Kerangka Teori Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf’ah) Dalam Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa

15 Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi baik peneliti atau akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu. 22 Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. 23 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 24 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, hal. 6 23 Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006 ,hal. 259 24 J.J.J.M.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas- asas,Jakarta:FE UI, 1996, hal.203 Universitas Sumatera Utara 16 Menurut J.J.H Bruggink, Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih lanjut sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum, dengan itu harus cukup mengurai tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. 25 Tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: 26 a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian. 25 J.J.H Bruggink, Refleksi tentang hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 2 26 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, Bandung: Alumni, 1993, hal. 254 Universitas Sumatera Utara 17 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya. 27 Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. 28 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk pada 2 dua teori yaitu : Teori Uruf dan Teori Maqashid Al-Syari’ah yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini. 1 Teori Uruf Kata uruf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu uruf berarti sesuatu yang baik. 29 Secara terminologi, kata uruf ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan. Uruf ini merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak. 30 27 M.Solly Lubis, Filsafat Imu Dan Penelitian, Medan: PT.Sofmedia, 2012, hal. 129 28 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996, hal.19 29 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013, hal. 117. 30 Ibid. hal. 117 Universitas Sumatera Utara 18 Dengan demikian, adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peran penting dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehiduan sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranannya di dalam hal tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan semangat kebangsaan. 31 Kebiasaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan perantaraan tradisionil 32 yang mengopernya sampai menjadi kepastian di dalam kehidupan bangsa. Berdasarkan pengertian di atas, Mustafa Ahmad al-Zarqa, Ahli Fiqih di Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari uruf. Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan uruf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam penjualan makanan. 33 Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama, Menurut definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-Mughni adalah suatu 31 Kitab Montesqoieu De L Esprit des lois, v. 1, kitab 14; Kitab Curs usder Instionen, 1893, Leipzig dalam bagian muqaddimah karangan puchta, dan Kitab savign system des heutegen Romischen Rechts. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, Bandung: PT Ma’arif, 1981, hal. 191 32 Lihat: kitab Les Lois de L’imitation, karangan Tarde. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, Bandung: PT Ma’arif, 1981, hal. 191 33 M. Al-Zarqa, Ushul al-Fiqh, Damaskus: Damaskus Univ., 1997, hal. 35 Universitas Sumatera Utara 19 pengertian dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras. 34 Dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkara-perkara Syari’ah adalah Ijmak ahli-ahli Fiqih yang diambil dari yurisprudensi Peradilan Islam. Tentang masalah ini ada ungkapan yaitu : “apa yang menurut pendapat umat islam baik, maka baik pula sisi Allah SWT” Syuraih Al-Qadhi pada zaman Umar Bin Khattab pernah berkata kepada tukang-tukang pintal yaitu : “kebiasaanmu sekalian diantara kamu”. 35 2 Teori Maqashid Al-Syari’ah Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua suku kata, maqashid yang merupakan bentuk jamak dari kata maqshad yang berarti tujuan 36 , dan kata al-syari’ah yang sering dipahami dalam arti hukum Islam. Jadi istilah Maqashid al-Syari’ah berarti tujuan-tujuan syari’at. 37 Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, yaitu tujuan utama hukum adalah Maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia, tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum, yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan suatu yang tidak dapat dilaksanakan, Hukum- hukum Allah dalam Al Qur’an mengandung kemaslahatan. 38 Hukum bergantung 34 Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha’ir, Beirut: Daar al-Turats al-Islami, 2001, hal. 37 35 Ibid. hal. 124 36 Al-Fayyumi, Al-Mishbah al-Muniir, Kairo: Muassasah al-Mukhtar, 2008, hal. 374. 37 Al-Ghazali, Al-Mushtashfa, Beirut: Daar Ihya Turats al-Arabi, 1997, jilid 2 hal. 481. 38 Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, Jakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1994, hal. 96 Universitas Sumatera Utara 20 kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, dan kemaslahatan umum lebih utama dari kemaslahatan kelompok atau individu. Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-Syari’ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menatap hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad. 39 Ulama ushul Fiqih sepakat menyatakan bahwa pada setiap hukum itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah s.w.t., baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. 40 Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul Fiqh dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Firman Allah yang artinya: “Mereka rasul-rasul Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul” QS. An-Nisa’: 165. Kandungan ayat ini menurut ulama ushul Fiqh, menunjukkan bahwa Allah SWT. dalam menentukan hukum-hukum Nya senantiasa menghendaki sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia, maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung di balik diutusnya para Rasul bagi manusia. 39 Al-Youbi, Maqashid al-syari’ah w alaqatuha bi al-adillah al-Syar’iyyah, Riyadh: Daar Ibn al-Jauzi, 2008, hal. 44 40 Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat Fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007, jilid 4 hal. 15 Universitas Sumatera Utara 21

2. Konsepsi