :

a.Mengadukan atau melaporkan perihal gangguan atas kepentingan konsumen melalui instansi pemerintah yang terkait, yang berdasarkan instrumen hukum publik yang mempunyai kewenangan administratif terhadap perusahaan-perusahaan dalam lingkup wewenangnya, atau instansi yang berwenang mengusut perilaku yang memuat unsur-unsur tindak pidana.

41

Mas Achmad Santosa, Konsep Penerapan Gugatan Perwakilan (class action),ICEL, Jakarta, 1997 hal 10


(39)

(umumnya pengadilan negeri yang mempunyai wewenang di wilayah tempat tinggal atau domisili tergugat).

Bagi perusahaan asuransi dengan nasabahnya, apabila terjadi persengketaan atau perselisihan antara keduanya sebagai akibat pelaksanaan atau penafsiran perjanjian pertanggungan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dalam tempo 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya kerugian yang menjadi pokok perselisihan dan persengketaan, maka pihak yang berkepentingan berhak mengajukan persengketaan ini kepada Dewan Asuransi Indonesia yang akan membentuk badan arbitrase khusus dalam tempo paling lambat 30 hari sejak permohonan diajukan.

Badan Arbitrase, wajib memutuskan persengketaan atau perselisihan tersebut dalam tempo 90 hari sejak tanggal pembentukannya. Keputusan arbitrase ini merupakan keputusan final dan mengikat kedua belah pihak.

Keseluruhan bentuk dan cara penyelesaian sengketa konsumen yang telah disebutkan mengandung kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Kondisi konsumen yang relatif tidak seimbang dalam tingkat pendidikan, ekonomi, dan lemahnya daya tawar menawar, dibandingkan dengan kedudukan barang atau jasa konsumen, merupakan pokok masalah penting yang memerlukan pertimbangan. Suatu badan penyelesaian sengketa alternatif yang cepat, tepat, dan murah sangat dibutuhkan masyarakat, konsumen dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan suatu produk Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hingga dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak dijumpai berbagai hambatan, ditambah lagi dengan belum adanya peraturan pelaksana bagi Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu. Untuk itu peran aktif pemerintah dalam melaksanakan dan memasyarakatkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memegang peranan penting, karena pemerintah sebagai public servant memegang kekuasaan pemerintah.

2. Dengan lahirnya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah memegang peranan sekaligus memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persengketaan, perselisihan atas kerugian yang dialami konsumen. Seperti halnya negara-negara maju lainnya yang telah mengakomodasi kebutuhan konsumen akan suatu lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang betul-betul melindungi dan membantu konsumen dalam menyelesaikan persoalan-persoalan konsumen.

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen secara cepat, tepat dan murah merupakan hal yang selalu didambakan semua konsumen. Beberapa kasus kerugian konsumen belakangan mendapat perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat


(41)

yang sering mengatasnamakan masyarakat. Namun ternyata permasalahan yang dihadapi konsumen belum dapat diselesaikan sesuai ketentuan yang ada.

Dengan lahirnya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat menyelesaikan atau menjadi jawaban dari keluhan-keluhan selama ini dari masyarakat. Karena undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum kepada konsumen dalam setiap transaksi yang terjadi antara konsumen dengan produsen.

B. Saran

1. Posisi konsumen yang lemah merupakan suatu kenyataan yang dihadapi saat ini. Seharusnya oleh pemerintah dilakukan pengaturan perlindungan konsumen harus memperhatikan dan mengembalikan posisi konsumen pada tempat yang seharusnya yaitu konsumen memiliki tempat yang seharusnya yaitu konsumen memiliki tempat yang sejajar dengan produsen/ pelaku usaha. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk memposisikan konsumen pada tempatnya adalah :

a. Mensosialisasikan Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen agar konsumen mengetahui dan mengerti makna dan manfaat dari undang-undang ini.

b. Mengadakan suatu pendidikan bagi konsumen, melalui jalur formal dan non formal yang dapat menumbuhkan sikap dan kemandirian konsumen.


(42)

c. Peningkatan sumber daya manusia di bidang perlindungan konsumen terutama bagi aparatur pembina, baik Departemen Perindustrian dan Perdagangan Instansi Teknis dan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kota.

d. Adanya pengawasan yang berkesinambungan terhadap kwalitas dan mutu produk barang-barang/ jasa yang beredar di pasaran yang sesuai standar yang telah ditetapkan.

e. Pelayanan informasi bagi konsumen melalui media masa, publikasi, penerbitan buku-buku konsumen, pelayanan pengaduan dan penyelesaian masalah konsumen.

f. Melakukan koordinasi yang bersifat lintas sektoral terhadap penanganan masalah perlindungan konsumen, yang melibatkan berbagai instansi yang terkait.

2. Penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi selama ini belum mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Bahkan lembaga peradilan sendiri sebagai tempat terakhir harapan konsumen untuk mengadukan permasalahan dan kerugian yang dialami belum mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada, karena lembaga peradilan dengan asas yang dianutnya yaitu cepat, murah dan sederhana belum dapat terwujud. Untuk itu kehadiran lembaga penyelesaian sengketa lain di luar badan peradilan yang ada sepertinya merupakan salah satu alternatif yang harus mendapat perhatian.


(43)

BAB II

PEMBAHASAN ASURANSI JIWA SECARA UMUM

A. Pengertian Asuransi Jiwa

Dalam KUHDagang yang mengatur tentang asuransi jiwa, pengaturannya sangat singkat sekali dan hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai dengan Pasal 308.

Pasal 302 KUHDagang sebagai dasar asuransi jiwa, yang menyatakan bahwa :

“Jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”

Pengertian asuransi jiwa yang terdapat pada ketentuan di atas lebih menekankan kepada suatu waktu yang ditentukan dalam asuransi jiwa. Sedangkan untuk waktu selama hidupnya tidak ditetapkan dalam perjanjian, ini berarti undang-undang tidak tegas memberi kemungkinan untuk mengadakan asuransi jiwa itu selama hidupnya bagi yang berkepentingan.

Selain dari definisi/ pengertian formil yang terdapat dalam undang-undang, ada juga pendapat ahli hukum juga memberikan definisi asuransi jiwa dimaksud. Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika yang dikutip dari pendapat Molenggraf berpendapat bahwa,

“Asuransi jiwa dalam pengertian luas memuat semua perjanjian mengenai pembayaran sejumlah modal atau bunga, yang didasarkan atas


(44)

kemungkinan hidup atau mati, dan daripada itu pembayaran premi atau dua-duanya dengan cara digantungkan pada masa hidupnya atau meninggalnya seseorang atau lebih.8

”Perjanjian asuransi jiwa ialah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali/uang dengan pengertian/catatan bahwa perjanjian dimaksud tidak termasuk perjanjian asuransi kecelakaan.

Kemudian menurut Wirjono Prodjodikoro, pada Pasal 1a Bab I Staatsblad 1941-101, pengertian asuransi jiwa sebagai berikut :

9

“Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.

Sedangkan menurut H.M.N Purwosutjipto,

10 ”

8

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, SH, Hukum Asuransi Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal 265

9

Prof. Dr. wirjono Prodjodikoro, SH, Locc.cit

10


(45)

Kemudian menurut Volmar, menyebutkan pertanggungan jiwa itu dengan istilah sommen verzekering, berpendapat bahwa :

“Secara luas sommen verzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu adalah tergantung kepada hidup atau matinya seseorang tertentu atau lebih.11

“Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi mengikatkan diri untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya peristiwa yang belum pasti. Yang disebutkan di dalam perjanjian, baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa lain, maupun karena peristiwa tadi mengenai hidup dan kesehatan.

” Santoso Poejosoebroto memberikan pengertian asuransi itu sebagai berikut,

12

Dari segi jaminan, asuransi jiwa merupakan asuransi dengan manusia sebagai kepentingan interest yang diasuransikan berbeda dengan asuransi kerugian, dengan harta benda sebagai kepentingan yang diasuransikan. Dan

Kemudian dapat dilihat makna asuransi jiwa yang dilihat dari beberapa segi yaitu segi jaminan, segi sosial, segi ekonomi, segi finansial.

11

Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH, 1990, Hukum Pertanggungan, Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal 91.

12

Santoso Poejosoebroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesai,


(46)

pengertian ini di atas dengan membayar premi setiap tahun atau selama suatu jangka waktu terbatas, seseorang tertanggung sebagai imbalan dari premi yang dibayarkan kepada penanggung menerima jaminan yaitu :

1. Pada hari tua tertanggung akan diberikan sejumlah uang sebagai santunan biaya hidup.

2. Bila tertanggung meninggal dunia, akan diberikan sejumlah uang kepada ahli waris tertanggung sebagai santunan biaya hidup.

3. Bila tertanggung mengalami kecelakaan fisik, akan diberikan sejumlah uang santunan biaya hidup bila tertanggung menjadi cacat tetap/ biaya pengobatan.

Kemudian dari segi sosial, asuransi dapat diartikan sebagai suatu rencana sosial yang bertujuan memberikan santunan kepada orang yang menderita karena ditimpa musibah, yang santunannya diambil dari kontribusi yang dikumpulkan dari semua pihak yang berpartisipasi dalam rencana sosial itu.13

Sedangkan dari segi ekonomi, adalah suatu disiplin ilmu tentang usaha manusia mencari kepuasan guna memenuhi kebutuhan kesejahteraan hidup, dengan cara berusaha mencapai hasil maksimal dengan pengorbanan minimal, namun upaya manusia untuk mencari dan memenuhi kebutuhan hidup tidak selalu berhasil karena setiap upaya maupun perbuatan mengandung resiko. Jadi pada hakekatnya asuransi jiwa merupakan pelimpahan resiko oleh tertanggung kepada


(47)

penanggung agar kerugian yang diderita oleh tertanggung dijamin oleh penanggung.14

Kemudian dari segi finansial, perusahaan asuransi menghimpun dana dari para tertanggung dalam bentuk premi. Dari dana yang terkumpul itu, sebagian untuk dana klaim, dan bagian yang lainnya diinvestasikan dalam bentuk deposito, dalam surat-surat berharga (saham, obligasi) dalam aktiva tetap seperti kantor, dan rumah untuk disewakan sehingga memperoleh penghasilan.15

Sasaran asuransi jiwa menunjukan kelas dan jenis asuransi jiwa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa, yaitu :

Dari beberapa pengertian tentang asuransi jiwa yang dikemukakan oleh para pakar hukum di atas ada beberapa hal yang sebenarnya harus ada dalam suatu asuransi jiwa. Dimana asuransi jiwa tersebut merupakan perjanjian timbal balik antara penanggung dengan tertanggung yang bertujuan untuk mengatasi resiko atau peristiwa yang dapat merugikannya.

B. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

16 1. Sasaran terhadap perorangan (asuransi biasa/perorangan)

2. Sasaran terhadap masyarakat (asuransi rakyat)

3. Sasaran terhadap kumpulan orang/ karyawan (asuransi kumpulan kolektif)

4. Sasaran terhadap dunia usaha (asuransi dunia usaha)

5. Sasaran terhadap orang-orang yang muda (asuransi orang muda)

14

Ibid, hal 273 15

Ibid, hal 274 16


(48)

6. Sasaran terhadap keluarga (asuransi keluarga)

ad. 1. Asuransi jiwa biasa

Asuransi jiwa biasa (ordinary life) diperuntukan bagi perorangan adalah asuransi jiwa yang umumnya dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa. Pada umumnya asuransi ini diperuntukan bagi golongan masyarakat menengah ke atas. Pada dasarnya premi dibayarkan oleh pembeli polis setiap tahun atau setiap semester atau setiap triwulan dan boleh juga setiap bulan, atau dibayar sekaligus sebagai premi tunggal bagi mereka yang mempunyai cukup uang.

ad. 2. Asuransi rakyat

Asuransi rakyat diperuntukan bagi anggota masyarakat yang berpenghasilan kecil seperti buruh, karyawan rendah, pedagang kecil, pelayan, petani, nelayan, dan sebagainya.

Asuransi ini dibayar preminya dengan frekuensi tinggi (setiap minggu) dan besarnya premi disesuaikan dengan kesanggupan calon tertanggung membayar setiap minggu. Besarnya uang pertanggungan dengan berpedoman kepada besarnya premi setiap minggu dan lamanya pertanggungan apakah seumur hidup atau hingga calon tertanggung mencapai usia tertentu.

ad. 3. Asuransi kumpulan

Asuransi kumpulan (Group Insurance) disebut juga asuransi kolektif dengan ciri-ciri sebagai berikut :


(49)

1. Satu polis untuk sekelompok tertanggung, misalnya para karyawan suatu perusahaan diasuransikan dengan menggunakan satu polis yang disebut polis induk (master policy).

2. Pemegang polis adalah perusahaan kepada masing-masing karyawan yang diberikan sertifikat tanda bukti peserta asuransi kumpulan.

3. Pada umumnya para peserta tidak perlu melalui pemeriksaan medis.

4. Pembayaran premi asuransi kumpulan biasanya terdiri dari tiga macam yaitu :

a. Dibayar sendiri oleh masing-masing peserta berupa kontribusi yang dipungut secara berkala dari setiap peserta.

b. Semua premi ditanggung oleh perusahaan.

c. Sebagian dibayar oleh perusahaan dan sebagian lagi dibayar oleh para peserta misalnya 50%-50% atau 60%-40%.

ad. 4. Asuransi dunia usaha

Pada umumnya ada 4 macam sasaran pokok dari asuransi jiwa dunia usaha, yaitu :

a.Asuransi orang penting, tenaga yang memegang peranan penting, seperti direktur utama, para manajer. Apabila meninggal dunia dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi perusahaan berupa pemberian santunan besar kepada keluarga almarhum.

b.Rencana kesejahteraan karyawan. Dengan menutup asuransi kumpulan, asuransi keselamatan kerja, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan


(50)

bagi karyawan maka semakin sempurnalah peranan dan bantuan perusahaan dalan memberi kesejahteraan bagi karyawan.

c.Meningkatkan kepercayaan. Asuransi jiwa dapat berperan untuk meningkatkan kepercayaan kepada relasi terhadap perusahaan karena asuransi dapat memberikan jaminan stabilitas posisi finansial perusahaan, yang sekaligus menjadi gambaran yang baik kreditur.

d.Kelangsungan usaha. Bagi perusahaan yang dimilikinya bersifat partnership seperti kongsi, Firma, CV, apabila salah seorang pemiliknya meninggal, maka akan timbul masalah yaitu membayar terus-menerus hak-hak almarhum kepada jandanya, tanpa mengikutsertakannya dalam pimpinan perusahaan. Polis asuransi jiwa dapat menghindarkan keadaan tersebut yaitu dengan memberi santunan kepada janda almarhum sehingga hak-hak dari almarhum tidak perlu terus-menerus dibayar oleh perusahaan.

Ad. 5. Asuransi orang muda

Seseorang yang masih muda dan mempunyai penghasilan dapat membeli polis asuransi jiwa atas dirinya dan menunjuk orangtuanya atau adik-adiknya sebagai penerima manfaat.

Ad. 6. Asuransi keluarga

Dengan memiliki polis asuransi jiwa dapat memberikan rasa tenteram terhadap kehidupan ekonomi keluarga, juga menjamin kelangsungan pendidikan anak-anak.

Asuransi keluarga mempunyai tiga macam jaminan yaitu jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan atas kelangsungan pendidikan anak-anak.


(51)

Kemudian apabila ditinjau dari sudut ada atau tidaknya pemeriksaan kesehatan tertanggung ada 2 jenis asuransi jiwa, yaitu :

1. Asuransi Jiwa Medical (dengan pemeriksaan dokter). Asuransi jiwa medical berarti si tertanggung sebelum menutup perjanjian asuransinya terlebih dahulu harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter yang sudah disediakan untuk itu. Disamping itu juga harus dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan dan Laporan Kesehatan Lengkap (LAKES). Isi laporan ini dapat bermacam-macam tergantung dari besarnya jumlah uang asuransi yang diminta. Hal lainnya diwajibkan juga mengisi dan menandatangani surat permintaan dan formulir-formulir lainnya yang khusus disediakan untuk keperluan itu dan disampaikan kepada pihak penanggung.

Adapun formulir-formulir atau surat-surat yang diperlukan untuk penutupan asuransi dengan pemeriksaan dokter (medical) ini adalah :

1. Surat Permintaan (SP)

2. Laporan Kesehatan Lengkap (LAKES)

2. Asuransi Jiwa Non Medical (tanpa pemeriksaan dokter). Jenis asuransi ini tidak memerlukan pemeriksaan dokter terhadap diri tertanggung sewaktu diadakan penutupan perjanjian asuransi. Untuk asuransi jenis ini keterangan kesehatan calon tertanggung akan dianggap cukup dan sehubungan dengan resiko yang kemungkinan lebih besar dalam asuransi jiwa non medical maka biasanya premi dikenakan suatu tambahan sampai presentase tertentu.


(52)

Adanya pemisahan jenis asuransi jiwa diatas yaitu asuransi jiwa medical dan asuransi jiwa non medical ditentukan oleh faktor-faktor umur calon tertanggung dan besarnya jumlah uang asuransi yang diminta.

Pada prakteknya di PT. Asuransi Jiwasraya untuk asuransi jiwa non medical batas umur tertanggung maksimal 59 tahun dengan jumlah uang pertanggungan maksimal Rp. 30.000.000 ( tiga puluh juta rupiah).

Sedangkan untuk tertanggung usia 60 tahun ke atas digolongkan ke dalam asuransi jiwa medical dengan uang pertanggungan di atas Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)

C. Polis Asuransi Jiwa

Dalam pasal 255 KUHD disebutkan bahwa :

“Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akte yang dinamakan polis”.

Ketentuan tersebut di atas memberikan kesan seolah-seolah perjanjian asuransi jiwa harus dibuat secara tertulis sebagai syarat mutlak. Padahal polis bukanlah syarat mutlak adanya perjanjian asuransi jiwa, tetapi hanyalah merupakan alat bukti adanya perjanjian.

Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 257 KUHDagang yang menyatakan bahwa :

“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si


(53)

tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.

Dalam hal ini berarti bahwa walaupun tidak ada polis (polis sebelum terbit), perjanjian asuransi jiwa tetap berlaku apabila telah ditutup (telah ada persesuaian kehendak) dan dapat dibuktikan dengan bukti-bukti lain, misalnya dengan kwintansi pembayaran premi.

Meskipun untuk sahnya suatu perjanjian asuransi jiwa menurut undang-undang tidak ada keharusan adanya formalitas tertentu (seperti akte tertulis yang disebut polis), namun sangatlah penting adanya akte yang demikian itu. Hal ini dengan mengingat bahwa perjanjian asuransi jiwa adalah berhubungan dengan kepentingan finansial dan perjanjian tersebut bersifat perjanjian kemungkinan. Oleh karena itu undang-undang sendiri hendaknya melindungi penanggung (perusahaan asuransi jiwa), dengan cara bahwa adanya perjanjian asuransi jiwa itu harus dibuktikan secara tertulis. Sehingga ditetapkan adanya akte yang ditandatangani penanggung yang disebut polis, sebagai bukti adanya perjanjian asuransi jiwa tersebut.

Polis menurut pengertian umum adalah suatu perjanjian yang perlu dibuat bukti tertulis atau suatu perjanjian antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian bukti tertulis untuk perjanjian asuransi.

Surat perjanjian ini dibuat dengan itikad baik dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Di dalam surat perjanjian itu disebutkan dengan tegas dan jelas mengenai hal-hal yang diperjanjikan kedua belah pihak, hak-hak masing-masing pihak, sanksi atas pelanggaran perjanjian dan sebagainya.


(54)

Kemudian polis dapat juga diartikan surat perjanjian asuransi jiwa yang menguraikan hal-hal yang menjadi dasar dan syarat-syarat asuransi, ditandatangani oleh penanggung dan pemegang polis. Dari pengertian di atas bahwa polis asuransi merupakan salah satu dari alat bukti telah terjadi perjanjian asuransi. Pada dasarnya pengertian polis asuransi jiwa sama dengan pengertian polis pada umumnya.

Perbedaan polis asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya dari isi polis, dimana isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 KUHDagang dan isi polis pada umumnya diatur dalam Pasal 256 KUHDagang.

Menurut Pasal 304 KUHDagang, polis asuransi jiwa harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Hari ditutupnya pertanggungan 2. Nama si tertanggung

3. Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan

4. Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung 5. Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan 6. Premi pertanggungan tersebut

Sedangkan menurut polis dari pertanggungan perorangan PT. Asuransi Jiwasraya, yaitu :

1. Dasar permintaan asuransi dari calon pemegang polis atas penawaran yang dilakukan PT. Asuransi Jiwasraya (melalui brosur-iklan atau agen perusahaan), dengan adanya kalimat “Berdasarkan Surat Permintaan tanggal …”


(55)

2. Nama Pemegang Polis 3. Nama Tertanggung 4. Macam Asuransi

5. Besarnya Uang Asuransi 6. Berlakunya Asuransi

7. Premi (besarnya, periode pembayaran dan cara pembayaran) 8. Penerima faedah yang ditunjuk (menurut urutannya)

Sekarang kita perbandingkan isi polis menurut undang-undang (KUHD) dengan isi polis yang berlaku dalam praktek pada PT. Asuransi Jiwasraya. Jika kita perhatikan isi polis seperti polis PT. Asuransi Jiwasraya, maka dapat diberikan catatan sebagai berikut :

1. Hari ditutupnya pertanggungan (butir 1 Pasal 304 KUHD) tidak disebutkan di dalam polis (Surat Permintaan tanggal ……..), tidak dapat dianggap sebagai hari ditutupnya pertanggungan. Karena seperti telah dikatakan, bahwa Surat Permintaan itu baru merupakan penawaran dari pihak pemegang polis. Penerimaan penawarannya adalah pada tanggal yang dinyatakan dalam Non-Penutupan.

2. Nama si Tertanggung (butir 2 Pasal 304 KUHDagang), seharusnya disebutkan : nama pemegang polis (titik 2 polis PT. Asuransi Jiwasraya). Sebab pemegang polis yang menjadi kontrakan, walaupun mungkin saja ia juga sekaligus menjadi tertanggung (dalam hal pemegang polis mempertanggungkan dirinya sendiri).


(56)

3. Nama orang yang jiwanya dipertangungkan (butir 3 Pasal 304 KUHDagang), maksudnya adalah nama tertanggung (titik polis PT. Asuransi Jiwasraya).

4. Macam asuransi (butir 4 polis PT. Asuransi Jiwasraya), tidak ada disebutkan dalam Pasal 304 KUHDagang, hal ini merupakan perkembangan di dalam praktek, yang memerlukan pencantumannya di dalam polis.

5. Saat mulai dan berakhirnya bahaya bagi si Penanggung (butir 4 Pasal 304 KUHDagang) adalah sama dengan berlakunya asuransi (butir 6 polis PT. Asuransi Jiwasraya)

6. Yang ditunjuk untuk menerima faedah asuransi (butir 8 Pasal 304 KUHDagang) tidak disebutkan di dalam Pasal 304 KUHDagang. Padahal pihak yang ditunjuk untuk menerima faedah (uang) asuransi ini atau tertunjuk adalah sangat penting, karena untuk kepentingan tertunjuk inilah perjanjian asuransi jiwa itu sebenarnya diadakan. Oleh karena itu pencantumannya di dalam polis mutlak harus ada.

Pada halaman belakang polis PT. Asuransi Jiwasraya terdapat ruang catatan, dengan keterangan :

1. Semua catatan yang tercantum di dalam ruang ini maupun yang terdapat dalam lampiran-lampiran polis ini adalah bagian mutlak dari perjanjian ini.

2. Perjanjian ini dibuat berdasarkan surat permintaan pemegang polis dan jika tidak diadakan ketentuan-ketentuan dan atau perubahan-perubahan


(57)

yang dicantumkan di dalam polis ini, maka berlakulah syarat-syarat umum asuransi jiwa terlampir yang merupakan bagian mutlak yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini.

Ruang catatan yang dimaksud untuk mencantumkan hal-hal atau keterangan-keterangan yang penting yang menyangkut ketentuan-ketentuan (tambahan) atau perubahan-perubahan terhadap kontrak asuransi. Selain itu tentang polis diatur di dalam Pasal 305 KUHDagang yang menyatakan tentang perkiraan jumlah uang mana diadakan pertanggungan tersebut dan penentuan tentang syarat-syarat pertanggungan itu diserahkan sama sekali kepada persetujuan kedua belah pihak.

Dari uraian di atas dapat kita lihat polis asuransi jiwa diatur sendiri dalam Pasal 304 KUHDagang, namun dapat kita lihat Pasal 304 KUHDagang mengenai isi polis asuransi jiwa tidak baku, karena masing-masing perusahaan asuransi jiwa mempunyai isi polis tersendiri yang sebenarnya tidak bertentangan dengan bentuk baku Pasal 304 KUHDagang.

Dalam polis dijelaskan apa yang menjadi hak dan kewajiban pemegang polis serta hak dan kewajiban dari perusahaan asuransi jiwa.

Hak dan Kewajiban Pemegang Polis

Pemegang polis ialah pihak yang kedudukannya sangat penting disamping penanggung. Sebab ia dapat menentukan kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian pertanggungan atau akan menghentikannya.

Hak-hak dari pemegang polis meliputi :


(58)

2. Penggadaian polis (Pasal 8 syarat-syarat umum polis) 3. Menerima pembayaran faedah asuransi (Pasal 9) 4. Merubah pihak yang ditunjuk (Pasal 11)

Ad. 1. Penebusan Polis

Menurut Pasal 7 syarat-syarat umum polis pemegang polis berhak untuk meminta agar perusahaan bersedia menebus polisnya, dengan syarat asalkan perjanjian masih berlaku dan mempunyai nilai tebus. Dengan berlakunya transaksi penebusan polis dan polis diserahkan kepada perusahaan maka perjanjian menjadi hapus.

Cara seperti ini adalah merupakan penyelesaian perjanjian asuransi yang tidak sesuai dengan tujuan berasuransi, karena dalam berasuransi kita berharap untuk memperoleh perlindungan dari resiko terhadap diri kita sepanjang masa kontrak asuransi.

Ad. 2. Penggadaian Polis

Pasal 8 syarat-syarat umum polis memuat ketentuan tentang hak pemegang polis untuk menggadaikan polis (meminjam uang kepada perusahaan dengan polis sebagai jaminan).

Menurut ketentuan perusahaan dan dengan syarat polis harus sudah mempunyai nilai tebus. Besarnya pinjaman yang diberikan maksimal adalah sama dengan nilai tebus dan dikenakan bunga yang besarnya ditentukan perusahaan, pengembalian pinjaman itu secara angsuran/ sekaligus dalam waktu yang ditentukan atau akan diperhitungkan dengan pembayaran uang angsuran.


(59)

Ad. 3. Menerima Pembayaran Faedah Asuransi

Pemegang polis atau pihak yang ditunjuk berhak menerima pembayaran faedah asuransi dari penanggung di dalam masa kontrak apabila terjadi resiko. Bukti-bukti yang diperlukan untuk menerima uang pembayaran faedah asuransi ialah :

Jika tertanggung masih hidup : 1. Polis

2. Tanda bukti diri dari pemegang polis

3. Kwitansi pembayaran premi terakhir yang sah Jika tertanggung meninggal dunia :

1. Polis yang bersangkutan

2. Surat keterangan meninggal dunia yang dikeluarkan instansi yang berwenang

3. Surat keterangan sebab meninggal dunia yang dikeluarkan oleh dokter yang memeriksa jenazah atau yang merawat

4. Tanda bukti diri dari penerima faedah

5. Kwitansi pembayaran premi terakhir yang sah

Disamping bukti-bukti di atas perusahaan asuransi jiwa sebagai penanggung berhak untuk meminta keterangan-keterangan lain yang di anggap perlu dalam hubungannya dengan pembayaran uang asuransi.

Dalam hal penerima faedah atau pihak yang ditunjuk lebih dari satu orang maka pihak perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap bagian dari masing-masing


(60)

pihak. Pihak perusahaan asuransi akan memberikan uang asuransi kepada orang yang dikuasakan untuk menerimanya.

Ad. 4. Merubah Pihak Yang Ditunjuk

Penerima faedah asuransi yang sudah tercantum di dalam polis masih dimungkinkan untuk dirubah. Pemegang polis masih berhak mengadakan perubahan terhadap pihak tertunjuk dan harus dilakukan secara tertulis, dengan pembatasan bahwa jika pemegang polis meninggal dunia tetapi pembayaran premi berlangsung terus, maka pengubahan itu hanya berlaku untuk bagian asuransi yang diperoleh atas dasar premi-premi yang telah dibayar hingga saat meninggalnya pemegang polis. Terhadap penunjukan itu pihak tertunjuk mempunyai hak untuk minta secara tertulis agar penunjukan atas dirinya bersifat mutlak, sehingga penunjukan selanjutnya oleh pemegang polis hanya dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari tertunjuk mutlak tersebut.

Kedudukan pihak tertunjuk yang sudah meninggal dunia dapat digantikan oleh ahli warisnya apabila tidak ada lagi pihak yang ditunjuk, perubahan pihak yang ditunjuk oleh pemegang polis tersebut selamanya harus dengan persetujuan perusahaan dan harus dinyatakan dalam catatan polis atau keterangan lain dari perusahaan.

Ad.5. Kewajiban Tertanggung/ Pemegang Polis

Perjanjian asuransi jiwa adalah suatu persetujuan dua pihak dimana pihak tertanggung membayar premi sebagai prestasi, yang sebagai gantinya menerima gaji ganti rugi dari penanggung. Pembayaran premi kepada pihak penanggung


(1)

KATA PENGANTAR

Segala Puji, syukur dan hormat kepada Tuhan Yesus atas semua berkat, kasih setia dan penyertaan-Nya sehingga penulis selama menjalani perkuliahan, hingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA ASURANSI PT. ASURANSI JIWASRAYA” yang diangkat oleh penulis oleh karena keingintahuan penulis akan bagaimana penerapan serta pemberian perlindungan hukum bagi nasabah khususnya nasabah pengguna jasa asuransi. Selain itu, penulisan skripsi ini juga bertujuan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah banyak membantu, memberi dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Maka untuk semua itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1.Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

2.Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH,DFM sebagai Pembantu Dekan II, dan Bapak Muhammad Husni SH, MH sebagai Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(2)

3.Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Guru Besar Ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara,

4.Bapak Ramli Siregar, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,

5.Ibu Sinta Uli, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,

6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai di Fakultas Hukum Universiats Sumatera Utara.

Dan terimakasih secara khusus saya ucapkan kepada : My Big Family (Sitorus fam)

Mama and Papaku tersayang buat semua support, doa, kesabaran dan segala pemberian baik materi dan moril semoga aku bisa jadi anak yang mama dan papa banggakan.

Buat kakak abang adekku dan abang iparku : Kak Helen & Abang Arbas(makasih ya kak bang udah mau denger semua keluh kesah aku, buat semua nasehat, doa, dan sumbangan materi and moril tiap bulan “hehe” aku gak bisa bilang apa-apa cuma bisa bilang thank you for everything that you give and do for me), Kak Sisca & Abang Leo, Abang Salomo, Dek Tesa. You are the most Valueable thing that I have.I LOVE U SO MUCH !!!!!!!


(3)

To My Best Friends Hendrik, Yenny, Jessica, Sarah, Apil, Hana, Cut, Otnil, Mamad, Rafsanjani, Boboy, Babeh, Aulia, and khususnya buat Ferdy (thanks ya buat semua nasehatnya, leluconnya, air matanya, tapi jadi selesai skripsi ku. Cuma ferdy yang bisa buat paulin ketawa and nangis aku gak akan lupain to fer). Makasih buat semua hari-hari dan kegilaan yang udah kita laluin. I will never forget all about this.

Semua anak-anak FH USU ‘06 Group B khususnya member “K-Family”. Makasih udah ngebentuk keluarga baru.

Makasih buat Bu Rafiqoh buat supportnya and bantuannya ya bu.

Makasih buat Dede, Rachel, Hanes, Yulia, Nimaz, Rainer buat doa, support and pertemanan yang udah terjalin puluhan tahun.

Makasih buat Kak Una, Kak Yuni, Kak Lisa, Bang Amen, Bang Harun, Abang dan Bapak Perpus yang udah mau ngebantu fotocopy dan mau direpotin buat pinjem skripsi.

Penulis menyadari dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, maaf kalau tidak bisa disebutkan satu persatu.

Medan, Maret 2010 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar……….. i

Daftar Isi………... iv

Abstraksi………....………... vi

BAB I : PENDAHULUAN…….……….. 1

A.Latar Belakang………...……….. 1

B. Perumusan Masalah……….. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………. 6

D. Tinjauan Kepustakaan…………....……… 7

E. Metode Penulisan……….. 8

F. Sistematika Penulisan……… 9

G. Keaslian Judul………... 10

BAB II : PEMBAHASAN ASURANSI JIWA SECARA UMUM…… 11

A. Pengertian Asuranasi Jiwa………... 11

B. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa……….. 15

C. Polis Asuransi Jiwa………... 20

BAB III : PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1999……….. 30

A. Pengertian Konsumen……… 30

B. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen…………. 33

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha…… 37


(5)

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH

ASURANSI ………. 51

A. Perlindungan Hak Nasabah Asuransi…………. 51

B. Kewenangan Pemerintah Dalam Perlindungan Konsumen……… 53

C. Penyelesaian Sengketa Konsumen……….. 62

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………. 67

A. Kesimpulan ………. 67

B. Saran……… 68 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(6)

ABSTRAKSI

Tujuan dibuatnya Penulisan Hukum dengan judul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Asuransi PT. Asuransi Jiwasraya” ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemberian perlindungan kepada para pengguna jasa asuransi terutama nasabah asuransi Jiwasraya dalam bidang asuransi Jiwa.Apa yang menjadi kewenangan pemerintah dalam hal perlindungan konsumen, dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen.

Kesimpulan oleh penulis bahwa UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen masih banyak dijumpai hambatan dalam pelaksanaannya, Oleh sebab itu perlu adanya peranan aktif dari pemerintah untuk menyelesaikan kerugian yang dialami oleh pihak konsumen, dan pola penyelesaian lewat penyelesaian sengketa konsumen yang murah cepat dan tepat diharap dapat menyelesaikan sengketa yang ada sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merugikan pihak konsumen.

Saran yang penulis berikan yaitu, UU No 8 Tahun 1999 dapat disosialisasikan kepada para konsumen, agar konsumen mengetahui dan mengerti makna dan manfaat dari undang-undang ini. Adanya pengawasan terhadap produk-produk yang ditawarkan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen. Ditingkatkannya pelayanan informasi bagi konsumen baik lewat media, publikasi, buku-buku. Kehadiran lembaga penyelesaian sengketa lain di luar badan peradilan yang ada sepertinya merupakan salah satu alternative yang harus mendapat perhatian, karena penyelesaian sengketa konsumen yang terjadi selama ini belum mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait. Bahkan lembaga peradilan sendiri sebagai tempat terakhir harapan konsumen untuk mengadukan permasalahan dan kerugian yang dialami belum mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan yang ada.