KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
tradisional adalah suatu set institusi tradisional yang berbasis pada solidaritas ekonomi. Dalam sistem ini menyediakan transferpertukaran faktor produksi,
barang dan uang yang dapat memenuhi kebutuhan subsisten yang tidak bisa dicapai dikarenakan ketidakmampuan, kesakitan, kematian, tidak memiliki
pekerjaan, kekurangan faktor produksi dan lain-lain. Cara ini menjamin survival ekonomi rumah tangga. Set dari institusi tradisional ini tidak hanya berfungsi di
dalam rumah tangga, melainkan juga antar rumah tangga keluarga. Pada banyak kasus institusi didasarkan pada kin relationships relasi kekeluargaan atau relasi
lain yang berbasis pada prinsip aliansi, pertemanan atau hubungan yang saling menguntungkan.
Menurut Fuchs 1984, social security system tradisional di negara-negara berkembang sangat terkait dengan keberlangsungan aktifitas mata pencaharian
yang ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini tentu saja sistem ini merupakan komplek dari tindakan-tindakan sosial pada unit-unit-unit
ekonomi yang berbasis pada kolektivitas traditional social security system is adressed the whole complex of social actions at level of economic unit, which is
constituted by the various agreements within units as well as through collective arrangements...
Kata tradisional memiliki makna pengaturan “informal” dan juga mengindikasikan bahwa struktur dan institusi merupakan institusi asli dari
masyarakat. Sementara prinsip kolektivitas didasari oleh solidaritas ekonomi yang terbentuk berdasarkan kekerabatan kinship, aliansi biasanya melalui
perkawinan, terlibat dalam organisasi dengan prinsip saling menguntungkan dan relasi pertemanan friendship relationships Elwert. 1980
Kuper 1965 meneliti masyarakat Swaziland di Afrika mengemukakan bahwa Lilima merupakan social security system tradisional, dimana ada
pengaturan kerjasama co-operative tenaga kerja yang dihimpun di dalam suku tertentu dengan imbalan bir. Mereka menganggap bekerja bersama-sama seperti
berpesta dengan dengan adanya bir yang disediakan kepada para pekerja, dan hal ini memacu semangat dan meningkatkan produktivitas mereka dalam bekerja dan
tentu saja Lilima juga menguatkan solidaritas ekonomi di antara mereka. Marwick 1966 membedakan tiga bentuk dari Lilima, yaitu Lilima Letshwala
imbalan kerjasama dengan bir, Lilima lenyama imbalan kerjasama dengan makanan, Lilima lenkomoimbalan kerjasama dengan bir dan makanan.
Pada masyarakat sederhana seperti masyarakat Baduy juga mengenal mekanisme penjaminan kecukupan pangan dengan adanya lumbung padi yang
disebut Leuit dengan segala perangkat kelembagaannya yang tidak memperbolehkan adanya jual beli padi. Padi hasil panen harus dikumpulkan pada
lumbung padi leuit dan dijadikan persediaan pangan sehingga orang Baduy selalu terjaga dari krisis kekurangan pangan. Leuit dan perangkat kelembagaan
pada suku Baduy dapat dikatakan sebagai social security sistem tradisional masyarakat Baduy. Pada masyarakat Papua Nugini mengenal Wantok System,
sistem ini merupakan social security tradisional, yang memberikan proteksi pada sistem penghidupan masyarakat setempat. Sistem wantok pada dasarnya
menjalin solidaritas antara mereka yang memiliki bahasa kesukuan yang sama. Sistem ini
dinamakan Wantok dari bahasa Inggris “one talk”, yang berarti satu bahasa. Siapa yang berbicara satu bahasa, akan saling mendukung melawan apa
pun yang datang dari luar, termasuk dalam persoalan ekonomi. Wantok
memungkinkan “trust” menjadi tetap terpelihara, dan dalam keadaan darurat, bantuan orang lain dalam satu suku selalu dapat diandalkan.
Agarwal 1991 menunjukkan bahwa relasi patron klien yang disebut sebagai Jajmani System merupakan social security tradisional masyarakat miskin
di pedesaan India Utara. Patron merupakan tuan tanah dan klien adalah petani- petani miskin. Hubungan dan interaksi di antara keduanya memang berlangsung
asimetris, namun para petani miskin menganggap dengan berpatron dengan para tuan tanah, ada jaminan untuk pemenuhan kebutuhan di level subsistensi. Hal ini
tentu saja menjadi fakta tambahan sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Scott 1989, bahwa institusi patronase yang dilatar belakangi kultur dan
struktur sosial masyarakat petani Asia Tenggara dengan basis moral ekonomi yang memiliki ciri khas tersendiri telah memberikan social security tersendiri
terhadap kelompok masyarakat petani yang tidak memiliki sumberdaya pertanian sendiri modal, lahan. Adanya latar belakang struktural dan kultural dalam upaya
pemenuhan social security tindakan ekonomi survival ditunjukkan dengan diktum Geertz tentang involusi pertanian yang terjadi masyarakat petani di Jawa
yang mengalami permasalahan keterbatasan lahan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Petani Jawa mempekerjakan semakin banyak tambahan
penduduk dengan berbagai cara tradisional, walaupun hasil produksi tidak bertambah sehingga produktivitas pertanian per kepala menurun. Akibat tindakan
ekonomi yang involutif tersebut terjadilah kemiskinan bersama shared proverty. Namun involusi pertanian dianggap suatu cara untuk berbagi, agar semua pihak
dalam tetap melakukan aktivitas mata pencaharian walaupun dengan pendapatan yang menurun.
Di dalam masyarakat nelayan, institusi patronase dapat dikatakan sebagai social security sistem
tradisional. Menurut Satria 2002, struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan adanya ikatan patron klien. Hal
tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko dan ketidakpastian. Kelembagaan ekonomi patronase sampai saat ini masih
tetap dipertahankan untuk menjaga kepentingan subsitensi mereka. Pola patron- klien akan terus terjadi dalam komunitas nelayan selama belum ada institusi baru
yang mampu menggantikannya, walaupun tata hubungan patron klien tersebut tidak selalu didasarkan pada asas saling menguntungkan. Eksistensi institusi
patronase pada masyarakat nelayan juga dikemukakan oleh Verelst 2013 yang mengemukakan bahwa masih eksisnya pola relasi patronase pada nelayan kecil a
small scale fishery
mencerminkan bahwa ekonomi perikanan yang cenderung inequality
masih bertahan. Bagi nelayan, ikatan patron-klien merupakan langkah penting untuk menjaga kelangsungan kegiatan perekonomian mereka oleh karena
hubungan patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Dalam kelembagaan ekonomi kolektif tersebut dimainkan etika-etika tertentu yang
bekerja dalam tindakan ekonomi untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi nelayan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan
aktivitas ekonomi pada situasi yang fluktuatif dan unpredictable.
Gambar 1. Pemaknaan Social Security System
Dimensi Budaya, Institusi dan Tindakan Ekonomi dalam Konstruksi Social Security System
Adanya dimensi budaya, institusi dan tindakan ekonomi sangat ditunjukkan dengan diktum Scott 1989 tentang moral ekonomi petani di Asia
Tenggara. Fokus analisis Scott tentang perkembangan institusi patron-klien yang merupakan kelembagaan ekonomi masyarakat yang berfungsi sebagai salah
satu komponen social security system masyarakat petani. Kajian Scott berlangsung baik sebelum dan ketika komersialisasi yang dibawa kapitalisme
mulai masuk di Asia Tenggara dan mempengaruhi sistem pertanian dan bentuk pemilikan tanah menjadi lebih kapitalis.
Menurut Scott, kelembagaan ekonomi umumnya petani Asia Tenggara diwadahi oleh kelembagaan patronase dengan latar belakang kultur dan struktur
sosial masing-masing. Kelembagaan ekonomi antara patron klien mempengaruhi tindakan ekonomi dan ternyata dapat memberikan jaminan sosial dan jaminan atas
situasi krisis pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki sumber daya pertanian modal, sumber daya agraria.
Hubungan patron klien pada saat komersialisasi belum berpenetrasi tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan ekonomi formal, karena justru dimensi
sosial juga bekerja pada mekanisme hubungan tersebut yaitu mekanisme tindakan ekonomi yang bertujuan memperoleh keuntungan yang tidak bisa semata-mata
dinilai secara ekonomi uang. Tindakan ekonomi sosial dari patron kepada klien antara lain mewujudkan adanya jaminan penghidupan di level subsisten, jaminan
atas situasi krisis subsistence crisis insurance, perlindungan protection, pengaruh atas kekuasaan yang dimiliki patron, dan fungsi ekonomi kolektif.
Sementara tindakan ekonomi sosial dari klien kepada patron adalah kesetiaan dan loyalitas menjadi klien yang siap memberikan keuntungan ekonomi dan sosial
Social Security
System Tradisional
Definisi : set institusi tradisional yang berbasis pada solidaritas ekonomi dan terkait dengan keberlangsungan aktifitas mata
pencaharian yang ditujukan kepada bagaimana menjamin pemenuhan kebutuhan hidup
Dapat dianalogkan dengan Sistem Keterjaminan Sosial : Kemampuan masyarakat secara mandiri untuk berkembang,
mencegah dan mengatasi KRISIS dari faktor internal maupun eksternal Saefuddin. 2005
Berwujud Sistem Formal modern atau Sistem Tradisional Fuch, 1984, Jutting. 1999, Tieleman Leliveld. 1989
Sistem berisi tata aturan, tata kelakuan dan hubungan yang terkait pemenuhan kebutuhan pada situasi krisis embedded
pada institusi Tielemann Leliveld. 1989, Scott 1989, Platteau. 2011
Digerakkan oleh tindakan ekonomi masyarakat dan tertuntun oleh setting kultural dan struktural Geertz. 1983, Scott.1989
Modern Welfare State
Definisi: Sistem yang dikonstruksi oleh negara publik untuk kaum miskin dan lemah bisa bertahan atau lepas dari situasi
krisis penghidupan
terhadap patron. Adanya mekanisme tindakan ekonomi sosial dalam kelembagaan patronase yang dikemukakan oleh Scott tersebut yang dimaksudkan
oleh Granovetter sebagai rasionalitas ekonomi dengan social-embeddedness.
Inilah fakta rasionalitas sosial disebut Scott sebagai moral ekonomi petani yang bekerja pada kelembagaan ekonomi masyarakat Asia Tenggara.
Adanya suatu keterlekatan dengan institusional kelembagaan yang memiliki etika moral subsistensi, resiprositi, patronase, safety first. Etika-etika tersebut
dimainkan untuk mengatasi situasi krisis yang di hadapi oleh klien dan menjaga terpenuhinya kebutuhan minimum pada tingkat subsistensi. Etika subsistensi dan
resiprositas diterapkan agar semua penduduk memiliki sumber nafkah bukan berusaha mencari sebanyak-banyaknya sumber nafkah.
Menurut Scott, pada dasarnya sistem kelembagaanlah yang menjebak petani Asia Tenggara untuk rela menerima stratifikasi sosial yang sudah ada.
Patron akan tetap menjadi patron, sementara klien juga akan tetap menjadi klien, tanpa adanya mobilitas vertikal dari sistem stratifikasi masyarakat. Hubungan
sosial dan ekonomi patronase tersebut kemudian berubah ketika kapitalisme dan komersialisasi pertanian masuk dan mengubah sistem hubungan ekonomi dalam
sektor pertanian masyarakat Asia Tenggara. Kapitalisme mendorong perubahan dalam pemilikan tanah disertai dengan perubahan bentuk struktur sosial
masyarakat agraris, terutama tumbuhnya satu kelompok besar yang terdiri dari penyewa tanah dan penggarap bagi hasil. Singkatnya bahwa berlangsungnya
komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata hubungan antara pemilik lahan dengan bukan
pemilik lahan artinya terjadi perubahan kelembagaan patron-klien. Namun hubungan patron-klien tersebut tetap ada dan berjalan, hanya saja mengalami
erosi.
Erosi kelembagaan yang terjadi mengubah tindakan ekonomi petani baik tindakan ekonomi patron maupun tindakan ekonomi klien dan hubungan ekonomi
sosial yang berlangsung antara keduanya. Fakta yang dikemukakan Scott bahwa komersialisasi pertanian telah memperkuat rasionalisasi dari tindakan ekonomi
klien yang justru memperlemah posisi para klien petani yang tidak memiliki berkurangnya jaminan subsistensi mereka. Hal ini juga sekaligus membuktikan
bahwa pada situasi tertentu perubahan rasionalitas menjadi lebih formal pada kelembagaan patronase justru dapat saja berdampak negatif yaitu memunculkan
unsur eksploitasi dalam hubungan sosial tersebut.
Pembahasan Scott di atas dapat bermuara pada kesimpulan bahwa institusi jaminan sosial masyarakat petani Asia Tenggara dikonstruksikan dengan
difungsikannya kelembagaan patronase sebagai kelembagaan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup life secure petani pada tingkat subsisten.
Kelembagaan ini pula yang mewadahi tindakan ekonomi patron dan klien yang lekat dengan social embeddedness dengan background budaya petani pra
kapitalismekomersialisme.
Konstruksi tersebut berubah ketika paham kapitalisme dan komersialisme masuk dan mengubah dasar rasionalitas petani di lapangan gagasan dan turut
mengubah tindakan ekonomi petani yang semula social embeddedness menjadi social dissembeddedness
. Kelembagaan patronase yang semula difungsikan sebagai kelembagaan penjaminan atas krisis atau penjamin kebutuhan hidup klien
menjadi kelembagaan dengan transaksi ekonomi rasional formal. Akibatnya posisi klien menjadi semakin lemah, tidak terjamin dan tereksploitir.
Adanya kaitan antara tindakan ekonomi dan budaya dengan pemenuhan keterjaminan bersama juga dapat ditunjukkan dengan diktum Geertz tentang
involusi pertanian yang terjadi di Jawa dengan latar belakang struktur sosial dan kultur Jawa yang memang khas. Involusi pertanian adalah suatu situasi sistem
pertanian lahan sawah di Jawa mengalami permasalahan keterbatasan lahan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini diperparah dengan fakta
bahwa adanya tindakan ekonomi petani subsisten Jawa yang tidak tertantang untuk mengatasi keterbatasan lahan dengan teknologi modern dan mengirim
surplus tenaga kerja keluar sektor pertanian. Sebagai gantinya petani Jawa melakukan tindakan ekonomi yang tidak berdasarkan rasionalitas ekonomi formal
yaitu mempekerjakan semakin banyak tambahan penduduk dengan berbagai cara tradisional, hingga hasil produksi tidak bertambah sementara produktivitas
pertanian per kepala menurun. Akibat tindakan ekonomi yang involutif tersebut terjadilah kemiskinan bersama shared proverty.
Jika dipandang dari hukum ekonomi mazhab neo klasik, tentu saja tindakan ekonomi yang bermuara pada involusi tersebut tidak rasional dan tidak
bisa dieksplanasi. Sesuatu yang tidak rasional ketika petani Jawa melakukan tindakan ekonomi yang rela berbagi kemiskinan, mempekerjakan banyak tenaga
kerja untuk mengelola lahan yang terbatas, tidak menerapkan teknologi modern, atau tidak keluar dari sektor pertanian. Ternyata, persoalan tidak semata-mata
persoalan ekonomi, namun juga persoalan keterlekatan struktur sosial dan budaya masyarakat Jawa. Geertz menyebutnya sebagai culture as obstacle atau culture
as stimulus
. Kultur Jawa lah yang menghambat orang Jawa untuk melakukan tindakan ekonomi yang memaksimumkan benefit dan meminimumkan cost dalam
pengelolaan sektor pertanian. Inilah fakta bekerjanya keterlekatan budaya pada tindakan ekonomi
masyarakat dengan kultur Jawa. Etika moral ekonomi yang dimainkan oleh orang Jawa, sehingga dengan tindakan ekonomi rela hidup pas-pasan dan berbagi
kemiskinan merupakan etika kolektivitas dan etika fatalistik yang bersumber dari kultur Jawa. Kultur Jawa dan etika moral ekonomi yang terbentuk ternyata
memberikan jaminan ekonomi, artinya semua masyarakat terjamin untuk mendapat shared ekonomi walaupun dalam jumlah yang semakin lama semakin
sedikit dan pada akhirnya mereka hanya dapat berbagi kemiskinan. Ada satu
ungkapan yang bersumber dari kultur Jawa yaitu “mangan ora mangan asal kumpul” merupakan representasi kultural dari etika shared poverty yang
dimaksudkan oleh Geertz. Menurut Geertz, keterlekatan kultural Jawa yang menjadikan adanya rintangan budaya culture as obstacle yang menyebabkan
petani Jawa cenderung fatalistik pasrah pada nasib sehingga sulit keluar dari jerat kemiskinan.
Portes dan Sensenbrenner 1993 mengemukakan fakta determinasi sosial dan embeddedness dari tindakan ekonomi kaum migran dominika di kota New
York dan migran Cuba di kota Miami. Unsur-unsur dan sistem nilai embeddedness dan determinasi sosial yang ditunjukkan antara lain value
introjection
nilai-nilai kesantunan dan kepatutan, resiprocity transactions transaksi resiprositas dan bounded solidarity solidaritas kelompok serta
enforceable trust yang menjadikan sistem jaminan ekonomi para migran ilegal
tersebut tetap bisa bertahan dan eksis dan dapat melindungi mereka dari situasi krisis.
Permasalahan lapangan pekerjaan dan keuangan dari para migran tersebut di atasi dengan membangun kelembagaan ekonomi kolektif yang informal
hampir seperti patron klien Scott namun dengan warna yang berbeda berdasarkan nilai-nilai dari modal sosial yang terbangun seperti yang telah disebut
di atas. Adanya kelembagaan ekonomi dalam komunitas migran tersebut sekaligus mengatasi kesulitan yang disebabkan oleh posisi mereka sebagai pekerja
ilegal yang tentu saja tidak memiliki akses terhadap lembaga ekonomi formal. Proses transaksi resiprositas berlangsung dalam solidaritas kelumpok atas dasar
“trust” dan reputasi pribadi dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya dengan sistem norma yang mengatur sanksi atas pelanggaran
terhadap nilai-nilai kesantunan dan kepatutan yang telah disepakati.
Portes and Sensenbrenner 1993 menunjukkan fakta terbentuknya internal solidarity
senasib sepenanggungan di negeri orang di kalangan migran Dominika dan Cuba di tempat perantauan mereka. Nasib ekonomi imigran
sangat tergantung pada berfungsinya kelembagaan keuangan simpan pinjam informal yang mereka bentuk sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan
dan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan masing-masing mendirikan lembaga
keuangan informal. Pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan migran dilaksanakan oleh lembaga perbankan informal atas dasar
reputasi pribadi penerima pinjaman tanpa adanya jaminan surat-surat atau barang yang berarti. Pelanggaran terhadap kesepakatan pinjam-meminjam biasa
dilakukan dengan cara mengucilkan si pelanggar dari komunitasnya. Kepercayaan trust dilekatkan pada diri seseorang mengandung kewajiban moral di dalamnya.
Moral transaksi ekonomi yang dipandu oleh keharusan nilai yang dipelajari semua anggota komunitas dalam proses sosialisasi.
Solidaritas yang terbentuk dan mendasari tindakan ekonomi tersebut tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan untung dan rugi secara ekonomi,
namun karena lebih didasarkan pada etika kolektivitas yang dimainkan untuk mengatasi situasi sulit yang dihadapi terkait dengan kondisi mereka sebagai buruh
migran ilegal. Maknanya adalah bahwa tindakan ekonomi kaum migran tersebut terkait dengan kelembagaan ekonomi yang mereka konstruksikan. Keterlekatan
kelembagaan ekonomi dan tindakan ekonomi mereka mengkonstruksikan sistem jaminan sosial buruh migran tersebut sehingga mereka dapat bertahan hidup di
perantauan.
Mubyarto et al 1984 mengemukakan tindakan ekonomi nelayan miskin dan pola hubungan kerja ekonomi antar lapisan masyarakat di dua Desa Pantai
di Jawa. Kasus tersebut menarik untuk ditelah terkait dengan tindakan ekonomi dan bagaimana nelayan membangun jaminan pemenuhan kebutuhan minimum
dengan menerapkan sistem berbagi kelebihan. Kasus yang diangkat adalah kasus nelayan Desa Bulu Kecamatan Kota Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Ketika mereka melakukan transaksi ekonomi hasil ikan tangkapan. Terdapat beberapa tindakan ekonomi yang mencerminkan adanya tindakan ekonomi
berbasis solidaritas dan berbagi kelebihan di antara mereka. Nelayan membiarkan beberapa unsur masyarakat turut menikmati manfaat dari hasil tangkapan ikan
yang diperolehnya, seperti alang-alangremaja putra yang mengumpulkan ikan
yang terjatuh pada saat pengangkutan dari kapal ke pantai, rebyek remaja putri yang berusaha membeli ikan dengan harga murah dengan cara merayu para
nelayan yang baru tiba dari melaut dan pegawai TPI. Di sisi lain pedagang besar juga memberikan kesempatan pada bakul-bakul kecil untuk terlibat dalam
jaringan transaksi ekonomi yang justru memperpanjang rantai pemasaran dan mengurangi keuntungan yang diperolehnya. Tindakan ekonomi ini merupakan
fakta terbentuknya internal solidarity di kalangan nelayan, alang-alang, rebyek, pedagang besar dan pedagang bakul ikan solidaritas tersebut tidak semata-mata
didasarkan pada perhitungan untung dan rugi secara ekonomi, namun karena lebih didasarkan pada etika kolektivitas yang dimainkan untuk mengatasi situasi sulit
yang dihadapi terkait dengan kondisi mereka sebagai kelompok masyarakat yang melakukan aktivitas ekonomi pada situasi yang fluktuatif dan unpredictable.
Etika kolektivitas dan solidaritas ini merupakan keterlekatan sosial yang menghambat nelayan untuk menerapkan hukum ekonomi yaitu mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya karena etika tersebut menempatkan kebutuhan kelompok dan solidaritas di atas keuntungan pribadi. Nelayan juga melakukan
transaksi ekonomi dengan para rebyek dengan dasar hal-hal yang bersifat emosional. Demikian juga halnya ketika nelayan membiarkan ikan-ikan yang
terjatuh pada saat pengangkutan hasil tangkapan ikan dari perahukapal ke pantai tanpa dipungut, dan membiarkan para alang-alang memunguti ikan tersebut untuk
dijual dan memberikan keuntungan ekonomi kepada para alang-alang. Fakta embeddedness
dari tindakan ekonomi para nelayan, alang-alang, rebyek, pedagang besar dan pedagang kecil tersebut mengandung sistem nilai yang ditunjukkan
antara lain nilai-nilai berbagi kelebihan, resiprocity transactions transaksi resiprositas dan bounded solidarity solidaritas kelompok. Permasalahan-
permasalahan modal, penguasaan sumberdaya, fluktuasi ekonomi dan bisnis perikanan diatasi dengan membangun solidaritas ekonomi kolektif yang informal
hampir seperti seperti patron-klien Scott, namun dengan warna berbeda. Proses transaksi resiprositas antara pedagang besar-bakul kecil berlangsung dalam
solidaritas kelompok atas dasar trust dan reputasi pribadi yang dilekatkan pada diri seseorang yang mengandung kewajiban moral di dalamnya.
Dari beberapa analisa di atas, dapat dibandingkan dimensi budaya, insitusi dan tindakan ekonomi dalam konstruksi social security system dapat
dilihat pada matriks berikut ini :
Tabel 1. Perbandingan Analisis Konstruksi Social Security System Berdasarkan Tindakan Ekonomi, Budaya dan Institusi Sosial
Scott Geertz
Portes Sensenbrenner
Mubyarto et al Tindakan
ekonomi Tindakan ekonomi patron
kepada klien : mewujudkan jami-nan penghidupan
subsisten, jaminan situasi krisis subsistence crisis
insurance
, protection, pe- ngaruh atas kekuasaan
patron, dan fungsi ekonomi kolektif. Tindakan ekonomi
klien kepada patron : kesetiaan dan loyalitas
menjadi klien memberikan keuntungan ekonomi dan
sosial terhadap patron rela berbagi
kemiskinan, mempekerjakan
banyak tenaga kerja untuk mengelola
lahan yang terbatas, tidak menerapkan
teknologi modern, atau tidak keluar dari
sektor pertanian Pinjam-meminjam
yang berlangsung dalam solidaritas
jaringan migran atas dasar reputasi
pribadi penerima pinjaman tanpa
adanya jaminan surat-surat atau
barang yang berarti tindakan ekonomi
para nelayan, alang- alang, rebyek,
pedagang besar dan pedagang kecil
dengan prinsip berbagi kelebihan,
resiprocity transactions
dan bounded solidarity
solidaritas kelompok
Rasionalitas Sosial yang
Bekerja Rasionalitas sosial berbasis
kelembagaan patronase Rasionalitas sosial
berbasis kultural kultur dan struktur
sosial masyarakat Jawa
Rasionalitas sosial berbasis internal
solidarity dengan value introjection
nilai kesantunan dan kepatutan,
resiprocity transac- tions,
bounded solidarity
, trust Rasionalitas sosial
berbasis prinsipnilai berbagi
kelebihan, transaksi resiprositas dan
solidaritas
Institusi Sosial yang
Bekerja Kelembagaan Patronase
Kelembagaan ekonomi Petani Jawa
Kelembagaan Keuangan Informal
Kelembagaan transaksi ekonomi
Nelayan Background
Budaya Budaya Pra Kapitalisme
Petani Asia Tenggara Budaya Jawa
Kultur Imigran Cuba dan Dominika
di perantauan Kultur Nelayan
Jawa
Konstruksi Social
Security System
Kelembagaan patronase difungsikan sebagai
konstruksi SSS Kultur Jawa dan etika
moral ekonomi yang terbentuk ternyata
memberikan jaminan ekonomi, artinya
semua masyarakat terjamin untuk
mendapat shared ekonomi walaupun
dalam jumlah yang semakin lama
semakin sedikit dan pada akhirnya mereka
hanya dapat berbagi kemiskinan
Keterlekatan kelembagaan
ekonomi dan tindakan ekonomi
mereka mengkonstruksikan
sistem jaminan sosial buruh migran
tersebut sehingga mereka dapat
bertahan hidup di perantauan.
Kultur Nelayan Jawa dan Tindakan
Ekonomi Nelayan membangun sistem
jaminan pemenuhan kebutuhan
minimum dengan menerapkan sistem
berbagi kelebihan
Standar Etika
Etika moral etika kolektivitas, internal
solidarity Etika moral fatalistik
dan kolektivitas Etika moral etika
kolektivitas, internal solidarity
Etika moral etika kolektivitas, internal
solidarity Manfaat
memberikan jaminan sosial atas situasi krisis kelompok
masyarakat yang tidak memiliki sumber daya
pertanian modal, SD agraria
Mengatasi masalah keterbatasan lahan
pertanian dan pertambahan pen-
duduk namun bereffek negatif
dengansituasi ekonomi shared
poverty mengatasi situasi
krisis terkait dengan kondisi sebagai
buruh migran ilegal. Menjamin
terpenuhinya kebutuhan
minimum seluruh lapisan masyarakat
Pandangan Weber 1958 tentang Tindakan Ekonomi dan Tindakan Sosial
Dalam konteks ekonomi, manusia dianggap sebagai aktor yang memiliki pilihan-pilihan dan preferensi yang mendasari tindakan ekonomi yang dilakukan.
Dalam hal ini tindakan ekonomi merupakan tindakan individu yang dilakukan dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kajian ekonomi murni,
tindakan ekonomi individu mengandung makna bahwa manusia sebagai individu termotivasi melakukan tindakan-tindakan ekonomi untuk kepentingan pribadi.
Pemikiran seperti ini berbasis pada filsafat utilitarian dan menjadi dasar dari perkembangan pendekatan ekonomi formal klasik dan neoklasik.
Asumsinya adalah bahwa tindakan ekonomi individu senantiasa digerakkan oleh kepentingan pribadi individual yang berlandaskan pada pilihan-
pilihan dan preferensi individu dalam setiap tindakan yang diambil selalu memperhitungkan cost dan benefit. Tindakan ekonomi individu akan disebut
rasional jika dalam setiap tindakan ekonomi dapat memaksimumkan benefit dan meminimumkan cost dengan tujuan keuntungan diri sendiri sehingga dapat
mencapai untilitas yang tinggi bahkan optimum. Utilitas disebut optimum jika mencapai utilitas tinggi dalam konsumsi, optimalisasi dalam proses produksi serta
kelancaran sirkulasi finansial untuk menghimpun modal sehingga terwujud kapitalisasi dan investasi.
Gambar 2. Tindakan Ekonomi menurut Pendekatan Teori Ekonomi Formal
Dalam teori sosiologi, tindakan sosial dipandang sebagai tindakan yang diambil oleh individu dan berorientasi sosial. Artinya sebuah tindakan ekonomi
individu dapat dilakukan dengan dorongan kepentingan ekonomi yang diorientasikan pada orang lain. Berbeda dengan pendekatan ekonomi formal,
maka tindakan sosial diambil tidak melulu bersifat rasional dan instrumental serta hanya memaksimumkan keuntungan pribadi individu. Pemikiran teori sosial tidak
menempatkan motivasi ekonomi individu sebagai basis dari tindakan sosial, oleh karena terdapat unsur-unsur lainnya yang mendorong tindakan sosial antara lain
sistem nilai, budaya, interaksi dengan aktor individu lain, dan emosi.
Gambar 3. Tindakan Ekonomi menurut Pendekatan Teori Sosiologi
Di sisi lain, pada kenyataannya tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu actor, akan terkait dengan individu lainnya others actors. Jika
pendekatan teori ekonomi murniformal yang diwakili oleh mazhab ekonomi klasik dan neo klasikal selalu membatasi pandangannya pada ranah individu yang
masing-masing memiliki kepentingan berdasarkan interest dan harapan atas kegunaan utility, sehingga dasar pengambilan keputusan atas tindakan ekonomi
akan selalu memaksimumkan kepuasan dan benefit dengan meminimumkan korbanan sumberdaya cost yang digunakan serta mengacu pada kepentingan dan
kepuasan individu semata. Namun di tataran realitas terdapat fenomena bahwa interest, preferensi dan kepuasan yang mengacu pada kepentingan individu bukan
satu-satunya rujukan untuk menerangkan kecenderungan pengambilan keputusan dan tindakan ekonomi individu. Sehingga dapat ditunjukkan ketidakmampuan
eksplanasi ekonomi neoklasik tentang keragaman tindakan ekonomi sebagai bukti bahwa dasar rasionalitas tindakan ekonomi manusia tidak tunggal dan tidak
melulu mementingkan diri sendiri. Fenomena tersebut hanya dapat dieksplanasi menurut pandangan sosiologi ekonomi.
Gambar 4. Tindakan Ekonomi Sosial menurut Pendekatan Sosiologi Ekonomi
Menurut sosiologi tindakan ekonomi Weber, analisa tindakan ekonomi tidak hanya mencakup fenomena ekonomi, tetapi juga fenomena yang relevan
secara ekonomi dan fenomena yang dikondisikan secara ekonomi. Fenomena ekonomi economic phenomena merupakan norma-norma ekonomi dan
kelembagaan yang terbentuk untuk memenuhi tujuan ekonomi misalnya keberadaan perbankan. Analisa tentang fenomena ekonomi menggunakan
pendekatan teori ekonomi. Fenomena yang relevan secara ekonomi economically relevant phenomena merupakan fenomena non ekonomi yang
memberi impak pada fenomena ekonomi misalnya ascetic Protestantism. Hal
ini dipelajari melalui pendekatan sejarah ekonomi maupun sosiologi ekonomi. Fenomena yang dikondisikan secara ekonomi economically conditioned
phenomena adalah fenomena pada tingkat tertentu dipengaruhi oleh fenomena
ekonomi misalnya tipe religi yang diadopsi tergantung pada jenis pekerjaan anggotanya. Analisa menggunakan pendekatan sejarah ekonomi maupun
sosiologi ekonomi.
Dalam hal ini seorang ekonom mempelajari tindakan ekonomi murni, yaitu tindakan yang secara eksklusif didorong kepentingan ekonomi harapan
terhadap kegunaan. Seorang sosiolog ekonomi mempelajari tindakan ekonomi yang berorientasi sosial, yaitu tindakan yang didorong kepentingan ekonomi dan
diorientasikan pada aktor lain. Tindakan sosial ekonomi tidak hanya didorong kepentingan ekonomi tetapi juga oleh tradisi maupun emosi.
Weber mengemukakan bahwa Tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial. Artinya tindakan ekonomi tidak pernah lepas dari kekuatan motif sosial.
Basis unit analisis Weber adalah individual sebagai aktor ekonomi karena menurut Weber bahwa tindakan ekonomi terkait dengan kepentingan interest
dan pemaknaan meaning. Interest yang mendorong tindakan individu ada dua bentuk, yaitu material interest dan ideal interest. Material interest berorientasi
pada pemenuhan sarana benda, sedangkan ideal interest berorientasi pada pencapaian tujuan ideologis. Tindakan ekonomi juga merupakan resultan olah
budaya yang mengkombinasikan kepentingan, kebiasaan habits dan perasaan emotions dalam individu, sehingga makna keadaan dan tindakan individu akan
tergantung pada bekerjanya nilai budaya pada individu
Tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial karena setiap tindakan ekonomi diinspirasikan oleh custom habit, convention norma, dan interest.
Dalam hal ini Weber mengkatagorikan tindakan dalam empat katagori yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan
afektif dan tindakan tradisional. Tindakan rasional instrumental merupakan tindakan yang ditentukan kepentingan penghitungan yang tepat untuk ambil
sarana paling efektif dan sesuai tujuan yang dipilih dan berorientasi pada harapan yang identik. Tindakan ini mensyaratkan social setting aktor lain yang
berpikir dengan cara instrumental yang sama. Tindakan rasional berorientasi nilai merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang secara mutlak juga
dijadikan sebagai tujuan. Tindakan afektif merupakan tindakan dilaksanakan dibawah dominasi perasaan emosi. Tindakan tradisional adalah tindakan
sebagai hasil kebiasaan habit yang telah mapan
Proposisi Weber yang kedua tentang tindakan ekonomi adalah indakan ekonomi selalu melibatkan makna. Artinya bahwa kepentingan selalu diterima
secara subyektif dan kepentingan aktor adalah apa yang mereka sendiri sadari. Jika beberapa individu bertindakan dalam suatu tindakan instrumental dalam
kaitan dengan kepentingan individu mereka, dapat menghasilkan pola tindakan kolektif yang lebih stabil daripada jika norma diterapkan oleh suatu lembaga
otoritas.
Proposisi Weber yang ketiga adalah tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan. Bahwa tindakan ekonomi dua aktor yang berorientasi
satu sama lain akan membentuk hubungan ekonomi. Hubungan tersebut dapat mengambil beragam ekspresi, mencakup konflik, kompetisi, dan upaya untuk
menguasai seseorang kekuasaan. Dalam hal ini terkandung makna kekuasaan.
Jika dua atau lebih aktor diikat bersama oleh rasa memiliki, hubungan membentuk komunal, tetapi jika diikat bersama oleh kepentingan, hubungan
membentuk asosiasi.
Pandangan Sosiologi Ekonomi terhadap Konsep Keterlekatan Teori Keterlekatan
Embeddedness
Weber 1958 selalu mengedepankan sisi moral yang diabaikan dalam pemikiran ekonomi formal. Weber justru memperhatikan bahwa tindakan
rasional individu bertolak dari konteks nilai agama protestant calvinnis yang berlangsung pada masa awal perkembangan ekonomi kapitalisme. Pemikiran
Weber tersebut diikuti oleh pemikir-pemikir sosiologi ekonomi seperti Polanyi, Granovetter 1985, Nee 1985 yang pada intinya mengemukan bahwa adanya
keterlekatan sosial ekonomi dalam sebuah tindakan ekonomi individu. Tindakan ekonomi memang merupakan tindakan yang diputuskan di tingkat
individu. Tindakan ekonomi juga selalu diambil dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup individu dan masyarakat. Proses pengambilan keputusan
tentang suatu tindakan ekonomi selalu didahului pertimbangan atas pilihan-pilihan rasional yang berlangsung di wilayah gagasan intellectual exercises yang
disebut sebagai rasionalitas atas tindakan ekonomi.
Rasionalitas yang mendasari setiap tindakan ekonomi yang dilakukan baik oleh individu akan terkait satu sama lain karena pada dasarnya individu
merupakan bagian dari masyarakat. Dan setiap tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu actor, akan terkait dengan individu lainnya others actors,
sehingga interest, preferensi dan kepuasan yang mengacu pada kepentingan individu terkait dengan kepentingan sosial
Pandangan sosiologi ekonomi dapat menjelaskan rasionalitas yang mendasari
setiap tindakan
ekonomi adalah
bahwa setiap
tindakan tindakanbehaviour
yang berdimensi
ekonomi memiliki
keterlekatan embeddedness secara nyata dan terus menerus dalam suatu sistem hubungan
sosial keterlekatan dimensi ekonomi dengan dimensi sosial, sehingga tindakan ekonomi juga merupakan tindakan sosial karena tindakan ekonomi terbentuk
dengan bekerjanya kekuatan faktor sosial secara terus menerus.
Dalam pandangannya Polanyi mengemukakan tentang perspektif ekonomi substantif yang memandang realitas ekonomi sebagai realitas yang nyata. Secara
subtantif, individu menggantungkan hidupnya pada alam dan individu-individu lainnya untuk bisa bertahan hidup, sehingga terjadi saling ketergantungan antar
individu dalam sebuah kehidupan ekonomi masyarakat. Setiap tindakan ekonomi individu mengandung makna tindakan sosial karena cakupan aktifitas ekonomi
senantiasa bertautan dengan hubungan-hubungan sosial masyarakat. Secara analitis, tindakan individu selalu berada dalam pengaruh konteks budaya dan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Polanyi membedakan tindakan ekonomi masyarakat dengan dikhotomi keterlekatan-ketidaklekatan embedded-disembedded yang justru tidak disetujui
oleh Granovetter dan Swedberg. Penjelasan fenomena tersebut dikemukakan Polanyi dengan menunjukkan bahwa ekonomi dalam masyarakat pra-industri
melekat dalam institusi-institusi sosial, politik, dan agama. Artinya fenomena keterlekatan hanya terjadi pada masyarakat pra-industri. Ditunjukkan dengan
adanya perdagangan, uang, dan pasar digerakkan oleh tujuan selain mencari keuntungan. Mekanisme pasar tidak dibolehkan untuk mendominasi kehidupan
ekonomi, oleh sebab itu permintaan-penawaran bukan sebagai mekanisme pembentuk harga, tetapi merupakan suatu bentuk dari tradisi atau otoritas politik.
Kehidupan ekonomi dalam masyarakat pra-industri diatur oleh resiprositas dan redistribusi.
Sebaliknya pada masyarakat modern, justru yang terjadi fenomena ketidaklekatan dimana pasar yang menentukan harga dan diatur oleh suatu logika
baru. Logika tersebut menegaskan bahwa tindakan ekonomi tidak melekat dengan dimensi sosial dalam masyarakat. Ini berarti bahwa ekonomi terstruktur
atas dasar pasar yang mengatur dirinya sendiri self regulating market dan secara radikal melepaskan dirinya dari institusi sosial lainnya untuk berfungsi menurut
hukumnya, dimana tindakan ekonomi dituntun oleh pencapaian perolehan ekonomi yang maksimum.
Granovetter mengkritik pendapat Polanyi di atas. Granovetter melihat bahwa dikhotomi oversocialized menggambarkan keterlekatan ekonomi,
undersocialized menggambarkan ketidaklekatan ekonomi bukanlah suatu
penggambaran yang tepat terhadap realitas tindakan ekonomi. Menurut Granovetter dalam kenyataannya, tindakan ekonomi melekat pada setiap jaringan
hubungan sosial ataupun institusi sosial, baik tindakan ekonomi yang termasuk dalam oversocialized maupun yang undersocialized. Orang yang berorientasi
pada keuntungan pribadi atau self-interest, dalam kenyataannya, juga mengantisipasi tindakan orang lain.
Ketidak setujuan Granovetter dan Swedberg ditunjukan dengan fakta bahwa tindakan ekonomi dalam masyarakat industri juga melekat dalam jaringan
hubungan sosial dan institusi sosial lainnya seperti agama, politik, pendidikan, keluarga dan lainnya, sebagaimana halnya juga terjadi dalam masyarakat pra
industri. Oleh karena itu, Granovetter dan Swedberg lebih setuju dengan istilah keterlekatan lemah underembedded dan keterlekatan kuat overembedded
daripada embedded dan disembedded. Dengan kata lain, tindakan ekonomi bukan berlangsung dalam kontinum antara kutub keterlekatan dan kutub tidak
keterlekatan, namun berada dalam garis kontinum kutub tidak keterlekatan kuat dan tidak keterlekatan lemah.
Granovetter 1985 menyebut keterlekatan dimensi sosial dan dimensi
ekonomi dalam tindakan ekonomi individu dengan istilah social-embeddedness. Terdapat tiga kalimat kunci yang dikemukakan oleh Granovetter dalam
menjelaskan hal tersebut, sekaligus juga membenarkan gagasan Weber tentang tindakan ekonomi dan maknanya secara sosial. Tiga kalimat kunci tersebut antara
lain : 1Tindakan ekonomi adalah suatu bentuk dari tindakan sosial, 2 Tindakan ekonomi disituasikan secara sosial, 3 Institusi-institusi kelembagaan ekonomi
dikonstruksikan secara sosial.
Granovetter 1985 berargumen bahwa tindakan dan behaviour ekonomi terlekat dengan suatu sistem hubungan sosial yang terbangun dengan jejaring
hubungan sosial networks of interpersonal relations dalam struktur sosial tertentu. Oleh karenanya tindakan ekonomi tidak semata-mata mencapai
kepuasan individu, tapi juga kepuasan sosial dan kepuasan sosial tidak semata- mata dicapai dengan mekanisme pasar dan perhitungan BC. Disinilah letak
keterlekatan dimensi ekonomi dan sosial yang dimaksud yang selanjutnya sangat terkait problem keterlekatan itu sendiri.
Granovetter 1990 membedakan dua bentuk keterlekatan, yaitu 1 Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara
sosial dan melekat embedded dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor, 2 Keterlekatan struktural adalah keterlekatan
yang terjadi dalam satu jaringan hubungan yang lebih luas. Jaringan hubungan yang lebih luas, bisa merupakan institusi atau struktur sosial. Konsep institusi
sosial social institution seringkali dijadikan wadah untuk pemecahan persoalan kebutuhan dasar.
Kajian Ekonomi Institusi Baru New Institutional Economics selanjutnya mewarnai perkembangan teoritis tentang keterlekatan tindakan ekonomi dengan
memasukkan institusi-institusi sosial ke dalam cakupan perhatian. Proposisi- proposisi yang dikemukakan antara lain 1 mekanisme ekonomi harus
berhubungan dengan institusi-institusi, 2 analisa institusi - institusi yang selama ini terabaikan dapat digunakan secara langsung atas dasar prinsip-prinsip ekonomi
neo-klasik.
Di sisi lain Melalui teori new institutionalism atau “kelembagaan
institusionalisme baru” Nee 2005 berusaha menjelaskan bagaimana proses bekerjanya nilai-nilai budaya, norma-norma dan institusi-institusi baik formal
maupun informal di dalam proses pengembangan ekonomi masyarakat. Ia berusaha mempertautkan antara hubungan-hubungan sosial dengan institusi pada
tindakan ekonomi.
Pemikiran Nee 2005 relevan untuk menganalisis keterkaitan antara tindakan ekonomi dengan nilai budaya dan insitusi sosial, khususnya dalam
konteks wujud gejala kehidupan ekonomi masyarakat. Pemikiran Nee dapat menerangkan gejala pokok yang saling berkaitan di dalam persoalan kaitan
tindakan ekonomi dan di luar tindakan ekonomi masyarakat. Dalam konteks kelembagaan berlangsung mekanisme integrasi hubungan formal dan informal
pada setiap level kausal yang terdiri dari level mikro individu, meso kelompok atau organisasi dan makro policy environment.
Dikemukakan Nee, bahwa keberhasilan perlekatan kelembagaan dalam wujud tindakan ekonomi yang menentukan keberhasilan tujuan tindakan ekonomi
akan terjadi jika berlangsung harmonisasi hubungan dari level makro policy environment
kepada institusi informal organisasi di level meso dan seterusnya hingga ke level mikro individu. Sebaliknya, kegagalan decoupling dapat
terjadi bila proses integrasi ini tidak berlangsung sempurna. Dalam hal ini Nee ingin menjelaskan bagaimana institusi formal berinteraksi dengan social network
dan norma-norma sosial yang sifatnya informal dalam mengarahkan tindakan- tindakan ekonomi. Nee memandang penting lingkungan institusi dan budaya
dalam membentuk tingkah laku ekonomi masyarakat.
Adanya keterkaitan hubungan sosial dengan institusi dalam konteks tindakan ekonomi pada mekanisme yang mengatur bagaimana kombinasi institusi
formal dan informal memfasilitasi dan mengatur tindakan ekonomi serta hubungan-hubungan di dalamnya. Nee menyebut mekanisme integrasi institusi
ini dengan insitutional environment yaitu kebijakan-kebijakan formal berupa peraturan-peraturan ataupun gagasan baru yang dijalankan secara dinamis
sehingga menjadi kerangka dalam mendorong dan mengatur tindakan ekonomi
aktor atau kelompok. Sementara itu, dalam sebuah tindakan ekonomi selalu berkelidan dengan relasi informal yang didalamnya terkandung nilai-nilai
kepercayaan bersama shared belief baik budaya, agama maupun adat, norma- norma dan aturan-aturan informal yang berfungsi mengarahkan tindakan ekonomi
dalam mewujudkan kepentingan ekonominya.
Proses dialiektika, pertalian atau peraturan antara institusional environment
dengan relasi informal yang mengikat tindakan-tindakan aktor dalam mencapai kepentingan-kepentingan ekonominya merupakan sebuah institusional
framework atau kerangka institusional.
Konsep kunci pemikiran Nee 2005, secara sederhana menegaskan adanya mekanisme sosial dimana di dalamnya berlangsung hubungan ketertautan
dan berkelindan antara unsur formal state rules dan unsur informal seperti nilai- nilai agama share belief, social network dan social embededdness menurut
konteks sosial budaya tertentu, yang kemudian menjadi basis bagi individu melakukan tindakan sosial guna mencapai kepentingan-kepentingan ekonominya.
Konsep pemikiran new institutionalism menelaah bagaimana institusi berperan penting dalam menstrukturisasi transaksi-transaksi ekonomi sosial serta menelaah
bagaimana menjelaskan peran mendasar dari kepercayaan agama, norma adat budaya, jaringan sosial dan kepercayaan pada lembaga atau institusi dalam
persoalan-persoalan ekonomi moderen.
Jelas sekali terlihat bahwa Nee dalam pemikirannya menggabungkan teori pilihan rasional yang dikemukakan Coleman, teori ekonomi institusional dan teori
kelekatan sosial embededdness theory Granovetter. Pemikiran Granovetter yang mendasari gagaan Nee adalah adanya pengaruh stuktur sosial yang dibentuk oleh
jaringan sosial network, yang dilandasi empat prinsip utama, yaitu : 1 norm and densitas network;
2 the strength and weak ties berupa manfaat ekonomi yang cendrung diperoleh dari jalinan jaringan ikatan lemah; 3 the important of
structural holes yang berkomitmen menjembatani relasi individu dengan pihak
luar; 4 the interpretation of economic and non-economic action, adanya tindakan ekonomi - tindakan non ekonomi yang dilakukan individu, yang ternyata memberi
kemanfaatan bagi tindakan ekonominya.
Jadi pada dasarnya dalam new institusionalism, Nee menggabungkan pemikiran sosiologi ekonomi dengan ekonomi institusional baru untuk
menjelaskan tindakan ekonomi yang terdapat pada hubungan individu di level mikro dengan kelompok sosial di level messo, yang berinteraksi dengan
peraturan-peraturan formal di level makro. Pada konteks ini, penekanannya adalah terjadinya mekanisme sosial dimana aspek formal dan informal saling
berhubungan dan berintegrasi sehingga menjadi dasar bagi individu dalam bertindak mencapai kepentingan ekonominya.
Kerangka Pemikiran
Teori Weber 1958 tentang tindakan ekonomi menjadi dasar pijakan dari penelitian ini grand theory. Dalam studinya Weber meletakkan dasar dimana
dalam setiap tindakan ekonomi individu mengandung makna tindakan sosial. Weber juga menegaskan bahwa latar belakang ethics yang bersumber dari agama
atau budaya juga dapat menjadi dasar dari individu untuk melakukan tindakan. Dasar pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh studi-studi berikutnya dimana
pemikiran yang berkembang menjadi landasan bagi berkembangnya suatu disiplin keilmuan yang baru, yaitu sosiologi ekonomi, sehingga middle range theory yang
menjadi dasar pemikiran selanjutnya dari penelitian ini adalah teori-teori sosiologi ekonomi. Studi tokoh-tokoh sosiologi ekonomi seperti Polanyi 1992,
Granovetter 1985 dan Nee 2005 dan lain-lain menambah beragam dan mendalam pemikiran sosiologi ekonomi yang menjadi dasar penjelasan tentang
basis dari tindakan ekonomi masyarakat yang mengendung keterlekatan dimensi sosial dan dimensi ekonomi.
Studi Polanyi 1992 merupakan pembenaran bahwa tindakan ekonomi yang diambil dapat mengandung keterlekatan, dapat pula tidak. Menurut Polanyi
1992, tindakan ekonomi yang mengandung keterlekatan sosial ekonomi hanya terjadi pada tipe masyarakat yang masih memiliki keterikatan kuat dengan agama,
budaya, adat dan tradisi seperti pada tipe masyarakat praindustri. Sebaliknya pada masyarakat yang semakin modern, maka tindakan ekonomi yang diambil oleh
individu semakin otonom, terlepas dari keterlekatan dari dimensi sosial di luar individu.
Granovetter 1985, Nee 2005, Scott 1989, Geertz 1983, Portes Sensenbrenner 1993 melakukan studi-studi yang memiliki kesamaan pemikiran
tentang adanya keterlekatan dimensi sosial dan ekonomi dalam tindakan ekonomi individu yang membawa konsekuensi berbagai situasi yang terjadi pada
masyarakat. Granovetter melakukan studi yang membuktikan bahwa pada masyarakat, dimana terdiri dari para individu yang melakukan tindakan ekonomi
tidak akan terlepas dari individu lain. Konsekuensinya setiap tindakan yang diambil juga memiliki konsekuensi terhadap orang lain. Keterkaitan satu sama
lain inilah yang nantinya akan mengkonstruksikan jaringan dan institusi yang justru menjadi pengikat dari tindakan ekonomi individu.
Studi Granovetter dilanjutkan oleh Nee dengan tambahan pemikiran, bahwa keterlekatan institusi dan jaringan yang dimaksud oleh Granovetter
tersebut tidak hanya terjadi di satu ruanglevel masyarakat, tetapi di berbagai tingkatan ruang interaksi. Nee membagi levelruang tersebut menjadi level
makro, meso dan mikro. Diketiga ruang ini terjadi interaksi yang saling terkait sehingga Nee dapat menerangkan bagaimana keterlekatan antara budaya, institusi
dan tindakan ekonomi.
Beberapa kasus studi yang dikemukakan oleh Scott, Geertz, Portes Sensenbrenner jika ditarik benang merah dan dihubungkan dengan proposisi
Granovetter dan Nee sebenarnya dapat memperkuat bukti bahwa social embeddedness
dalam tindakan ekonomi individu betul terjadi. Dalam konteks budaya, Koentjaraningrat dan Kluckonh 1961
memperkuat pemikiran sosiologi ekonomi. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa aspek budaya dan sistem nilai merupakan pedoman tertinggi dalam
berperilaku atau melakukan tindakan. Kluckonh memiliki pemikiran yang sama walau meninjaunya dari aspek yang berbeda yaitu dari makna perilaku yang
terkait dengan hakikat berperilaku yang selalu berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya dan alam sekitar.
Pendapat di atas diperkuat dengan studi yang dilakukan oleh Mubyarto, Soestriso dan Dove 1984 bahwa kultur atau sistem nilai memang benar menjadi
pedoman dalam bertindak, dibuktikan dengan studi tentang kultur nelayan Jawa
dan tindakan ekonomi nelayan membangun sistem jaminan pemenuhan kebutuhan minimum dengan menerapkan sistem berbagi kelebihan.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Dharmawan 2001 dan Fadjar 2009 menegaskan bahwa terdapat keterkaitan dimensi sosial dan dimensi
ekonomi dalam setiap interaksi ekonomi dalam setiap setting dan background budaya masyarakat yang berbeda-beda, sehingga fenomena ekonomi yang
dihasilkan dari setiap interaksi ekonomi tersebut juga berbeda. Dharmawan 2001 meneliti tentang perubahan sosial dan livelihood strategies dan
mengemukakan the ocsillation theory of social change. Teori ini menggabungkan dimensi sosial, budaya, ekonomi dan ekologi secara komprehensif untuk
menjelaskan perubahan sosial dan strategi nafkah dengan dua tipe ekologis yang berbeda. Sementara Fadjar 2009 mengemukakan tentang adanya rasionalitas
ganda dalam ekonomi petani yang disebutnya sebagai rural farm amphibian economy
atau rasionalitas yang ambigu pada petani di pedesaan, yaitu petani menggunakan dasar berpikir rasionalitas kapitalistik dan rasionalitas komunal
secara bersama-sama sebagai cara untuk menyusun livelihood strategies dalam rangka mempertahankan sistem penghidupan ekonomi petani.
Telaah studi terdahulu yang terkait dengan masyarakat nelayan baik dalam aspek sosial dan ekonomi dikemukan oleh Satria 2002, Lenggono 2011,
Nasution 2011 dan Iskandar 2012. Satria 2002 mengemukakan bahwa masyarakat nelayan telah mengalami proses modernisasi perikanan dan perubahan
formasi sosial, sehingga perubahan moda produksi antara lain teknologi dan cara peningkapan perikanan dapat menyebabkan perubahan hubungan produksi.
Perubahan hubungan produksi tentu saja dapat mempengaruhi institusi ekonomi yang ada pada masyarakat nelayan. Perubahan institusi ekonomi dapat memiliki
makna ganda yang dapat berarti positif atau negatif bagi kondisi perekonomian nelayan. Perubahan institusi dapat bermakna positif seperti yang ditunjukkan oleh
Lenggono 2011 yang meneliti pertumbuhan ekonomi lokal masyarakat nelayan di Delta Mahakam. Adanya perubahan dalam hubungan dan interaksi patron klien
nelayan setempat justru dapat membangkitkan ekonomi lokal. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh Nasution 2011 yang meneliti perubahan di dalam
kelembagaaninstitusi “Lelang Lebak Lebung” di kalangan nelayan di Sumatera Selatan. Nasution 2011 mengemukakan bahwa penyebab dari nelayan setempat
tidak bisa keluar dari kemiskinan justru karena kelembagaan ekonomi lokal
“Lelang Lebak Lebung” mengalami perubahan dan ternyata tidak dapat menopang sepenuhnya perekonomian nelayan setempat. Dalam konteks terjadinya
transformasi masyarakat nelayan Iskandar 2012 menunjukkan transformasi masyarakat nelayan Aceh, dimana salah satu dampak dari adanya transformasi
masyarakat tersebut adalah tindakan ekonomi masyarakat nelayan justru semakin tidak terlekat dengan tradisi dan agama, dimana pada masa lalu keterlekatan itu
justru sangat kuat. Perubahan ini menjadikan masyarakat nelayan menjadi seolah bergerak meninggalkan tradisi dan budaya asalnya. Pergerakan tersebut
dipercepat dengan proses pembangunan yang ada. Namun proses perubahan berbasis pada kebijakan pembangunan tidak serta merta dapat menghilangkan
kemiskinan nelayan. Fakta ini diperkuat oleh hasil penelitian Karim 2005 dimana kantong-kantong kemiskinan nelayan justru terdapat pada desa-desa
pesisir yang relatif maju, artinya kebijakan pembangunan yang memajukan tidak secara otomatis berfungsi memutuskan rantai kemiskinan.
Terdapat tiga aspek yang didalami dalam penelitian tentang social security system
masyarakat nelayan, yaitu aspek budaya, institusi dan tindakan ekonomi. Tiga aspek utama yang akan didalami yang terkait dan terlekat satu
sama lain dan diyakini ketiga aspek tersebut bekerja untuk mengkonstruksi social security system
masyarakat nelayan. Setiap tindakan ekonomi bertahan hidup dalam risiko kemiskinan, ketidakpastian dan krisis akan tertuntun oleh settting
budaya yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Budaya dan adanya mekanisme institusi yang bekerja akan memberikan karakter tertentu dalam tindakan atau
upaya bertahan hidup. Budaya nelayan yang khas diyakini memberikan bentuk dari setiap tindakan ekonomi dalam upaya bertahan hidup. Pemikiran ini didasari
pemikiran bahwa terdapat keterlekatan embeddedness antara ketiganya dalam tataran teoritis, sehingga dalam konteks ini menarik untuk dipelajari secara
mendalam gejala atau fenomena sosial masyarakat nelayan pada tataran empiris yang mengkaitkan ketiganya.
Jika dilihat dari kaitan dan interaksi dari ketiga aspek sistem sosial ekonomi yang menjadi fokus penelitian, maka penelitian ini pada dasarnya adalah
mempelajari institusi penjaminan penghidupan nelayan social security institution
dan tindakan ekonomi dalam rangka pemenuhan survival penghidupan ekonomi masyarakat nelayan yang dilatar belakangi oleh budaya yang melekat
pada kehidupan masyarakat nelayan dalam kerangka perubahan transformasi masyarakat nelayan. Diyakini bahwa kedua hal tersebut sekaligus akan menjawab
bagaimana perubahan atau transformasi yang terjadi pada masyarakat nelayan setempat dan bagaimana mekanisme ekonomi bertahan hidup masyarakat nelayan
dalam kerangka perubahan budaya, institusi dan tindakan ekonomi yang bekerja dalam mekanisme social security system nelayan yang juga berubah atas pengaruh
dari transformasi masyarakat.
Gambar 5. Social Security System dalam Kerangka Perubahan Masyarakat Nelayan
Gambar 6. Skema Model Interaksi antar Level Makro, Meso dan Mikro untuk Mengkonstruksi Social Security System
Kerangka analisis ditempatkan pada mekanisme interaksi di berbagai level baik di level makro, meso dan mikro dalam menjelaskan pertautan antara
budaya, tindakan ekonomi dan institusi hubungan-hubungan sosial dalam institusi. Pada level makro level masyarakat, terdapat statenegara dan
marketpasar yang saling berinteraksi. Negara mengintroduksi masyarakat
dengan pelbagai “policy” pembangunan yang berinteraksi dengan introduksi “pasar” akan mempengaruhi aspek struktural dan hubungan sosial dalam
kelembagaan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini maka unit analisisnya adalah masyarakat. Di level meso komunitas membentuk struktur institusi sosial yang
berfungsi mengatur tata hubungan sosial rules of the game antara satu tindakan ekonomi individu dengan individu lainnya yang memiliki peran sosial berbeda-
beda dalam konfigurasi sosial tertentu. Setiap tindakan ekonomi nelayan akan dipandu oleh institusi kelembagaan yang menjadi aturan main dalam sistem
sosial. Demikian pula halnya budaya nelayan akan dianalisis pada level meso dengan unit analisis komunitas. ada level mikro terdapat individu yang
melakukan tindakan ekonomi.