deforestasi netto mengingat tingkat emisi diasumsikan menjadi lebih rendah karena adanya penyerapan karbon yang mengikutinya setelah tanaman hutan tumbuh.
Indonesia merupakan contoh kasus dimana deforestasi terjadi baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Lahan hutan konversi dan Areal Penggunaan Lain APL dapat diubah menjadi penggunaan
lahan yang lain, dalam hal ini deforestasi yang terjadi dikategorikan sebagai yang direncanakan. Deforestasi yang direncanakan dan juga hilangnya hutan yang direncanakan di masa lalu merupakan akibat dari
pertumbuhan hutan tanaman yang pesat serta bermunculannya industri bubur kayu dan kertas. Menipisnya kayu yang berasal dari hutan alam membuat produsen bubur kertas dan industri hasil hutan kayu untuk
memanfaatkan jenis cepat tumbuh serta membangun hutan tanaman untuk menjamin pasokan bahan baku dari sumbernya. Strategi kebijakan untuk mengurangi deforestasi yang direncanakan dilakukan melalui alokasi
lahan ter-degradasi dan lahan yang secara komersial tidak produktif untuk membangun silvikultur intensif. Pembangunan kelapa sawit di Indonesia ikut menyumbang terjadinya deforestasi yang direncanakan di
Indonesia. Penerapan tata ruang yang efektif, termasuk penegakan hukum merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konversi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya untuk menghindari terjadinya
deforestasi yang tidak direncanakan, Departemen Kehutanan telah menolak telah menghentikan pemberian ijin untuk penggunaan hutan produksi konversi bagi pembangunan perkebunan, yang melebihi luas areal Padu
Serasi yang telah disetujui. Berbagai upaya dilakukan untuk merekonstruksi kesepakatan Padu Serasi ke dalam skala yang konsisten dengan rencana tata ruang pemerintah daerah. Sehubungan dengan itu,
diperlukan harmonisasi antara zonasi tata guna lahan secara fungsional yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang daerah dengan pengelolaan fungsi lahan hutan.
Kehilangan hutan yang tidak direncanakan dapat berasal dari adanya kebakaran, penyerobotan lahan, penebangan yang tidak mengikuti kaedah kelestarian pada kawasan pengusahaan hutan, serta penebangan
illegal yang dilakukan baik pada skala besar maupun kecil. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 275 juta jiwa diperkirakan akan semakin memberikan tekanan terhadap hutan.
Bagi masyarakat yang menggantubngkan kehidupannya pada hutan, tekanan tersebut dikarenakan terbatasnya alternatif yang dapat dimanfaatkan bagi kelompok masyarakat ini. Rendahnya tingkat pendapatan
yang diterima mengakibatkan kelompok ini semakin tergantung kepada hasil hutan sebagai sumber matapencahariannya. Skema untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang tergantung hidupnya pada
hutan terbukti yang juga mengurangi tekanan terhadap hutan dianggap kurang berhasil karena pendekatan tersebut dilakukan di lokasi yang terlalu dekat dengan hutan dan berlaku sebagai magnet untuk menarik
masyarakat ke dalam hutan dan bukannya menarik mereka keluar dari dalam hutan. Hal ini dapat diatasi dengan menyelesaikan permasalahan yang ada di tingkat yang lebih besar atau luas. Dana pengentasan
kemiskinan yang menarik masyarakat untuk keluar, daripada masuk ke dalam hutan, dapat dilakukan melalui intensifikasi pertanian di lahan yang tingkat produktivitasnya bagus serta ditunjang dengan infrastruktur yang
dianggap layak.
Selain hilangnya hutan yang tidak direncanakan, panjangnya batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung mengakibatkan kesulitan dalam hal pengontrolan, akibatnya dapat mengundang gannguan yang tidak
direncanakan berasal dari masyarakat setempat ataupun pengguna hutan untuk tujuan komersial serta menjadi sasaran penebangan liar yang dilakukan skala kecil maupun skala besar. Kurangnya penegakan hukum yang
terutama terjadi di hutan lindung disebut sebagai salah satu faktor yang menentukan terjadinya penebangan liar dan gangguan penyerobotan lahan. Disamping itu, faktor lain yang termasuk di dalamnya adalah kurangnya
atau minimnya insentif bagi masyarakat dan pemerintah untuk mempertahankan hutan lindung, serta rendahnya kapasitas institusi yang menangani pengelolaan kawasan ini setelah desentralisasi yang dilakukan
kepada pemerintah daerah. Umumnya gangguan penyerobotan tersebut dilakukan oleh masyarakat tetangga yang tidak menyadari adanya batas hutan di lapangan.
IV. KERANGKA PERATURAN MENGHADAPI TANTANGAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN
Selama sepuluh tahun terakhir ini kehutanan menghadapi tantangan yang menuntut dilakukannya pem-fokusan kembali dan reorientasi dari berbagai kebijakan. Sehubungan dengan itu, sektor kehutanan telah menetapkan
lima kebijakan pokok, sebagai berikut 1 pemberantasan penebangan liar serta perdagangan illegal; 2 restrukturisasi sektor kehutanan melalui penguatan hutan tanaman dan restrukturisasi industri; 3 rehabilitasi
dan konservasi hutan; 4 penguatan ekonomi masyarakat lokal di sekitar hutan; 5 pemantapan kawasan hutan. Kelima kebijakan prioritas tersebut telah diterjemahkan ke dalam perencanaan kehutanan yang disusun
untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
7
Kerangka peraturan perundangan dan kebijakan kehutanan yang telah ada berkontribusi sebagai kondisi pemungkin dilakukannya aksi mitigasi perubahan iklim, Termasuk ke dalam aksi tersebut adalah kegiatan
pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, serta kegiatan penguatan stok cadangan karbon yang berasal dari restorasi hutan, afforestasi dan
reforestasi. Sebagai ilustrasi peraturan perundangan tersebut mencakup Undang-undang Tata Ruang no 262007 yang mempersyaratkan pemerintah daerah untuk menyempurnakan rencana tata ruangnya, Peraturan
Pemerintah no 62007 serta penyempurnaannya PP no 32008 yang memberikan kerangka bagi pemeberian ijin penggunaan lahan hutan untuk berbagai usaha jasa lingkungan serta usaha produksi kayu. Kedua
Peraturan Pemerintah tersebut juga mewadahi berbagai kepentingan masyarakat melalui pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Rakyat HTR, Hutan Kemasyarakatan HKM, serta Hutan Adat. Undang-
undang Kehutanan no 411999 memperkenalkan berbagai konsep penggunaan sumberdaya hutan yang sebelumnya tidak diatur di dalam undang-undang yang lama.
Implementasi kelima kebijakan pokok tersebut dapat dilihat pada renca kehutanan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJN dan rencana pembangunan
nasional jangka lima tahun merupakan pedoman bagi perencanaan di sektor kehutanan. Berdasar skala waktu yang telah ditetapkan, rencana pembangunan di kehutanan dapat dibedakan sebagai Rencana Pembangunan
Kehutanan Jangka Panjang, Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan, dan Rencana Kehutanan Lima Tahun. Alokasi pendanaan dilakukan berdasar rencana tersebut di atas, namun demikian mengingat magnitude atau
besarnya tantangan yang harus diselesaikan maka ketersediaan dana dalam negeri seringkali tidak mencukupi. Adanya kegagalan pasar untuk jasa hutan dan produk hasil hutan misalnya adanya pasar bagi produk hutan
yang illegal, AR CDM telah memperbesar tantangan untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara lestari yang dapat berkontribusi secara positif terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sejarah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di negara ini merupakan konsekuensi dari adanya kelemahan tata kelola hutan, dan Departemen Kehutanan telah
mengambil sikap untuk menangani isue ini melalui strategi perencanaan jangka panjang. Selain itu, pemerintah juga menyadari bahwa kegiatan ilegal yang berdampak terhadap hutan tidak dapat dilepaskan dari isue tata
kelola secara luas. Isue tersebut merupakan permasalahan sistemik yang berada di luar otoritas sektor kehutana, yang diidentifikasi antara lain sebagai korupsi tingkat tinggi dan elite capture , ketidak jelasan
berbagai peraturan perundangan ataupun adanya konflik dari berabagi peraturan serta lemahnya kinerja institusi publik.
Forest crime merupakan ancaman bagi pemerintahan yang baik karena menegasikan aturan perundangan, memperparah konflik sosial serta mengancam kelestarian pengelolaan hutan. Upaya untuk mencegah serta
menekan terjadinya forest crime seringkali terhambat oleh adanya korupsi di dalam sistem peradilan yang ada pada setiap tahapan dari deteksi kriminal dan investigasinya, ataupun melalui persiapan perkara dan
penyelesaiannya hingga pemutusan perkara. Banyaknya peraturan yang berkaitan dengan tata kelola hutan dan kompleksitas dari adanya tumpang tindih berbagai peraturan, inkonsistensi serta kontradiksi satu sama lain
merupakan peluang dilakukannya administrative corruption yang dilakukan dalam kapasitas sebagai penentu keputusan maupun melalui jasa yang ditawarkan sebagai broker untuk mengarahkan prosedur birokrasi
ataupun menghindarkan dari hukuman dengan mengenakan suap.
Semenjak tahun 2000, Indonesia secara intensif telah melakukan program pemberantasan illegal logging atau penebangan liar yang dilakukan melalui kerangka strategi nasional penegakan hukum kehutanan, Forest Law
Enforcement National Strategy FLENS. Disamping itu, Instruksi Presiden INPRES no 42005 memerintahkan 18 lembaga pemerintah disertai dengan pemerintah daerah untuk bekerja secara bersama melakukan aksi
pemberantasan illegal logging. Sebagai tindak lanjut dari INPRES tersebut telah diamankan aktor tingkat tinggi maupun operator penebangan liar di berbagai daerah.
Menyadari pentingnya pendekatan multi-sektor guna memperbaiki tata kelola dan pemerintahan yang ada, pemerintah Indonesia telah menetapkan perlawanan terhadap korupsi di semua sektor sebagai prioritas utama.
Hal ini tercermin pada hasil kerja badan independen yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi KPK serta Pengadilan Tinggi.Anti Korupsi PTAK yang telah menerbitkan Undang-undang pencucian uang no
252003, yang merupakan peraturan pertama di dunia yang memungkinkan illegal logging sebagai barang bukti untuk dilakukannya investigasi serta diajukan ke pengadilan. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan
menunjukkan hasilnya dengan dibawanya berbagai kasus kegiatan ilegal yang terjadi di berbagai sektor ke pengadilan, termasuk yang ada di sektor kehutanan. Kementrian Negara untuk Reforemasi Administrasi
mengumumkan bahwa sistem pemerintahan yang baik, good governance, harus sudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah pada tahun 2008. Guna menyelesaikan akar masalah dari terjadinya deforestasi secara
tidak terencana, akhir-akhir ini Departemen Kehutanan telah mengeluarkan berbagai peraturan yang
8
memberikan empat macam peluang untuk perbaikan akses dan hak terhadap sumberdaya hutan. Peraturan tersebut meliputi Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Lindung Permenhut no 192004 Hutan Kemasyarakatan
PP 62007, Hutan Tanaman Masyarakat PP 62007 serta Hutan Adat PP 62007.
V. REDD DAN STRATEGI KESIAPANNYA