Pembiayaan Pembangunan Perikanan dan Kontribusi dalam

menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil baik bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan perundangan yang berlaku. Hal lain yang diatur adalah asas dan tujuan pengelolaan perikanan dimana pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk : a meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, b meningkatkan penerimaan dan devisa negara, c mendorong perluasan dan kesempatan kerja, d meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, e mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, f meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, g meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, h mencapai pemerataan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal dan i menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang. Dalam UU perikanan juga diatur izin penangkapan, pungutan perikanan, pembinaan dan pengawasan usaha perikanan, zonasi dan jalur penangkapan ikan, sanksi terhadap pelanggaran aturan, peraturan tentang kelestarian sumber daya perikanan dan bentuk usaha perikanan. Pengaturan izin didelegasikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya. Izin penangkapan meliputi Surat Izin Penangkapan Ikan SIPI, Surat Izin Usaha Perikanan SIUP dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan SIKPI. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian SIPI, SIUP dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri. Sementara pengaturan pungutan perikanan ditetapkan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya perikanan dikenakan pungutan perikanan. Besarnya pungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan beserta dengan masyarakat. Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawas perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Terkait dengan pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, maka Menteri menetapkan jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. Mengenai sanksi terhadap pelanggaran, dinyatakan bahwa setiap orang yang sengaja melakukan tindakan pelanggaran dalam bidang perikanan akan dikenankan hukum pidana penjara dan denda. Undang-undang juga mengatur tentang kewajiban dan sanksi terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya seperti penggunaan bahan kimia, bahan biologis dan bahan peledak. Pemerintah Daerah Propinsi Banten juga mengeluarkan kebijakan perikanan, khususnya terkait dengan izin usaha perikanan yang terlingkup dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan. Didalam Perda tersebut dumuat beberapa peraturan yang ditujukan kepada masyarakat nelayan dan pelaku ekonomi perikanan Propinsi Banten, diantaranya mengenai : 1 Peraturan Izin Penangkapan Dalam Perda ditetapkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia, Badan Hukum atau Koperasi, yang melakukan kegiatan usaha perikanan wajib memiliki SIUP. Kewajiban ini tidak berlaku bagi nelayan kecil dan atau pembudidaya ikan kecil. Perusahaan Perikanan yang telah memperoleh SIUP, sebelum melakukan usaha penangkapan ikan dan pengangkutan ikan wajib memiliki SIPI atau SIKPI untuk setiap kapal yang dipergunakan yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia, Badan Hukum dan Koperasi yang berdomisili di wilayah Provinsi Banten yang menggunakan kapal perikanan bermotor luar dan kapal perikanan bermotor dalam yang berukuran diatas 10 Grosse Tonnage GT.10 dan tidak lebih dari 30 Grosse Tonnage GT.30, serta tidak menggunakan modal dan atau tenaga kerja asing. Tata cara untuk memperoleh SIUP, SIPI dan SIKPI akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur 2 Pengaturan Pungutan Perikanan Perusahaan Perikanan yang memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI dikenakan retribusi Izin Usaha Perikanan. Seluruh hasil pungutan retribusi SIUP, SIPI, dan SIKPI disetor ke Kas Daerah yang kontribusinya diperuntukan 60 enam puluh persen untuk Pemerintah Provinsi dan 40 empat puluh persen untuk Pemerintah Kabupaten Kota. Tata cara pungutan, penyetoran dan penggunaan pungutan daerah di tetapkan dengan Peraturan Gubernur. 3 Pembinaan dan Pengawasan terhadap Usaha Perikanan Pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan Perikanan dilakukan oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Kepala Dinas. Setiap orang yang melanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000 lima puluh juta. 4 Menjaga Kelestarian Sumberdaya Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, listrik, racun atau sejenisnya, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat merugikan danatau membahayakan dan dilarang melakukan kegiatan usaha perikanan di daerah tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk kegiatan penelitian dan survey. Dilarang menggunakan alat penagkap ikan trawl, mini trawl, atau alat tangkap lain yang telah dimodifkasi namun penggunaannya mirip trawl atau alat tangkap lain yang dilarang Pemerintah. Dilarang melakukan Usaha Perikanan pada daerah selain yang telah ditentukan dalam SIUP. Dilarang menggunakan alat tangkap statis dijalur pelayaran atau lalu lintas kapal. Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang juga mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang No 12 Tahun 2001 tentang Retribusi pasar Grosir dan Pertokoan Diperuntukkan Bagi Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang berdasarkan kewenangan yang ada mengatur, mengurus dan mengawasi pelelangan ikan dengan tujuan 1 meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan, 2 mendapatkan kepastian pasar dan harga ikan yang layak bagi nelayan maupun konsumen, 3 memberdayakan koperasi nelayan, 4 meningkatkan pengetahuan dan kemampuan nelayan. Besarnya biaya retribusi pelelangan, ditetapkan sebesar 4 empat perseratus dari harga nilai kotor atau raman pelelangan dan atau transaksi sebagai jenis barang di tempat pasar grosir yang dibebankan kepada 1 Pembelibakul sebesar 2 dua perseratus, 2 PenjualNelayan sebesar 2 dua perseratus. Pungutan lain dalam kegiatan pelelangan ikan ditentukan berdasarkan musyawarah nelayan yang besarnya tidak lebih dari 4 empat perseratus yang diperuntukan 1 Biaya pelelangan Ikan 2, 2 Dana sosial yang terdiri dari tabungan nelayan 1, dana paceklik 0,5 dan dana kecelakaan di laut dan asuransi nelayan 0,5. Gambaran Kehidupan Masyarakat Nelayan Ujung Kulon Secara geografis, Desa Sumberjaya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang. Desa Sumberjaya termasuk desa penyangga dari Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon yang meliputi wilayah daratan seluas kurang lebih 2,95 km 2 atau 295.00 ha dan perairan seluas 44.337 ha dan terletak 2 meter dari permukaan laut dpl. Kecamatan Sumur sendiri merupakan sebuah Kecamatan yang berada di wilayah paling ujung bagian selatan Kabupaten Pandeglang. Kecamatan Sumur memiliki lokasi strategis yang unik, karena disatu sisi wilayah berbatasan dengan laut lepas, sehingga menjadikan wilayah ini sebagai wilayah pesisir, sedangkan disisi wilayah yang lain berbatasan dengan kawasan cagar alam kawasan Gunung Honje yang juga termasuk kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Hutan kawasan Gunung Honje yang telah berubah menjadi sawah, ladang, kebun serta pemukiman kurang lebih seluas 3000 Ha. Sebelum menjadi sebagai Cagar Alam, Gunung Honje merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan dengan sistem pengelolaan tumpang sari. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 16KptsUm3.1967, kawasan Gunung Honje sebelah selatan dengan luas 10.000 Ha ditetapkan sebagai Cagar Alam. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 99KptsUmI1978, kawasan Cagar Alam tersebut diperluas ke arah utara dengan luas 9.498 Ha. Cagar Alam Gunung Honje mulai dikelola dengan manajemen Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 096KptsII1984. Bersama dengan Cagar Alam Semenanjung Ujung Kulon dan cagar Alam Pulau Panaitan, status cagar alam tersebut diubah menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 284Kpts- II1992. Selanjutnya Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia oleh Badan International UNESCO melalui Surat nomor SCECO5867.2.409 tanggal 1 Februari 1992. Secara geografis Kecamatan Sumur terletak antara 6º39’ - 6º49’ Lintang Selatan dan 105 º29’ - 105 º37’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif pemerintahan kawasan ini termasuk wilayah Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Kawasan ini dapat dicapai melalui jalan darat dan laut. Dari labuan perjalanan darat dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dengan jarak 70 Km dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam. Sedangkan perjalanan laut dapat ditempuh selama kurang lebih 5 jam dengan menggunakan kapal motor. Jarak ibukota Kecamatan Sumur dengan ibukota Kabupaten Pandeglang + 107km, dengan ibukota Propinsi Banten + 132 km dan dengan ibukota Negara Republik Indonesia + 203 km. Kecamatan Sumur berbatasan dengan Selat Sunda di sebelah Utara, di sebelah timur Kawasan Hutan Konservasi TNUK dan di sebelah selatan Samudera Indonesia. Kawasan ini memiliki curah hujan tahunan rata-rata 3.140 mm dengan suhu berkisar 28ºC - 30 ºC dan kelembaban 80 -90. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai April bersamaan dengan musim angin barat laut dengan curah hujan per bulan mencapai lebih dari 200 mm, dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember mencapai lebih dari 400 mm. Sedangkan angin dari arah timurselatan terjadi pada musim selatan Mei-September. Secara Geologi, kawasan ini termasuk sistem pegunungan tersier muda yang menutupi strata pra tersier dari dangkalan Sunda pada zaman tersier. Selama masa Pliocene deretan pegunungan Honje diperkirakan telah membentuk ujung selatan dari dari deretan pegunungan Bukit Barisan di Sumatera, kemudian terpisah setelah terlipatnya kubah Selat Sunda. Batu-batuan di kawasan Gunung Honje bagian timur tertutup oleh batuan kapur dan liat, sedangkan batu-batuan di bagian tengah kawasan tersebut tertutup oleh endapan vulkanis dan tufa laut. Kawasan Kecamatan Sumur di satu sisi bertopografi pegunungan yang miring ke arah timur dimana bagian baratnya merupakan barisan perbukitan yang cukup curam dengan kemiringan lereng rata-rata 30º - 60 º, sedangkan sisi timur lebih landai dan bergelombang dan sebelah selatan berbatasan langsung dengan laut lepas Samudera Indonesia Kecamatan Sumur memiliki luas wilayah + 38.2 km 2 atau 3.820.000 Ha, terdiri dari tujuh desa dengan 39 Rukun Warga dan 124 Rukun Tetangga. Berdasarkan data kependudukan Kecamatan Sumur Tahun 2012, jumlah penduduk di wilayah ini berjumlah 23.395 jiwa. Sumber penghasilan utama masyarakat Kecamatan Sumur adalah pertanian dan perikanan. Gambar 16. Desa-Desa di Pesisir Ujung Kulon Sumber : TNUK Ujung Kulon Pada Tahun 2011, jumlah penduduk Kecamatan Sumur 23.070 jiwa, terdiri dari 11.723 penduduk laki-laki dan 11.347 penduduk wanita. Kepadatan penduduk secara umum di Kecamatan Sumur hanya 604 jiwakm 2. Ditinjau dari perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Sumur menunjukkan pertambahan penduduk dari kurun waktu 2007-2011 sekitar 5,5 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah rumah tangga di Kecamatan Sumur sebesar 5.803 rumah tangga. Gambar 17. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kecamatan Sumur Penduduk Kecamatan Sumur hampir seluruhnya beragama Islam, dari 23.070 jiwa penduduk hanya satu orang yang beragama Kristen Protestan migran dari Papua yang bertempat tinggal di Desa Sumberjaya. Walaupun berupa kecamatan dengan desa-desa pesisir, namun kehidupan masyarakat masih diimbangi dengan kehidupan agamis. Hal ini terciri dari banyaknya ulama, mubaligh dan khotib di Kecamatan Sumur, yaitu 36 orang ulama, 50 rang mubaligh dan 72 orang khotib. Dari aspek pendidikan, di Kecamatan Sumur terdapat fasilitas pendidikan tingkat SMA, SMP sederajat dan SDsederajat. Tabel 9. Pendidikan Formal di Kecamatan Sumur Tahun 2011 No Tingkat Pendidikan Jenis Sekolah Jumlah Guru Jumlah Murid Rasio Guru Murid Negeri Swasta 1 Sekolah Dasar dan Sederajat 15 1 199 3733 18,75 2 Sekolah Menengah Pertama 3 2 83 1299 17,6 3 Sekolah Menengah Atas 1 - 19 179 9,42 Fasilitas pelayanan kesehatan yang terdapat di Kecamatan Sumur terdiri dari Puskesmas 1 buah, Puskesmas Pembantu Pustu, 1 buah, Puskesmas Keliling pusling, 3 buah dan Polindes 1 buah. Fasilitas kesehatan ini hanya memiliki 1orang dokter umum dan 20 paramedis non spesialis dan 8 bidan desa. Jumlah tenaga kesehatan ini harus dapat melayani penderita penyakit yang jumlahnya relatif banyak. Data Monografi desa Sumberjaya tahun 2012 mencatat jumlah penduduk desa ini sebesar 4.047 orang terdiri dari jumlah penduduk perempuan 2.074 orang dan penduduk laki-laki 1.973 orang. Desa ini memiliki tiga kampung, yaitu Kampung Sukarame, Kampung Karya Bakti dan Kampung Sama Warga dan terdiri dari 9 RW dan 18 RT. Jumlah KK 989 KK, tersebar atas 211 KK di Kampung Sukarame, 528 KK di Kampung Karya Bakti dan 250 KK di Kampung Sama Warga. Desa Sumberjaya menjadi Ibukota Kecamatan Sumur. Desa Sumberjaya merupakan desa di Kecamatan Sumur yang paling padat penduduknya. Rata-rata kepadatan penduduk Desa Sumberjaya adalah 1.264 jiwakm 2 . 21813 22173 22747 22754 23070 5000 10000 15000 20000 25000 1 2 3 4 5 Gambar 18. Desa Sumberjaya sebagai Desa Pesisir Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Sumberjaya adalah sebagai nelayan. Sebagian penduduk ada yang bermatapencaharian sebagai petani, pedagang dan jasa buruh lepas dan PNSpensiunan. Penduduk adalah penduduk yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Mayoritas nelayan setempat dapat dikatagorikan sebagai nelayan kecil oleh karena armada penangkapannya masih tradisional menggunakan perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan perahu dengan kapasitas kurang dari 5 GT gross ton. Petani di Desa Sumberjaya terdiri dari petani sawah dan petani ladang, sedangkan pedagang dan jasa merupakan penduduk yang terlibat dalam sektor perdagangan dan jasa, khususnya jasa pariwisata dan transportasi. Tabel 10. Jenis-jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sumber Jaya No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk 1 Nelayan 819 62,57 2 Petani 171 13,06 3 Pedagangjasa 230 17,57 4 Buruh lepas 22 1,68 5 PNSPensiunan 67 5,12 Jumlah 1309 100,00 Sumber : Monografi Desa Tahun 2012 Kehidupan masyarakat Desa Sumberjaya yang berada di kawasan Pesisir Ujung Kulon sepintas hampir sama dengan kehidupan masyarakat pesisir pada umumnya yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, menggantungkan penghidupannya pada laut dan memiliki kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan khas masyarakat pesisir. Namun, satu hal yang membuat penghidupan masyarakat setempat memiliki ciri yang khas terkait dengan posisi wilayah secara georgrafis di satu sisi wilayah adalah wilayah pegunungan Hutan Lindung dan daerah pertanian dan di sisi lain adalah lautan, sehingga menjadikan mata pencaharian penduduk menjadi bervariasi antara penduduk yang bermata pencaharian petani dan nelayan. Secara geografis, wilayah ini juga merupakan wilayah pesisir yang menyediakan pesona keindahan alam yang menjadikan berkembangnya kegiatan pariwisata. Kondisi ini juga memberikan peluang bagi berkembangnya mata pencaharian di sektor jasa dan perdagangan. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sebagai nelayan tangkap yang menggunakan alat tangkap bagan dan jaring. Jika dilihat dari status para nelayan dalam usaha penangkapan ikan dapat dibedakan antara nelayan pemodal juragan kapal motor, juragan sobong, langgan, nelayan menengah adalah nelayan yang sudah memiliki alat tangkap sendiri dan memiliki modal sendiri para pemilik bagan yang permodalannya sudah mandiri. Nelayan kecil terdiri dari nelayan yang tidak memiliki alat tangkap atau memiliki alat tangkap sederhana dan tergantung secara permodalan termasuk didalamnya buruh nelayan. Nelayan buruh umumnya merupakan nelayan yang tidak memiliki unit alat penangkapan ikan dan hanya berstatus sebagai anak buah dengan imbalan bagi hasil tangkapan ataupun upah. Nelayan juragan umumnya menduduki satus sosial yang paling tinggi dalam masyarakat karena kekayaan yang mereka miliki dan peran sosial yang penting dalam usaha penangkapan ikan dan keberlangsungan aktivitas mata pencaharian para nelayan. Saat ini para nelayan Desa Sumberjaya lebih banyak mengusahakan unit usaha perikanan dengan alat tangkap bagan bagan apungjerigen, bagan perahu dan bagan badak dengan komoditas utama ikan teri yang merupakan komoditas ekspor. Ikan teri secara ekonomis memiliki nilai ekonomi tinggi dan situasi ini menarik minat para nelayan pemodal dari luar wilayah Lampung, Makassar, Indramayu dan Cirebon masuk ke wilayah ini, membuka usaha perikanan baik investasi usaha penangkapan maupun pengolahan hasil ikan dan pemasarannya. Selain sebagai nelayan, penduduk Desa Sumberjaya juga ada yang bermata pencaharian sebagai petani. Mereka umumnya mengusahakan pertanian sawah di lahan basah dan lahan kering dan kebun sayur-sayuran. Sebagian kecil dari mereka mengusahakan perkebunan tanaman perkebunan seperti jeng- jeng albasia, jati, dan lain-lain. Terdapat pula penduduk yang menjadi petani sekaligus menjadi nelayan. Jika pada musim tangkapan ikan, mereka biasanya menjadi anak buah nelayan buruh di bagan-bagan milik para nelayan juragan dan ketika di masa paceklik, mereka berubah profesi menjadi petani dengan menanam sayur-sayuran di kebun. Penduduk yang memiliki sumber mata pencaharian ganda seperti ini umumnya hanya ditemui pada nelayan yang berusia tua, dimana tenaga mereka sudah mulai berkurang. Jika nelayan berusia muda pada waktu musim paceklik melakukan penangkapan ikan di wilayah penangkapan ikan yang cukup jauh yang membutuhkan waktu seminggu atau lebih baru kembali, maka nelayan yang berusia tua biasanya lebih suka berada di kampung dan mengisi waktu senggangnya dengan bertanam sayuran atau menanam padi di sawah. Sektor jasa dan pariwisata dan perdagangan juga memegang peranan penting sebagai alternatif mata pencaharian, namun sektor pariwisata pada saat ini belum mengalami perkembangan yang berarti, karena kondisi kebijakan dan politik pembangunan yang dijalankan pemerintah daerah dan pemerintah pusat seakan sulit untuk membuat perkembangan yang berarti dari sektor ini. Walaupun pada awalnya wilayah ini seakan menjadi wilayah tumpuan harapan dari pengembangan sektor pariwisata di Propinsi Banten. Namun segala upaya pengembangan sektor wisata seakan berhenti seiringnya melemahnya minat masyarakat untuk berwisata di pantai. Menurut penduduk setempat, jumlah wisatawan yang masuk ke wilayah ini semakin menurun semenjak tsunami di Aceh dan Pelabuhan Ratu dan isue tsunami terus merebak sampai saat ini. Ditambah lagi investasi-investasi di bidang pariwisata yang dilakukan oleh investor swasta seolah terhenti pada lima tahun terakhir ini, sehingga para pelaku sektor pariwisata hanya mengandalkan fasilitas pariwisata yang sudah ada. Di desa Sumberjaya, kegiatan pariwisata yang tetap berjalan adalah kunjungan wisatawan ke Pulau Umang yang merupakan pulau milik pribadi yang dikelola oleh pihak swasta dan penduduk lokal berkesempatan menjadi karyawan di lokasi wisata tersebut. Selain itu ada pula kunjungan para wisatawan ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Panaitan, Pulau Peucang dan Pulau Handeleum. Penduduk mendapatkan sedikit keuntungan dengan kesempatan menyediakan jasa penyewaan perahu dan jasa guiding. Di masa datang, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, wilayah ini tetap dijadikan sebagai fokus utama dari pengembangan sektor pariwisata di Propinsi Banten dengan adanya gagasan untuk membuat lokasi wisata terpadu yang menyatukan wisata Taman Nasional dan wisata Pesisir, namun sampai saat kegiatan penelitian dilakukan, belum terlihat ada tanda-tanda dari pelaksanaan gagasan tersebut. Kondisi pariwisata lokal yang berkembang saat ini terkesan seadanya dan tampak seperti “hidup segan mati tak mau ”. Di sektor perdagangan menunjukkan perkembangan yang sedikit lebih baik daripada sektor pariwisata. Sektor ini berkembang cukup pesat dikarenakan Desa Sumberjaya merupakan wilayah yang menjadi gerbang atau pintu masuk dari Desa-Desa Pesisir lainnya di wilayah ini. Selain itu pusat pasar di Wilayah Kecamatan Sumur juga terletak di Desa ini. Secara otomatis Desa ini menjadi pusat perdagangan se-wilayah Kecamatan Sumur. Dalam hal perdagangan hasil- hasil perikanan laut, Desa Sumberjaya menjadi tempat berkumpulnya para pedagang besar dan kecil oleh karena di Desa ini juga terdapat Pelabuhan Pendaratan Ikan PPI dan Tempat Pelelangan Ikan TPI. Musim tangkapan ikan tinggi berarti pula musim para nelayan beraktivitas. Hampir tidak ada ditemukan nelayan yang menganggur. Para anak muda biasanya juga beraktivitas membantu keluarganya di laut. Saat musim tangkapan tinggi, suasana di kampung-kampung Desa Sumberjaya menjadi lengang di siang dan malam hari, namun menjadi hiruk pikuk ketika di pagi dan sore hari, ketika para nelayan berlabuh atau mulai turun ke laut. Adanya musim ikan kembung, cumi, udang, tenggiri, tongkol, kakap, dan lain-lain juga menghidupkan usaha perdagangan ikan di Pasar Sumur dan di Basisir pelabuhan pendaratan ikan yang terletak di Desa Sumberjaya. Di setiap pagi hari dan sore hari para pedagang besar dan kecil berkumpul melakukan transaksi jual beli ikan hasil tangkapan para nelayan, kemudian hasil tangkapan tersebut di pasok untuk kebutuhan masyarakat Banten dan sekitarnya, bahkan juga diangkut ke luar propinsi, seperti ke wilayah Jakarta, Lampung dan Bogor. Gambar 19. Suasana di Pelabuhan Pendaratan Ikan, Ketika Musim Tangkap Ikan Pemandangan yang berlawanan terlihat ketika musim tangkapan ikan sedikit dan musim paceklik tiba. Di wilayah ini musim paceklik terjadi di sekitar bulan Oktober sampai Pebruari, dimana di waktu ini merupakan musim tangkapan ikan sedikit dan musim paceklik. Jika tiba musim ini aktivitas para nelayan menjadi menurun dan seperti terjadi effek domino pada kehidupan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Transaksi jual beli di pasar-pasar menjadi menurun. Banyak nelayan yang menganggur. Kalaupun beraktivitas, hanya sekedar kegiatan pemeliharaan dan perbaikan bagan-bagan sudah ditarik ke pesisir. Sebagian nelayan yang memiliki lahan pertanian mengisi waktunya menanam padi di sawah atau bertanam sayuran. Sebagian kecil nelayan yang lain secara berkelompok menjadi anak buah kapal di wilayah lain seperti Labuan dan Lampung. Namun pemandangan yang lazim pada saat musim paceklik, para nelayan lebih banyak berkumpul di warung-warung kopi, mengobrol dengan sesamanya sekedar mengisi waktu luang. Dengan situasi tersebut, sulit untuk memberikan peluang dan pilihan bagi masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan penghidupan yang lebih baik. gambaran sistem penghidupan masyarakat Desa Sumberjaya umumnya masih dapat dikatakan dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Tingkat kesejahteraan yang masih rendah memang tidak bisa digambarkan atau diacu dari ketidakcukupan makan, ketiadaan rumah atau tempat tinggal dan ketiadaan pakaian layak pakai yang umumnya ditemui pada masyarakat miskin perkotaan. Umumnya masyarakat desa setempat dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, memiliki tempat tinggal dan masih dapat memenuhi kebutuhaan sandang secara layak dengan mata pencaharian yang mereka miliki selama ini. Namun, satu hal yang menjadi penyebab dari kesulitan penghidupan masyarakat adalah menyangkut ketidak pastian dan ketidakrutinan memperoleh pendapatan. Hal ini menjadi keadaan yang dialami oleh masyarakat desa yang umumnya berprofesi sebagai nelayan, petani dan berkecimpung di bidang jasa. Gambar 20. Suasana di Pelabuhan Pendaratan Ikan Basisisr Sepi Ketika Musim Paceklik Tiba Masyarakat yang memiliki profesi sebagai nelayan memiliki tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi daripada petani, jika dihitung dari total pendapatan sepanjang tahun. Seharusnya dengan kondisi tersebut, mereka dapat mencapai tingkat kesejahteraan penghidupan yang baik. Namun tidak demikian yang dapat dilihat dari kehidupan para nelayan setempat. Tingkat kesejahteraan mereka tidak dapat dikatakan lebih baik jika dilihat dari pemukiman mereka yang umumnya terlihat kumuh dan umumnya sangat sederhana. Gambar 21. Tempat Tinggal dan Pemukiman Nelayan Umumnya tempat tinggal nelayan tergambarkan dengan rumah-rumah di sepanjang pesisir pantai yang sangat sederhana dan kurang tertata rapi. Rumah- rumah sederhana berdinding gedek atau papan yang didalamnya hanya terdapat peralatan rumah tangga sekedarnya merupakan gambaran khas rumah nelayan, terutama nelayan yang tidak bermodal dan tidak memiliki alat tangkap sendiri. Mereka umumnya menjadi nelayan dengan menjadi anak buah dari majikanjuragan yang merupakan nelayan bermodal. Dengan kondisi demikian, sangat lumrah ditemukan nelayan-nelayan yang dapat dikatakan miskin dan harus mengandalkan jaminan sosial yang disediakan pemerintah untuk menunjang kehidupan mereka. Misalnya, para nelayan ini harus mengandalkan jaminan kesehatan masyarakat atau jamkesmas ketika jatuh sakit. Mereka juga umumnya menjadi penerima dana-dana bantuan langsung baik dari pemerintah maupun pihak-pihak LSM. Di Desa Sumberjaya hampir tidak ditemukan penduduk yang tidak bertempat tinggal. Umumnya setelah menikah mereka dapat membangun rumah tinggal sendiri meskipun sederhana. Kalaupun mereka belum mampu membangun rumah sendiri, mereka dapat bertempat tinggal menumpang di rumah orang tua, mertua ataupun saudara. Rumah-rumah permanen berdinding semen dan berlantai keramik yang berjajar rapi di sepanjang jalan raya desa umumnya dimiliki oleh para PNS guru, tentara dan pensiunan, para tokoh agama, pedagang dan para nelayan juragan. Gambar 22. Pusat Perdagangan dan Pusat Pemerintahan Kecamatan Sumur Secara umum di Kecamatan Sumur masih terdapat 2910 keluarga prasejahtera, dan di Desa Sumberjaya masih terdapat 301 rumah tangga yang tergolong dalam katagori keluarga prasejahtera, dan mayoritas dari keluarga prasejahtera ini berprofesi sebagai nelayan, terutama nelayan buruh. Gambar 23. Jumlah dan Persentase Keluarga Sejahtera dan Prasejahtera Kecamatan Sumur Gambar 24. Jumlah dan Persentase Keluarga Sejahtera dan Prasejahtera Desa Sumberjaya Negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mempunyai kepentingan dan memberikan pengaruh secara langsung terhadap kegiatan pengelolaan perikanan serta terkait dengan masyarakat nelayan. Hal tersebut mendasari keberadaan Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Propinsi Banten dan Kabupaten Pandeglang yang merupakan perpanjangan tangan dari negara yang memiliki peranan menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam hal ini Negara melalui Dinas setempat melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dan juga berkewajiban melakukan pembinaan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan, melakukan koordinasi dan fasilitasi dalam rangka kelancaran pengelolaan perikanan. Melalui berbagai program bantuan terhadap nelayan, DKP memberikan dukungan pendanaan atau bantuan kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Program pembinaan dan bantuan yang pernah diterima oleh masyarakat nelayan Sumber Jaya antara lain : a Pada Tahun 2003, terdapat program konsultan keuangan Mitra Bank KKMB Perikanan. Dalam program ini terdapat 1 orang konsultan keuangan diterjunkan ke Desa Sumber Jaya untuk membantu dan mendampingi masyarakat mengakses dana perbankan. Adanya pendampingan tersebut memfasilitasi kelompok nelayan, dan akhirnya proposal pendanaan Bank oleh kelompok nelayan Sumber Jaya berhasil disetujui dengan bantuan dana lebih dari 50 juta rupiah informasi jumlah persisnya tidak ada. Kelompok nelayan Desa Sumber Jaya terdiri dari 30 anggota, dan dana yang dikucurkan tersebut dibagikan kepada para anggota dan digunakan sebagai modal kerja usaha perikananpenangkapan ikan. Sampai saat ini, kegiatan tersebut tidak berlanjut dan kelompok ekonomi permodalan tersebut sudah bubar dan tidak ada lagi b Pada Tahun 2005, terdapat program Skim Modal Kerja yang diberikan oleh DKP Kabupaten Pandeglang secara langsung kepada pelaku usaha mikro skala rumah tangga dalam bidang pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan pembudidayaan. Pada Desa Sumber Jaya, bantuan modal tersebut digunakan khususnya untuk pengolahan hasil laut pembuatan ikan asin dan pemasaran ikan. Penerima bantuan adalah para ibu rumah tangga yang memiliki usaha-usaha tersebut pembuat ikan asin, bakul ikan keliling. Bantuan tersebut tidak berlanjut dan tidak meninggalkan keberhasilan yang berarti. c Program Optimalisasi Penangkapan Ikan OPTIKAPI, sasarannya adalah para nelayan. Pada program ini diberikan bantuan pengadaan kapal motor bagi kelompok nelayan Desa Sumber Jaya. Program ini dianggap kurang berhasil oleh masyarakat. Kapal motor yang diintroduksir oleh DKP Kabupaten Pandeglang dianggap tidak sesuai dengan yang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, karena terlalu besar sehingga jika ingin mendaratkan membutuhkan muara. Sementara di Desa Sumber Jaya tidak terdapat muara yang menjadikan masalah bagi penggunaan kapal tersebut. Menurut informan, jika ingin mendaratkan kapal perlu tenaga kurang lebih 20 orang hanya untuk menambatkan kapal tersebut. Walaupun daya jelajah kapal tersebut lebih luas, namun bermasalah dalam hal pendaratan, menjadikan anggota kelompok nelayan enggan memakai kapal tersebut. Ketika nelayan ditanyakan dimana keberadaan kapal motor bantuan tersebut, hampir semua informan menjawab tidak tahu, dan sebagaian lagi menjawab kapal tersebut sudah rusak. d Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP pada tahun 2006. Program ini juga bergerak pada aspek pendanaan usaha perikanan, pembangunan sarana transaksi perikanan, namun pelaksanaannya masih diberikan pada Lembaga Keuangan Mikro yang berkedudukan di Kecamatan Sumur. Keberhasilan program ini bagi masyarakat Sumber Jaya adalah salah satunya adanya perbaikan sarana Tempat Pelelangan Ikan TPI Basisir. Selain itu menurut Informan, beberapa nelayan di Desa Sumber Jaya sudah memiliki akses terhadap LKM Sumur dan pernah menerima bantuan permodalan. Namun sebagian kecil informan yang menyatakan memanfaatkan akses tersebut, sebagian besar informan menyatakan lebih suka memanfaatkan lembaga keuangan informal lokal yang ada di desa tersebut e Program bantuan Perahu Motor Congkreng tahun 2012, nelayan setempat mendapatkan tiga buah kapal motor untuk keperluan penangkapan ikan di laut. Namun sarana melaut tersebut menjadi hak pribadi orang yang menerima bantuan tersebut. Nelayan lain yang memakai atau meminjam sarana melaut bantuan pemerintah tersebut tetap harus melakukan bagi hasil dengan pihak yang mengklaim dirinya sebagai pemilik perahu tersebut. Dari program pembinaan dan bantuan yang pernah diterima oleh masyarakat nelayan setempat yang sebenarnya merupakan pemenuhan kewajiban negara lebih dirasakan dirasakan sebagai program yang tidak berkelanjutan, bersifat jangka pendek dan accidental serta hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Nelayan yang pernah menerima bantuan dan sasaran dari program kegiatan yang dirancang oleh pemerintah umumnya menyatakan bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tersebut kaitannya relatif tidak terlalu signifikan dengan sistem penghidupan ekonomi mereka dan menganggap bahwa upaya untuk mempertahankan survival ekonomi tetap mengandalkan sistem perekonomian yang dikonstruksikan secara mandiri. Terlebuh nelayan lain yang tidak tersentuh bantuan atau program dari pemerintah harus mengkonstruksikan secara mandiri mekanisme sistem penghidupan mereka yang dianggap dapat mempertahankan penghidupan nelayan pada kondisi survival. Hal lain yang wujud dari pelaksanaan Undang-undang Perikanan dan Peraturan Pemerintah terkait dengan kebijakan perikanan yang berpengaruh terhadap masyarakat setempat adalah keberadaan UPT Unit Pelaksana Teknis PPI Pangkalan Pendaratan Ikan dan TPI Tempat Pelelangan Ikan Kecamatan Sumur. Institusi ini berperan menyelenggarakan pengelolaan dan pembinaan kegiatan Pangkalan Pendaratan Ikan dan Tempat Pelelangan Ikan. Di Kecamatan Sumur terdapat dua TPI yang berlokasi di Desa Sumber Jaya dan Desa Taman Jaya. TPI bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana pokok dan penunjang kegiatan pemasaran ikan di wilayah tersebut. Menyelengggarakan pelaksanaan teknis terhadap kapal perikanan, ketertiban dan kebersihan. Membantu memasarkan hasil perikanan Memberikan perlindungan bagi nelayan dalam hal penentuan harga. Menurut Peraturan yang telah dikeluarkan DKP, bahwa semua pendaratan ikan harus melalui TPI setempat, termasuk kegiatan pelelangannya. peraturan ini sulit dipenuhi oleh nelayan setempat karena adanya palele yang melakukan pembelian ikan di tengah laut, sehingga pembelian tersebut tidak teridentifikasi oleh TPI setempat. Pada kenyataannya hanya sebagian kecil dari tangkapan nelayan yang masuk ke TPI. Otomatis retribusi pungutan yang dapat dikumpulkan oleh TPI menjadi relatif kecil. Artinya data produksi perikanan yang terdapat di TPI kurang akurat untuk menggambarkan produksi ikan yang sebenarnya di wilayah setempat, karena transaksi jual beli ikan di tengah laut masih kerap terjadi. Tabel 11. Data Produksi, Raman dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan TPI Sumur Bulan Januari- Agustus 201 No Bulan Produksi Kg RAMAN Rp RETRIBUSI 4 1 Januari 123.00 2,583,000.00 103,320.00 2 Pebruari 4,750.00 4,750,000.00 190,000.00 3 Maret 2,000.00 2,812,000.00 112,500.00 4 April 12,325.00 21,825,000.00 873,000.00 5 Mei 18,518.00 23,126,250.00 925,050.00 6 Juni 32,432.00 45,952,000.00 1,838,080.00 7 Juli 60,240.00 77,572,500.00 3,102,900.00 8 Agustus 44,950.00 71,000,000.00 2,840,000.00 Jumlah 175,338.00 249,621,250.00 9,984,850.00 Sumber : TPI Kecamatan Sumur Terkait dengan institusi sosial nelayan yang ada Di desa Sumber Jaya terdapat lembaga Rukun Nelayan, HNSI dan Koperasi yang merupakan tempat asosiasi nelayan setempat. Lembaga Rukun Nelayan merupakan lembaga bentukan dari bawah yang berperan sebagai saluran untuk mengakomodir permasalahan yang ada di dalam kehidupan melaut nelayan. Seringkali dalam melakukan kegiatan melaut muncul permasalahan atau konflik, baik muncul di kalangan nelayan ataupun pihak luar seperti TNUK. Konflik dengan nelayan biasanya berupa konflik alat tangkap dan konflik pengelolaan sumber daya perikanan. Konflik dengan TNUK biasanya terkait dengan pelanggaran batas zona yang telah ditetapkan oleh TNUK. Rukun nelayan juga merupakan sarana silaturahmi antar nelayan serta wadah untuk menampung informasi dari masyarakat. Sedangkan HNSI Sumur merupakan asosiasi masyarakat nelayan bentukan dari atas. Asosiasi ini lebih berperan sebagai mediator antara nelayan yang menjadi anggotanya dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan memberikan masukan hal-hal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kemunculan koperasi nelayan di wilayah ini erat kaitannya dengan adanya program bantuan pemerintah dan dunia perbankan dalam skim kredit mikro. Di luar dari penyaluran kredit, koperasi tersebut tidak terlalu berjalan. Sebenarnya tujuan dari dibentuknya koperasi nelayan adalah untuk meningkatkan kekuatan kolektif ekonomi masyarakat, namun peranan koperasi rupanya tidak terlalu berfungsi. Fungsi ekonomi kolektif nelayan terpenuhi dengan adanya jaringan ekonomi antara langganjuragantengkulak-sobong-palele-nelayan bagang. Sampai saat ini jaringan ekonomi yang memiliki ikatan kuat dan memiliki pengaruh besar terhadap sistem perekonomian setempat adalah jaringan ekonomi kolektif tersebut.

BAB 5 TRANSFORMASI MASYARAKAT NELAYAN UJUNG KULON

Tonggak Historikal Tranformasi Masyarakat Nelayan Ujung Kulon Desa Sumber Jaya telah mengalami beberapa tonggak kesejarahan yang cukup berpengaruh secara signifikan terhadap perubahantransformasi sosial yang terjadi yang memiliki akibat lanjutan terhadap transformasi sistem nafkah dan ekonomi masyarakat nelayan. Di masa lalu, secara historikal catatan tentang kawasan Ujung Kulon sendiri sebenarnya sudah ada semenjak tahun 1846. Ketika seorang ahli Botani Jerman, F. Junghun pada Tahun 1846 melakukan pengumpulan tumbuhan tropis. Pada masa itu kekayaan flora dan fauna Ujung Kulon sudah mulai dikenal oleh para peneliti. Bahkan perjalanan ke Ujung Kulon ini sempat masuk di dalam jurnal ilmiah beberapa tahun kemudian TNUK. 2009. Selanjutnya tidak banyak lagi catatan mengenai Ujung Kulon sampai meletusnya gunung krakatau pada tahun 1883. Pada saat gunung Krakatau meletus terdapat beberapa catatan yang menggambarkan kedahsyatan letusan Krakatau yang menghasilkan gelombang tsunami setinggi kurang lebih 15 meter, telah memporak-porandakan tidak hanya pemukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi satwaliar dan vegetasi yang ada. Meskipun letusan Krakatau pada tahun 1883 seakan mengakhiri cerita tentang Ujung Kulon karena telah menyapu bersih kawasan Ujung Kulon, akan tetapi beberapa tahun kemudian diketahui bahwa ekosistem-vegetasi dan satwa liar di Ujung Kulon tumbuh baik dengan cepat. Di era penjajahan Hindia Belanda, kawasan Ujung Kulon merupakan lokasi penelitian para ilmuan Belanda oleh karena wilayah ini memiliki kekayaan alam yang dianggap sangat penting dan perlu dilestarikan. Pada tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature , Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda Nomor : 60 Tanggal 16 Nopember 1921 TNUK. 2009. Sejarah tentang masyarakat Ujung Kulon sendiri baru dapat ditelusuri pada era tahun 1930-an. Dengan ditetapkannya Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan sebagai wilayah suaka, maka wilayah ini seakan terisolasi dari luar, karena hanya pihak-pihak yang berkepentingan saja yang mendatangi wilayah ini. Namun ternyata tidak menjadi menutup kemungkinan munculnya pemukiman penduduk yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah kampung. Menurut para informan, sekitar Tahun 1930-an, mulai terbentuk kampung- kampung di sekitar pesisir Ujung Kulon termasuk Kampung Sumur yang menjadi cikal bakal Kecamatan Sumur dan Desa Sumber Jaya. Penduduknya adalah penduduk asli setempat sebagaian penduduk yang berhasil menyelamatkan diri ketika tragedi Gunung Krakatau meletus. Pada saat itu juga mulai ada migrasi masuk nelayan-nelayan yang berasal dari labuan Kabupaten Pendeglang, Carita, Binuangeun. Pada mulanya mereka ke laut untuk mencari ikan dan singgah di wilayah pesisir ini hingga pada akhirnya menetap. Merekalah yang dianggap penduduk asli di Pesisir Ujung Kulon, yang pada saat ini disebut sebagai urang kulon . Menurut Informan, pada jaman pendudukan Hindia Belanda dan Jepang di pulau-pulau kecil di perairan Ujung Kulon dan Hutan sekitar Pegunungan Honje menjadi tempat persembunyian penduduk untuk menghindari kerja paksa menjadi tenaga rodi dan romusha dari penjajah Belanda dan Jepang. Pada Tahun 1937, Besluit Van Der Gouverneur General Van Nederlandch Indie dengan keputusan Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 menetapkan status kawasan Suaka Alam tersebut kemudian diubah menjadi Kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Pada Masa itu, jumlah penduduk masih sedikit dan pemukiman hanya terdapat pada garis sepanjang pantai Ujung Kulon. Pada masa ini akses transportasi hanya melalui laut dan jalan setapak yang menghubungkan wilayah Pesisir dengan wilayah Cibaliung. Adanya migrasi nelayan dari Labuan, Carita dan Binuangeun mendorong kegiatan pencetakan sawah di wilayah pesisir semakin meluas. Namun para nelayan tersebut tidak bermata pencaharian sebagai nelayan lagi, namun mengikuti penduduk asli yang bermata pencaharian sebagai petani sawah dan mengambil hasil hutan. Penduduk mulai memikirkan untuk dapat mencukupi sendiri kebutuhan beras, mereka mulai mengusahakan untuk mencetak sawah di sekitar pesisir yang pada saat itu berupa rawa. Tidak ada informasi tentang siapa yang pertama kali mencetak sawah, namun keberadaan sawah menjadikan penduduk Kampung ini bertambah banyak, oleh karena banyak para nelayan yang berasal dari Labuan yang memilih menetap dan turut mencetak sawah. Persawahan yang dicetakpun bertambah luas dari semula hanya daerah rawa di pesisir sampai pada batas Taman Nasional. Dengan adanya persawahan ini para penduduk dapat mencukupi kebutuhan pangan beras secara mandiri. Pada masa itu, sudah ada jalan setapak yang menghubungkan Kec. Cibaliung sampai Kampung ini. Hasil hutan yang dikumpulkan penduduk dipasarkan dengan berjalan kaki ke Cibaliung. Sesekali ada pedagang dari luar wilayah pesisir yang masuk ke wilayah ini dengan menggunakan transportasi kuda. Kuda menjadi alat transportasi vital yang mengangkut bahan kebutuhan penduduk terutama gula, garam, tekstil dari Cibaliung yang ditukar dengan hasil hutan yang merupakan hasil dari mata pencaharian penduduk Kampung Sumur pada masa itu. Sebagian kecil penduduk setempat ada yang memiliki kuda yang mereka gunakan sebagai alat transportasi ketika mereka ke hutan untuk mengumpulkan madu dan hasil hutan lainnya yang dapat ditukar dengan beras dan kebutuhan lainnya. Sekitar tahun 1945-an, di era kemerdekaan Negara Indonesia, di Kampung Sumur mulai dibangun bandar pelabuhan kecil yang mendorong perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Adanya bandar memberi arti penting bagi perkembangan perekonomian wilayah setempat dan merupakan titik awal masyarakat pesisir Ujung Kulon mengenal pasar yang lebih luas. Keberadaan bandar dapat membuka akses keluar masuk wilayah menjadi lebih lancar. Semenjak ditetapkannya wilayah pesisir Ujung Kulon sebagai wilayah Suaka pada tahun 1921 sampai pendudukan Hindia Belanda berakhir dan digantikan oleh pendudukan Jepang, wilayah ini seakan tertutup dari dunia luar. Keberadaan prasarana transportasi berupa jalan setapak dan alat transportasi kuda tidak dapat mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Penduduk setempat harus sedapat mungkin secara mandiri mengusahakan pemenuhan kebutuhan pokoknya. Dengan jalan setapak, tidak banyak hasil hutan yang dapat dipasarkan, sebaliknya tidak banyak barang-barang kebutuhan penduduk yang dapat diangkut. Artinya arus transaksi ekonomi dari dan keluar wilayah menjadi sangat terbatas. Suatu hal yang berbeda ketika dibangun Bandar yang memungkinkan wilayah ini menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang tradisional dari luar dan sekaligus memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi yang lebih banyak dan memungkinkan mengangkut produk sumber daya lokal dalam jumlah besar ke luar wilayah seperti labuan, serang, carita dan binuangen. Keberadaan bandar juga mengundang pemodal-pemodal luar yang masuk ke wilayah ini dan mulai membangun usahanya. Keberadaan bandar juga menjadikan komoditas kelapa semakin memiliki nilai ekonomi, karena kapal-kapal dagang tradisional yang singgah memungkinkan mengangkut kopra sebagai hasil olahan kelapa lebih banyak. Dengan situasi ini, maka selain mencetak sawah, para penduduk juga mulai memperluas perkebunan kelapa dengan menanam pohon kelapa untuk dijadikan kopra di sepanjang pesisir sampai batas Semenanjung Ujung Kulon. Kopra dipasarkan di wilayah Labuan, dan untuk mengangkut hasil bumi kopra, para pedagang kopra menggunakan tembon semacam perahu layar. Pada masa itu tembon merupakan alat transportasi laut yang cukup vital karena selain mengangkut hasil bumi, tembon juga digunakan untuk mengangkut penumpang yang ingin bepergian ke wilayah Panimbang ataupun Labuan. Uniknya jika penumpang berupa orang, maka tidak diwajibkan untuk membayar ongkos angkutan. Biaya angkutan hanya dibebankan pada hasil bumi yang diangkut. Digambarkan oleh informan, bahwa setiap ada pemberangkatan maupun kedatangan tembon akan ada suara gong yang merupakan pemberitahuan kepada penduduk Kampung layaknya peluit kapal pada masa kini. Menurut informan yang pada saat itu bersekolah di salah satu pesantren yang ada di wilayah Labuan, yang bersangkutan selalu menggunakan alat transportasi ini untuk berangkat dan pulang dari sekolah. Masuknya pasar dan adanya transaksi ekonomi dengan pihak luar ternyata membawa perubahan bahwa penduduk setempat mulai mengenal sistem ekonomi uang. Jika sebelumnya lebih banyak mengenal cara-cara barter dalam transaksi ekonomi, misalnya hasil hutan dibarter dengan barang kebutuhan yang tidak bisa diproduksi sendiri seperti gula, garam dan tekstil. Dengan semakin beragamanya transaksi ekonomi menggunakan transaksi ekonomi uang, dimulailah era penduduk mengenal sistem pasar yang sebenarnya. Pada Tahun 1958, berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48Um1958 Tanggal 17 April 1958 Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah. Pada Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16KptsUm31967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan G. Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon. Untuk mempermudah keluar masuk CAUK, maka dibangunlah jalan darat yang dianggap cukup layak untuk dilalui kendaraan roda empat yang menghubungkan Kecamatan Labuan-Cibaliung. Namun ruas jalan dari Kecamatan Labuan-Cibaliung masih terkendala dengan belum adanya jembatan di Kecamatan Citeureup, sehingga perjalanan dari Labuan-Cibaliung harus ditempuh dengan cara memutar yang memerlukan jarak tempuh relatif lebih lama. Sementara prasarana jalan yang menghubungkan Kecamatan Cibaliung-Sumur tetap menggunakan jalan tanah, yang menjadikan fungsi bandar semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal. Pada masa itu listrik mulai masuk sampai pada Kecamatan Cibaliung sekitar 15 km dari kecamatan Sumur. Pada tahun 1979, melalui SK Menteri Pertanian Negara Indonesia Nomor : 39KptsUm1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498 Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon. Pada masa orde baru sekitar tahun 1980-an, kampung Sumur dijadikan sebuah desa. Pada masa ini pula mulai dibangun jalan yang lebih lebar yang dapat dilewati kendaraan roda dua dan roda empat, walaupun masih berupa jalan tanah yang dilapis dengan kerikil. Jalan ini dapat menghubungkan Kecamatan Cibaliung dengan Desa-Desa Pesisir Ujung Kulon di Kecamatan Sumur. Pembangunan jalan ini erat kaitannya dengan keberadaan Cagar Alam Ujung Kulon CAUK di masa orde baru CAUK mulai mendapatkan perhatian dunia internasional karena disana merupakan habitat dari badak bercula satu yang dianggap sangat langka, sehingga negara banyak menerima bantuan dari luar negeri untuk kegiatan konservasi. Dengan donasi dari luar negeri yang pula CAUK melakukan perluasan wilayah, sebagai cerminan bahwa pemerintah Indonesia juga memperhatikan persoalan konservasi lingkungan Sekitar tahun 1985 jalan tersebut mulai diaspal dari Cibaliung sampai Kecamatan Sumur, walaupun dari Kecamatan Sumur yang dipusatkan di Desa Sumber Jaya menuju desa-desa lainnya sampai ujung pemukiman kampung pesisir Ujung Jaya masih menggunakan jalan kerikil yang belum kunjung dihotmix sampai saat ini. Pada tahun itu pula jembatan di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan CibaliungSumur dibangun, sehingga prasarana jalan dan transportasi menjadi lebih lancar dan jaraknya lebih dekat. Pembangunan jalan ini ternyata mengubah kehidupan sosial masyarakat desa. Perubahan tersebut antara lain 1 bandar Sumur semakin tidak berfungsi dan mulai ditinggalkan. Para pengusaha lokal menganggap lebih efektif dan efesien mengangkut kopra dan hasil produksi sumber daya lokal lainnya dengan melalui jalan darat, 2 alat transportasi tembon yang merupakan alat transportasi laut utama mulai ditinggalkan, digantikan dengan kendaraan roda empat pick-up dan truk untuk mengangkut hasil bumi dan hasil laut serta kendaraan pe-es minibus yang digunakan untuk mengangkut penumpang manusia. Keberadaan alat transportasi darat ini ternyata menyebabkan akses keluar masuk penduduk menjadi lebih terbuka. Effeknya adalah beberapa penduduk mulai bermigrasi keluar, sebaliknya penduduk desa juga semakin bertambah karena adanya migrasi masuk, 3 alat transportasi kuda benar-benar ditinggalkan, digantikan oleh alat transportasi sepeda dan sepeda motor, 4 mata pencaharian penduduk mulai beragam dengan munculnya sektor perdagangan, jasa, dan menjadi buruh di Kota Jakarta, Serang, Pandeglang dan Cilegon, 5 hasil laut dan hasil hutan memiliki nilai ekonomis yang semakin tinggi Pada era tahun 80-an, perahu tembon telah digantikan oleh perahu motor yang terkait adanya migrasi masuk nelayan Cirebon, Indramayu serta Lampung Bugis yang membawa teknologi penangkapan ikan yang baru sekaligus para pemodal baru di sektor perikanan. Sejak saat itu perekonomian di sektor perikanan semakin memiliki kecenderungan perkembangan yang semakin pesat Gambar 25 . Prasarana Jalan dan Pelabuhan Pendaratan Ikan Desa Sumber Jaya Sekitar Tahun 1990-an, adanya prasarana jalan dan seiring dengan dirubahnya status kawasan Cagar Alam Ujung Kulon menjadi Taman Nasional Ujung Kulon juga memungkinkan untuk tumbuhnya pariwisata. Pada Tahun 1992, Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992 tanggal 26 Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sumberdaya alam telah mendapat pengakuan sebagai kawasan yang penting dan dibanggakan secara nasional dan internasional. Dibuktikan dengan adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site dengan Surat Keputusan Nomor: SCEco5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992. Semakin populernya TNUK sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sumber daya alam sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah yang berusaha mewujudkan wilayah ini sebagai salah satu pusat pariwisata di Propinsi Banten. Panorama alam pesisir Ujung Kulon yang menawarkan keindahan alam yang luar biasa dan jadilah kawasan ini menjadi kawasan wisata pantai. Sekitar tahun 2000-an, mulai dibangun fasilitas pariwisata di Pulau Umang yang baru diresmikan sekitar tahun 2004. Pulau Umang menyediakan fasilitas pariwisata yang relatif lengkap seperti hotel dan sarana penunjang lainnya. Meskipun pariwisata di Pulau Umang sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta, namun Sektor Pariwisata lebih terdorong perkembangannya ketika Pulau Umang menjadi pulau wisata yang memiliki fasilitas lengkap. Selain Pulau Umang, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan juga merupakan tujuan wisata, namun di kedua Pulau ini pengelolaannya terkait dengan Taman Nasional Ujung Kulon karena wilayahnya yang termasuk wilayah konservasi TNUK. Pulau Umang adalah pulau kecil yang letaknya sangat dekat berseberangan dengan Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur, sedangkan Pulau Peucang dan Pulau