Perilaku Masyarakat dalam Penanganan Gangguan Jiwa di Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009

(1)

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENANGANAN GANGGUAN JIWA DI KOTA LANGSA

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

TESIS

OLEH : IDWAR 077033013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENANGANAN GANGGUAN JIWA DI KOTA LANGSA

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh : IDWAR 077033013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


(3)

Judul Tesis : PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENANGANAN GANGGUAN JIWA DI KOTA LANGSA PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama Mahasiswa : Idwar Nomor Induk Mahasiswa : 077033013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Syarifah, M.S)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 15 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S


(5)

PERNYATAAN

PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENANGANAN GANGGUAN JIWA DI KOTA LANGSA

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2010


(6)

ABSTRAK

Gangguan kesehatan jiwa masyarakat akibat konflik dan bencana alam di kota Langsa mengalami peningkatan yang cukup besar, hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Di kota Langsa pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan jiwa belum mengatasi masalah gangguan jiwa di masyarakat.

Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik content analisis. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis perilaku masyarakat dalam menangani penderita gangguan jiwa di Kota Langsa, dan informan dari penelitian ini terdiri dari keluarga, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan.

Hasil penelitian perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa hampir sama. Persepsi di masyarakat bahwa gangguan jiwa terjadi karena “guna-guna” (personalistik), sehingga tindakan awal pencarian pengobatan secara tradisional dengan menggunakan dukun. Pengobatan dengan berbagai dukun ternyata tidak memberikan kesembuhan, kemudian masyarakat menggunakan sistem medis modern, yaitu berobat ke sarana kesehatan. Pengobatan dengan medis modern memberikan kesembuhan, tetapi setelah penderita gangguan jiwa kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat kembali mengalami kekambuhan. sehingga pada akhirnya penanganan terakhir yang dilakukan oleh keluarga adalah dengan merantai, mengurung di kamar dan memasung.

Disarankan kepada petugas kesehatan perlu peningkatan kerjasama dengan keluarga penderita gangguan jiwa tentang cara-cara perawatan ataupun penanganan penderita gangguan jiwa, sehingga setelah penderita kembali ke rumah metode perawatan dapat dilanjutkan oleh keluarga. Selain itu dilakukan peningkatan penyuluhan kepada masyarakat, agar dapat mengubah stigma terhadap penderita gangguan jiwa.


(7)

ABSTRACT

Mental health disorder in the community resulted from military conflict and natural disaster in the area of Langsa city has been increased that becomes a challenge faced by the health workers in doing an integrated and comprehensive in handling it. Utilization of mental health care facilities had not overcome the problem of mental disorder in the community of Langsa city.

This is qualitative research with content analysis. The objective of this research was to analyze the behavior of community in managing the skizofrenia patient in Langsa city. The technique in data collection used observation and in-depth interview, and informants of this study consisted of families, community leaders and officers of health

The result of the research showed that the behavior of community in managing the skizofrenia patient were almost similar. The perception of the community regarding the skizofrenia were caused by magician influence (personalistic) and usually they seek out the help form magician. The treatment using modern medical may caused the recovery, and being returning to his families, the disease again. Consequently, seeing the disease suffered, the families put the sufferer on the chain and even put the sufferer on special room.

It is suggested for health officers to maintain good cooperation with the families of the sufferer related to the ways to manage the patient. It is intended that being returned home, the methode can be applied by the families. In addition, health officers should give counseling for the community, especially for the surrounding people of the patient, to the change the stigma of the people to the patient and to treat the patient well to prevent the incurrence.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Perilaku Masyarakat dalam Penanganan Gangguan Jiwa di Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc (CTM), Sp.A(K).

Selanjutnya kepada Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas


(9)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Fikarwin Zuska, selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Syarifah, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan Ferry Novliadi, S.Psi, M.Psi, selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini.

Selanjutnya terima kasih juga kepada Junaidi, S.K.M, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Puskesmas Wilayah Kota Langsa.

Terima kasih juga kepada para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda (Alm) Ishaq Bin Budiman dan (Alm) Khomariah Binti Thahir atas segala jasanya sehingga penulis selalu mendapatkan pendidikan terbaik

Teristimewa buat istri tercinta Cut Soraya, S.K.M. dan ananda tersayang Cut Idsy Sona Pasha, Muammar Afdhally dan Muammar Afdhylla yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta rasa cinta yang dalam setia


(10)

menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Februari 2010 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Idwar lahir pada tanggal 17 Agustus 1971 di Kota Sigli, anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm) Ishaq Bin Budiman dan Ibunda (Alm) Khamariah Binti Thahir.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri Nyong Lueng Putu selesai tahun 1983, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Lueng Putu selesai tahun 1986, Sekolah Menengah Umum Negeri I Lueng Putu selesai tahun 1989, Program Akademi Keperawatan Fakinah Banda Aceh selesai tahun 1994, melanjutkan S-1 di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung selesai tahun 2000.

Mulai bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Tengku Fakinah Banda Aceh tahun 1994 sampai 1996 sebagai karyawan biasa, kemudian bekerja pada Akademi Keperawatan Cut Nyak Dien Langsa pada mulai 1 Maret 1996 sampai 2010. Sebagai Pegawai Negeri Sipil di Poltekkes Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2001.

Pada tanggal 13 Januari tahun 2001, penulis menikah dengan Cut Soraya, S.K.M. anak kelima dari lima bersaudara anak dari Bapak Rusli dengan Syarifah Hamidah, dan penulis dikaruniai tiga orang putra/putri bernama Cut Isdy Sona Pasha, Muammar Afdhylla dan Muammar Afdhally.

Tahun 2007 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku ... 9

2.2. Penanganan Gangguan Jiwa... 11

2.3. Penggolongan... 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 19

3.2. Lokasi dan waktu penelitian... 20

3.3. Pemilihan Informan... 20

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 22

3.5. Prosedur Penelitian ... 23

3.6. Metode Analisis Data... 25

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Kota Langsa... 27

4.1.1 Letak Geografis dan Kependudukan... 27

4.1.2. Pendidikan dan Sosial Ekonomi ... 28

4.2. Objek Penelitian ... 30

4.2.1. Miah ... 30

4.2.2. Aini... 33


(13)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Penyebab Gangguan Jiwa ... 43

5.2. Perilaku Masyarakat Dalam Penanganan Penderita Gangguan Jiwa ... 47

5.2.1. Mengurung ... 50

5.2.2. Merantai ... 53

5.2.3. Memasung ... 55

5.3. Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Oleh Pemerintah.... 61

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 71

6.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah

Rumah Tangga dan Rata-Rata Jiwa/RT... 28 2 Persentase KK Miskin di Kota Langsa Tahun 2006 ... 29


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

4.1 Miah ... 33 4.2 Aini, Rantai dan Gubuknya... 38 4.3 Iya, Rumah Orangtuanya dan Pohon Kapuk... 42 5.1 Skema Penanganan Penderita Gangguan Jiwa di Puskesmas 62


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara... 77

2. Surat Izin Penelitian dari Dekan FKM USU Medan... 79

3. Surat Balasan Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Langsa Provinsi Nangroe Aceh Darussalam... 80

4. Field Note... 81

5. Photo-photo Subjek Penelitian :... 98

- Miah dikurung... 97

- Nur’aini dirantai... 99


(17)

ABSTRAK

Gangguan kesehatan jiwa masyarakat akibat konflik dan bencana alam di kota Langsa mengalami peningkatan yang cukup besar, hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan dalam melakukan penanganan secara terpadu dan komprehensif. Di kota Langsa pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan jiwa belum mengatasi masalah gangguan jiwa di masyarakat.

Penelitian ini dilakukan dalam bentuk penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik content analisis. Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis perilaku masyarakat dalam menangani penderita gangguan jiwa di Kota Langsa, dan informan dari penelitian ini terdiri dari keluarga, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan.

Hasil penelitian perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa hampir sama. Persepsi di masyarakat bahwa gangguan jiwa terjadi karena “guna-guna” (personalistik), sehingga tindakan awal pencarian pengobatan secara tradisional dengan menggunakan dukun. Pengobatan dengan berbagai dukun ternyata tidak memberikan kesembuhan, kemudian masyarakat menggunakan sistem medis modern, yaitu berobat ke sarana kesehatan. Pengobatan dengan medis modern memberikan kesembuhan, tetapi setelah penderita gangguan jiwa kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat kembali mengalami kekambuhan. sehingga pada akhirnya penanganan terakhir yang dilakukan oleh keluarga adalah dengan merantai, mengurung di kamar dan memasung.

Disarankan kepada petugas kesehatan perlu peningkatan kerjasama dengan keluarga penderita gangguan jiwa tentang cara-cara perawatan ataupun penanganan penderita gangguan jiwa, sehingga setelah penderita kembali ke rumah metode perawatan dapat dilanjutkan oleh keluarga. Selain itu dilakukan peningkatan penyuluhan kepada masyarakat, agar dapat mengubah stigma terhadap penderita gangguan jiwa.


(18)

ABSTRACT

Mental health disorder in the community resulted from military conflict and natural disaster in the area of Langsa city has been increased that becomes a challenge faced by the health workers in doing an integrated and comprehensive in handling it. Utilization of mental health care facilities had not overcome the problem of mental disorder in the community of Langsa city.

This is qualitative research with content analysis. The objective of this research was to analyze the behavior of community in managing the skizofrenia patient in Langsa city. The technique in data collection used observation and in-depth interview, and informants of this study consisted of families, community leaders and officers of health

The result of the research showed that the behavior of community in managing the skizofrenia patient were almost similar. The perception of the community regarding the skizofrenia were caused by magician influence (personalistic) and usually they seek out the help form magician. The treatment using modern medical may caused the recovery, and being returning to his families, the disease again. Consequently, seeing the disease suffered, the families put the sufferer on the chain and even put the sufferer on special room.

It is suggested for health officers to maintain good cooperation with the families of the sufferer related to the ways to manage the patient. It is intended that being returned home, the methode can be applied by the families. In addition, health officers should give counseling for the community, especially for the surrounding people of the patient, to the change the stigma of the people to the patient and to treat the patient well to prevent the incurrence.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Sampai saat ini penanganan penderita gangguan jiwa masih sangat bervariasi di masyarakat. Pada umumnya keluarga-keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit gangguan jiwa akan menangani sesuai dengan persepsi masing-masing dan merasa apa yang telah mereka lakukan adalah sebuah upaya maksimal untuk dapat menyembuhkan si penderita.

Selain perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa, maka tindakan atau upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini departemen kesehatan, juga menjadi bagian dari kajian. Pengkajian upaya penanganan penderita gangguan jiwa dari sisi departemen kesehatan (baik instansi Rumah Sakit Jiwa dan Puskesmas) dikarenakan instansi tersebut juga memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Ada beberapa alasan yang menjadi bahan pertimbangan sehingga tesis ini memilih perilaku masyarakat dengan subjek penelitian penderita gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah masalah kesehatan masyarakat. Sampai saat ini ada kecenderungan penderita dengan gangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan, global burden of disease akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 8,1 persen, jauh lebih tinggi dari tuberklosis (7,2 persen),


(20)

kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), atau malaria (2,6 persen) (http://www.gizi.net, 2001).

Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan Badan Litbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1995, memperkirakan terdapat 264 dari 1000 anggota Rumah Tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini, jumlah tersebut dapat dipastikan meningkat karena krisis ekonomi dan gejolak-gejolak lainnya diseluruh daerah. Bahkan masalah dunia internasionalpun akan ikut memicu terjadinya peningkatan tersebut (http://faperta.ugm.ac.id, 2002).

Angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa, mulai dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Bukti lainnya, berdasarkan data statistik bahwa angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang di antaranya meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya (Azwar, 2002).

Hasil penelitian Harvard dan International Organization for Migration (IOM) pada tahun 2007 terhadap masyarakat yang terkena dampak konflik di 14 kabupaten


(21)

mengalami gejala depresi, 10 % gejala Post Traumatic Stress Disorder dan 3% dengan gejala kecemasan lainnya.

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi NAD (2007), bahwa masyarakat yang terindikasi gangguan jiwa sebanyak 1.677 jiwa (31,12%) termasuk kategori berat, 1.591 jiwa (29,52%) dengan gangguan neurotic dan 1.190 jiwa (22,98%) dengan psikotik akut serta sebanyak 334 jiwa (6,20%) dengan depresi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih tinggi kasus gangguan jiwa di Nanggroe Aceh Darussalam.

Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik fisik maupun mental. Keabnormalan tersebut terdiri dari gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai gejala yang terpenting diantaranya adalah ketegangan, rasa putus asa, murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), histeri, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk, dan sebagainya. Menurut Darajat, orang yang terkena gangguan jiwa masih mengetahui dan merasakan kesukarannya dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya, sedangkan penderita psikosa tidak ada integritas dan mereka hidup jauh dari alam kenyataan (Yosep, 2007).

Hasil studi memperlihatkan bahwa 20-24 % pasien yang datang berobat ke pelayanan primer memperlihatkan sedikitnya satu gejala gangguan jiwa. Golberg and Huxley (1992) menyebutkan bahwa prevalensi populasi dewasa yang mengalami gangguan jiwa dan berobat ke dokter di pelayanan primer adalah 230/1000 penduduk,


(22)

sedangkan yang berobat ke pelayanan tersier (Rumah Sakit Jiwa) hanya 23,5/1000 penduduk.

Dalam pengobatan penderita gangguan jiwa terdapat perbedaan pada setiap masyarakat. Sebagian masyarakat New Guinea misalnya, penderita gangguan jiwa dianggap kerasukan setan, karena itu perlu diobati dengan cara kaki dan tangannya diikat dan kemudian diasapi sampai muntah. Di Nigeria, sebagian penderita gangguan jiwa tinggal di rumah shaman atau dukun selama 3-4 bulan dan penderita dirawat oleh saudaranya yang tinggal bersama si pasien di rumah dukun. Biasanya si pasien dibelenggu dan diberi ramu-ramuan dan dukun memberikan korban binatang pada roh gaib. Apabila si pasien sembuh, lalu diadakan upacara ditepi sungai dengan diikuti korban darah binatang sebagai simbol membersihkan si pasien dari sakitnya atau kelahiran kembali (Sudarti, 1986).

Akibatnya, banyak penanganan pasien gangguan jiwa yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga dengan cara yang tidak tepat sesuai dengan prosedur kesehatan. Sebagai contoh, sebagian warga masyarakat di Aceh melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa dan memperlakukan pasien dengan tidak manusiawi bahkan ada keluarga dengan sengaja membuang anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, maka oleh sebagian kalangan ia dianggap kemasukan roh halus. Untuk kasus semacam ini,


(23)

Di Indonesia penanganan gangguan jiwa dilakukan dengan cara dipasung oleh sebagian kalangan. Bahkan keluarga dengan sengaja mendislokasi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa karena dianggap aib. Demikian juga ketika keluarga mengetahui salah satu anggotanya mulai menampakkan gejala gangguan jiwa, dianggap kemasukan roh halus. Masyarakat memilih membawanya ke dukun, bukan ke dokter jiwa (http://www.depkes.go.id,2006).

Menurut Dinkes Prov. NAD tahun 2007, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kesehatan jiwa masyarakat dan mulai dirintis pada tahun 2002 karena dikhawatirkan terjadi kecenderungan peningkatan kasus gangguan psikologis di masyarakat akibat adanya konflik yang berkepanjangan. Kegiatan awal yang dilakukan adalah pelatihan tenaga dokter dan perawat untuk mampu melakukan deteksi dini gangguan jiwa di masyarakat, mampu memberikan terapi sesuai kewenangannya dan memberikan konseling kepada klien yang dipastikan mengalami gangguan. Kondisi pasca tsunami ternyata membuktikan bahwa trend kejadian gangguan jiwa dan psikososial semakin meningkat.

Menurut Dinkes Prov. NAD tahun 2007, kegiatan ini diawali dengan kajian kondisi masyarakat yang tinggal didaerah konflik dan kondisi masyarakat yang terkena bencana tsunami. Awal Juli tahun 2006 melalui lokakarya, seminar dan desiminasi, hasil kajian tentang kesehatan jiwa masyarakat di Provinsi NAD, maka ditetapkan suatu pendekatan Community Mental Health Nursing (CHMN) yaitu suatu pendekatan asuhan keperawatan jiwa masyarakat yang dapat dilakukan oleh perawat dengan pengawasan dokter. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kurangnya tenaga


(24)

kesehatan jiwa maupun psikiatri atau dokter spesialis kesehatan jiwa (Dinkes Prov. NAD, 2007).

Seperti diketahui, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menjelaskan bahwa saat ini hanya tersedia sekitar 500 tenaga medis, seperti dokter jiwa, yang menangani 2.500 pasien. Artinya setiap dokter jiwa menangani 5 pasien gangguan jiwa, sehingga pemantauannya lebih menjadi tidak maksimal (Depkes RI, 2006).

Menurut Profil Dinkes Kota Langsa tahun 2007, hal ini dapat dilihat dari data kasus yang sudah mendapatkan tindakan asuhan keperawatan oleh petugas Community Mental Health Nursing (CMHN) adalah hanya 3.656 kasus (47%) (Profil Dinkes Provinsi NAD, 2007). Di Kota Langsa tahun 2006 diketahui bahwa jumlah penderita gangguan jiwa yang ditangani oleh CHMN sebanyak 42%.

Saat ini jumlah pasien yang dipasung sekitar 133 orang dan sebanyak 62 kasus yang ditangani sudah dilepas dari pasungannya (Dinkes Prov. NAD, 2007). Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) NAD, Saifuddin memperkirakan saat ini terdapat sekitar 100 orang penderita gangguan jiwa yang bertahun-tahun terpasung akibat kondisi keuangan keluarganya memprihatinkan. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung. Para penderita gangguan jiwa berat yang terpasung itu di antaranya banyak ditemukan di Kabupaten Bireuen, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Utara serta


(25)

Di Kota langsa pada tahun 2006 dijumpai sebanyak 116 kasus penderita gangguan jiwa dan yang sudah ditanggani 57 kasus sementara jumlah kasus yang dipasung sebanyak 3 orang (Dinkes Kota Langsa, 2007).

Berdasarkan wawancara dengan petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih di Kota Langsa bulan Mei 2007, salah satu penyebab masih tingginya penanganan pengobatan jiwa dengan cara dipasung adalah karena tingkat sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kekhawatiran keluarga terhadap perilaku pasien dengan gangguan jiwa, salah satunya adalah perilaku mengamuk dan melukai orang lain. Sementara untuk membawa mereka ke rumah sakit, tidaklah mungkin karena biaya dan tempat pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau.

Berdasarkan paparan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku masyarakat dalam penanganan gangguan jiwa di Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimanakah masyarakat Aceh baik keluarga atau pemerintah menangani pasien gangguan jiwa yang semakin lama semakin meningkat. Yang dipicu oleh konflik dan modernisasi serta keterbatasan fasilitas yang tidak merata, walaupun alokasi dana dan pelatihan sudah sering dilakukan.


(26)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis perilaku masyarakat Aceh baik keluarga atau pemerintah dalam menangani pasien gangguan jiwa yang semakin lama semakin meningkat, yang dipicu oleh konflik dan modernisasi serta keterbatasan fasilitas yang tidak merata walaupun alokasi dana dan pelatihan sudah sering dilakukan, dalam penanganan penderita gangguan jiwa di Kota Langsa.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai bahan informasi bagi lokasi penelitian tentang perilaku masyarakat Kota Langsa dalam penanganan penderita gangguan jiwa. 1.4.2. Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan dalam melakukan

penelitian kualitatif tentang perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa.

1.4.3. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan terutama dokter dan perawat jiwa agar mengetahui cara-cara masyarakat dalam penanganan penderita dan dapat meningkatkan asuhan keperawatan terutama di daerah terpencil.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, (Sarwono, 2007.

Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Dari batasan ini dapat diuraikan lagi bahwa reaksi manusia dapat berbentuk macam-macam yang pada hakekatnya digolongkan menjadi dua yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau abstrak) dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit). Pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan juga dalam sikap potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 2004).

Umumnya perilaku dapat diramalkan jika kita tahu bagaimana orang menangkap (mempersiapkan) situasi dan apa yang penting baginya. Sementara perilaku mungkin tidak tampak rasional bagi orang luar, ada alasan untuk menyakini bahwa biasanya perilaku tersebut dimaksudkan agar rasional dan dianggap rasional


(28)

oleh mereka. Sering seorang pengamat melihat perilaku sebagai tak rasional karena pengamat itu tidak mempunyai akses ke informasi yang sama atau tidak mempersepsikan lingkungannya dengan cara yang sama (Robbins, 2001).

Skiner dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behavior atau unobservable behavior.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice).


(29)

2.2. Penanganan Gangguan Jiwa

Masalah gangguan jiwa merupakan perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Depkes, 2003). Istilah-istilah perilaku abnormal, perilaku maladaptive, gangguan mental, psikopatologi, gangguan emosional, gangguan kejiwaan, gangguan perilaku. Gangguan mental dan ketidakwarasan sering dipakai bergantian dan secara umum menunjuk pada gejala yang sama. Gangguan mental menunjuk pada semua bentuk perilaku abnormal mulai dari yang ringan sampai dengan yang melumpuhkan (Badran, 2005).

Gangguan jiwa adalah suatu kondisi kesehatan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam berfikir, suasana hati, atau perilaku (atau gabungan darinya) yang berkaitan dengan distress dan/atau kerusakan fungsi. Sedangkan kesakitan jiwa merupakan suatu istilah yang secara umum mengacu pada setiap gangguan jiwa yang terdiagnosis. Penderita kesakitan jiwa mengalami gangguan organik atau metabolik (biokimia) yang menghambat mereka untuk berfungsi secara efektif dan bahagia di dalam masyarakat (McKenzie dkk,2007).

Menurut Maramis (2007), gangguan mental, disebut juga gangguan mental, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini menimbulkan sress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Gangguan


(30)

mental pada mengenai setiap orang, tanpa mengenai umur, ras, agama, maupun staus sosiap-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.

Untuk dapat memahamki lebih baik terhadap bagaimana dikatakan gangguan jiwa, maka ada baiknya untuk memahami bagaimana sebenarnya dikatakan seseorang yang sehat jiwa. Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperahtinkan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa keshatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal dan yang selaras dengan perkembangan orang lain.

2.3. Penggolongan

Penggolongan gangguan jiwa, berdasarkan International Classification of Diseases (IcD-X0 antara lain :

1. Gangguna mental organik

2. gangguan mental dan perilaku akibat gangguan mental simptomatik 3. Skizofrenia


(31)

7. Gangguan keperibadian dan perilaku masa dewasa 8. Retardasi mental

9. Gangguan brevaza, gangguan membaca, gangguan berhitung, autisme masa kayak 10. Gangguan hiperkinetik, gangguan tingkah laku (Depkes, 2003)

Pedoman diagnostic dari PPDGJ-III disusun berdasarkan atas jumlah dan keseimbangan gejala-gejala yang biasnya ditemtukan pada kebanyakann kasus untuk dapat menegakkan statu diagnosis pasti.

Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit / ganguan sistematik atau otak yang dapat didagnostik sendiri. Gambaran utama gangguan mental organik adalah :

1. Gangguan fungsi kognitif, misalnya memori, daya piker, daya relajar. 2. Gangguan sensorium, misalnya gangguan kesadaran dan perhatian.

3. Sindrom dengan manifestasi yang menonjol dalam bidang persepsi, isi pikiran dan Susana perasaan dan emosi (Maslim, 2003)

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat merupakan gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dari intoksisasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai ganguan psikotik yang jelas dan demensi, tetapi semua itu diakibatkan olah karena penggunan satu atau lebih zat psikoaktif.

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan ndasar pada kepribadian, distorsi khas proses pikir, Madang-kadnag mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, ganguan persepsi,


(32)

afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya dan autismo (Mansjoer, 2001).

Belait (2006) mengemukakan skizofrenia adalah suatu gangguan jira berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham), afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrae) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari.

Gangguan suasana perasaan merupakan kelainan fundamental dari kelompok gangguan yang dialami diantaranya perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa adanya anxietas yang menyertainya) atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat)

Gangguan neurotic, gangguan somatofrom dan gangguan terkait stress, dikelompokkan menjadi satu dengan alasan bahwa dalam sejarahnya ada hubungan dengan perkembangan konsep neurorsis dan berbagai kemungkinan penyebab psikologis.

Ganggguan ansietas lainnya adalah sebagai berikut :

1. Manifestasi ansietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas pada situasi lingkungan tetentu saja.

2. Dapat disertai gejala-gejala depresi dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari ansietes fobia, asal saja jela bersifat sekunder atau ringan (Maslim, 2003)


(33)

a. Ingatan masa lalu

b. Kesadaran identitias dan pengindraan segera c. Kontrol terhadap gerakan tubuh

Gangguan somatoform memiliki ciri utama yakni adanya keluhan gejala fisik yagn berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik.

Menurut Suliswati (2005), gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut:

1. Suasana rumah, (antara lain sering bertengkar, salah pengertian di antara anggota keluarga, kurang kebahagiaan dan kepercayaan di antara anggota keluarga). Sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pada seorang individu.

2. Pengalaman masa kanak-kanak. Kasih sayang yang cukup, bimbingan yang sesuai, memberikan semangat dan disiplin merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan yang sehat dari seseorang. Bila tidak memadai dan terdapat pengalaman yang tidak menyenangkan secara berulang pada masa kanak, dapat menyebabkan gangguan jiwa pada kehidupan dewasa.

3. Faktor keturunan. Pada beberapa kasus gangguan jiwa, kemungkinan didapatkannya anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama. Pada kasus gangguan jiwa yang lain, tidak ditemukan seorang pun dalam keluarganya dengan gangguan yang serupa. Kecenderungan untuk berkembangnya suatu gangguan jiwa dapat diturunkan pada seorang individu, tetapi apakah orang tersebut akan sakit bergantung pada faktor lain yang mempengaruhinya.


(34)

4. Perubahan dalam otak. Setiap perubahan dalam struktur/fungsi otak dapat menyebabkan gangguan jiwa. Perubahan biokimiawi pada sel-sel adalah penyebab yang umum pada gangguan psikotik.

5. Faktor lain. Bila seorang individu tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang diterima, dihargai, kemiskinan, pengganguran, ketidakadilan, ketidakamanan, persaingan yang berat, diskriminasi sosial dapat menimbulkan gangguan jiwa.

Adapun ciri-ciri gangguan jiwa (Suliswati dkk, 2005), meliputi:

1. Perubahan yang berulang dalam pikiran, daya ingat, persepsi yang bermanifestasi sebagai kelainan bicara dan perilaku.

2. Perubahan ini menyebabkan tekanan batin dan penderitaan pada individu dan orang lain dilingkungannya.

3. Perubahan perilaku, akibat dari penderitaan ini menyebabkan gangguan dalam kegiatan sehari-hari, efisiensi kerja dan hubungan dengan orang lain.

Dalam pemberian pelayanan terhadap pasien gangguan jiwa, tujuan pengobatan gangguan jiwa adalah (1) mengurangi gejala, (2) memperbaiki fungsi sosial dan personal, (3) mengembangkan dan menguatkan dan memperkuat ketrampilan penyesuaian diri, (4) meningkatkan perilaku yang membuat hidup seseorang lebih baik (McKenzie,dkk,2007).


(35)

Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari penghubungan laki-laki dan perempuan. Penghubungan tersebut sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dimana saja dalam satuan masyarakat manusia (Ahmadi, 1999).

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan Alquran, Surat Attahrim:6). Rasulullah saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi" (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988) (Yusuf, 2005).

Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya. Demikian juga sebaliknya jika ekonomi lemah


(36)

maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang bekerja atau penghasilan rendah) yang memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis pekerjaan orang tua erat kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan.(Zacler, dalam Notoatmodjo, 1997).

Pendapatan merupakan ukuran yang sering digunakan untuk melihat kondisi status sosial ekonomi pada suatu kelompok masyarakat. Semakin baik kondisi ekonomi masyarakat semakin tinggi persentase yang menggunakan jasa kesehatan. Data Survey Kesehatan Nasional tahun (1992), memperlihatkan rata-rata penggunaan pelayanan kesehatan berhubungan dengan meningkatnya pendapatan, baik pada pria maupun wanita, oleh karena itu status sosial ekonomi berhubungan dengan kondisi seseorang, keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2000).


(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang perilaku masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa. Pengambilan keputusan oleh masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa dipengaruhi persepsi. Persepsi yang dimiliki bervariasi pada setiap orang dan terkait dengan penghayatan subjektif. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Menurut Sugiyono (2006) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, disusun dari kata-kata, mendapatkan informasi rinci yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi, karena Pendekatan fenomenologi menaruh minat pada ‘dunia kehidupan (life world)’ pribadi individu dan kelompok, serta bagaimana life world tersebut mempengaruhi motif, tindakan, serta komunikasi mereka (Daymon, 2001:218). Pendekatan fenomenologi untuk melihat bahwa kenyataan bukanlah seperti apa yang tampak, tetapi kenyataan ada di masing-masing kepala individu. Dalam penelitian ini fenomena yang ini digali adalah fenomena penanganan penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.


(38)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Pemerintahan Kota Langsa, dengan alasan: belum pernah dilakukan penelitian sejenis, banyak penderita gangguan jiwa yang melakukan pemeriksaan dengan menggunakan jasa pengobatan tradisional. Lokasi penelitian ini juga sangat dipahami oleh peneliti, sehingga akan memudahkan bagi peneliti untuk melakukan wawancara mendalam (indeph interview) dan pengamatan (observation) pada setiap kasus yang menjadi subjek penelitian.

Penelitian telah berlangsung sejak Februari 2009 sampai dengan Januari 2010.

3.3. Pemilihan Informan

Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2002) pada peradigma alamiah, peneliti mulai dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Oleh karena itu, sampling ini bertujuan untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik sehingga digunakan teknik snow ball. Informan dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.

Penelitian ini mengambil objek penelitian sebanyak 3 orang penderita gangguan jiwa yang secara langsung dirawat dan ditangani oleh keluargnya. Pengambilan objek penelitian sebanyak 3 orang berdasarkan suatu pemikiran bahwa dalam penelitian kualitatif menuntut suatu kedalaman penggalian informasi yang


(39)

Informan awal dalam penelitian ini adalah orangtua atau keluarga yang dapat memberi informasi atau keterangan yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian. Satuan analisisnya adalah keluarga dimana salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa di wilayah Pemerintahan Kota Langsa yang tercatat di lokasi penelitian. Selain orangtua maka informan juga orang-orang terdekat yang turut serta membantu atau mengetahui cara-cara penanganan yang diterima objek penelitian tersebut. Sehingga, selain orangtua penderita gangguan jiwa, informan selanjutnya adalah orang-orang yang dapat menjelaskan dan memberi keterangan atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berkembang di lapangan.

Informan lanjutan tersebut dapat tetangga, petugas kesehatan, dukun bahkan pemilik warung yang cukup mengenal objek penelitian. Jadi tidak menutup kemungkinan akan terus bertambahnya jumlah informan. Bertambahnya jumlah informan didasarkan hasil analisis yang dilakukan dari setiap wawancara mendalam yang dilakukan dengan orangtua maupun saudara, juga pengamatan terhadap objek penelitian itu sendiri.

Hasil wawancara dan pengamatan dituangkan ke dalam bentuk ‘field note’ dan dianalisis. Analisis terus berlangsung sehingga jumlah informan lanjutan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan data penelitian. , sesuai kebutuhan-kebutuhan akan informasi lanjutan untuk melengkapi data yang ada juga sebagai suatu proses berlangsungnya trianggulasi terhadap informasi-informasi yang diperoleh.


(40)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data penelitian adalah wawancara mendalam secara langsung terhadap infoman. Wawancara dilakukan terhadap informan dengan mendatangi informan ke tempat tinggalnya. Observasi dilakukan terhadap objek penelitian yang berkaitan dengan tingkah laku dan segala tindakan ataupun perlakuan yang diterimanya.

Uji keabsahan data dilakukan dengan tehnik triangulasi data. Peneliti akan memastikan bahwa catatan harian wawancara dengan informan dan catatan harian observasi telah terhimpun. Kemudian dilakukan uji silang terhadap materi catatan-catatan harian, untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara dan catatan harian observasi. Jika ada perbedaan informasi atau informasi tidak relevan, peneliti akan menelusuri sumber perbedaan tersebut dan mengonfirmasi perbedaan tersebut pada informan dan sumber-sumber lainnya.

Proses trianggulasi dilakukan terus-menerus sepanjang proses mengumpulkan data dan analisis data, sampai suatu saat peneliti yakin bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan-perbedaan, dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan kepada informan (Bungin, 2007:252)

Penelitian menggunakan data primer yaitu wawancara menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun dan data sekunder diperoleh dari Pemerintah Kota Langsa. Bentuk pertanyaan yang digunakan pada umumnya adalah pertanyaan


(41)

mereka pikir penting dan informasi penting yang sebelumya tidak terpikir oleh peneliti.

Tehnik pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu yaitu alat tulis, ‘note book’ dan kamera. Data hasil pengamatan dan wawancara umumnya langsung ditulis di tempat penelitian dalam bentuk tulisan-tulisan singkat. Tulisan-tulisan singkat ini kemudian dikembangkan ke dalam bentuk ‘field note’ yang lebih rinci dan lengkap.

Alat perekam tidak selalu digunakan dalam pengumpulan data, untuk menghindarkan kecemasan atau kecanggungan informan dalam memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Namun, sesekali alat perekam akan digunakan untuk merekam jalannya wawancara (setelah mendapat persetujuan dari informan dalam penggunaannya di lapangan), sehingga semua data penting yang diungkapkan informan tidak ada yang hilang.

3.5. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan

Peneliti melakukan penyusunan pedoman wawancara berupa pertanyaan dasar yang mencakup aspek kehidupan, latar belakang, pengetahuan gangguan jiwa dan pandangan dalam menangani gangguan jiwa. Setelah itu peneliti menghubungi puskesmas terdekat dan pengelola Community Mental Health Nursing (CMHN) untuk mendapatkan informasi tentang individu yang dapat menjadi informasi penelitian. Dari informan yang didapat peneliti menjelaskan seperti sebelumnya.


(42)

Kemudian menjumpai informan selanjutnya, begitu seterusnya sampai didapat informan yang dianggap layak dan sesuai dengan kriteria subjek. Peneliti kemudian memperkenalkan diri dan meminta kesediaan calon informan tersebut untuk terlibat dalam penelitian yang dilakukan dalam bentuk menjawab pertanyaan terbuka yang diajukan. Mengingat topik yang akan dibicarakan adalah yang sensitif, peneliti menjelaskan terlebih dahulu mengenai informasi yang ingin digali dari calon informan. Setelah membangun rapport dan memperoleh kesediaan calon informan untuk terlibat dalam penelitian ini, peneliti kemudian meminta kesediaan informan untuk bertemu/menentukan jadwal wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah diadakan kesepakatan waktu dan tempat, maka peneliti mulai melakukan wawancara. Tahap pelaksanaan penelitian, diawali dengan mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan, mendatangi tempat dan waktu yang sebelumnya telah disepakati bersama. Setelah itu, wawancara dilakukan berkaitan dengan latar belakang kehidupan, pengalaman dan hal-hal yang berkaitan tentang perilaku masyarakat dalam penangganan gangguan jiwa. Untuk memudahkan proses pencatatan data, peneliti menggunakan alat rekam sebagai alat bantu, agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada informan untuk merekam pembicaraan/wawancara yang dilakukan. Setelah keseluruhan wawancara selesai dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara


(43)

Data yang dikumpulkan adalah semua hasil diskusi dan observasi yang menggambarkan situasi, perangai dan ekspresi para peserta dan ungkapan lokal yang relevan dengan permasalahan.

3. Hambatan-Hambatan

Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa hambatan di dalam pengumpulan data-data yang diperlukan. Informasi yang ingin digali meliputi informasi tentang masa lalu dari subjek penelitian, ada subjek penelitian yang telah menderita penyakit gangguan jiwa cukup lama, sehingga wawancara harus dilakukan dengan sabar sampai informan betul-betul dapat mengingatnya kembali. Melalui cerita-cerita di masa lalu ini kemudian diperoleh informan lanjutan, tetapi informan tersebut ada yang sudah tidak berada di tempat tersebut sehingga peneliti harus menelusuri atau mencari informasi dimana keberadaannya. Seperti dukun yang telah menangani penderita gangguan jiwa, ada beberapa dukun yang sudah mencoba mengobati subjek penelitian, dukun yang ingin dituju untuk menggali informasi darinya ternyata telah pindah, sehingga peneliti harus kembali mewawancarai orangtua subjek penelitian dan bertanya dukun yang lain yang pernah mengobati subjek penelitian.

3.6. Metode Analisis Data

Hal yang ingin dicapai dalam melakukan analisis data kualitatif adalah menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena dan memperoleh gambaran tuntas terhadap proses tersebut, serta menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena. Pengolahan data dilakukan dengan menganalisis


(44)

jawaban-jawaban yang diberikan oleh informan. Penganalisisan data dilakukan dengan tehnik “on going analysis” yaitu analisis yang terjadi di lapangan berdasarkan data-data yang diperoleh.

Sedangkan metode analisis data menggunakan metode Analisis Domain yang dikemukakan oleh Spradley dalam Faisal (1990) yaitu tehnik analisis dengan memberikan makna atau arti pada kata, kalimat atau ucapan sebagai alasan yang digunakan informan ketika menetapkan suatu bentuk persepsi atau pandangannya tentang suatu pokok permasalahan yang diajukan padanya.


(45)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Kota Langsa 4.1.1. Letak Geografis dan Kependudukan

Kota Langsa merupakan bagian dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kota Langsa berdiri pada tahun 2001 yang merupakan pemekaran wilayah dari Kabupaten Aceh Timur. Memiliki 3 (tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Langsa Barat, Langsa Timur dan Langsa Kota. Terletak pada 04o24’35,68” – 04o33’47,03” Lintang Utara dan 97o53’14,59” – 98o04’42,16” Bujur Timur. Luas wilayah keseluruhan 262,41 km2, panjang garis pantai 16 km dengan batasan wilayah :

- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah timur berbatasan dengan Kec. Manyak Paryd Kab. Aceh Tamiang - Sebelah selatan berbatasan dengan Kec. Birem Bayeun Kab. Aceh Timur - Sebelah barat berbatasan dengan Kec. Birem Bayeum Kab. Aceh Timur

Luas wilayah, jumlah desa, jumlah penduduk, jumlah rumah tangga serta rata-rata jiwa per rumah tannga dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :


(46)

Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah Desa, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Rata-Rata Jiwa/RT

NO KECAMATAN

LUAS WILAYAH

(Km2)

JUMLAH DESA (KELURAHAN) JUMLAH PENDUDUK JUMLAH RUMAH TANGGA (KK) RATA-RATA JIWA/RT

1 Langsa Barat 89.31 14 43.298 14.737 5

2 Langsa Timur 121.24 24 39.187 14.220 5

3 Langsa Kota 51.86 13 55.101 3.086 5

JUMLAH 262.41 51 137.586 32.043 15

Sumber : BPS Kota Langsa, 2006

Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa kecamatan yang paling padat penduduknya adalah kecamatan Langsa Kota. Dan, rata-rata rumah tangga memiliki anggota keluarga sebesar 5 orang.

4.1.2. Pendidikan dan Sosial Ekonomi

Kemampuan baca tulis tercermin dari angka melek huruf penduduk yang dalam hal ini didefenisikan penduduk usia 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin. Persentase penduduk Kota Langsa yang berumur 10 tahun ke atas yang dapat membaca huruf latin di Kota Langsa tahun 2004 sebesar 24,76%. Sedangkan penduduk Kota Langsa paling banyak berpendidikan SMU/SLTA, untuk laki-laki sebanyak 17.680 jiwa dan perempuan sebesar 15.929 jiwa. Namun yang tingkat pendidikannya SD/MI juga banyak yaitu sebesar 13.393 jiwa untuk laki-laki dan sebesar 15.267 untuk perempuan (Dinkes dan Kesos, 2006:8).


(47)

Jumlah penduduk miskin di Kota Langsa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan, hal ini disebabkan karena terjadinya bencana alam di beberapa wilayah di Propinsi NAD, dimana terjadi perpindahan penduduk dan rendahnya lahan pekerjaan yang disebabkan belum pulihnya kembali situasi dan kondisi pasca bencana alam, sehingga angka penggangguran masih cukup tinggi. Jumlah persentase keluarga miskin di Kota Langsa dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Persentase KK Miskin di Kota Langsa Tahun 2006

No Kecamatan Jumlah KK KK miskin %

1 Langsa Barat 14.737 10.245 69,5

2 Langsa Timur 14.220 7.803 54,9

3 Langsa Kota 3.086 2.890 93,6

Jumlah (Kab/Kota) 32.043 20.938 65,3

Sumber : BPS Kota Langsa, 2006

Dari sejumlah 32.043 rumah tangga yang ada di Kota Langsa, terdapat sebesar 20.938 keluarga yang termasuk dalam keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa di Kota Langsa jumlah keluarga miskin masih cukup besar yaitu sebesar 65,3%. Angka ini cukup tinggi telah melebihi 50% dari jumlah penduduk sehingga dapat dikatakan rata-rata penduduk Kota Langsa berada pada garis kemiskinan.

Hal ini dapat menjadi pemicu peningkatan penderita gangguan jiwa. Menurut Nurdin F. Joes (Kabag Humas Pemerintah Aceh) kepada Harian Serambi (11 Maret 2009) mengatakan bahwa hampir 15.000 orang dari 4,2 juta penduduk Aceh menderita penyakit gangguan jiwa, sehingga dengan jumlah yang demikian besar maka RSJ yang ada di Banda Aceh tidak akan mampu menampung pasien, masih


(48)

harus dibangun sebanyak 2 buah RSJ untuk dapat menangani seluruh jumlah penderita gangguan jiwa.

4.2. Objek Penelitian 4.2.1. Miah

Miah adalah anak pertama dari keluarga bapak Abdul Salam. Sudah sejak 12 tahun yang lalu (sejak 1998) Miah menderita gangguan jiwa. Saat ini Miah telah berusia 25 tahun. Menurut ibunya, sejak kecil Miah tumbuh seperti anak lainnya, bersekolah dan bermain bersama temannya. Ibu sama sekali tidak mempunyai bayangan bahwa suatu saat Miah akan menderita gangguan jiwa seperti saat ini.

Ibu Miah menuturkan bahwa ketika Miah baru menyelesaikan pendidikan SMA, ada seorang pria yang mempunyai perhatian yang khusus pada diri anaknya. Miah berkenalan dengan pria ini (sebut saja bernama Agus) pada sebuah acara pesta. Miah dan Agus saat ini sama-sama menjadi panitia penyelenggaraan pesta di desanya. Agus kemudian melakukan pendekatan kepada keluarga Miah, karena dia sangat mencintai Miah. Namun, Miah dan keluarganya kurang memberikan respon atas perhatian Agus karena Miah sendiri sudah memiliki pria idaman hati (sebut saja namanya Joko), Joko memiliki pekerjaan tetap sedangkan Agus tidak. Agus sangat kecewa dan sempat mengeluarkan kata-kata “Miah hanya untuk saya, tidak boleh untuk pria lain”.


(49)

hubungan dengan Miah. Sejak hubungan Miah dengan Joko berakhir, Miah jadi sering duduk melamun sendiri, dan bertingkah laku yang aneh seperti memukul orang dan berjalan sendirian tanpa tujuan.

Orangtua Miah membawa anaknya berobat secara tradisional ke paranormal (dukun) tetapi sampai saat ini tidak satupun dukun yang dapat menyembuhkan penyakit Miah. Menurut Dukun yang menangani Miah mengatakan dia terkena “guna-guna” dan dukun yang mengirim “guna-guna” tersebut sangat sakti melebihi kesaktiannya sehingga tidak mampu untuk mengobati Miah. Sampai saat ini sudah ada sekitar 60 orang paranormal yang didatangi orangtua Miah untuk dapat menyembuhkan anaknya, tetapi tidak satupun yang berhasil.

Orangtua Miah bahkan pernah memberikan semacam pengumuman kepada penduduk setempat, bahwa jika ada yang dapat menyembuhkan putrinya maka sebidang tanah milik keluarga tersebut akan diberikan sebagai upah untuk menyembuhkan Miah. Sampai saat ini jika ditotal biaya pengobatan Miah yang sudah dikeluarkan oleh keluarganya untuk pengobatan secara tradisional sebesar Rp. 14.000.000.-

Orangtua Miah juga telah membawa anaknya berobat ke rumah sakit. Miah sempat tinggal di rumah sakit jiwa selama sebulan. Namun orangtuanya kemudian membawa Miah pulang karena selama dirawat di RSJ tubuh Miah menjadi kurus dan wajahnya membengkak akibat dipukuli oleh teman-temannya sesama penghuni RSJ. Akhirnya Miah dibawa pulang dan dikurung di sebuah kamar di dalam rumah orangtuanya.


(50)

Keadaan kamar tempat tinggal Miah cukup pengap dan gelap karena jendela ditutup rapat dan tidak memiliki ventilasi. Kamar berukuran 2½ x 3 meter tersebut berlantai semen, di atas lantai tersebut diletakkan beberapa lembar kardus bekas tempat/kotak mie instant. Kardus tersebut menjadi alas bagi Miah untuk tidur. Di sudut kamar ada sebuah lubang kecil berukuran 3½ inci, lubang tersebut menjadi tempat bagi Miah untuk buang air kecil. Setiap pagi hari ayahnya menyiram lubang tersebut, jika hendak buang air besar maka Aini biasanya akan mengedor pintu kamarnya.

Sehari-harinya Miah tinggal di dalam kamar tersebut, dalam ruangan yang sempit, gelap, pengap dengan aroma yang ‘sungguh’ kurang sedap. Pada waktu-waktu tertentu, Miah suka menggedor pintu kamarnya dan berteriak-teriak minta keluar, tetapi pada waktu tertentu lainnya, yang terdengar hanya rintihan-rintihan halus, seolah-olah menyuarakan keletihan dan rasa putus asa yang dalam karena terkurung.

Saat ini tidak adalagi tindakan pengobatan yang dilakukan untuk dapat menyembuhkan Miah dari penyakit gangguan jiwa yang dideritanya. Orangtuanya terlihat putus asa dan pasrah dengan kondisi yang dialami anaknya. Ayah Miah merasa segala upaya telah dilakukan untuk mengakhiri penderitaan Miah, tetapi semua mengalami kebuntuan. Membawa dan menitipkan Miah ke RSJ merupakan sebuah pengalaman pahit, Miah menjadi bulan-bulanan pukulan teman satu kamar.


(51)

korban. Membawa Miah ke dukun juga tidak memberikan hasil yang menggembirakan, rata-rata dukun yang dikunjungi menyerah untuk mengobatinya. Keadaan Miah dapat terlihat pada Gambar 4.1 berikut :

Gambar 4.1. Miah 4.2.2. Aini

Aini adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Bersama saudara dan orangtuanya tinggal di Desa Lhok Banie . Saat ini Aini berusia 23 tahun. Aini memiliki pendidikan sekolah dasar. Menurut Ayah Aini, sejak kecil anaknya tumbuh dan bertingkah laku seperti anak-anak lainnya, tidak ada hal-hal aneh atau tidak wajar yang dilakukan Aini. Karena perekonomian keluarga yang cukup sulit maka pendidikan Aini hanya sampai SD saja.

Pada awalnya ayah Aini bekerja sebagai nelayan di desa Pusong pada sebuah pulau kecil, dengan sebuah boat kecil yang dimilikinya dari bantuan BRR-NAD. Namun, pada tahun 2007 pulau tersebut mengalami erosi sehingga Pemerintah


(52)

merelokasikan penduduk pulau tersebut ke desa Lhok Banie. Desa Lhok Banie bukan desa di tepi pantai sehingga ayah Aini tidak bias meneruskan pekerjaan sebagai nelayan. Oleh karenanya beliau memutuskan bekerja sebagai tukang bangunan dan sesekali bekerja serabutan (mocok-mocok).

Pada tahun 2004 Aini di bawa oleh salah seorang tetangganya untuk bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga di kota Medan. Selama 2 tahun bekerja sebagai PRT Aini selalu berkomunikasi dengan keluarganya, dia mengabari keadaannya dan keluarga majikannya. Keluarga majikan Aini cukup baik, memperlakukannya seperti keluarga sendiri, tidak ada keluhan yang disampaikan Aini ke orangtuanya.

Pada tahun 2006 Aini berkenalan dengan seorang pria (Johan) yang baru bekerja sebagai supir di rumah majikannya. Enam bulan hubungan mereka terjalin dengan baik. Aini yang sudah merasa yakin bahwa Johan akan bertanggung jawab dan segera menikahinya akhirnya melakukan hubungan yang cukup jauh layaknya suami istri. Merasa telah membuat suatu kesalahan dan khawatir akan hamil, Aini meminta agar Johan segera menikahinya, tetapi harapan tinggal harapan, Johan selalu menghindar bahkan akhirnya pergi tanpa diketahui kemana. Sejak itu Aini menjadi anak yang pendiam dan berwajah murung.

Aini yang merasa bersalah dan tetap khawatir hamil akhirnya pamit pada majikannya untuk pulang sebentar ke desanya menjenguk keluarganya. Kepada kakak iparnya Aini menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya selama menjadi


(53)

pemarah dan memukul siapa saja yang ada disekitarnya, termasuk memukul dirinya sendiri, suka memecahkan piring dan suka berbicara serta tertawa sendiri. Apa yang dibicarakannya selalu kacau dan tidak jelas.

Ayah Aini merasa anaknya terkena guna-guna, tetapi atas desakan keluarga lainnya pada Mei 2007 Aini dibawa ke Banda Aceh untuk berobat di rumah sakit jiwa. Selama hampir 2 bulan di RSJ keadaan Aini mengalami perubahan menuju kesembuhan, kemudian orangtua membawa pulang ke Langsa. Setelah kembali dari rumah sakit jiwa, Aini sempat bekerja menjadi pembantu (cleaning service) di sebuah warung nasi di Kota Langsa. Empat bulan bekerja di warung nasi, perilaku Aini baik-baik saja, Ibu Nunik yang menjadi majikannya menuturkan :

…..”dia (Aini) kerjanya bagus, empat bulan di warung ini gak ada masalah. Kerjanya setiap hari membersihkan lantai, meja makan, dan rak tempat meletakkan makanan yang dijual. Ya namanya warung, kerjanya banyak dari pagi, siang bahkan sampe malam, gaji Aini juga lumayan kok. Cuma setelah empat bulan kerja, tiba-tiba dia minta berhenti kerja. Aku heran juga dan merasa keberatan karena Aini anak yang rajin, penurut dan bersih, pakaiannya sopan dan rapi”.

Empat bulan setelah bekerja sebagai pembantu di warung nasi, Aini mulai menunjukkan perilaku yang aneh, setiap hari memberikan sebuah nasi bungkus jatahnya ke anak-anak yang dijumpainya di depan warung nasi dan ketika gajian maka Aini membelanjakan gaji untuk membeli pakaian anak-anak dan membagikannya ke anak-anak di jalanan. Ibu Upik yng menjadi tukang masak makanan di warung ibu Nunik, bercerita tentang Aini :

…..”aku kenal Aini ketika dia kerja di warung jadi tukang bersih-bersih, awalnya sih biasa-biasa saja, cuma dia agak pendiam. Waktu


(54)

sudah lebih tiga bulan kerja di warung, sikapnya agak berubah, dia sering murung dan duduk sendirian. Aini pernah cerita kalo dulu juga dia pernah jadi pembantu, majikannya yang dulu katanya baik, gak suka marah-marah dan nyuruh-nyuruh. Di warung makan ini, majikannya suka marah dan nyuruh-nyuruh, dia bilang mau berhenti saja tapi gak dikasi sama ibu Nunik”.

Khawatir penyakit mengamuk Aini kambuh lagi, ayahnya kemudian membawanya pulang ke rumah mereka. Setelah di rumah ayah Aini mengobati Aini ke Paranormal, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkan bahkan penyakit Aini semakin parah.

Saat ini Aini tinggal disebuah gubuk yang dibangun dekat rumah orangtuanya. Makan, minum dan tidur dilakukan Aini di dalam gubuk tersebut dengan kaki yang dirantai besi.

Jika melihat gubuk Aini, terasa nuansa ‘pengucilan’ oleh keluarganya. Khawatir Aini mengamuk dan melukai anggota keluarnga merupakan sebuah alasan penempatan Aini ke dalam gubuk tersebut. Tetapi, gubuk tersebut bukan sebuah tempat yang layak huni untuk manusia. Gubuk yang kecil dengan bangunan dari bahan papan, berlantai papan yang dialasi oleh tikar usang dan beberapa helai potongan kardus, merupakan sebuah tempat yang cukup prihatin. Gubuk ini tidak memiliki pintu, tetapi sebuah lubang berukuran 75 x 100 cm yang merupakan akses bagi Aini untuk keluar dan masuk gubuknya.


(55)

luarnya. Jika anggota keluarga melihat penampilan Aini yang kurang sopan, maka anggota keluarga akan mengingatkan atau memakaikan pakaian Aini dengan benar.

Aini makan di dalam gubuknya, makanan diantar anggota keluarganya ke dalam gubuk Aini. Buang air kecil dilakukan Aini di gubuknya, untuk mandi dan buang air besar biasanya Aini mengatakannya kepada ayahnya, kemudian Aini dibawa ke kamar mandi yang letaknya tersendiri atau di luar dari rumah induknya. Ketika mandi atau buang air besar pun, rantai besi di kaki Aini tetap terpasang dan menyertainya kemanapun pergi, ayahnya memegang ujung lainnya dari rantai besi tersebut dan menguncinya pada salah satu tiang kamar mandi.

Untuk lebih dapat memahami keadaan Aini dapat terlihat pada Gambar 4.2 berikut :


(56)

4.2.3. Iyan

Iyan saat ini telah berusia 23 tahun, merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara. Tinggal bersama orangtua dan kedua saudaranya di Idi Cut. Ayah Iyan hanya memiliki pekerjaan “mocok-mocok” yang memberikan penghasilan tidak tetap setiap bulannya, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari bekerja mengurus rumah tangga dan keperluan Iyan. Abang tertua di keluarga Iyan yang saat ini telah berusia 25 tahun dan tinggal bersama dengan mereka juga belum memiliki perkerjaan yang memberikan penghasilan tetap setiap bulannya. Adik Iyan saat ini berusia 15 tahun dan menjadi pelajar pada sebuah SMP di Idi Cut, sedangkan adik Iyan yang paling kecil telah tiada.

Iyan menderita gangguan jiwa sejak berusia 16 tahun dan saat itu masih pelajar kelas 2 pada sebuah SMA di kotanya. Saat itu propinsi Aceh masih berstatus Daerah Operasional Militer. Pada masa kecil Iyan tumbuh seperti anak-anak seusianya, tidak ada tanda-tanda atau kelainan yang menunjukkan terjadinya gangguan jiwa. Namun, ketika ia berusia 16 tahun, Iyan pernah dipukul oleh seorang tentara (TNI), serta saat itu sedang terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan penduduk setempat yang bersuku Jawa, dimana banyak penduduk bersuku Jawa yang dibunuh oleh tentara GAM. Ayah Iyan juga bersuku Jawa, sehingga setiap hari dia dirundung perasaan cemas akan keselamatan ayah dan keluarganya. Kecemasan Iyan setiap hari semakin bertambah karena dia beberapa kali


(57)

yang menjadi korban GAM merupakan sebuah pemandangan yang selalu menghantui jiwanya.

Sebenarnya Iyan termasuk salah seorang anak yang mendukung perjuangan GAM, dan amat membenci tentara yang dianggapnya berlaku tidak adil terhadap masyarakat Aceh. Tetapi, sebuah dilema muncul ketika GAM juga memusuhi suku Jawa. Ayah Iyan bersuku Jawa dan sering dipanggil oleh masyarakat di sekitar lingkungan mereka dengan sebutan “man jawa” (Sulaiman adalah nama ayah Iyan). Dua kepentingan yang bertolak belakang menjadi suatu tekanan yang cukup berat, sehingga pada suatu malam di tahun 2003, tiba-tiba Iyan marah-marah dengan mata merah kemudian mengamuk.

Orangtuanya kemudian membawa Iyan ke dukun karena beranggapan Iyan dibawah pengaruh “guna-guna”. Penyakit mengamuk Iyan hanya dapat disembuhkan jika keluarga menyediakan seekor kambing sebagai sesajen, kata Dukun yang mengobatinya. Sesajen telah disediakan tetapi penyakit tidak kunjung sembuh.

Pada tahun 2004, Iyan dibawa oleh orangtuanya untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh, selama 2 bulan dirawat Iyan sembuh dan dibawa pulang oleh orangtuanya bahkan kemudian kembali ke bangku sekolah. Enam bulan Iyan sempat menjadi pelajar sekolah menengah pertama, sampai kemudian di suatu hari penyakit mengamuk Iyan kembali kambuh. Iyan kembali menjadi penghuni RSJ Banda Aceh selama 1½ bulan, sampai kemudian dia merasa sembuh dan pulang sendiri ke rumah orangtuanya.


(58)

Kesembuhan Iyan tidak lama, penyakit mengamuknya (hysteria) kembali kambuh sampai kemudian orangtuanya merasa kewalahan, pada akhirnya merantai kaki Iyan di sebuah batang pohon kapuk (kapas) di dekat rumahnya. Enam bulan Iyan hidup dengan kaki dirantai di pohon kapuk dengan kondisi beratap langit dan berlantai tanah. Ayahnya kemudian merasa prihatin dengan masa depan anaknya yang masih sangat muda, kemudian kembali membawanya ke RSJ Banda Aceh. Tiga bulan di RSJ keadaan Iyan menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Iyan kembali kerumah orangtuanya dan dianjurkan untuk tetap mengkonsumsi obat dari RSJ, tetapi setelah di rumah Iyan tidak mau mengkonsumsi obat karena merasa bosan. Bahkan, pernah Iyan mengkonsumsi obat dari RSJ sekaligus, sehingga dia harus dibawa ke puskesmas karena hampir keracunan obat.

Keadaan perekonomian yang tidak menentu dan kondisi Iyan yang tidak sembuh-sembuh menyebabkan Iyan akhirnya dipasung dirumahnya sejak tahun 2007. Sampai sekarang Iyan masih dipasung dibagian belakang dari rumah orangtuanya. Rumah orangtua Iyan kurang memadai untuk sebuah tempat tinggal, jauh dari kondisi yang layak untuk dihuni. Dibangun di atas lahan orang lain, memiliki ukuran 4x6 meter, dindingnya terbuat dari papan bekas sedangkan atapnya dari rumbia. Rumah ini tidak memiliki kamar mandi untuk melakukan mandi, cuci dan kakus. Keluarga Iyan jika hendak mandi, mencuci atau membuang air kecil ataupun air besar melakukannya di pinggir rawa-rawa yang berada tidak jauh dari rumah tersebut.


(59)

beberapa peralatan memasak dan makan yang sangat sederhana. Proses memasak dilakukan dengan menggunakan kayu bakar, sehingga dapur tampak hitam dan gelap.

Ruangan tempat Iyan dipasung bersebelahan dengan kamar tidur keluarga. Sehari-harinya Iyan tinggal diruangan tersebut, beralaskan empat buah keping papan yang ukurannya tidak sama (ruangan tersebut berlantaikan tanah), kaki kirinya berada pada sebuah kayu yang memiliki lubang seukuran pergelangan kakinya. Keadaan ruangan tersebut sangat kotor dan bau karena Iyan makan, tidur, buang air kecil dan besar di ruangan tersebut. Hanya saja, jika Iyan buang air besar, maka ibunya akan membuang kotoran Iyan keluar. Iyan mandi seminggu sekali, dan yang sangat menyedihkan sehari-harinya dia tidak pernah memakai selembar baju (dalam keadaan telanjang bulat). Setiap diberikan baju maka baju tersebut dirobeknya.

Kegiatan yang dilakukan Iyan sehari-hari selama dipasung adalah mengorek tanah disekitarnya dan melemparkan tanah-tanah tersebut ke dinding kamarnya. Selain itu Iyan juga merokok, setiap harinya dia menghabiskan 2 batang rokok yang diperolehnya dari pemberian keluarganya atau orang-orang yang datang menjenguknya. Untuk lebih dapat memahami gambaran keadaan Iyan dapat terlihat pada Gambar 4.3 berikut :


(60)


(61)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Penyebab Gangguan Jiwa

Penyakit jiwa atau gangguan jiwa seperti halnya penyakit-penyakit umum lainnya dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Secara biologis, gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter di otak atau substansi tertentu. Pada sebagian kasus gangguan jiwa terdapat kerusakan organik yang nyata pada struktur otak misalnya pada demensia. Pada kebanyakan kasus, faktor perkembangan psikologis dan sosial memegang peranan yang lebih krusial. Jadi, penyakit gangguan jiwa merupakan penyakit medis yang kompleks, meliputi segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis atau kejiwaan seseorang (Anonymous, 2009 ; 1)

Pada dua objek penelitian maka faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada mereka adalah pengetahuan yang minim dan ketidaksiapan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kedua objek penelitian tidak memiliki sebuah pengetahuan yang cukup baik tentang pergaulan lawan jenis. Sehingga ketika apa yang menjadi harapan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan menjadi timbulnya suatu masalah. Masalah yang tidak mendapat jalan keluar, menjadi bahan pemikiran sendiri pada akhirnya menimbulkan depresi dan menderita gangguan jiwa.


(62)

Pada objek ketiga maka sebagai penyebabnya adalah tekanan, pertentangan dalam batin dan kemiskinan yang selalu mengikuti hari-harinya. Tindak kekerasan menimbulkan rasa takut dan kecemasan, cemas akan keselamatan dirinya, keluarganya terutama cemas akan keselamatan ayahnya yang bersuku Jawa. konflik senjata yang berkepanjangan di Aceh, ditambah dengan gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda daratan Aceh, memang menimbulkan goncangan pada masyarakat Aceh, termasuk Iyan. Iyan mengalami kekhawatiran yang berlebihan.

Hal ini hampir serupa dengan yang dialami beberapa penduduk Kutub Utara yang mengalami hysteria arctic. Merobek-robek baju mereka sendiri, sering bergumul dengan orang lain dengan memiliki tenaga yang melebihi tenaga manusia dikarenakan kondisi-kondisi lingkungan yang menyebabkan kekhawatiran yang berlebihan mengenai makanan selama bulan-bulan di musim dingin (Anderson/Foster, 2005:116-117).

Namun demikian, semua keluarga ini mengakui bahwa penyakit gangguan jiwa yang dialami anaknya terjadi setelah mereka beranjak remaja. Ungkapan masing-masing keluarga yang menyatakan bahwa anaknya sejak kecil sehat dan seperti anak-anak lainnya merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa pada dasarnya anak-anak mereka tidak memiliki gejala-gejala yang mengarah gangguan jiwa sebelumnya, seperti yang diungkapkan ibu Miah :

“Anak saya pak sejak kecil sehat-sehat saja, bermain bersama kawan-kawannya, ya seperti anak-anak lain, buktinya bisanya Miah tamat SMA.


(63)

dia kirim guna-guna untuk Miah karena sakit hati diputuskan. Kami juga gak tau kenapa mendadak keluarga Joko gak setuju, yah… mau gimana lagi pak (Ibu Miah tampak sedikit bingung menjelaskan penyakit anaknya)”.

Demikian pula dengan keluarga Aini, ayah Aini yang tampak sangat dekat dengan anaknya ini dan sangat memperhatikan keadaan Aini juga mengungkapkan tentang penyebab Aini menderita gangguan jiwa :

“Aini gak ada masalahnya pak sejak kecil, sehat, lincah dan periang. Cuman karena ekonomi keluarga yang pas-pasan ya gak bisa ku sekolahkan, Cuma bisa sampai tamat SD saja, saudara Aini kan banyak, sementara pekerjaan sebagai nelayan gak pasti penghasilannya. Dulupun sewaktu Aini jadi pembantu di Medan, majikannya bilang Aini anak yang baik, rajin dan periang, makanya majikannya sayang sama dia, sudah dianggap seperti keluarganya sendiri. Aini sudah cukup lama hampir dua tahun ikut majikannya. Aku kasihan sekali sama Aini, kurasa dulu dia diguna-guna laki-laki itu sehingga Aini jadi mau saja “diapainnya”. Aini takut kami tau kelakuannya dan takut hamil, dia gak mau cerita sama siapapun, kami pun tau dari kakak iparnya, sampai jadi begini, kelakuannya jadi aneh, kadang pemurung, kadang marah-marah bahkan mengamuk”.

Begitu juga dengan yang diungkapkan oleh abang Iyan (Iyan hanya mau ditemani abangnya), yang merasa sedih dengan kondisi adiknya :

“Aku kasian sekali dengan Iyan, gak nyangka kalo seperti ini dia. Dulu Iyan baik-baik saja, di sekolah juga biasa-biasa, ya seperti anak lain seumurnya. Tapi tingkah lakunya berubah sejak…(termenung sesaat). Memang situasi yang kami lihat setiap hari membuat kami takut, padahal kami ini cuma rakyat biasa. Kami gak tau kenapa ada GAM, knapa GAM gak suka sama ‘orang Jawa’, lalu knapa tentara banyak-banyak datang. Setiap mendengar tembakan hati kami menangis dan bertanya siapa lagi yang jadi korban. Iyan waktu itu sudah mulai ngerti sedikit-sedikit kalo ‘orang Jawa’ banyak yang jadi korban, Iyan takut bapak jadi korban juga. Iyan juga pernah dipukul tentara, gak tau juga knapa. Yah… mungkin karena rasa takut setiap hari membuat Iyan tiba-tiba marah, matanya merah dan mengamuk. Tapi itu menurut aku ya pak, karena waktu diobati pak dukun bilangnya lain, katanya Iyan baru bisa sembuh kalo kami sudah menjadikan seekor kambing sebagai sajen, katanya Iyan punya niat (nazar) seperti itu sejak lama, ntah lah pak bingung aku”.


(64)

Gangguan jiwa (skizofrenia) memang bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti perang, konflik, lilitan krisis ekonomi yang berkepanjangan bisa menjadi pemicu kemunculan stress, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa manusia. Dan, penyebab paling penting terjadinya gangguan jiwa pada seseorang adalah karena hubungan dengan orang lain dan adanya ketegangan-ketegangan dalam kehidupan sosial (Muhazam, 1995:206).

Gangguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain gejala gangguan pemahaman (delusi waham), gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yang terganggu dengan gejala perilaku-perilaku aneh (bizarre) (Puspitasari, 2009:2).

Gejala gangguan pemahaman dan halusinasi ini tampak pada ketiga objek penelitian, seperti Miah yang suka marah dan memukul orang lain. Miah selalu mengalami halusinasi berupa bisikan-bisikan ditelinganya untuk memukul. Memukul orang lain yang ada disekitarnya menjadi suatu pelampiasan atas emosi dan kemarahan yang terpendam atas pemutusan hubungan secara sepihak dari Joko dan keluarganya. Perilaku amuk (kekerasan) adalah salah satu bentuk ekspresi perasaan marah. Miah merasa frustasi atas kegagalan hubungannya dengan Joko.

Demikian pula dengan Aini, sering berhalusinasi dirinya hamil dan memiliki anak, hal ini terungkap ketika ia menjadi pembantu di sebuah warung makan, dimana


(65)

Tidak berbeda dengan Iyan yang suka berbicara sendiri namun tidak diketahui dengan jelas maksud pembicaraannya. Keluarga terpaksa memasungnya karena jika penyakitnya kambuh maka Iyan suka mengganggu dan memukul orang-orang disekitarnya, merusak bangunan-bangunan sekolah milik pemerintah yang ada di sekitar tempat tinggalnya, serta merobek-robek baju yang dipakainya. Sampai sekarang pun, dalam kondisi di pasung, jika Iyan dipakaikan baju oleh keluarganya maka baju tersebut dirobeknya, sehingga Iyan akhirnya dipasung dengan kondisi tanpa busana.

Ketiga objek penelitian memiliki perasaan marah, manifestasi perasaan marah dapat berbeda pada setiap individu. Marah bisa merupakan respon dari rasa frustasi akibat rasa kecewa, kalah, terkekang, gagal karena tidak mendapatkan kebutuhan/keinginannya. Pada saat yang lain mereka bisa pasif. Pasif adalah keadaan emosional dimana individu berusaha menekan respon marahnya, melarikan diri secara psikis dan meniadakan kenyataan bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang gagal terpenuhi, bisa berwujud sikap apatis/tidak peduli, masa bodoh dan tidak mau tahu (Anonymous, 2009:1)

5.2. Perilaku Masyarakat Dalam Penanganan Penderita Gangguan Jiwa

Kepedulian masyarakat akan kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan meningkatkan peran serta mereka untuk bertanggung jawab terhadap penderita gangguan jiwa. Peran serta dan pemahaman penanganan penderita sakit jiwa masih sangat bervariasi di masyarakat. Pada ketiga objek penelitian hal ini juga terjadi, ada


(1)

dengan obat-obat tersebut, dan Sofian pernah keracunan obat karena

meminum seluruh obat yang ada padanya.

3.

Keterangan dari NS. Roslaini S.Kep (Pegawai Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh)

-

Informan Untuk Nuraini (dirantai)

a.

Penanganan pasien di rumah sakit jiwa, pada dasarnya tidak saja di

tuntut kepada pihak rumah sakit, melainkan juga beban keluarga

pasien untuk memberikan perhatian dan kepedulian untuk

mempercepat proses kesembuhan, sayangnya sangat minim keluarga

yang mau peduli, imbasnya pasien mengalami depresi sehingga

mereka urung sembuh.

b.

Masyarakat kita masih enggan menerima mereka sebagai komunitas

masyarakat biasa lagi setelah dipulangkan dari rumah sakit jiwa,

seperti halnya Nuraini. Dulu pernah dirawat di rumah sakit selama

setengah bulan dan dia sudah sembuh dan dibawa pulang tidak lama

berada di rumah atau lingkungan masyarakat, penyakit jiwa Nuraini

kambuh kembali.

c.

Pada dasarnya penanganan pasien di rumah sakit jiwa erat kaitannya

dengan perhatian dan cinta kasih dari pihak keluarga karena penyakit

yang dideritanya hanyalah masalah mentalitas dan ini belum

diperoleh oleh pasien jiwa di masing-masing keluarga.

d.

Kepulangan mereka ke rumah masing-masing setelah sembuh tak

bertahan lama, hal ini karena masyarakat belum bisa menerima

mereka sebagai masyarakat biasa mereka yang dinyatakan sehat

masih saja dianggap orang gila sehingga jeratan stress itu kembali

mengikat lagi.

e.

Fenomena ini masih sulit diubah di masyarakat Aceh, dan hal ini

sering disosialisasikan kepada masyarakat dan mengajak masyarakat


(2)

khususnya bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa untuk memberikan kepeduliannya kepada

pasien gangguan jiwa.

f.

Menghilangkan stigma masyarakat dan keluarga tentang pasien

gangguan jiwa, dan memberikan gambaran mantan pasien gangguan

jiwa masih bisa produktif dengan usaha-usaha seperti pendamping

dari keluarga

g.

Melibatkan secara langsung keluarga dan unsur-unsur yang peduli

terhadap kesehatan jiwa, sehingga terbentuk suatu wadah berupa

forum komunikasi.

-

Keuntungan adanya forum komunikasi

Sarana untuk mendapatkan informasi atau wawasan tentang

gangguan jiwa

Dapat mendukung proses penyembuhan pasien dengan segala upaya

yang dilakukan oleh organisasi

Sebagai tempat sharing, sharing pengalaman antar anggota forum

Adanya pengawasan orang sakit secara berkala


(3)

ROSMIAH

Nama Dukun :

Informasi dari dukun

Rosmiah diguna-guna oleh pacarnya yang kecewa dan ilmu magis yang

dikirimkan sangat kuat, sehingga pada suatu malam habis saya dan batin

dia, saya didatangi oleh orang halus itu jangan coba-coba kamu obatin dia.

Nanti kamu tau resikonya, terakhir dukun tersebut nyerah tidak sanggup

mengobati Rosmiah. Pernah suatu hari saya sedang jampi-jampi Rosmiah,

tiba-tiba Rosmiah melemparkan botol aqua 600 cc ke muka saya dan dia

meludahi saya. Dia mengatakan pergi-pergi kamu jangan coba datang lagi

kemari, terakhir saya berpikir saya tidak cukup ilmu untuk mengobati dia,

pertamanya saya tertarik mengobati Rosmiah karena sudah banyak kali

dukun yang mengobatinya kenapa tidak sembuh.

Informasi dari Kakak Ipar Rosmiah

Rosmiah sering duduk/menunduk dan biasanya tidak nyambung dan saya

tidak pernah memaharinya kemudian ketika saya berbicara dia tidak

membantah dan dia didengar.

Dia sangat malas apapun tidak mau dilakukan, dikerjakan dan sering ada

yang bisik-bisik suruh jalan-jalan. Pada waktu malam dia selalu bilang : Miah

lapar kak”. Dia sangat betah lama-lama di rumah saya.

Dia sering curhat sama kak ipar karena merasa lebih bebas dan dia tidak

merasa tertekan, dan sekali-kali dia masak bersama untuk menyiapkan

makan siang. Kakak sangat sayang karena dia sangat nurut dengan saya dan

tidak pernah memperlihatkan perilaku –perilaku seperti ngamuk dan

memukul

Di rumah dia sering solek diri, menghias diri, berdandan dan sekali-kali

kakaknya menyuruh dia untuk beli sabun, rinso dan lain-lain. Kakaknya


(4)

kadang sering kasih uang untuk jajan, kakanya menyiapkan kosmetik untuk

dia seperti bedak, lipstik dan lain-lain.

Gubuk tempat Rosmiah dikurung

Rumah Rosmiah berukuran 6 x 7 semi permanen. Ruangan tempat dia

dikurung berukuran 2.5 x 3 m dengan suasana gelap gulita karena semua

jendela ditutup rapat-rapat dan tidak ada ventilasi apa-apa dan sangat

pengap. Lantainya semen dan beralaskan gardus indomie dan dia tidur di

atas gardus tersebut. Di kamar tersebut ada lobang kecil sebesar ukuran 3,5

inci jika dia mau BAK langsung melalui lubang itu pada pagi hari orang tua

laki-laki menyiramnya.


(5)

NURAINI (DIRANTAI)

Keterangan dari ibu Nunik (warung makan tempat dia bekerja di saat pulang

berobat di rumah sakit jiwa)

Ibu Nunik mengatakan bahwa dia bekerja selama 4 bulan pada saat itu

kegiatan dia di warung makan sebagai clining services setiap pagi, siang dan

malam dia membersihkan lantai meja dan rak tempat menaruh makanan,

sekali-kali dia disuruh membantu bibik upik memasak di dapur.

Selama 4 bulan dia tidak pernah terlihat perilaku seperti halnya orang

gangguan jiwa seperti ngomong sendiri, berbicara tidak dapat dimengerti,

emosi, tetapi dalam 3 bulan ia bekerja ada kelihatan sekali-kali dia masuk ke

kamar keluar kamar tidur yang tempat tidurnya bibik upik yang berlokasi di

belakang dapur warung tersebut.

Pada bulan ke 4 dia meminta istirahat untuk tidak bekerja lagi di warung

oleh ibu Nunik merasa keberatan karena dia orannya penurut dan rajin,

pakaiannya pun sopan dan rapi, tetapi oleh dia langsung saja untuk tidak

bekerja lagi, lantas ibu Nunik heran dan karena gajinya kurang atau dia ada

masalah sama anaknya atau bibik upik.

Gaji yang diberikan oleh ibu Nunik menurutnya (ibu Nunik) sudah sesuai

karena dimana-mana clining service di warung nasi biasa ± Rp. 700.000,-

Jadi saya pikir bukan persoalan gaji dan saya menanyakan ke bibik upik apa

ada masalah dengan dapur dengan dia baik-baik saja tidak ada sesuatu hal

apapun.

Bibik Upik

Di dalam kesehariannya pada bulan ke 4 sangat terlihat aneh dimana dia

sangat sering duduk sendirian dengan wajah yang murung dan dia juga

pernah cerita dulunya dia pernah bekerja di rumah majikannya dia sangat


(6)

baik diperlakukan tidak pernah dimarahin dan disuruh-suruh, tetapi selama

dia bekerja ditempat warung ibu Nunik dia beberapa kali pernah dimarahin

apalagi pada saat-saat dikamar ibu Nunik mengatakan dengan kata-kata

malas kali kamu, bukannya liat itu apa yang harus dibersihkan kalau tidak

sanggung kerja bilang biar saya cari yang lain, tetapi di satu sisi dia sangat

mengharapkan kalau dia terus bekerja.

Pada saat pulang kerja sering dikasih nasi bungkus, tetapi nasi tersebut

dibagikan ke anak dan uang gajinya sering dibelikan baju untuk anak dan

uang tersisa juga dibagi rata sama anak-anak tetangga.