TRANSFORMASI MASYARAKAT NELAYAN UJUNG KULON
                                                                                Gambar 25 .  Prasarana Jalan dan Pelabuhan Pendaratan Ikan Desa Sumber Jaya
Sekitar  Tahun    1990-an,    adanya  prasarana  jalan  dan  seiring  dengan dirubahnya  status  kawasan  Cagar  Alam  Ujung  Kulon  menjadi  Taman  Nasional
Ujung  Kulon  juga  memungkinkan  untuk  tumbuhnya  pariwisata.    Pada  Tahun 1992,  Berdasarkan  SK  Menteri  Kehutanan  No.  284Kpts-II1992  tanggal  26
Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas
78.619  Ha  dan  penunjukan  perairan  laut  di  sekitarnya  seluas  44.337  Ha  yang terletak  di  Pesisir  dan  Semenanjung  Ujung  Kulon  ditetapkan    menjadi  Taman
Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956  Ha.        Kawasan  Taman  Nasional  Ujung  Kulon  sebagai  kawasan  yang
dilindungi  dan  kawasan  konservasi  sumberdaya  alam  telah  mendapat  pengakuan sebagai kawasan yang penting dan dibanggakan secara nasional dan internasional.
Dibuktikan  dengan  adanya  pengakuan  internasional  pada  Tahun  1992,  Komisi Warisan  Dunia  UNESCO  menetapkan  Taman  Nasional  Ujung  Kulon  sebagai
Natural World Heritage Site dengan Surat Keputusan Nomor: SCEco5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.
Semakin  populernya  TNUK  sebagai  salah  satu  kawasan  yang  dilindungi dan kawasan konservasi  sumber daya alam sejalan dengan kebijakan pemerintah
daerah yang berusaha mewujudkan wilayah ini sebagai salah satu pusat pariwisata di  Propinsi  Banten.    Panorama  alam  pesisir  Ujung  Kulon  yang  menawarkan
keindahan alam yang luar biasa dan jadilah kawasan ini menjadi kawasan  wisata pantai.    Sekitar  tahun  2000-an,  mulai  dibangun  fasilitas  pariwisata  di  Pulau
Umang  yang  baru  diresmikan  sekitar  tahun  2004.    Pulau  Umang  menyediakan fasilitas  pariwisata  yang  relatif  lengkap  seperti  hotel  dan  sarana  penunjang
lainnya.    Meskipun  pariwisata  di  Pulau  Umang  sepenuhnya  dikelola  oleh  pihak swasta, namun  Sektor Pariwisata lebih terdorong perkembangannya ketika Pulau
Umang  menjadi    pulau  wisata  yang  memiliki  fasilitas  lengkap.    Selain  Pulau Umang, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan juga merupakan tujuan wisata, namun
di  kedua  Pulau  ini  pengelolaannya  terkait  dengan  Taman  Nasional  Ujung  Kulon karena  wilayahnya  yang  termasuk  wilayah  konservasi  TNUK.    Pulau  Umang
adalah  pulau  kecil  yang  letaknya  sangat  dekat  berseberangan  dengan  Desa Sumber  Jaya  dan  Kecamatan  Sumur,  sedangkan  Pulau  Peucang    dan  Pulau
Panaitan  berada  di  seberang  semenanjung  Ujung  Kulon.    Perkembangan  kedua pulau  ini  sebagai  tujuan  wisata  mengundang  banyak  turis  lokal  maupun  turis
internasional masuk ke kawasan ini.  Menurut Informan,  turis internasional yang masuk ke kawasan ini umumnya berasal dari Rusia, argentina, Romania, Jerman,
Belanda,  Jepang  dan  Korea.    Turis  lokal  berasal  umumnya  dari  wilayah  sekitar Banten seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Tangerang.   Selanjutnya pada desa-
desa  pesisir  TNUK  mulai  muncul  tempat-tempat  penginapan  dan  Vila-vila  yang umumnya  dimiliki  oleh  penduduk  luar  kampung.    Situasi  ini  semakin
dimungkinkan  ketika  masuknya  listrik  diperluas  mencapai  desa  terujung  Pesisir Ujung Kulon pada Tahun 2005
Dari  aspek  pemerintahan  era  reformasi  yang  membawakan  era  otonomi daerah  menjadikan  jarak  hubungan  antara  desa  dengan  negara  menjadi  semakin
dekat.    Otonomi  daerah  menjadikan  peluang  menumbuh  kembangkan pembangunan  masyarakat  Desa  Sumber  Jaya  kepada  pemerintahan  Provinsi  dan
Kabupaten.    Pada  kenyataannya,  ketika  otonomi  daerah  diberlakukan,  kedekatan antara desa dengan pemerintah Kabupaten semakin dekat dan semakin erat.  Pada
era Reformasi pula, pada Pemerintahan Pusat, muncul Departemen Kelautan dan Perikanan.    Keberadaan  Departemen  ini  yang  memiliki  perpanjangan  tangan
instansi berupa Dinas Kelautan dan Perikanan di Propinsi dan Kabupaten.   Secara umum    tonggak  sejarah  perubahan-perubahan  yang  terjadi  di  Desa  Sumber  Jaya
dapat diikhtisarkan pada matriks berikut ini :
Tabel 12.   Tonggak Historikal Transformasi  Masyarakat EraMasa
Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat 1921
 Rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature
, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau  Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda
Nomor : 60  Tanggal 16 Nopember 1921 1930 -1950 an
Sekitar Tahun 1930-an
 Terbentuknya Kampung Pesisir Ujung Kulon termasuk Kampung Sumur sebagai Cikal Bakal Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur
 Penduduk Kampung   adalah penduduk asli dan mulai ada migrasi  nelayan yang berasal
dari Labuan, Carita, dan binuangeun.  Mulai ada pencetakan sawah di sepanjang pesisir Ujung Kulon
Pada Tahun 1937  Besluit  Van  Der  Gouverneur    General  Van  Nederlandch  Indie  dengan  keputusan
Nomor  :  17  Tanggal  24  Juni  1937  menetapkan  status  kawasan  Suaka  Alam  Ujung Kulon  diubah  menjadi  Kawasan  Suaka  Margasatwa  dengan  memasukkan  Pulau
Peucang dan Pulau Panaitan. Sekitar Tahun 1945-an
 Dibangun Bandar pelabuhan tradisional di kampung Sumur Bandar Sumur.  Bandar ini mempunyai arti penting bagi berkembangnya  perekonomian masyarakat setempat
karena dapat menghubungkan pedagang hasil bumi dari  Labuan dan sekitarnya serta hasil bumi dan perikanan menjadi lebih mudah untuk dipasarkan
Sekitar Tahun 1950-an
 Mulai ada pencetakan kebun kelapa di sepanjang pesisir Ujung Kulon
 Seiring dengan pencetakkan sawah  dan kebun kelapa, semakin banyak nelayan yang
menetap menjadi penduduk Kampung Sumur  Pertambahan penduduk menjadikan pencetakan sawah meluas
Tahun 1958  berdasarkan  SK  Menteri  Pertanian  Nomor  :  48Um1958  Tanggal  17  April  1958
Kawasan  Ujung  Kulon  berubah  status  kembali  menjadi  Kawasan  Suaka  Alam  dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah.
Pada Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16KptsUm31967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan G. Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan
bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon.
Sambungan Tabel 12.   Tonggak Historikal Transformasi  Masyarakat EraMasa
Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat 1960-1970 an
Sekitar Tahun 1970-an  TNUK diperluas wilayahnya, Wilayah Kecamatan Sumur menjadi wilayah penyangga
TNUK  Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang
menghubungkan Kecamatan Labuan -  Cibaliung, namun masih terkendala dengan belum adanya jembatan di Kecamatan Citereup, sehingga kecamatan Ciabaliung dan
Sumur harus ditempuh memutar melaui jalan tanah yang jaraknya lebih jauh  Bandar semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal
 Listrik mulai masuk baru sampai Kecamatan Cibaliung sekitar 20 km dari Kecamatan Sumur
 Pada tahun  1979, melalui SK Menteri Pertanian Negara Indonesia Nomor : 39KptsUm1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498
Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon. 1980- 2000 an
Sekitar Tahun 1980-an  Dibentuk Desa Sumber Jaya, dimana Desa Sumber Jaya pada masa itu merupakan
sebuah Kampung, yang bernama Kampung Sumur yang menjadi bagian dari Desa Sumber Jaya
 Migrasi masuk nelayan Cirebon Indramayu serta Lampung Bugis  Bandar Sumur semakin tidak berfungsi dan mulai ditinggalkan
 Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang menghubungkan Kecamatan Cibaliung dengan desa-desa Pesisir di Kawasan Ujung
Kulon, namun kondisi jalan belum diaspal Tahun 1985 an
 Jembatan  di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan CibaliungSumur dibangun, sehingga prasarana jalan menjadi lancar dan jaraknya lebih dekat
 Mulai masuk Kegiatan Pariwisata Sekitar Tahun 1990-an
 Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992 tanggal 26 Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan,
Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan
Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan  menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha.
 Adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site dengan
Surat Keputusan Nomor: SCEco5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.  Jalan menuju desa-desa pesisir ujung kulon dan penghubung Kecamatan Cibaliung
dengan TNUK diklaim sebagai jalan propinsi, kemudian jalan tersebut di hotmix sampai Desa Sumber Jaya, selebihnya berupa jalanan kerikil.
 Listrik mulai diperluas sampai perkampungan Sumur dan Desa Sumber Jaya th 1999  Nelayan Pendatang dari Lampung orang Bugis dan Indramayu masuk ke wilayah ini
mengenalkan teknologi bagan yang lebih maju, membawa modal dan membangun industri pengolahan ikan teri sobong
2000- sekarang Sekitar Tahun 2000
 Adanya pemekaran desa  Otonomi daerah menjadikan hubungan antara desa dengan pemerintah bertambah dekat
dengan semakin kuatnya otonomi pemerintah Kabupaten  Keberadaan Departeman Kelautan dan Perikanan di Era Presiden Abdurrahman Wahid
menjadikan banyak program-program dari DKP yang dilaksanakan di Desa Sumber Jaya
 Mulai dibangunnya Pulau Umang dengan Fasilitas pariwisata yang memadai Tahun 2004
 Pulau Umang diresmikan sebagai salah satu tujuan wisata nasional Tahun 2005
 Listrik diperluas mencapai desa terujung Pesisir Ujung Kulon, yaitu Desa Ujung Jaya
Transformasi  Nafkah Nelayan
Adanya  transformasi  sistem  nafkah  merupakan  respon  masyarakat terhadap  tonggak-tonggak  perubahan  masyarakat  secara  keseluruhan  yang
disebabkan  terbukanya  isolasi  wilayah  dan  masuknya  pasar  dalam  kehidupan ekonomi masyarakat setempat.  Pada sekitar tahun 1930-an sampai di era 1940 an,
penduduk  setempat  lebih  banyak  bermata  pencaharian  sebagai  petani  sawah  dan pengumpul hasil hutan.  Kalaupun ada aktivitas ke laut umumnya hanya dilakukan
untuk  mencukupi  kebutuhan  lauk-pauk  ataupun  sekedar    barter  dengan  sesama penduduk  lokal.    Pada  saat    belum  ada  transaksi  dengan  menggunakan  uang,
semua  hasil  tangkapan  di  barter  dengan  barang  kebutuhan  sehari-hari  seperti beras,  gula  dan  garam.    Pada  masa  ini  sumberdaya  perikanan  masih  sangat
melimpah,  sehingga  hasil  tangkapan  para  nelayan  juga  melimpah.    Namun  nilai jual  ikan  belum  terlalu  bernilai  ekonomis  karena    tidak  memiliki  saluran
pemasaran.  Mata pencaharian utama sebagai petani sawah karena  bertanam padi di sawah dianggap lebih memenuhi keterjaminan kebutuhan pangan beras yang
dianggap lebih aman dibandingkan menjadi nelayan dimana hasil tangkapan ikan tidak  bisa  dipasarkan  kecuali  untuk  memenuhi  kebutuhan  lokal.    Mata
pencaharian    mengambil  dan  mengumpulkan  hasil  hutan  seperti  madu,  aren, jengkol,  rotan  dan  lain-lain  dilakukan  oleh  penduduk  setempat  karena  komoditi
ini memiliki nilai ekonomis relatif tinggi yang dapat ditukarbarter dengan barang kebutuhan sandang dan pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal.
Pada  masa  itu  aktivitas  perekonomian  masyarakat  relatif  sederhana  dan subsisten dimana unit rumah tangga atau keluarga secara ekonomi merupakan unit
produksi  dan  konsumsi.    Kebutuhan  pokok  rumah  tangga  dicukupi  sedapat mungkin dengan produksi sendiri.  Tentu saja mereka tidak  menghadapi kendala
dalam  memenuhi  kebutuhan  subsisten  oleh  karena    dalam  hal  penyediaan sumberdaya hutan, tanah dan laut masih relatif banyak dengan  jumlah penduduk
yang memanfaatkan sumber daya tersebut relatif masih sedikit.
Di  era  tahun  1945-an,  dibangun  bandar  pelabuhan  tradisional  di Kampung  Sumur.    Pada  saat  inilah  muncul  mata  pencaharian  utama  sebagai
nelayan oleh karena hasil laut atau komoditas ikan mulai ada pasar dan transaksi yang lebih luas.  Dengan adanya bandar memberi arti penting bagi perkembangan
perekonomian  masyarakat,  khususnya  di  sektor  perikanan  tangkap  dan  juga merupakan titik awal masyarakat pesisir Ujung Kulon mengenal pasar yang lebih
luas.      Kemunculan    mata  pencaharian  nelayan  erat  kaitannya  dengan  situasi  1 hasil  laut  berupa  ikan  memiliki  peningkatan  nilai  ekonomis  karena  terciptanya
pasar  yang  lebih  luas  keberadaan  bandar  membuka  pasar  yang  lebih  luas,  2 adanya  para  pemodal  yang  dapat  memberikan  modal  melaut  bagi  nelayan,  3
munculnya para pengusaha pengasinan dan pindang ikan.
Para nelayan ini umumnya menjadi anak buah para pengusaha pengasinan dan pindang ikan, dan keduanya terikat pada hubungan patron klien.  Para nelayan
mengkhususkan  kegiatan  mata  pencahariannya  hanya  mencari  ikan  di  laut  tanpa bernafkah  ganda  menjadi  petani  sawah  atau  pengumpul  hasil  laut.    Hal  ini
dimungkinkan  karena  kebutuhan  rumah  tangganya  sudah  dicukupi  oleh  para pengusaha  pengasinan  dan  pindang  ikan  yang  menjadi  patron.    Walaupun
demikian  pada  masa  itu,  hanya  sebagian  kecil  penduduk  yang  bermata
pencaharian  sebagai  nelayan,  sementara  mayoritas  mata  pencaharian  utama menjadi petani sawah dan pengumpul hasil hutan.
Di era 1950-1970 an, ketika bandar menjadi semakin memiliki arti penting bagi  perekonomian  lokal,  semakin  banyak  penduduk  yang  mengkhususkan
pekerjaannya  mencari  ikan  di  laut,  namun  pekerjaan  sebagai  petani  sawah  dan pengumpul hasil hutan tetap tidak ditinggalkan. Di era 1980an, mata pencaharian
penduduk  sebagai  nelayan  dan  perkembangan  perekonomian  penduduk  di  sektor perikanan  tangkap  semakin  menunjukkan  perkembangan  yang  berarti.    Hal  ini
dipicu  adanya  migrasi  masuk  para  nelayan  yang  berasal  dari  Lampung, Indramayu, dan Cirebon  yang pada umumnya juga membawa modal usaha  yang
dikembangkan di wilayah setempat.  Di sisi lain, dengan dibangunnya jalan turut menggerakkan  dan  menumbuhkan  mata  pencaharian  sebagai  nelayan.
Keberadaan  jalan  memudahkan  pengangkutan  ikan  melalui  jalan  darat  sekaligus memudahkan  untuk  membuka  pasar  baru  sehingga  komoditas  ikan  semakin
memiliki  nilai  ekonomis.    Perkembangan  sektor  perikanan  semakin  meningkat ketika  jembatan    di  Kecamatan  Citereup  yang  menghubungkan  Labuan  dan
CibaliungSumur dibangun, sehingga prasarana jalan menjadi lancar dan jaraknya lebih dekat sehingga memungkinkan transportasi pengangkutan ikan ke wilayah-
wilayah lain seperti Labuan, serang dan Jakarta.  Situasi ini juga turut mendorong bermunculannya para pengusaha perikanan ataupun para pedagang ikan.
Pada  masa  itu,  mata  pencaharian  sebagai  nelayan  dianggap  dapat menjamin  kebutuhan  survival  rumah  tangga  yang  pada  waktu  itu  terbatas  pada
kebutuhan  pangan  dan  sandang.    Dalam  arti  kata,  kebutuhan  masyarakat  belum beragam.  Pemenuhan kebutuhan hidup semakin terjamin ketika ada sawah  yang
berfungsi pemenuhan kebutuhan beras utama, adanya hasil hutan  dan dari hasil produksi kebun kelapa yang memproduksi kopra.
Dalam  perkembangannya  keberadaan  jalan  yang  pada  dasarnya  turut mewarnai  perubahan  mata  pencaharian  penduduk  ternyata  juga  menyebabkan
perubahan yang dapat dimaknai sebagai perubahan positif  dan perubahan negatif. Perubahan  positifnya  antara  lain  mata  pencaharian  sebagai  pedagang  mulai
bertambah banyak, terutama pedagang hasil laut dan hasil bumi Kopra.  Mereka merupakan  penduduk  yang  terkaya  di  desa.    Selain  itu  mulai  ada  tenaga  guru
PNS    yang  masuk  desa.    Keberadaan  jalan  dan  adanya  alat  transportasi mendorong beberapa pemuda kampung Sumur mulai bersekolah ke jenjang yang
lebih  tinggi  seperti  SMP  dan  SMA  di  Cibaliung  serta  beberapa  pesantren  di wilayah  Cibaliung  dan  Labuan.  Perubahan  mata  pencaharian  lainnya  adalah
ditekuninya  mata  pencaharian  sebagai  nelayan  tanpa  kombinasi  dengan  mata pencaharian  sebagai  petani.    Perubahan    negatif  yang  terjadi  justru  terjadinya
akumulasi  pemilikan  sawah.    Golongan  kaya  di  desa  yang  umumnya  menjadi kaya  karena  terbukanya  akses  wilayah  dan  transportasi  mulai  mengakumulasi
pemilikan sawah dengan mengandalkan kemampuan finansial yang dimilikinya.
Bagi  para  nelayan,  keberadaan  jalan  di  sisi  lain  dapat  meningkatkan perekonomian  rumah  tangga  karena  peningkatan  nilai  ekonomis  komiditi  ikan,
namun di sisi lain  justru menyebabkan sebagian nelayan kehilangan sawah yang kepemilikannya  diakumulasi  para  pedagang  hasil  bumi  yang  merupakan  lapisan
atas  desa.    Seringkali  kebutuhan  modal  melaut,  kebutuhan  membeli  perahu  atau alat tangkap serta situasi krisis pemenuhan kebutuhan rumah tangga karena hasil
tangkapan  ikan  yang  jauh  berkurang  di  masa  paceklik  menjadikan  mereka  harus
menjual  sawah.    Dengan  terbukanya  akses  wilayah  dan  transportasi  memang menjadikan nilai ekonomis dari hasil tangkapan ikan menjadi meningkat, namun
jumlah tangkapan ikan juga berfluktuasi sehingga tidak menjamin nelayan selalu memiliki pendapatan sementara kebutuhan mereka semakin bertambah.
Adanya  perluasan  TNUK  membawa  perubahan  positif  dan  negatif memunculkan  diversifikasi  mata  pencaharian  penduduk.    Misalnya  keberadaan
dan  perluasan  TNUK  menjadikan  lapangan  kerja  baru  menjadi  tenaga  PPH  di TNUK,  mulai  munculnya  jasa  warung  makanan  bagi  pegawai  dan  pengunjung
TNUK.    Perubahan  negatif  justru  dirasakan  oleh  para  nelayan,  karena  perluasan TNUK  menjadikan  wilayah  eksplorasi  perikanan  para  nelayan  mulai  terbatas.
Banyaknya  peraturan  dan  larangan  yang  terkait  dengan  keberadaan  TNUK menjadikan tangkapan ikan para nelayan semakin berkurang sehingga mengurangi
pendapatan  nelayan.    Demikian  pula  dengan  pendapatan  para  pengumpul  hasil hutan yang semakin berkurang dengan adanya larangan memasuki kawasan hutan
TNUK untuk mengambil hasil hutan.
Gambar 26.  Peta Zonasi TNUK Ujung Kulon Sumber : TNUK Ujung Kulon 2012
Zona  merah  merupakan  Zona  Inti  terdiri  dari  daratan  dan  lautan  28.292 Ha,  daratan  seluas+  26.974  Ha  dan  lautan  seluas  +  1.318  Ha.    Zona  inti
merupakan bagian dari Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun  fisiknya  masih  asli  dan  tidak  atau  belum  diganggu  oleh  manusia  yang
mutlak  dilindungi,  berfungsi  untuk  perlindungan  keterwakilan  keanekaragaman hayati  yang  asli  dan  khas.    Di  Zona  ini  penduduk  setempat  tidak  diperbolehkan
masuk  atau  memanfaatkan  sumberdaya  alam  yang  ada,  artinya  pada  zona  ini dinyatakan  terlarang  untuk  penduduk.    Zona  kuning  merupakan  Zona  Rimba
seluas 45.971 Ha.   Zona Rimba adalah bagian dari Taman Nasional  yang karena letak,  kondisi  dan  potensinya  mampu  mendukung  kepentingan  pelestarian  pada
zona  inti  dan  zona  pemanfaatan.    Zona  biru  adalah  Zona  Perlindungan  Bahari seluas  42.804  Ha  merupakan  Zona  Rimba  yang  berada  di  wilayah  perairan  laut.
Zona hijau adalah Zona Pemanfaatan seluas 948 ha, meliputi daratan 935 Ha dan
lautan  13  Ha  dengan  wilayah  Pulau  Panaitan  Legon  Kadam,  Legon  Butun  dan Legon Bajo, Pulau Peucang, Pulau Handeleum, Pulau Cibiuk dan Perairan Pulau
Panaitan.    Zona  Pemanfaatan  adalah  bagian  dari  Taman  Nasional  yang  karena letak,  kondisi  dan  potensi  alamnya  yang  terutama  dimanfaatkan  untuk
kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa pendukung lainnya.  Pada zona ini memungkinkan  penduduk  keluar  atau  masuk  melakukan  aktivitas  ekonomi  yang
terkait  dengan  pariwisata,  namun    setiap  aktivitas  yang  dilakukan  harus mendapatkan  ijin  tertulis  dari  pihak  Taman  Nasional.    Zona  kuning  kehijauan
merupakan  Zona  Tradisional  seluas  2.553  Ha,  terdiri  dari  daratan  2.356  Ha  dan lautan  197  Ha.    Zona  Tradisional  merupakan   bagian  Taman  Nasional  yang
ditetapkan  untuk  kepentingan  pemanfaatan  tradisional  oleh  masyarakat  yang karena kesejarahannya mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.  Di
zona ini nelayan dan masyarakat setempat dapat memanfaatkan sumberdaya baik sumberdaya  perikanan,  hutan  dan  pertanian.    Zona  biru  tosca  merupakan  zona
rehabilitasi  dimana  di  wilayah  ini  karena  mengalami  kerusakan,  sehingga  perlu dilakukan  kegiatan  pemulihan  komunitas  hayati  dan  ekosistemnya  yang
mengalami  kerusakan.    Zona  ungu  merupakan  Zona  Religi  dan  Budaya  yang memungkinkan  masyarakat  masuk  keluar  untuk  melakukan  aktivitas  religi  dan
budaya atas seijin pihak Taman Nasional.  Wilayahnya seluas 169 Ha terdiri dari Gunung  Raksa,  Sanghyang  Sirah,  Kutakarung,  Gunung  Tilu  dan  Cipanis.    Zona
abu-abu adalah Zona Khusus dimana zone ini terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan
sebagai  Taman  Nasional  antara  lain  sarana  telekomunikasi,  fasilitas  transportasi dan listrik
Masuknya  kegiatan Pariwisata juga turut menyebabkan  perubahan mata pencaharian  Tahun  1980-1990  an.    Ketika  sektor  pariwisata  dikembangkan
mulai  memunculkan  perkembangan  sektor  jasa  di  wilayah  ini.    Sektor  jasa tersebut  antara  lain  adanya  jasa  penyewaan  perahu,  pengantaran  guiding  para
turis serta menjadi pelayanpembantu di penginapanvilla.  Perubahan negatif dari masuknya pariwisata teridentifikasi ketika terdapat petani yang justru kehilangan
sawah  karena  dijual  kepada  penduduk  luar  desa  untuk  dibangun  Villa.    Petani tersebut terpaksa mengubah profesinya menjadi nelayan karena kehilangan lahan
sawah, seperti yang dituturkan di bawah ini :
Bapak  Hll  52  th,  seorang  petani  sawah  memiliki  sepetak  sawah  dekat  dengan  pesisir. Dari sawah bapak tersebut pemandangan begitu indah menuju ke arah laut lepas.  Hal ini
mengundang  orang luar tertarik membeli sawahnya untuk dibangun villa. Pak Hll tergiur dengan  tawaran  pendatang  untuk  membeli  sawahnya  dengan  harga  tinggi,  akhirnya
terjdilah  transaksi  jual  beli.  Lahan  sawah  Pak  Hll  untuk  dibangun  Villa.  Dengan  uang hasil  penjualan  Pak  Hll  membangun  rumah  dan  membeli  perahu  congkreng  dan
memutuskan untuk menjadi nelayan.  Saat ini Pak Hll termasuk dalam kelompok keluarga prasejahtera di Desa Sumber Jaya
Bagi  para  nelayan,  keberadaan  pariwisata  justru  membawa  berkah  bagi usaha perikanan.  Berkah tersebut antara lain karena pariwisata menyebabkan ada
usaha  tambahan  para  nelayan  untuk  menyewakan  perahu  kepada  para  turis,  baik pengunjung TNUK, maupun turis yang ingin menyeberang ke Pulau Peucang dan
Pulau  Panaitan.    Selain  itu  nilai  ekonomis  ikan  menjadi  lebih  tinggi  jika  hasil tangkapan ikan dijual kepada para turis.
Di era tahun 1990an sampai saat ini,  mulai ada spesialisasi nafkah  yaitu nelayan, petani sawah,  kombinasi mata pencaharian nelayan-petani, dan nelayan-
jasa,  buruh  lepas  dan  PNS,    namun  mayoritas  pekerjaan  utama  adalah    sebagai nelayan.      Pola  nafkah  ganda  diterapkan  untuk  menghadapi  situasi  sulit    bagi
penduduk  yang  hanya  berprofesi  sebagai  nelayan.    Selain  itu  rumah  tangga  para nelayan juga mengembangkan strategi nafkah yang didasarkan pada sumber daya
manusia  dalam  rumah  tangga.    Pola  nafkah  ganda  yang  diterapkan  antara  lain nelayan-pedagang,  nelayan  petani,  nelayan-pengumpul  hasil  hutan  dan  nelayan
jasa.
Tabel  13.  Tinjauan Historikal Transformasi Nafkah Masyarakat Era Masa
Mata Pencaharian Strategi Nafkah
Kelembagaan Ekonomi yang
Berperan 1930-1940 an
1945-1970 an 1970-1990 an
1990an- sekarang
bertanam padi di sawah dan
pengumpul hasil hutan
mata pencaharian nelayan mulai
muncul,   petani sawah dan
pengumpul hasil hutan
nelayan, petani sawah,
pedagang, jasa dan PNS
Nelayan, petani sawah,
pedagang, jasa dan PNS,
Kombinasi mata pencaharian
Nelayan-petani Nelayan-jasa
Nelayan - pengumpul hasil
hutan Nelayan- Pedagang
bertanam padi lebih memenuhi keterjaminan kebutuhan pangan beras,
aktivitas melaut untuk  kebutuhan subsisten.  Mata pencaharian  mengambil
dan mengumpulkan hasil hutan untuk barter dengan barang kebutuhan sandang
dan pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal.
mata pencaharian sebagai nelayan dianggap dapat menjamin kebutuhan
survival rumah tangga karena kebutuhan masyarakat belum beragam.  Pemenuhan
kebutuhan hidup semakin terjamin ketika ada sawah yang mencukupi kebutuhan
beras utama, hasil hutan  dan dari hasil produksi kebun kelapa yang
memproduksi kopra. Mata pencaharian nelayan menjadi mata
pencaharian utama. Nelayan terlekat dengan kelembagaan patron klien yang
dianggap dapat menjadi penjamin keberlangsungan usaha dan pemenuhan
kebutuhan nelayan Pekerjaan sebagai nelayan saja dianggap
tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga sebagian para nelayan
menerapkan :  1Pola nafkah ganda, 2 Strategi nafkah berdasarkan alokasi
sumber daya manusia straddling strategy
Semua anggota rumah tangga dengan usia produktif terlibat dalam kegiatan
mencari nafkah dengan sektor pekerjaan yang berbeda-beda
Kelembagaan transaksi
barter Kelembagaan
transaksi barter dan
Kelembagaan Patron klien
dengan Norma Tradisional
Kelembagaan Patron Klien
dengan normaTradisio
nal Patron Klien
dengan Norma Ekonomi
Pasar
Adanya perubahan strategi nafkah dan  kelembagaan ekonomi merupakan keharusan  masyarakat  untuk  melakukan  upaya  penyesuaian  adaptasi  terhadap
perubahan-perubahan  yang  terjadi  dalam  masyarakat  berdasarkan  perubahan waktu  dan  fenomena  sosial.    Masyarakat  nelayan  mengalami  dan  merasakan
dampak  perubahan  transformasi  masyarakat  dan  mengalami  perubahan  sistem nafkah masyarakat sebagai respon atas perubahan-perubahan transformasi sosial
yang  terjadi.        Dengan  adanya  perubahan  sistem  nafkah,  masyarakat  nelayan secara  otomatis  melakukan  perubahan  strategi  nafkah  sebagai  salah  satu  strategi
adaptasi untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan survival mereka.  Sejalan dengan  hal  tersebut  masyarakat  nelayan  juga  membentuk  dan  mengembangkan
sistem  kelembagaan  ekonomi  yang  berfungsi  menjamin  penghidupan    sosial masyarakat sebagai respon atas desakan pemenuhan kebutuhan survival minimum
masyarakat.    Selanjutnya  terjadilah  proses  transformasi  dalam  sistem  ekonomi secara  keseluruhan    yang  merupakan  keharusan  masyarakat  untuk  melakukan
penyesuaian terhadap proses transformasi sosial aktif dari sistem sosial itu sendiri.