REDDI Strategy draft August09(indonesia)

(1)

DEPARTEMEN KEHUTANAN

STRATEGI REDD

READINESS

INDONESIA

PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI

DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA

FASE PERSIAPAN

Draft – Agustus 2009

Strategi Nasional-Tahap Persiapan, mengambarkan rasional dari Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (

Reducing Emissions from

Deforestation and Forest Degradation

, REDD) di Indonesia, komponen strategi kunci, dan kegiatan yang akan dilakukan pada tahap persiapan (sampai 2012) hingga siap melakukan implementasi penuh REDD/REDD plus.


(2)

PENGANTAR

Strategi Nasional REDD-Kesiapan (REDDI Readiness) disusun dengan maksud untuk memberikan arahan dalam penyiapan perangkat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam skema REDD/REDD-plus pasca 2012. Indonesia pada rangkaian acara COP-13 Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali tahun 2007 menyampaikan Bagan Peta Jalan ‘Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia’ (REDDI) yang terbagi kedalam tiga tahap yaitu : (1) tahap persiapan/identifikasi status IPTEK dan kebijakan terkait (2007-2008), (2) Tahap penyiapan perangkat IPTEK dan kebijakan REDDI/REDDI Readiness (2009 – 2012), dan (3) Implementasi penuh sesuai aturan COP pada saat REDD menjadi bagian dari skema Konvensi Perubahan Iklim Pasca 2012 (mulai tahun 2013).

Pada tahap kedua ini (Readiness Phase), Indonesia perlu menyiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk implementasi REDD pada tahap ketiga apabila Indonesia memutuskan untuk berpartisipasi dalam skema REDD yang diatur di bawah kerangka Konvensi Perubahan Iklim. Apabila Indonesia akhirnya memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam skema tersebut, kegiatan yang dirancang dalam Strategi Nasional REDD ini masih tetap bermanfaaf sebagai upaya yang dalam konteks strategi pengurangan dampak perubahan iklim dikenal dengan nama ‘No-regret Strategy”.

Atas dasar pertimbangan dari hal-hal di atas, Strategi Nasional REDDI-Tahap Persiapan, mengambarkan rasional dari pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, REDD) di Indonesia, komponen strategi kunci, dan kegiatan yang akan dilakukan pada tahap persiapan hingga siap implementasi penuh REDD/REDD plus, beserta tata waktu, perkiraan kebutuhan dana dan sumber dana potensial..

Sesuai Keputusan COP-13 bahwa setiap tahapan upaya ‘Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) di negara berkembang’ memerlukan dukungan financial, peningkatan kapasitas, dan transfer teknologi dari negara maju. Oleh karena itu, Strategy Nasional REDD-Kesiapan (REDDI Readiness) ini juga sebagai alat bantu dalam mengintegrasikan/mensinergikan berbagai initiatif/kegiatan terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia termasuk mengarahkan kegiatan dengan dana bantuan luar negeri (BLN) terkait REDD/REDD-plus.


(3)

TIM PENYUSUN

PENGARAH :

1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

2. Staf Ahli Menteri Bidang Kemitraan/Ketua POKJA Peruabahan Iklim Departemen Kehutanan PENYUSUN :

1. Dr. Nur Masripatin 2. Dr. Rufi’ie

3. Dr. Kirsfianti Ginoga 4. Dr. Ngaloken Gintings 5. Dr. Chairil Anwar Siregar 6. Dr. Ruwanda Sugardiman 7. Ir. Ari Wibowo, M.Sc .

8. I. Wayan Susi Darmawan, S.Hut., M.Si. 9. Ir. Saipul Rahman, M.Sc.

10. Ir. Retno Maryani, M.Sc. 11. Ir. Achmad Pribadi, M.Sc. 12. Fitri Nurfatriani, S.Hut., M.Si. 13. Dyah Puspasari, S.Hut, M.Si. 14. Reinaldi, S. Hut

15. Sukaesih, S. Hut SEKRETARIAT : 1. Dra. Sumiyati 2. Duhita, S.Hut


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGANTAR 1

TIM PENYUSUN 2

DAFTAR ISI 3

I. PENDAHULUAN 4

II. PENGGUNAAN LAHAN, KEBIJAKAN KEHUTANAN, DAN TATA KELOLA 4

III. DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN 6

IV. KERANGKA KEBIJAKAN UNTUK MENNGATASI DEFORESTASI DAN

DEGRADASI HUTAN 7

V. REDD D AN STRATEGI TAHAP PERSIAPAN 9

Daftar Gambar

Gambar 1. Proses IFCA dalam Konteks Perubahan Iklim Nasional sebelum COP 13 Gambar 2. Roadmap REDD Indonesia

Gambar 3. Kerangka Kerja REDD Indonesia Daftar Tabel

Tabel 1. Komunikasi para pihak di setiap komponen kerangka kerja REDDI

Tabel 2. Ringkasan strategi REDD Indonesia

Tabel 3. Tata waktu kegiatan pada fase persiapan di level nasional dan sub nasional (provinsi

dan kabupaten)


(5)

Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia mengikuti aturan keempat fungsi/kategori hutan. Pertama, hutan konservasi, dikelola untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi, sumber daya genetik yang diperlukan untuk bahan pangan, tanaman obat, domestikasi jenis kayu hutan dan non kayu. Kedua, hutan lindung, penting untuk memelihara fungsi hidrologi, perlindungan DAS dan konservasi tanah. Ketiga, hutan produksi, menyediakan produksi kayu dan non kayu, dan dikelola melalui sistem tebang pilih untuk hutan alam dan tebang habis untuk hutan tanaman. Keempat adalah hutan konversi, suatu kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi area penggunaan lahan lainnya.

Dari sekitar 48 juta orang yang hidup di dalam dan sekitar hutan Indonesia, sebanyak 6 juta orang diantaranya menggantungkan hidupnya langsung dari hutan. Pemerintah telah mengupayakan seekstensif mungkin untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan.

Hasil kayu merupakan salah satu produk hutan yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, lapangan kerja, dan ekspor, terutama antara tahun 1980–1990. Perolehan devisa negara luar negeri dari ekspor hasil hutan diperkirakan mencapai US$ 1,2 trilyun pada tahun 1985. Sejak saat itu komposisi hasil hutan yang diekspor berubah dari kayu bulat menjadi kayu olahan seperti kayu gergajian, kayu lapis, panel, furnitur, pulp dan kertas. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa tingkat ekspor komoditas hasil hutan meningkat menjadi US $ 5 trilyun.

Deforestasi telah menyebabkan Indonesia kehilangan hutan sekitar 1,7 juta ha per tahun, selama periode 1985–1997. Tingkat kehilangan areal hutan tertinggi terjadi selama periode 1997 – 2000, yang mencapai jumlah sekitar 2,8 juta ha/tahun. Data publikasi terakhir (MoF, 2008) menunjukkan bahwa tingkat hilangnya areal hutan telah menurun menjadi 1,17 juta ha selama periode 2003 – 2006. Volume hasil kayu yang dipanen telah menurun dari 26,2 juta m3 pada tahun 1990 menjadi 11,2 juta m3 pada tahun 2005. Hasil hutan non kayu

telah meningkat pada periode yang sama (seperti hasil pangan, tanaman obat, rotan dan lain-lain). Berdasarkan FAO (2005) dilaporkan bahwa volume kayu bakar telah menurun dari 357.000 m3 pada tahun

1990 menjadi 171.000 m3 pada tahun 2000 dan hanya 79.000 m3 pada tahun 2005.

Kelestarian sumber daya hutan menjadi hal yang penting untuk keberlanjutan pembangunan nasional. Pengelolaan sumber daya hutan secara lestari adalah salah satu bentuk kegiatan mitigasi dan adaptasi, merupakan isu yang terus dipertahankan di Indonesia. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan tingginya ketergantungan terhadap sector berbasis lahan pertanian (pertanian, kehutanan, perikanan, peternakan), menjadikan Indonesia rentan terhadap perubahan iklim tidak hanya dari aspek lingkungan tetapi juga dari aspek ekonomi dan social.

II. PENGGUNAAN LAHAN, KEBIJAKAN DAN TATA KELOLA KEHUTANAN

1. Penggunaan Lahan

Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati merupakan dua undang-undang yang menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Dua peraturan ini mencerminkan filosofi pengelolaan hutan di Indonesia yang mengakomodasi berbagai keperluan untuk memanfaatkan sumber daya hutan secara optimal dan juga untuk mengkonservasi sumber daya hutan untuk menjamin perolehan manfaat optimal dalam sebuah sistem yang lestari.

Sejak tahun 1960 Indonesia telah membagi lahan daratannya menjadi dua bagian administratif, yaitu kawasan hutan, hutan negara dan bukan kawasan hutan, termasuk di dalamnya hutan hak. Kawasan hutan meliputi luas sekitar 112 juta ha, atau sekitar 60 persen dari luas permukaan daratan dan merupakan sumber daya nasional yang telah menjadi urusan Departemen Kehutanan. Sedangkan pengelolaan pertanian dan pemukiman diurus oleh lembaga lain termasuk didalamnya Departemen Pertanian. Sejak dikeluarkanya peraturan Dasar Kehutanan tahun 1967, secara teknis Badan Pertanahan Nasional (BPN) bertanggung jawab untuk mengurus kepemilikan lahan, survei lahan, dan isu-isu terkait batas kepemilikan oleh masyarakat pedalaman dan masyarakat sekitar hutan negara yang telah diakomodasi dalam berbagai cara. Berdasarkan Undang-undang


(6)

Perubahan kondisi kependudukan dan peningkatan populasi penduduk pulau-pulau terluar, desentralisasi pemerintahan dan kepentingan untuk pertumbuhan ekonomi perkebunan, terutama kelapa sawit, telah meningkatkan tekanan terhadap Kementerian Kehutanan untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kepentingan bukan lahan hutan. Kawasan hutan dikategorikan sebagai hutan produksi yang dapat dikonversi dan keputusan atas pelepasan status lahan hutan ini ditentukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan permintaan dari pengusul. Apabila suatu lahan yang telah dilepas fungsinya menjadi penggunaan lahan lainnya, sebagian besar menjadi urusan pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) dan tertuang dalam proses pembuatan perencanaan tata ruang, untuk itu setiap lahan diberikan alokasi waktu tiap 5 tahun dan tertuang dalam rencana strategi jangka panjang 25 tahun untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Kawasan hutan negara – sebagai subyek potensial pengelolaan sumber daya karbon, berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, tetapi karena lahan yang berhutan juga berada di luar kawasan hutan, seperti hutan rakyat, dan ini berada dibawah koordinasinya Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Kabupaten, DPRD dan juga Departemen Kehutanan. Oleh karena itu, keputusan-keputusan terkait kegiatan REDD melibatkan pemerintahan di tingkat nasional dan lokal.

2. Kebijakan Tata Guna Lahan Hutan

Kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi empat fungsi utama: yaitu hutan produksi, hutan konversi, hutan lindung dan kawasan konservasi. Dalam masing-masing fungsi hutan tersebut dilakukan zonasi yang membatasi penggunaan hutan.

Hutan Produksi, kelestarian pengelolaan hutan dimaksudkan untuk mempertahankan ekosistem hutan, sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya. Pasal 70 dari Peraturan Pemerintah No. 3/2008, menyebutkan pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan berhak memperoleh manfaat sesuai ijinnya. Dalam pasal 33, PP 3/2008 disebutkan untuk ijin usaha jasa lingkungan dapat berupa pemanfaatan jasa aliran air, pemanfatan air, wisata, perlindungan kehati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan atau penyimpanan karbon. Untuk ijin usaha hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat berupa pemanfatan hasil hutan kayu dan hasil hutan restorasi ekosistem. Dan pasal 37, PP No. 3/2008 menyebutkan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). Pada tahun 1998 Departemen Kehutanan melakukan evaluasi kinerja terhadap pemegang hak pengusahaan hutan dan menarik kembali hak yang diberikan kepada 200 pengusaha hutan. Areal kawasan hutan tersebut, terutama yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan seringkali disebut sebagai open access, karena ketidakjelasan pengelola serta pengelolaannya. Guna mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan tersebut Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan untuk membangun hutan tanaman dan memberikan berbagai skema hak pengusahaan, termasuk skema Hutan Tanaman Rakyat–HTR. Pengelompokan kawasan hutan produksi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti misalnya jenis tanah, ketinggian tempat, kelerengan dan curah hujan, sedangkan pembedaan Hutan Produksi dari Hutan PT dilakukan dalam hubungannya dengan intensitas penebangan yang dapat dilakukan pada suatu kawasan. Keputusan untuk melakukan pembangunan HTI dilakukan apabila kerusakan yang ditimbulkan oleh penebangan di hutan alam tidak dapat dikembalikan menjadi ekosistem hutan alam. Di masa mendatang, diperkirakan produksi kehutanan di Indonesia akan semakin bergantung pada keberadaan dan pembangunan hutan tanaman.

Hutan Produksi Konversi (HPK). Penggunaan kawasan hutan ini dapat dikonversikan menjadi non-kehutanan, seperti misalnya untuk pertanian, perkebunan (contohnya kopi, kelapa sawit, karet) serta untuk pemukiman. Keputusan untuk mengeluarkan HPK dari kawasan hutan dilakukan melalui persetujuan menteri kehutanan terhadap usulan dari pihak industri (pihak ketiga). Lokasi HPK tersebut sebagian besar terletak di daerah dataran rendah yang lebih sesuai untuk penggunaan non-kehutanan, dibandingkan dengan daerah yang bergunung-gunung yang diperuntukkan bagi HP dan HPT.

Hutan Lindung. Kawasan hutan lindung dialokasikan untuk perlindungan daerah aliran sungai serta sebagai benteng di daerah pantai, sempadan sungai serta daerah pegunungan yang terjal dimana kegiatan manusia yang tidak terkontrol ataupun penebangan dapat mengakibatkan terjadinya lahan kritis yang mudah tererosi. Secara terbatas, aktivitas manusia masih diperbolehkan di dalam kawasan hutan ini, termasuk kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu rotan serta hasil hutan ikutan lainnya yang dilakukan bukan untuk tujuan komersial. Kewenangan untuk mengelola hutan lindung telah diberikan kepada pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota.


(7)

pemerintah pusat. Hutan Konservasi dibedakan menjadi Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya atau TAHURA, Taman Rekreasi serta Taman Buru. TAHURA disebut juga dengan Taman Propinsi mengingat peneglolaannya dilakukan oleh pemerintah propinsi. Sedangkan Taman Nasional merupakan kawasan hutan konservasi yang pengelolaannya dilakukan oleh para staf yang berdedikasi tinggi, kawasan ini diberikan alokasi anggaran khusus untuk pengelolaannya.

3. Tata Kelola Hutan

Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara memilik otoritas terhadap hutan dan lahan hutan, serta mengakui akan adanya hukum adat tentang penggunaan hutan, yang kedudukannya berada di bawah kepentingan nasional. Selama dasawarsa terakhir ini, legitimasi lembaga negara semakin diperkuat dan dibangun berlandaskan prinsip demokrasi.

Legitimasi sistem tata kelola hutan yang ada saat ini dipertanyakan dan diperdebatkan dalam kaitannya dengan dua hal yaitu:

 Diperdebatkan dalam hal batasan otoritas atau kewenangan desentralisasi yang mampu memberdayakan pemerintah daerah untuk mengurus penggunaan hutan dan memperoleh pendapatan yang berkaitan dengan hutan; dan

 Dalam hubungannya dengan dukungan terhadap masyarakat lokal serta organisasi kemasyarakatan untuk memberikan pengakuan serta mempertahankan klaim masyarakat terhadap hutan dan lahan hutan.1

Kedaulatan negara terhadap lahan hutan dinyatakan di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967 yang selanjutnya ditegaskan kembali di dalam undang-undang kehutanan no 41 tahun 1999. Adanya tuntutan untuk pengelolaan hutan tingkat lokal yang lebih baik serta tekanan terhadap kebutuhan demokrasi dan desentralisasi mendorong kemungkinan diterapkannya pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management, CBFM), termasuk pengelolaan produksi di lapangan untuk memasok bahan baku industri. Reformasi yang dilakukan seperti misalnya dengan melakukan “Joint Forestry Management Approach”, pendekatan pengelolaan bersama masyarakat yang dilakukan di pulau Jawa berhasil memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat disertai dengan keuntungan yang lebih tinggi 2. Namun demikian masih diperlukan upaya untuk mengklarifikasi dan mengakui hak masyarakat adat serta menyelesaikan klaim antara adat dengan masyarakat pendatang. Berbagai kebijakan kehutanan dikeluarkan untuk memperkuat atau memberdayakan masyarakat dan aksesnya terhadap lahan adapt. Kebijakan tersebut antara lain dilakukan melalui penunjukan hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat yang dimaksudkan untuk menarik investasi di berbagai lahan hutan yang secara de facto dinyatakan sebagai open access dimana masyarakat tidak memiliki otoritas legal ataupun alat untuk mencegah kawasan tersebut dari adanya berbagai perambahan.

III. DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DI INDONESIA

Sebagaimana disebutkan dalam Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Framework on Climate Change Convention atau UNFCC) di dalam keputusannya no 11/CP.7, deforestasi didefinisikan sebagai akibat langsung, dari adanya pengaruh manusia yang dilakukan melalui konversi lahan berhutan menjadi lahan yang tidak berhutan. Definisi ini menunjuk pada terjadinya pengurangan penutupan tajuk hutan yang awalnya berada di atas ambang batas dari definisi hutan menjadi di bawah ambang batas tersebut. Degradasi didefinisikan sebagai akibat langsung dari adanya pengaruh manusia yang mengakibatkan hilangnya secara terus menerus (bertahan selama X tahun atau lebih) atau paling tidak Y% dari stok karbon (dan nilai hutan) semenjak tahun ke T, dan kehilangan tersebut tidak termasuk ke dalam deforestasi. Degradasi mencerminkan adanya penurunan stok karbon yang sifatnya terukur dan lestari sebagai akibat dari adanya pengaruh manusia dan menyisakan tutupan hutan yang dapat diukur di atas ambang batas minimum dari yang dipersyaratkan dalam definisi hutan. Emisi kasar (gross emission) dihitung dari seluruh pohon yang diambil dan terutama biomass serta seluruh karbon yang diemisi. Perhitungan ini tidak memasukkan pengurangan karbon yang tertangkap di dalam vegetasi dari dari penggunaan lahanpenggantinya. Sementara itu perhitungan emisi neto (nett emission) memasukkan pohon yang diambil serta sebagian besar biomas dan seluruh karbon yang tersimpan. Penghitungan ini memberi ruang untuk memasukkan cadangan karbon di areal deforestasi setelah dilakukannya konversi. Apabila hutan alam digantikan untuk pembangunan hutan tanaman maka akan lebih menarik untuk menerapkan konsep


(8)

deforestasi netto mengingat tingkat emisi diasumsikan menjadi lebih rendah karena adanya penyerapan karbon yang mengikutinya setelah tanaman hutan tumbuh.

Indonesia merupakan contoh kasus dimana deforestasi terjadi baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Lahan hutan konversi dan Areal Penggunaan Lain (APL) dapat diubah menjadi penggunaan lahan yang lain, dalam hal ini deforestasi yang terjadi dikategorikan sebagai yang direncanakan. Deforestasi yang direncanakan dan juga hilangnya hutan yang direncanakan di masa lalu merupakan akibat dari pertumbuhan hutan tanaman yang pesat serta bermunculannya industri bubur kayu dan kertas. Menipisnya kayu yang berasal dari hutan alam membuat produsen bubur kertas dan industri hasil hutan kayu untuk memanfaatkan jenis cepat tumbuh serta membangun hutan tanaman untuk menjamin pasokan bahan baku dari sumbernya. Strategi kebijakan untuk mengurangi deforestasi yang direncanakan dilakukan melalui alokasi lahan ter-degradasi dan lahan yang secara komersial tidak produktif untuk membangun silvikultur intensif. Pembangunan kelapa sawit di Indonesia ikut menyumbang terjadinya deforestasi yang direncanakan di Indonesia. Penerapan tata ruang yang efektif, termasuk penegakan hukum merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konversi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya untuk menghindari terjadinya deforestasi yang tidak direncanakan, Departemen Kehutanan telah menolak telah menghentikan pemberian ijin untuk penggunaan hutan produksi konversi bagi pembangunan perkebunan, yang melebihi luas areal Padu Serasi yang telah disetujui. Berbagai upaya dilakukan untuk merekonstruksi kesepakatan Padu Serasi ke dalam skala yang konsisten dengan rencana tata ruang pemerintah daerah. Sehubungan dengan itu, diperlukan harmonisasi antara zonasi tata guna lahan secara fungsional yang diperlukan bagi perencanaan tata ruang daerah dengan pengelolaan fungsi lahan hutan.

Kehilangan hutan yang tidak direncanakan dapat berasal dari adanya kebakaran, penyerobotan lahan, penebangan yang tidak mengikuti kaedah kelestarian pada kawasan pengusahaan hutan, serta penebangan illegal yang dilakukan baik pada skala besar maupun kecil. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 275 juta jiwa diperkirakan akan semakin memberikan tekanan terhadap hutan. Bagi masyarakat yang menggantubngkan kehidupannya pada hutan, tekanan tersebut dikarenakan terbatasnya alternatif yang dapat dimanfaatkan bagi kelompok masyarakat ini. Rendahnya tingkat pendapatan yang diterima mengakibatkan kelompok ini semakin tergantung kepada hasil hutan sebagai sumber matapencahariannya. Skema untuk memperbaiki kehidupan masyarakat yang tergantung hidupnya pada hutan terbukti yang juga mengurangi tekanan terhadap hutan dianggap kurang berhasil karena pendekatan tersebut dilakukan di lokasi yang terlalu dekat dengan hutan dan berlaku sebagai magnet untuk menarik masyarakat ke dalam hutan dan bukannya menarik mereka keluar dari dalam hutan. Hal ini dapat diatasi dengan menyelesaikan permasalahan yang ada di tingkat yang lebih besar atau luas. Dana pengentasan kemiskinan yang menarik masyarakat untuk keluar, daripada masuk ke dalam hutan, dapat dilakukan melalui intensifikasi pertanian di lahan yang tingkat produktivitasnya bagus serta ditunjang dengan infrastruktur yang dianggap layak.

Selain hilangnya hutan yang tidak direncanakan, panjangnya batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung mengakibatkan kesulitan dalam hal pengontrolan, akibatnya dapat mengundang gannguan yang tidak direncanakan berasal dari masyarakat setempat ataupun pengguna hutan untuk tujuan komersial serta menjadi sasaran penebangan liar yang dilakukan skala kecil maupun skala besar. Kurangnya penegakan hukum yang terutama terjadi di hutan lindung disebut sebagai salah satu faktor yang menentukan terjadinya penebangan liar dan gangguan penyerobotan lahan. Disamping itu, faktor lain yang termasuk di dalamnya adalah kurangnya atau minimnya insentif bagi masyarakat dan pemerintah untuk mempertahankan hutan lindung, serta rendahnya kapasitas institusi yang menangani pengelolaan kawasan ini setelah desentralisasi yang dilakukan kepada pemerintah daerah. Umumnya gangguan penyerobotan tersebut dilakukan oleh masyarakat tetangga yang tidak menyadari adanya batas hutan di lapangan.

IV. KERANGKA PERATURAN MENGHADAPI TANTANGAN DEFORESTASI DAN DEGRADASI

HUTAN

Selama sepuluh tahun terakhir ini kehutanan menghadapi tantangan yang menuntut dilakukannya pem-fokusan kembali dan reorientasi dari berbagai kebijakan. Sehubungan dengan itu, sektor kehutanan telah menetapkan lima kebijakan pokok, sebagai berikut (1) pemberantasan penebangan liar serta perdagangan illegal; (2) restrukturisasi sektor kehutanan melalui penguatan hutan tanaman dan restrukturisasi industri; (3) rehabilitasi dan konservasi hutan; (4) penguatan ekonomi masyarakat lokal di sekitar hutan; (5) pemantapan kawasan hutan. Kelima kebijakan prioritas tersebut telah diterjemahkan ke dalam perencanaan kehutanan yang disusun untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.


(9)

Kerangka peraturan perundangan dan kebijakan kehutanan yang telah ada berkontribusi sebagai kondisi pemungkin dilakukannya aksi mitigasi perubahan iklim, Termasuk ke dalam aksi tersebut adalah kegiatan pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, serta kegiatan penguatan stok cadangan karbon yang berasal dari restorasi hutan, afforestasi dan reforestasi. Sebagai ilustrasi peraturan perundangan tersebut mencakup Undang-undang Tata Ruang no 26/2007 yang mempersyaratkan pemerintah daerah untuk menyempurnakan rencana tata ruangnya, Peraturan Pemerintah no 6/2007 serta penyempurnaannya PP no 3/2008 yang memberikan kerangka bagi pemeberian ijin penggunaan lahan hutan untuk berbagai usaha jasa lingkungan serta usaha produksi kayu. Kedua Peraturan Pemerintah tersebut juga mewadahi berbagai kepentingan masyarakat melalui pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), serta Hutan Adat. Undang-undang Kehutanan no 41/1999 memperkenalkan berbagai konsep penggunaan sumberdaya hutan yang sebelumnya tidak diatur di dalam undang-undang yang lama.

Implementasi kelima kebijakan pokok tersebut dapat dilihat pada renca kehutanan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJN) dan rencana pembangunan nasional jangka lima tahun merupakan pedoman bagi perencanaan di sektor kehutanan. Berdasar skala waktu yang telah ditetapkan, rencana pembangunan di kehutanan dapat dibedakan sebagai Rencana Pembangunan Kehutanan Jangka Panjang, Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan, dan Rencana Kehutanan Lima Tahun. Alokasi pendanaan dilakukan berdasar rencana tersebut di atas, namun demikian mengingat magnitude atau besarnya tantangan yang harus diselesaikan maka ketersediaan dana dalam negeri seringkali tidak mencukupi. Adanya kegagalan pasar untuk jasa hutan dan produk hasil hutan (misalnya adanya pasar bagi produk hutan yang illegal, A/R CDM) telah memperbesar tantangan untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan secara lestari yang dapat berkontribusi secara positif terhadap upaya mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sejarah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di negara ini merupakan konsekuensi dari adanya kelemahan tata kelola hutan, dan Departemen Kehutanan telah mengambil sikap untuk menangani isue ini melalui strategi perencanaan jangka panjang. Selain itu, pemerintah juga menyadari bahwa kegiatan ilegal yang berdampak terhadap hutan tidak dapat dilepaskan dari isue tata kelola secara luas. Isue tersebut merupakan permasalahan sistemik yang berada di luar otoritas sektor kehutana, yang diidentifikasi antara lain sebagai korupsi tingkat tinggi dan elite capture , ketidak jelasan berbagai peraturan perundangan ataupun adanya konflik dari berabagi peraturan serta lemahnya kinerja institusi publik.

Forest crime merupakan ancaman bagi pemerintahan yang baik karena menegasikan aturan perundangan, memperparah konflik sosial serta mengancam kelestarian pengelolaan hutan. Upaya untuk mencegah serta menekan terjadinya forest crime seringkali terhambat oleh adanya korupsi di dalam sistem peradilan yang ada pada setiap tahapan dari deteksi kriminal dan investigasinya, ataupun melalui persiapan perkara dan penyelesaiannya hingga pemutusan perkara. Banyaknya peraturan yang berkaitan dengan tata kelola hutan dan kompleksitas dari adanya tumpang tindih berbagai peraturan, inkonsistensi serta kontradiksi satu sama lain merupakan peluang dilakukannya administrative corruption yang dilakukan dalam kapasitas sebagai penentu keputusan maupun melalui jasa yang ditawarkan sebagai broker untuk mengarahkan prosedur birokrasi ataupun menghindarkan dari hukuman dengan mengenakan suap.

Semenjak tahun 2000, Indonesia secara intensif telah melakukan program pemberantasan illegal logging atau penebangan liar yang dilakukan melalui kerangka strategi nasional penegakan hukum kehutanan, Forest Law Enforcement National Strategy (FLENS). Disamping itu, Instruksi Presiden (INPRES) no 4/2005 memerintahkan 18 lembaga pemerintah disertai dengan pemerintah daerah untuk bekerja secara bersama melakukan aksi pemberantasan illegal logging. Sebagai tindak lanjut dari INPRES tersebut telah diamankan aktor tingkat tinggi maupun operator penebangan liar di berbagai daerah.

Menyadari pentingnya pendekatan multi-sektor guna memperbaiki tata kelola dan pemerintahan yang ada, pemerintah Indonesia telah menetapkan perlawanan terhadap korupsi di semua sektor sebagai prioritas utama. Hal ini tercermin pada hasil kerja badan independen yang dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pengadilan Tinggi.Anti Korupsi (PTAK) yang telah menerbitkan Undang-undang pencucian uang no 25/2003, yang merupakan peraturan pertama di dunia yang memungkinkan illegal logging sebagai barang bukti untuk dilakukannya investigasi serta diajukan ke pengadilan. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan menunjukkan hasilnya dengan dibawanya berbagai kasus kegiatan ilegal yang terjadi di berbagai sektor ke pengadilan, termasuk yang ada di sektor kehutanan. Kementrian Negara untuk Reforemasi Administrasi mengumumkan bahwa sistem pemerintahan yang baik, good governance, harus sudah diterapkan di tingkat pemerintahan daerah pada tahun 2008. Guna menyelesaikan akar masalah dari terjadinya deforestasi secara


(10)

memberikan empat macam peluang untuk perbaikan akses dan hak terhadap sumberdaya hutan. Peraturan tersebut meliputi Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Lindung (Permenhut no 19/2004) Hutan Kemasyarakatan (PP 6/2007), Hutan Tanaman Masyarakat ( PP 6/2007) serta Hutan Adat (PP 6/2007).

V. REDD DAN STRATEGI KESIAPANNYA

1. REDD Indonesia (REDDI)

Deforestasi menjadi topic utama di dalam berbagai forum diskusi yang membahas issu perubahan

iklim yang berkaitan dengan sector kehutanan, khususnya setelah dipublikasikannya laporan Stern

mengenai ekonomi perubahan iklim dan kampanye yang dilakukan Stern ke seluruh stakeholder

termasuk pembuat kebijakan. Stern menekankan pada deforestasi di Negara berkembang yang

dianggap berkontribusi secara nyata terhadap emisi gas rumah kaca global dan mengalami

kecenderungan akan terus bertambah kecuali adanya intervensi kebijakan untuk mengatasi hal

tersebut. Berdasarkan pada data WRI (Stern, 2006), deforestasi berkontribusi sebesar kurang lebih

18% dari emisi global dan dari jumlah tersebut 75%nya berasal dari Negara berkembang. Dalam

laporan dan kampanyenya, Stern meminta tindakan cepat untuk mengurangi emisi dari sector ini dan

menekankan pada pentingnya partisipasi masyarakat internasional untuk membantu negara

berkembang dalam mengurangi deforestasi.

Issu deforestasi muncul dibawah agenda “ Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara

Berkembang (RED)” pada saat konferensi UNFCC ke 11 (COP ke 11) di Montreal tahun 2005 dan

telah direspon secara positif oleh banyak Negara. Dalam berbagai forum termasuk COP/SB, banyak

pihak memandang bahwa skema RED seharusnya melibatkan partisipasi dari semua Negara.

Tantangan terbesar adalah bagaimana perbedaan kondisi nasional pada masing-masing Negara

diakomodasi secara adil dan proposional dengan mempertimbangkan pendekatan pemecahan issu

kehutanan dibawah konvensi iklim.

Sebelum COP 13, Indonesia membentuk

Indonesia Forest Climate Alliance

(IFCA) pada bulan Juli

2007. IFCA adalah sebuah payung atau forum untuk komunikasi/koordinasi/konsultasi para

stakeholder dalam membahas issu-issu REDD, termasuk kemajuan dan output dari berbagai studi

tentang REDD dalam hal metodologi, strategi, financial/analisa pemasaran dan distribusi insentif.

Studi tentang REDD Indonesia (REDDI) tahun 2007 dikoordinasikan oleh Departemen Kehutanan dan

melibatkan para ahli dari tingkat nasional dan internasional serta didanai oleh World Bank, pemerintah

Inggris, Australia dan Jerman. Perkembangan dan hasil studi dikomunikasikan melalui IFCA dengan

melibatkan tiga pilar governance (pemerintah, sector swasta, masyarakat sipil termasuk akademisi)

dan mitra internasional yang bekerja dalam issu perubahan iklim dan kehutanan di Indonesia (lihat

gambar 1: Proses IFCA sebelum COP 13). Sebuah laporan yang berjudul

Laporan Konsolidasi

IFCA: Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (Dephut, 2008)

dapat diakses melalui

website www.forda-mof.org.


(11)

Gambar 1. Proses IFCA dalam Konteks Perubahan Iklim Nasional sebelum COP 13

Bersamaan dengan penyiapan COP 13, Indonesia telah menyusun road map untuk REDD termasuk kesiapan dan transisi (peningkatan kapasitas, lokasi percontohan, dan inisiatif lain terkait) dari tahun 2007 sampai dengan 2012, dan implementasi penuh dari tahun 2013 atau ketika mekanisme REDD telah berjalan (lihat gambar 2: Road Map REDDI).

Gambar 2. Road Map REDDI

2. Strategi Kesiapan

Studi IFCA tahun 2007 merekomendasikan beberapa kegiatan yang harus ditindaklanjuti yaitu : (1) mengembangkan kerangka kerja awal yang telah dirancang oleh IFCA, (2) melanjutkan konsultasi dan analisis

7 Kelompok Kerja pada COP 13

RI

Para Donor: World Bank, UK,

Germany, Australia,, Etc

Tim Pengarah COP 13 Dephut (Eselon I Dephut)

Koordinasi Nasional

Dephut

Kementerian Lingkungan Hidup

Dephut memimpin sub tim COP 13 untuk

issu substantive

Dephut memimpin tim COP 13

Dephut memimpin sub tim COP 13 untuk

side event

Stakeholders Study On Methodology for

Measuring and Monitoring Carbon Stocks

Study On

Quantification of past and future carbon emissions

Study On

Consolidation of Payment Mechanism

Energi Adaptasi Kehutanan TeknologiTransfer Pasca2012 Pendanaan CDM

Consultations Coordination Communication Strategi

Metodologi/arsitektur

Studi untuk Pulp & Paper Studi untuk lahan gambut Studi untuk kawasan lindung Konsolidasi

Studi untuk hutan produksi

Alliance / IFCA

(Indonesia Forest Climate Alliance) :

Dephut, Dept lain, Pemda, CSOs, Akademisi, Donor, sector

swasta, organisasi internasional Studi untuk Kelapa Sawit 3 Kegiatan 9 Studi

Study On Market

Nara sumber untuk Pokja Pimpinan Tim COP 13

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

2007

2008 2009 2010 2011 2012

Post 2012

COP 13 Fase Persiapam

Rancangan Fine Tuning Perancangan system Rancangan lokasi percontohan * Analysis (Arsitektur dan

Strategis) * Komunikasi/ koordinasi/Konsultasi

Pendanaan Karbon (Percontohan)

- Implementasi pada lokasi percontohan Pengujian

Manajemen pengetahuan

Implementasi REDD secara

penuh

Workshop, SBSTA, UNFCCC, G8, dll.

COP14


(12)

(4) melaksanakan peningkatan kapasitas pada semua level, (5) menciptakan kerangka kerja nasional yang kredibel untuk pengurangan emisi yang terverifikasi, (6) menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang nyata. Kerangka kerja REDDI telah disusun untuk menindaklanjuti outcome yang dihasilkan studi IFCA tahun 2007, keputusan COP 13 dan implementasi road map REDDI (lihat gambar 3).

KERANGKA KERJA REDDI

Gambar 3. Kerangka kerja REDDI

Dalam rangka penyiapan permenhut mengenai REDDI dan Komisi Nasional REDD telah dilaksanakan konsultasi dan komunikasi stakeholder sejak tahun 2008 yang dikoordinasikan oleh Departemen Kehutanan, melalui berbagai pertemuan pada berbagai tingkatan dan komunikasi secara elektronik seperti penggunaan website Dephut dan komunikasi melalui email untuk memperoleh input dari berbagai stakeholder.

Departemen Kehutanan telah menerbitkan peraturan tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Permenhut Nomor P.68/Menhut-II/2008; lihat Lampiran 1) dan pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim lingkup Dephut (Kepmenhut Nomor SK.13/menhut-II/2009, lihat Lampiran 2) serta peraturan tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Degradasi dan Deforestasi Hutan (REDD) (Permenhut Nomor P.30/Menhut-II/2009, lihat Lampiran 3). Penerbitan peraturan Menteri Kehutanan tersebut dimaksudkan sebagai jawaban atas tingginya minat para pihak baik dari luar negeri dan nasional untuk berpartisipasi dalam aktivitas REDD, seperti juga untuk latihan hasil-hasil dari proses REDD dari Konferensi Para Pihak(COP)/Badan Subsider untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA). Tujuan dari implementasi aktivitas REDD tersebut adalah untuk menguji dan mengembangkan metodologi, teknologi dan kelembagaan pengelolaan hutan lestari sebagai usaha untuk mengurangi emisi karbon melalui pengendalian kerusakan hutan dan penurunan tutupan hutan.

Sebagai tindak lanjut dari penerbitan Permenhut P.30/Menhut-II/2009, Kelompok Kerja Perubahan Iklim Dephut harus segera menyelesaikan konsep Komisi Kerja Nasional REDD sebagai kelompok yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan REDD. Komisi Kerja Nasional REDD akan terdiri atas perwakilan dari setiap sektor yang relevan dan para pihak terkait lainnya. Tugas anggota kelompok kerja tersebut diantaranya yang memangku jabatan Direktur Jenderal di Departemen adalah pada tingkatan strategi. Tugas-tugas tersebut dibantu oleh tim teknis yang beranggotakan mereka yang memangku jabatan direktur serta dibantu sekretariat REDD.

CO

2

$

Reference Emission

Level Strategi Monitoring

Pasar/

Funding Distribusi

1 2 3 4 5

WG-FCC Peraturan

-peraturan

REDDI Komnas

REDDI Emisi secara

histories/scenario ke depan

Tutupan hutan perubahan stok karbon,

National registry

Pendekatan nasional,

Implementasi

sub-national Daya tarik,

Sumber dana

Tanggungjawab dan manfaat

Peningkatan pemahaman Peningkatan kapasitas Akses ke data Akses ke teknologi


(13)

Untuk operasionalisasi Permenhut P.30/Menhut-II/2009 dibutuhkan petunjuk teknis sebagai penjabaran dari 5 (lima) lampiran dari permenhut tersebut. Komisi Kerja Nasional REDD dan Kelompok Kerja Perubahan Iklim Dephut memfasilitasi implementasi REDD. Tabel 1 di bawah ini menguraikan institusi yang bertanggung jawab, hasil komunikasi dengan para pihak dan para pihak yang terlibat pada setiap komponen kerangka kerja REDDI.

Tabel 1. Hasil komunikasi para pihak dari setiap komponen kerangka kerja REDDI

Komponen Kerja Kerja REDDI

Institusi yang Bertanggung Jawab

Kegiatan dan Hasil

Konsultasi *** Para Pihak Refensi Emisi (REL) Dephut *

 LAPAN

 Bakorsurtanal

 Peningkatan kesadaran

 Pelatihan dan pembelajaran bersama

 Workshops/pertemuan/ dialog kebijakan untuk mendapat masukan atau memberi penjelasan tentang REL

 Pertemuan para ahli untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman

 Komunikasi berbasis web

 Kementerian Lingkungan Hidup

 Kementerian terkait sector penggunaan lahan

 Pemerintah Daerah

 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)**

 Swasta

 Lembaga Ilmiah

 Masyarakat sipil (termasuk LSM, masyarakat local dan masyarakat adat)

 Para mitra internasional (kerjasama bilateral dan multilateral, organisasi international yang berada di Indonesia)

Strategi REDD :

Elaborate further REDDI strategy developed in IFCA studies 2007 

adjusted wherever necessary, to suit the REDDI approach ‘national accounting with sub-national implementation  Dephut  BAPPENAS,  Kementerian terkait sector penggunaan lahan  Pemerintah Daerah

 Peningkatan kesadaran

 Pelatihan dan pembelajaran bersama

 Workshops/pertemuan untuk untuk mendapat masukan dalam

mengindentifikasi strategi REDDI yang paling sesuai di level nasional dan di sub nasional, dengan mempertimbangkan keanekaragaman permasalahan di sub nasional dan prioritas pembangunan nasional

 Komunikasi berbasis web

 Kementerian Lingkungan Hidup

 Kementerian terkait sektor penggunaan lahan

 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)**

 Swasta

 Lembaga ilmiah

 Masyarakat sipil (termasuk LSM, masyarakat local dan masyarakat adat)

 Para mitra internasional (kerjasama bilateral dan multilateral, oragnisasi international yang berada di Indonesia)

Monitoring  Dephut *

 LAPAN  Bakosurtanal  Kementerian terkait sector penggunaan lahan  Pemerintah Daerah

 Peningkatan kesadaran

 Pelatihan dan pembelajaran bersama

 Workshops/pertemuan untuk mendapat masukan pada komponen 8

 Pertemuan para ahli untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman

 Komunikasi berbasis web

 Kementerian Lingkungan Hidup

 Kementerian terkait sector penggunaan lahan

 Pemerintah Daerah

 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)**

 Swasta

 Lembaga Ilmiah

 Masyarakat sipil (termasuk LSM, masyarakat local dan masyarakat adat)

 Para mitra internasional (kerjasama bilateral dan multilateral, organisasi international yang berada di


(14)

Komponen Kerja Kerja REDDI

Institusi yang Bertanggung Jawab

Kegiatan dan Hasil

Konsultasi *** Para Pihak

Pasar / Pembiayaan BAPPENAS,

 Departemen Keuangan*

 Dephut

 Institusi lain yang relevan

 Peningkatan kesadaran

 Pertemuan para ahli untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman

 Workshops/pertemuan untuk mendesain peraturan baku yang paling sesuai untuk pembiayaan REDD

 Pertemuan : Indonesia dengan para mitra internasional yang menyediakan dukungan pembiayaan untuk REDD

 Komunikasi berbasis web Catatan : terkait dengan kegiatan yang dikoordinasikan oleh BAPPENAS dan Departemen Keuangan ‘Dana Perwalian Perubahan Iklim’

 Kementerian Lingkungan Hidup

 Kementerian terkait sector penggunaan lahan

 Pemerintah Daerah

 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)**

 Swasta

 Lembaga Ilmiah

 Akademisi

 Masyarakat sipil (termasuk LSM, masyarakat local dan masyarakat adat)

 Para mitra internasional yang menyediakan dukungan pembiayaan untuk REDDI

Distribusi manfaaat dan tanggung jawab 

BAPPENAS,

 Departemen Keuangan*

 Dephut

 Institusi lain yang relevan

 Peningkatan kesadaran

 Workshops/pertemuan untuk mendesain peraturan baku REDD yang paling sesuai untuk distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua level

 Komunikasi berbasis web

 Kementerian Lingkungan Hidup

 Kementerian terkait sector penggunaan lahan

 Pemerintah Daerah

 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)**

 Swasta

 Lembaga Ilmiah

 Masyarakat sipil (termasuk LSM, masyarakat local dan masyarakat adat)

 Para mitra internasional (kerjasama bilateral dan multilateral, organisasi international yang berada di Indonesia)

Catatan :

* Institusi yang menjadi koordinator;

** DNPI bertanggung jawab untuk fungsi koordinasi di level tingkat tinggi dan untuk seluruh isu perubahan iklim,

*** Format kegiatan, yang tertulis di table akan disesuaikan agar cocok dengan kebutuhan yang berbeda dari para pihak di berbagai tingkatan.

Untuk mempersiapkan infrastruktur REDD Indonesia dengan pendekatan "Akuntansi nasional dengan implementasi di sub ( nasional/provinsi/kabupaten/unit manajemen dengan penggabungan)", seperti tercantum dalam Kerangka kerja REDDI ( Gambar 3) perlu untuk lebih lanjut dijabarkan dalam kegiatan, tata waktu dan sumber-sumber pembiayaan yang detail untuk implementasi. Tabel 2 menguraikan ringkasan dari strategi REDDI di tingkat nasional dan sub tingkatan nasional, Tabel 3 menguraikan aktivitas dan tata waktu per kategori strategi dan komponen strategi kunci di tingkat nasional dan sub tingkatan nasional, dan Tabel 4 menyajikan kegiatan, perkiraan anggaran, sumber pembiayaan per kategori strategi dan komponen strategi kunci di tingkat nasional dan sub tingkatan nasional.


(15)

3. REDD-plus

REDD-plus adalah istilah yang mengacu pada Bali Action Plan paragraf 1 b ( iii) 'pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang’.

Istilah ini pertama digunakan di dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Aksi Kerjasama Jangka Panjang di bawah Convensi pada sesi ke-6 di Bonn 1.12 juni 2009 (lihat catatan kaki pada dokumen FCCC/AWGLCA/2009/8,19 Mei 2009). Dalam dokumen ini, aksi di bawah paragraf 1 (b) (iii) dari Bali Action Plan (Isu yang terkait pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang) disebut secara bersama sebagai REDD-plus.

Mempertimbangkan kondisi hutan Indonesia yang sejarah kerusakan hutannya sangat bervariasi dari tingkat sangat rendah sampai sangat tinggi, peningkatan tutupan hutan di beberapa daerah-daerah dan pendekatan REDD Indonesia yaitu "Akuntansi nasional dengan implementasi di sub nasional", strategi REDDI itu juga menunjuk aspek penting bagi implementasi REDD-plus.


(16)

(17)

Tabel 2. Ringkasan Strategi REDD Indonesia

3

TINGKAT KATEGORI STRATEGI KOMPONEN STRATEGI KUNCI

TINGKAT NASIONAL

1.

Mengatasi deforestasi dan degradasi hutan :

a. Areal lindung (hutan konservasi

dan hutan lindung) 1.1. Mengembangkan konservasi dan manajemen efektif pada hutan konservasi dan hutan lindung b. Hutan produksi 1.2. Mengembangkan manajemen yang lebih efektif pada hutan produksi

1.3. Opsi untuk manajemen pemanenan hutan dan manajemen pemenuhan suplai industri pulp dan paper

c. Kelapa sawit 1.4. Opsi untuk pemenuhan kebutuhan industry kelapa sawit

d. Lahan gambut 1.5. Uji strategi restorasi pada lahan gambut

2. Peraturan REDDI3 2.1. PetunjukTeknis dan kelembagaan pelaksanaan REDDI

2.2. Pembentukan Komisi REDD Nasional/Kelompok Kerja Nasional

3. Metodologi 3.1. Pembangunan REL pada tingkat nasional 3.2. Pembangunan sistem MRV pada tingkat nasional

4. Kelembagaan 4.1. Pembentukan Registrasi Nasional

4.2. Pembentukan kelembagaan untuk Pelaksanaan REDDI

4.3. Pembentukan mekanisme distribusi insentif dan tanggung jawab 4.4. Komunikasi para pihak/koordinasi/konsultasi

4.5. Peningakatan kapasitas dan penguatan kelembagaan TINGKAT SUB NATIONAL


(18)

TINGKAT KATEGORI STRATEGI KOMPONEN STRATEGI KUNCI

TINGKAT PROVINSI

1. Metodologi 1.1. Pembangunan REL pada tingkat propinsi (harus konsisten dengan tingkat nasional) 1.2. Pembangunan sistem MRV pada tingkat propinsi (harus konsisten dengan tingkat nasional)

2.Kelembagaan 2.1. Komunikasi parapihak/koordinasi/konsultasi

2.2. Peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan

3. Demonstration Aktivities (DA) 3.1. Peningkatan DA yang merepresentasi berbagai kondisi bio-socio-geograpis pada 28 propinsi (Sudah ada di 4 propinsi : Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jawa Timur)

3.2. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal termasuk pelibatan masyarakat adat dalam kegiatan REDD. TINGKAT KABUPATEN 1. Metodologi 1.1. Pembangunan REL/RL pada tingkat kabupaten (harus konsisten dengan REDD nasional)

1.2. Pembangunan sistem MRV pada tingkat

2. Kelembagaan 2.1. Komunikasi parapihak/koordinasi/konsultasi

2.2. Peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan

3. Demonstration Activities 3.1. Pelaksanaan Demonstration Activities pada tingkat kabupaten atau unit manajemen (kemungkinan penggabungan pada tingkat kabupaten kalau memungkinkan)

3.2. Peningkatan kapasitas masyarakat termasuk pelibatan masyarakat adat dalam kegiatan REDD SEMUA TINGKATAN Analisis Terkait Analisis biaya dari berbagai alternatif tata guna lahan

Analisis dampak lingkungan dan sosek REDD Evaluasi potensi manfaat REDD

Analisis trade-offs dan analisis resiko REDD untuk pembangunan berkelanjutan Analisis resiko dari strategi REDDI


(19)

Tabel 3. Tata Waktu Kegiatan Persiapan di Tingkat Nasional dan Sub-nasional

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan Penanggung JawabLembaga

Skedul

2009 2010 2011 2012

TINGKAT NASIONAL 1. Mengatasi

deforestasi dan degradasi hutan a. Areal lindung

(hutan konservasi dan hutan lindung)

a.1. Membangun konservasi dan manajemen areal lindung yang lebih efektif

1.

Review rencana konservasi nasional Ditjen PHKA dan Pemda

2.

Penyelesaian pengukuhan areal lindung (hutan konservasi dan hutan lindung).

Ditjenplan dan Pemda

3.

Investasi untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas profesional

Dephut, CSOs dan Swasta;

4.

Pembangunan efektif manajemen areal lindung termasuk hutan lindung di daerah hulu sungai.

Ditjen PHKA dan Pemda

5.

Manajemen kolaborasi dan restorasi ekosistem

Ditjen PHKA dan Pemda,

6.

Implementasi Kegiatan Percontohan (DA) REDD padai berbagai tipe areal lindung.

Pokja Perubahan Iklim-Dephut, PHKA dan Pemda

7.

Pelatihan dan penguatan kapasitas profesi untuk areal lindung (hutan konservasi dan hutan lindung), manajer unit manejemen ( KPHK & KPHL)

Ditjen Plan, Ditjen RLPS , PHKA, Setjen-Pusdiklat


(20)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

b. Hutan Produksi b.1. Pengembangan manajemen yang lebih efektif pada hutan produksi

1.

FLEG dan VPA terkait inisiatif untuk illegal logging (e.g. proposal Strike Force)

PHKA dan BPK,

2.

Pembangunan unit manajemen produksi BPK, KPH

3.

Adopsi secara sukarela dari perusahaan swasta untuk pengukuran anti pencurian kayu

BPK

4.

Sertifikasi independen berdasarkan hasil

5.

Investasi pada Pengurangan Impak Logging (RIL)

BPK,

6.

Pembangunan 1 juta hutan rakyat RLPS, BPK

7.

Pelatihan dan peningkatan kapasitas professional untuk manajer KPH

PHKA,Iitjen dan Setjen- Pusdiklat b.2. Opsi untuk pemanenan

hutan dan manajemen untuk pemenuhan mensuplai industry pulp dan paper

8.

Menciptakan transisi dari pemanenan kayu alam melalui peningkatan ketergantungan pada tanaman pulpwood bagi masyarakat pada hutan terdegradasi dan lahan kebun ( alang alang atau padang rumput grasslands), dengan target 1 juta ha hutan tanaman selama 5 tahun.

BPK dan Pemda, Swasta

c. Kelapa Sawit c.1. Opsi untuk pemenuhan suplai industry kelapa sawit

1.

Pengenalan cara untuk menghindari pembangunan kebun kelapa sawit pada lahan berhutan melalui pemberian 1 juta ha lahan terdegradasi.

Deptan,, Pemda, Swasta, Pengusaha

2.

Rationalisasi hubungan antara lahan hutan, terutama hutan produksi yang dapat dikonversi dan bukan hutan pada penataan tata guna lahan oleh pemda.

Ditjen-Plan, Pemda

d. Lahan Gambut d.1. Uji strategi restorasi lahan


(21)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

2. Implementasi desain perairan dan pengawasan kebakaran yang telah terbukti efektif,

PU, Pemda dan PHKA 3. Kajian pengelolaan lahan antara pemda

dan pusat terkait tanggung jawab pusat dan daerah terhadap lahan gambut.

Pemda, Deptan, Dephut

2. Peraturan REDDI4 2.1. Pengembangan peraturan

teknis dan kelembagaan implementasi

pelaksanaan REDDI

Petunjuk lanjutan (6 Lamp) peraturan REDD :

1.

Peranan pemda

Pokja PI Dephut

2.

Kriteria kelayakan kegiatan REDD

3.

Petunjuk penyiapan proposal REDD

4.

Petunjuk penilaian proposal REDD

5.

Petunjuk pembuatan REL untuk monitoring dan pelaporan

6.

Petunjuk untuk verifikasi 2.2. Pembentukan Komite

REDD/ Nasional/Pokja

1.

2. Mekanisme kerja komisi REDDFinalisasi Keputusan Komisi REDD Pokja PI Dephut

3. Metodologi 3.1. Pemebentukan REL pada

tingkat nasional 1. Analisis: pendekatan untuk menentukanREL/RL REDDI a. Trend Historis (rata-rata emisi historis)

1) Koleksi data tentang deforestasi dan degradasi lahan:

 Analisis data historis tren penutupan lahan

 Pengembangan peta baseline penutupan hutan

 Mengumpulkan data inventarisasi hutan (perubahan area, kerapatan biomass)

DitjenPlan, Balitbang dan lembaga penelitian lain

2) Mengembangkan referensi scenario Ditjen Plan, Balitbang 4


(22)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

untuk perubahan penutupan hutan sejak 1990

3) Pengembangan referensi scenario untuk carbon stocks hutan dan perubahannya

4) Pengembangan referensi scenario carbon hutan yang terdegradasi (perubahan carbon stocks)

dan Lembaga Penelitian lainnya

b. Modeling proyeksi kedepan

1). Analisa rencana pengembangan :

 Analisis tren ekonomi dan prediksi (pertumbuhan penduduk, pemicu deforestasi dan degradasi hutan, kebijakan dan pengukuran)

 Tren ekonomi makro (global komoditi pertanian, permintaan kayu, proyeksi biofuels)

2) Skenario proyeksi referensi kedepan:

 Perubahan area terdeforestasi

 Degradasi hutan: biomass dan perubahan kepadatan karbon.

 Pengembangan trend historis metode extrapolasi

 Adaptasi alat modeling untuk REDD

Ditjen Plan, Balitbang dan lembaga penelitian lainnya


(23)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

c. Pendekatan campuran (mixed modeling)

Prediksi deforestasi yang tidak

terencana (dan degradasi) dari rata-rata2 historis.

Ditjen Plan, Balitbang dan lembaga penelitian lainnya

 Prediksi Perencanaan deforestasi berdasarkani rencana tata ruang yang menunjukan hutan konservasi dan penggunaan lahan lainnya,

 Pengenalani alat modeling, penggabungan emisi historis dan proyeksi dari modeling.

2. Peningakatan kesadaran, kapasitas, transfer teknologi dan pengetahuan, saring informasi, akses untuk data/informasi.

Komisi REDD , Pokja PI

3. Policy dialog dan komunikasi parapihak untuk mencapai consensus/pengertian bersama tentang REL yang akan dibangun.

Komisi REDD, Pokja PI

4. Mobilisasi sumberdaya: sumberdaya

manusia, dana dan organisasi Komisi REDD , Pokja WG-FCC 3.2. Pembentukan system

MRV pada tingkat nasional

1a. Pengembangan sistem (sub sistem INCAS, sinergitas petunjuk IPCC dengan peraturan REDD),

1b. Pengumpulan data

Ditjen Plan, Balitbang dan lembaga penelitian lainnya 2a. Peningkatan kesadaran, dialog ilmiah,

peningkatan kapasitas Komisi REDD, Pokja PI, Balitbang dan lembaga penelitian


(24)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

lainnya, Universitas 2b. Partisipasi dari masyarakat adat Komisi REDD, Pokja

PI, CSOs 3. Mobilisasi sumberdaya: sumberdaya

manusia, dana dan organisasi

Komisi REDD, Pokja PI,

4. Kelembagaan 4.1. Pembentukan Registrasi

Nasional 1. Penilaian hukum dan kelembagaan untuk pelaksanaan kegiatan REDD Komisi REDD, Pokja PI 2. Pembagian peran dan tanggung jawab

dari lembaga pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola karbon asets.

Komisi REDD , Pokja PI

3. Implementasi kegiatan REDD dan pembayaran pada registrasi karbon nasional.

Komisi REDD

4.2. Penyiapan Kelembagaan untuk Implementasi REDD

1. Definisi skala kegiatan REDD, termasuk pendekatan nasional dan sumb nasional REDDI, dan bagaimana pendekatan ini dapat efektif siimplementasikan di Indonesia.

Balitbang dan lembaga penelitian lainnya

2. Elaborasi tentang perbedaan skala kegiatan dan bagaimana perbedaan skala dilaksanakan, dimonitor dan dilaporkan.

Balitbang dan lembaga penelitian lainnya

4.3.

Penyiapan

mekanisme distribusi pembayaran

1. Pengembangan mekanisme interaksi antara pembeli internasional dengan investor.

Komisi REDD dan Pokja PI

2. Pengembangan mekanisme distribusi


(25)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

penurunan emisi dan definisi kepemilikkan hak dagang karbon).

4.4.

Komunikasi

parapihak/koordinasi/ konsultasi

Peningkatan kesadaran REDD :

1. Pengumpulan informasi tentang REDD dan penyiapan bahan konsultasi tentang REDD

Komisi REDD, Pokja PI, dan CSOs 2. Diseminasi/komunikasi issu kunci

infrastruktur REDD Komisi REDD , Pokja PI, dan CSOs 3. Pemilihan bahan yang relevan untuk

konsultasi tujuan specifik

Komisi REDD, Pokja PI dan, CSOs 4. Melakukan peningkatan kesadaran

tentang REDD pada tingkat nasional dan sub nasional (propinsi dan kabupaten) pada berbagai pihak untuk isu spesifik maupun umum dari target grup.

Komisi REDD, Pokja PI , dan CSOs

Pembangunan jejaring sehingga pelaku dapat memanfaatkan dan partisipasi dalam

rancangan dan pelaksanaan kegiatan REDD

1.

Menyiapkan protocol alur komunikasi untuk menjamin komunikasi dari sumber dan penerima informasi lancar, lengkap, cepat dan akurat.

Komisi REDD, Pokja PI, dan CSOs

2.

Pengaliran informasi dari website dan bentuk alat komunikasi lain.

Komisi REDD, Pokja PI, dan CSOs Mendesain kebijakan dan kegiatan REDD yang

respomsive terhadap kconcern parapihak

1.

Pengaliran informasi dari website dan bentuk alat komunikasi lain untuk mendapatkan umpan balik

Komisi REDD dan Pokja PI


(26)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

2.

Fasilitasi konsultasi publik Komisi REDD, Pokja PI WG-FCC, dan CSOs Menjamin sasaran yang ekual dari kebijakan

dan kegiatan REDD dan meningkatkan kesempatan masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh manfaat dari penerimaan REDD

1.

Melakukan pengukuran cepat untuk memperoleh informasi pertama dari masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat

Komisi REDD, Pokja PI

2.

Manjamin formulasi peraturan penerimaan REDD (dibuat oleh Depkeu) yang memperhatikan tapi tidak terbatas pada penilaian hasil, untuk menjamin bahwa masyarakat hutan memperoleh manfaat yang adil

Komiis REDD dan Pokja PI

3.

Menjamin bahwa setiap proses formulasi kebijakan akan dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Peningkatan dalam tatakelola hutan

1.

Menjamin bahwa proses formulasi kebijakan akan dikonsultasipublikan secara transparan dan akuntabel.

Komisi REDD dan Pokja PI

Peningkatan kualitas pengambilan keputusan dengan melibatkan masyarakat sipil pada proses pengambilan keputusan.

1. Pelibatan CSOs pada proses pengambilan keputusan di tahap awal proses.

Komisi REDD dan Pokja PI

2.

Peningkatan kapasitas masyarakat sipil dalam hal kemampuan negosiasi dan pengetahuan lainnya.

Komisi REDD, Pokja PI dan CSOs


(27)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

Program pendukung dampak asesmen dan

pengukuran resiko mitigasi . Assesor Independen

4.5. Peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan

1.

Negosiasi dan finalsasi REL Komisi REDD dan

Pokja PI

2.

Pengembangan dan pembentukan sistem monitoring dan verifikasi

Ditjen Plan, Komisi REDD, dan Pokja PI

3.

Pasar dan Pendanaan REDD, Negosiasi dan Pengujian mekanisme distribusi pembayaran

 Identifikasi peluang pasar karbon (penjual dan pembeli)

 Pembangunan mekanisme distribusi pembayaran terutama untuk manfaat masyarakat pendekatan rendah.

 Mekanisme finansial yang dapat menciptakan insentif financial and economis untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk melakukan pendekatan historis manajemen tututpan lahan oleh perusahaan swasta .

Komisi REDD, Pokja PI Dephut,

Balitbanghut and lembaga riset lainnya

TINGKAT SUB NATIONAL TINGKAT PROPINSI

1. Metodologi 1.1. Penetapan REL di tingkat provinsi (harus konsisten dengan REL Nasional)

1. Kerja analisa : Pendekatan utk menetapkan REL utk REDD sub nasional atau Provinsi (Tren berdasarkan sejarah atau proyeksi yang akan datang) :

a. Tren berdasarkan sejarah

1) Pengumpulan dan analisa dari data

Lembaga riset, Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)


(28)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

deforestasi dan degradasi :

 Analisa data lahan berdasarkan sejarah, meliputi trennya

 Penyusunan data dasar peta penutupan lahan

 Pengumpulan data inventarisasi hutan (perubahan area, biomas) 2) Pengembangan skenario referensi, perubahan penutupan lahan, mis. sejak 1990

3) Pengembangan skenario referensi stok karbon dan perubahannya 4) Pengembangan skenario referensi dari

karbon hutan yg terdegradasi (perubahan karbon stok) dan perubahannya

b. Proyeksi yang akan datang

1). Analisa rencana pengembangan :

 Analisa tren ekonomi & perkiraan (pertumbuhan penduduk, penye-bab deforestasi dan degradasi hutan, kebijakan dan tidakan)

 Tren ekonomi (jenis usaha

pertanian, konsumsi kayu, pro-yeksi bahan bakar dari tanaman)

2) Referensi proyeksi skenario waktu yang akan datang:

 Deforestasi: Perubahan areal hutan

 Degradasi: biomas dan perubahan kerapatan karbon.

Lembaga riset, Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)


(29)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

 Pengembangan metoda ekstrapolasi tren historis

Melaksanakan modeling untuk REDD 2. Peningkatan kesadaran, meningkatkan

kapasitas, transfer teknologi dan pengetahuan, belajar bersama, mendapatkan data/informasi

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi), CSOs 3. Kebijakan dialog dan komunikasi para

pemangku kepentingan, utk mencapai konsensus/persamaan pendapat tentang REL/RL yang akan dikembangkan

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi), CSOs 4. Mobilisasi sumberdaya: sumberdaya

manusia, infrastruktur untuk REL/RL dan pembiayannya.

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) 1.2. Pengembangan sistem

MRV di tingkat provinsi 1a. Pengembangan sistem (sub sistem dari INCAS, sinergitas IPCC guideline dengan peraturan REDD),

1b. Pengumpulan data

Dirjen Planologi, institusi penelitian, pemerintah daerah 2a. Peningkatan kesadaran, dialog ilmiah,

peningkatan kapasitas Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi), CSOs 2b. Partisipasi penduduk asli dan masyarakat

lokal Pemerintah provinsi. (Komite REDD

Provinsi), CSOs 3. Mobilisasi sumberdaya: sumberdaya

manusia, infrastruktur untuk monitoring dan pendanaan.

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi), CSOs

2. Institusi 2.1. Komunitas pemangku

kepentingan/koordinasi/ konsultasi

Peningkatan kesadaran tentang REDD :

1.

Pengumpulan informasi ttg REDD dan menyiapkan bahan untuk konsultasi tentang REDD

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)


(30)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

2. Diseminasi/komunikasi isu kunci yg berhubungan dengan infrastuktur REDD 3. Pilih bahan yang relevan untuk tujuan

konsultasi yang khusus.

4. Ciptakan peningkatan kesadaran tentang REDD melalui workshop, konsultasi publik, FDG, pelatihan, dengan fasilitasi dari pemerintah pusat.

Peningkatan mendapatkan informasi dan partisipasi dalam menyusun rencana dan pelaksanaan aktivitas REDD :

1. Menjamin komunikasi dari tingkat nasional kepada peserta kegiatan secara sempurna dan secepatnya

2. Diseminasi informasi

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)

Merencanakan kebijakan REDD dan aktivitas yang diterima para pemangku kepentingan yang terlibat

1. Diseminasi REDD tentang kebijakan untuk mendapatkan umpan balik dari para pemangku kepentingan

2. Fasilitasi konsultasi publik

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)

Jamin kesetaraan luaran kebijakan dan aktivitas REDD, dan peningkatan kesempatan para penjarah hutan untuk mendapatkan keuntungan dari hasil REDD

1. Asesmen cepat untuk mendapatkan informasi dari tangan pertama ttg keinginan dari penjarah hutan termasuk penduduk asli

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi)


(31)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

Peningkatan dukungan di pengelolaan hutan 1. Jamin bahwa setiap kebijakan proses

formulasi harus dikonsultasikan kepada publik secara transparan dan dapat dinilai.

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) Peningkatan kualitas proses pembuatan

keputusan dengan cara pengikut sertaan masyarakat sivil sejak awal proses.

1. Peningkatan kapasitas CS dalam kemampuan negosiasi dan pengetahuan lain yang berhubungan dengan REDD.

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi), CSOs

Asesmen pendukung dari pengaruh program dan kemungkinan resiko dalam kegiatan mitigasi.

Komite REDD , Kelompok Kerja FCC, asesor Independen. 2.2. Peningkatan kapasitas

dan penguatan institusi 1. Pembentukan dan pengembangan dari system monitoring dan verifikasidi tingkat lokal: sumberdaya manusia, aturan dan, organisasi..

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) dan komite nasional REDD 2. Pasar REDD dan Pembiayaan,

 Identifikasi dari pemasaran karbon, kesempatan, pembeli dan penjual

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) dan komite nasional REDD 3. Negosiasi dan pengetesan mekanisme

distribusi pembayaran

 Pengembangan pembayaran yang adil dan mekanisme distribusi dengan catatan khusus memberikan keuntungan kepada keluarga yang berpenghasilan rendah.

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) dan komite nasional REDD


(32)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

Penciptaan pendanaan dan insentif ekonomi.

4. Penguatan perencanaan penggunaan

lahan secara spasial. Pemerintah Provinsi, UPT Ditjen Plan di Provinsi, Dephut 5. Penguatan dukungan pemerintah daerah,

pemahaman dan kesadaran akan urgensi dari KPH sebagai kondisi yang

memungkinkan pengelolaan hutan secara lestari melalui pengikut sertaan partisipasi universitas dalam pengembangan KPH.

Dirjen Planologi, Pemerintah Provinsi dan Universitas.

3. Kegiatan

Percontohan (DA) 3.1. Untuk menambah AD yg dapat mewakili berbagai kondisi bio-socio-geografi yang berbeda di 28 provinsi (terdapat di 4 provinsi : Kalimantan Timur, , Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jawa Timur)

Membuat AD dan mengusahakan panduan indikatif AD (Annex to the Dec. 2/CP13) dan menilai luarannya

Pemerintah provinsi. (Komite REDD Provinsi) dan komite nasional REDD

3.2

Meningkatkan kapasitas komunitas local, termasuk comunitas adapt untuk mengelola hutan melalui aktivitas REDD

1. Peningkatan kualitas hidup dari keluarga yang berpenghasilan rendah, hidup yang dekat dengan hutan alam, melindungi hak hutan adapt dan komunitas lokal, melalui

pengetahuan dan kemampuan

mengembangkannya.

Pemerintah Daerah., CSOs


(33)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

2. Pengurangan penebangan illegal, melalui al.: suatu model penyuluhan yang berhasil seperti skema pengembangan kecamatan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Pemerintah Daerah., CSOs, Sektor Swasta

TINGKAT KABUPATEN

1. Metodologi 1.1. Pengembangan REL pada

tingkat kabupaten (konsisten dengan REDD provinsi dan nasional)

1. Pekerjaaan analisis: pendekatan untuk menentukan REL di tingkat kabupaten REDD (Pola Sejarah atau proyeksi yang akan datang)

a. Pola sejarah

1) Pengumpulan dan analisis data deforestasi dan degradasi:

Ditjen Planologi, Lembaga Penelitian, Pemerintah

Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten)

 Analisis data sejarah pola penutupan lahan

 Pengembangan data dasar peta penutupan hutan

 Pengumpulan data inventarisasi hutan (perubahan luas, biomas) 2) Pengembangan skenario referensi

perubahan penutupan hutan sejak tahun 1990

3) Pengembangan skenario referensi perubahan dan stok karbon hutan 4) Pengembangan skenario referensi

degradasi karbon hutan (perubahan stok karbon)


(34)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

1) Analisis rencana pengembangan:

 Analisis & pendugaan tren ekonomi (pertumbuhan populasi, penyebab deforestasi dan degradasi hutan,kebijakan dan cara)

 Tren Ekonomi (komoditi pertanian, konsumsi kayu, proyeksi biofuel)

2) Skenario referensi proyeksi untuk masa yang akan datang:

 Deforestasi: perubahan areal hutan

 Degradasi: perubahan biomas dan potensi karbon.

 Pengembangan pola sejarah dengan metode extrapolasi

Adaptasi alat modeling untuk

REDD

2. Peningkatan kesadaran, pengembangan kapasitas, transfer teknologi dan pengetahuan, pembelajaran, akses ke data/informasi.

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten), LSM 3. Dialog kebijakan dan komunikasi para

pihaks untuk mencapai

konsensus/pemahaman bersama tentang REL yang akan dibangun.

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten), LSM 4. Mobilisasi sumberdaya : SDM, infrastruktur


(35)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

(Komisi REDD Kabupaten), LSM

2.2.

Pengembangan

system Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi di tingkat kabupaten

1a. Pengembangan sistem (sub sistem INCAS, sinergitas IPCC guideline dengan aturan REDD),

1b. Pengumpulan data

Ditjen Planologi, lembaga Penelitian, Pemda

2a. Peningkatan kesadaran, diskusi ilmiah,

peningkatan kapasitas Ditjen Planologi, lembaga Penelitian, Pemda, LSM 2b. Partisipasi penduduk asli dan masyarakat

lokal Pemda, LSM

3. Mobilisasi sumberdaya: SDM, infrastruktur

untuk monitoring dan pendanaan. Pemda, LSM

2. Institusi 2.1. Komunikasi/ koordinasi/

konsultasi para pihak 1. Pengumpulan informasi tentang REDD dan persiapan bahan untuk konsultasi REDD

2. Diseminasi/komunikasi isu penting terkait infrastruktur REDD

3. Pemilihan bahan yang relevan untuk tujuan khusus konsultasi

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten), Lembaga Penelitian, LSM Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten), LSM Ditjen Planologi, Pem. Kabupaten

Komisi REDD, WG-FCC, Pemerintah Kabupaten 4. Pelaksanaan peningkatan pemahaman

tentang REDD melalui workshop, konsultasi publik, FGD, pelatihan, dengan fasilitasi dari Pemprov dan Pusat.


(36)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

5. Pelaksanaan peningkatan pemahaman tentang Unit Pengelolaan Hutan (FMU) melalui workshop dan konsultasi publik, untuk mendukung pembentukan FMU, khususnya FMU Model dengan fasilitasi dari pemprov dan pusat.

(Komisi REDD Kabupaten)

Pengembangan akses informasi dan partisipasi dalam perencaaan dan pelaksanaan kegiatan REDD:

1. Menjamin komunikasi antara tingkat nasional sampai ke target audiens secara lengkap dan segera.

2. Diseminasi informasi.

Komisi REDD, WG-FCC, Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) Membuat desain agar kebijakan dan kegiatan

REDD responsif terhadap kepentingan para pihaks

1. Diseminasi kebijakan terkait REDD untuk mendapat masukan dari para pihak. 2. Fasilitasi Konsultasi Publik

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) Menjamin kesetaraan manfaat dari kebijakan

dan kegiatan REDD dan peningkatan peluang masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari pendapatan REDD

1. Kajian cepat untuk mendapatkan informasi tentang minat atau kepentingan masyarakat lokal termasuk masyarakat asli.

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten)

Dukungan untuk perbaikan pengaturan hutan


(37)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

kebijakan akan dionsultasikan ke publik melalui cara yang transparan dan akuntabel.

(Komisi REDD Kabupaten) Peningkatan kualitas proses pengambilan

keputusan dengan melibatkan masyarakat luas sejak dari tahapan awal proses.

1. Peningkatan kapasitas masyarakat (CS?) dalam kemampuan negosiasi dan pemahaman terkait REDD

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) Dukungan terhadap kajian dampak program

dan kemungkinan resiko mitigasi. REDD Komisi, WG-FCC, Kabupaten REDD, Komisi Penilai Independen,

2.2. Peningkatan kapasitas

dan penguatan institusi 1. Pengembangan dan Establishment of Monitoring dan Verification Sistem at local level : SDM, regulation and, organization.

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD

2. Pasar dan Pembiayaan REDD,

 Identifikasi peluang pasar karbon, pembeli dan penjual)

Pemkab (Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD

3. Negosiasi dan testing mekanisme distribusi pembayaran

 Pengembangan mekanisme

kesetaraan pembayaran dan distribusi dengan acuan khusus terhadap keluarga dengan pendapatan rendah.

 Menciptakan insetif keuangan dan

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD


(38)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

ekonomi

4. Penguatan perencaaan tata ruang Pemkab dan UPT Ditjen Planologi, Dephut 5. Penguatan dukungan Pemda ,

pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya FMU sebagai kondisi mutlak untuk pengelolaan hutan lestari melalui peningkatan partisipasi universitas dalam pembangunan FMU

Ditjen Planologi, Pem. Kabupaten,

Universitas

3. Kegiatan

Percontohan (DA) 3.1. Penerapan DA di tingkat kabupaten atau unit manajemen (yang apabila mungkin terikat dalam tingkat kabupaten)

Pembangunan DA dan penerapan petunjuk indikasi untuk DA (Lampiran Kep.. 2/CP13) dan pengujian hasilnya

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) dan Provincial dan Nasional REDD Komisi

3.2.

Penguatan kapasitas masyarakat termasuk masyarakat adat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan melalui kegiatan REDD

1. Peningkatan kualitas hidup keluarga dengan penghasilan rendah yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, melindungi hak masyarakat dan penduduk asli yang tergantung dari hutan melalui peningkatan pengetahuan serta keterampilan

Pemda, LSM

ANALISIS TERKAIT Analisa biaya dan alternatif penggunaan lahan

1. Mengurangi illegal logging, melalui misalnya penyuluhan terhadap model yang berhasil seperti pada Skema Pengembangan Kecamatan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Pemda, LSM, sektor swasta

Analisis biaya peluang (opportunity costs) berdasarkan mayarakat miskin yang menjarah hutan

FORDA dan Lembaga Penelitian lain


(39)

Tingkat dan Kategori

Strategi Komponen Strategi Kunci Kegiatan

Lembaga Penanggung Jawab

Skedul

2009 2010 2011 2012

2. Analisa biaya institusi / swasta untuk

penge-lolaan hutan lestari pada hutan produksi FORDA dan LembagaPenelitian lain 3. Analisa biaya pembuatan tanaman untuk

pulp dan kertas yang dikembangkan pada hutan rawa gambut dan bukan rawa gambut

FORDA dan Lembaga Penelitian lain Balitbang Pertanian dan lembaga penelitian lain 4. Analisa biaya pembuatan kebun sawit

yang dilakukan di lahan gambut dan dibandingkan dengan di lahan mineral. Analisa dampak lingkungan

dan sosial -ekonomi REDD 1. Kajian pustaka terkini dan usulan untuk kebijakan REDD. FORDA dan LembagaPenelitian lain 2. Mendapatkan data spasial sosial ekonomi

(populasi, pendapatan dll)

FORDA dan Lembaga Penelitian lain 3. Kajian kerentanan (VA) untuk menentukan

laju deforestasi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan areal.

FORDA dan Lembaga Penelitian lain Evaluasi potensi keuntungan

lain REDD

Identifikasi dan evaluasi keuntungan lain dari REDD

FORDA dan Lembaga Penelitian lain Kajian kerugian dan resiko

REDD terhadap pembangunan berkelanjutan

Menentukan kemungkinan biaya transaksi yang berhubungan dengan kebijakan alternatif pencegahan deforestasi

FORDA dan Lembaga Penelitian lain Kajian resiko strategi REDDI Kajian bentuk institusi yang akan berkontribusi


(40)

Table 4. Perkiraan dan potensi dana untuk kegiatan persiapan

Tingkat dan

Kategori Strategi Komponen StrategiKunci Kegiatan Lembaga PenanggungJawab

Anggaran Dibutuhkan

(US $ 000)

Tersedia (US $ 000)

Sumber Defisit (US$ 000)

Kemungkinan Sumber TINGKAT NASIONAL

1. Mentekal pemicu deforestasi dan degradasi hutan a. Areal lindung

(hutan konservasi dan hutan lindung)

a.1. Membangun efektif konservasi dan manajemen areal lindung

1.

Review rencana konservasi nasional

Ditjen PHKA dan Pemda 500.000 500.000 Dephut

Pemda Leading Conservation Agencies, Donor Bilateral The World Bank (FIP)

2.

Penyelesaian pengukuhan areal lindung (hutan konservasi dan hutan lindung).

Ditjenplan dan Pemda

3.

Investasi untuk pelatihan dan pengembangan kapasitas profesional

Dephut, CSOs dan Swasta;

4.

Pembangunan efektif

manajemen areal lindung termasuk hutan lindung di daerah hulu sungai.

Ditjen PHKA dan Pemda

5.

Manajemen kolaborasi dan restorasi ekosistem


(41)

Tingkat dan

Kategori Strategi Komponen StrategiKunci Kegiatan Lembaga PenanggungJawab

Anggaran Dibutuhkan

(US $ 000)

Tersedia (US $ 000)

Sumber Defisit (US$ 000)

Kemungkinan Sumber

6.

Implementasi Kegiatan

Percontohan (DA) REDD padai berbagai tipe areal lindung.

Pokja Perubahan Iklim-Dephut, PHKA dan Pemda

7.

Pelatihan dan penguatan kapasitas profesi untuk areal lindung (hutan konservasi dan hutan lindung), manajer unit manejemen ( KPHK & KPHL).

Ditjen Plan, Ditjen RLPS ,

PHKA, Setjen- Pusdiklat Dephut

b. Hutan Produksi b.1. Pengembangan manajemen yang lebih efektif pada hutan produksi

1.

FLEG dan VPA terkait inisiatif untuk illegal logging (e.g. proposal Strike Force)

PHKA dan BPK, 1.000.000 1.000.000 MoFor

Private sector companies Bilateral donors World Bank (FIP)

2.

Pembangunan unit

manajemen produksi

BPK, KPH

3.

Adopsi secara sukarela dari perusahaan swasta untuk pengukuran anti pencurian kayu

BPK

4.

Sertifikasi independen

berdasarkan hasil

5.

Investasi pada Pengurangan Impak Logging (RIL)

BPK,

6.

Pembangunan 1 juta hutan rakyat

RLPS, BPK

7.

Pelatihan dan peningkatan kapasitas professional untuk manajer KPH

PHKA,Iitjen dan Setjen- Pusdiklat


(1)

2. Fasilitasi Konsultasi Publik Menjamin kesetaraan manfaat dari kebijakan dan kegiatan REDD dan peningkatan peluang masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan manfaat dari pendapatan REDD

1.

Kajian cepat untuk mendapatkan informasi tentang minat atau kepentingan masyarakat lokal termasuk masyarakat asli.

Pemerintah Kabupaten

(Komisi REDD Kabupaten) 23

Dukungan untuk perbaikan pengaturan hutan

1. Menjamin bahwa setiap proses formulasi kebijakan akan dikon-sultasikan ke publik melalui cara yang transparan dan akuntabel.

Pemerintah Kabupaten

(Komisi REDD Kabupaten) 38

Peningkatan kualitas proses pengambilan keputusan dengan melibatkan masyarakat luas sejak dari tahapan awal proses.

1.

Peningkatan kapasitas masyarakat (CS?) dalam kemampuan negosiasi dan pemahaman terkait REDD

Pemerintah Kabupaten

(Komisi REDD Kabupaten) 22

Dukungan terhadap kajian dampak program dan kemungkinan resiko mitigasi.

REDD Komisi, WG-FCC, Kabupaten REDD, Komisi Penilai Independen,

24 2.2 Peningkatan

kapasitas dan penguatan institusi

1. Pengembangan dan Establishment of Monitoring dan Verification Sistem at local

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD


(2)

level : SDM, regulation and, organization.

2. Pasar dan Pembiayaan REDD,  Identifikasi peluang pasar

karbon, pembeli dan penjual)

Pemkab

(Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD

75

3. Negosiasi dan testing mekanisme distribusi pembayaran

 Pengembangan mekanisme kesetaraan pembayaran dan distribusi dengan acuan khusus terhadap keluarga dengan pendapatan rendah.  Menciptakan insetif

keuangan dan ekonomi

Pemerintah Kabupaten (Komisi REDD Kabupaten) dan Komisi Nasional REDD

50

4. Penguatan perencanaan tata

ruang Pemkab dan UPT Ditjen Planologi, Dephut 50 5. Penguatan dukungan Pemda ,

pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya KPH sebagai kondisi mutlak untuk pengelolaan hutan lestari melalui peningkatan partisipasi universitas dalam

pembangunan KPH.

Ditjen Planologi, Pem. Kabupaten, Universitas


(3)

Percontohan (DA) tingkat kabupaten atau unit manajemen (yang apabila mungkin terikat dalam tingkat kabupaten)

penerapan petunjuk indikasi untuk DA (Lampiran Kep.2/CP13) dan pengujian hasilnya

(Komisi REDD Kabupaten) dan Provinsi serta Komisi REDD Nasional

3.2.

Penguatan kapasitas masyarakat termasuk masyarakat adat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan melalui kegiatan REDD

1. Peningkatan kualitas hidup keluarga dengan penghasilan rendah yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, melindungi hak masyarakat dan penduduk asli yang tergantung dari hutan melalui peningkatan pengetahuan serta keterampilan

Pemda, LSM 250.000 FCPF and

others

2. Mengurangi illegal logging, melalui misalnya penyuluhan terhadap model yang berhasil seperti pada Skema

Pengembangan Kecamatan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Pemda, LSM, sektor swasta FCPF

Others

ANALISIS TERKAIT Analisa biaya dan alternatif penggunaan lahan

1.

Analisis biaya peluang (opportunity costs) berdasarkan mayarakat miskin yang menjarah hutan

FORDA dan Lembaga

Penelitian lain 50 FCPF

2. Analisa biaya institusi / swasta


(4)

lestari pada hutan produksi

3.

Analisa biaya pembuatan tanaman untuk pulp dan kertas yang dikembangkan pada hutan rawa gambut dan bukan rawa gambut

FORDA dan Lembaga Penelitian lain

Balitbang Pertanian dan lembaga penelitian lain

50 FCPF

4.

Analisa biaya pembuatan kebun sawit yang dilakukan di lahan gambut dan dibandingkan dengan di lahan mineral.

50 FCPF

Analisa dampak lingkungan dan sosial -ekonomi REDD

1. Kajian pustaka terkini dan usulan untuk kebijakan REDD.

FORDA dan Lembaga

Penelitian lain 50 FCPF

2. Mendapatkan data spasial sosial ekonomi (populasi, pendapatan dll)

FORDA dan Lembaga

Penelitian lain 50 FCPF

3. Kajian kerentanan (VA) untuk menentukan laju deforestasi berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan areal.

FORDA dan Lembaga

Penelitian lain 50 FCPF

Evaluasi potensi

keuntungan lain REDD Identifikasi dan evaluasi keuntungan lain dari REDD FORDA dan Lembaga Penelitian lain 50 FCPF Kajian kerugian dan

resiko REDD terhadap pembangunan berkelanjutan

Menentukan kemungkinan biaya transaksi yang berhubungan dengan kebijakan alternatif pencegahan deforestasi

FORDA dan Lembaga


(5)

Kajian resiko strategi

REDDI Kajian bentuk institusi yang akan berkontribusi terhadap penerapan efisien beberapa kebijakan

FORDA dan Lembaga


(6)