Kebijakan Tata Guna Lahan Hutan

Perubahan kondisi kependudukan dan peningkatan populasi penduduk pulau-pulau terluar, desentralisasi pemerintahan dan kepentingan untuk pertumbuhan ekonomi perkebunan, terutama kelapa sawit, telah meningkatkan tekanan terhadap Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kepentingan bukan lahan hutan. Kawasan hutan dikategorikan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi dan keputusan atas pelepasan status lahan hutan ini ditentukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan permintaan dari pengusul. Apabila suatu lahan yang telah dilepas fungsinya menjadi penggunaan lahan lainnya, sebagian besar menjadi urusan pemerintah daerah KabupatenKota dan tertuang dalam proses pembuatan perencanaan tata ruang, untuk itu setiap lahan diberikan alokasi waktu tiap 5 tahun dan tertuang dalam rencana strategi jangka panjang 25 tahun untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Kawasan hutan negara – sebagai subyek potensial pengelolaan sumber daya karbon, berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, tetapi karena lahan yang berhutan juga berada di luar kawasan hutan, seperti hutan rakyat, dan ini berada dibawah koordinasinya Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Kabupaten, DPRD dan juga Departemen Kehutanan. Oleh karena itu, keputusan-keputusan terkait kegiatan REDD melibatkan pemerintahan di tingkat nasional dan lokal.

2. Kebijakan Tata Guna Lahan Hutan

Kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi empat fungsi utama: yaitu hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung dan kawasan konservasi. Dalam masing-masing fungsi hutan tersebut dilakukan zonasi yang membatasi penggunaan hutan. Hutan Produksi, kelestarian pengelolaan hutan dimaksudkan untuk mempertahankan ekosistem hutan, sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya. Pasal 70 dari Peraturan Pemerintah No. 32008, menyebutkan pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan berhak memperoleh manfaat sesuai ijinnya. Dalam pasal 33, PP 32008 disebutkan untuk ijin usaha jasa lingkungan dapat berupa pemanfaatan jasa aliran air, pemanfatan air, wisata, perlindungan kehati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan atau penyimpanan karbon. Untuk ijin usaha hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat berupa pemanfatan hasil hutan kayu dan hasil hutan restorasi ekosistem. Dan pasal 37, PP No. 32008 menyebutkan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan Hutan Tanaman Industri HTI, Hutan Tanaman Rakyat HTR atau Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi HTHR. Pada tahun 1998 Departemen Kehutanan melakukan evaluasi kinerja terhadap pemegang hak pengusahaan hutan dan menarik kembali hak yang diberikan kepada 200 pengusaha hutan. Areal kawasan hutan tersebut, terutama yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan seringkali disebut sebagai open access, karena ketidakjelasan pengelola serta pengelolaannya. Guna mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan tersebut Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan untuk membangun hutan tanaman dan memberikan berbagai skema hak pengusahaan, termasuk skema Hutan Tanaman Rakyat–HTR. Pengelompokan kawasan hutan produksi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti misalnya jenis tanah, ketinggian tempat, kelerengan dan curah hujan, sedangkan pembedaan Hutan Produksi dari Hutan PT dilakukan dalam hubungannya dengan intensitas penebangan yang dapat dilakukan pada suatu kawasan. Keputusan untuk melakukan pembangunan HTI dilakukan apabila kerusakan yang ditimbulkan oleh penebangan di hutan alam tidak dapat dikembalikan menjadi ekosistem hutan alam. Di masa mendatang, diperkirakan produksi kehutanan di Indonesia akan semakin bergantung pada keberadaan dan pembangunan hutan tanaman. Hutan Produksi Konversi HPK. Penggunaan kawasan hutan ini dapat dikonversikan menjadi non- kehutanan, seperti misalnya untuk pertanian, perkebunan contohnya kopi, kelapa sawit, karet serta untuk pemukiman. Keputusan untuk mengeluarkan HPK dari kawasan hutan dilakukan melalui persetujuan menteri kehutanan terhadap usulan dari pihak industri pihak ketiga. Lokasi HPK tersebut sebagian besar terletak di daerah dataran rendah yang lebih sesuai untuk penggunaan non-kehutanan, dibandingkan dengan daerah yang bergunung-gunung yang diperuntukkan bagi HP dan HPT. Hutan Lindung. Kawasan hutan lindung dialokasikan untuk perlindungan daerah aliran sungai serta sebagai benteng di daerah pantai, sempadan sungai serta daerah pegunungan yang terjal dimana kegiatan manusia yang tidak terkontrol ataupun penebangan dapat mengakibatkan terjadinya lahan kritis yang mudah tererosi. Secara terbatas, aktivitas manusia masih diperbolehkan di dalam kawasan hutan ini, termasuk kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu rotan serta hasil hutan ikutan lainnya yang dilakukan bukan untuk tujuan komersial. Kewenangan untuk mengelola hutan lindung telah diberikan kepada pemerintah daerah di tingkat KabupatenKota. Hutan konservasi., termasuk di dalamnya berbagai jenis kawasan konservasi yang disebutkan di dalam Undang-undang lingkungan hidup no 5 tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Penetapan hutan ini ditujukan untuk konservasi keanekaragaman hayati yang pengelolaannya dilakukan oleh 5 pemerintah pusat. Hutan Konservasi dibedakan menjadi Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya atau TAHURA, Taman Rekreasi serta Taman Buru. TAHURA disebut juga dengan Taman Propinsi mengingat peneglolaannya dilakukan oleh pemerintah propinsi. Sedangkan Taman Nasional merupakan kawasan hutan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh para staf yang berdedikasi tinggi, kawasan ini diberikan alokasi anggaran khusus untuk pengelolaannya.

3. Tata Kelola Hutan