TRANSFORMASI MASYARAKAT NELAYAN UJUNG KULON
Gambar 25 . Prasarana Jalan dan Pelabuhan Pendaratan Ikan Desa Sumber Jaya
Sekitar Tahun 1990-an, adanya prasarana jalan dan seiring dengan dirubahnya status kawasan Cagar Alam Ujung Kulon menjadi Taman Nasional
Ujung Kulon juga memungkinkan untuk tumbuhnya pariwisata. Pada Tahun 1992, Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992 tanggal 26
Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas
78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman
Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai kawasan yang
dilindungi dan kawasan konservasi sumberdaya alam telah mendapat pengakuan sebagai kawasan yang penting dan dibanggakan secara nasional dan internasional.
Dibuktikan dengan adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai
Natural World Heritage Site dengan Surat Keputusan Nomor: SCEco5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992.
Semakin populernya TNUK sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dan kawasan konservasi sumber daya alam sejalan dengan kebijakan pemerintah
daerah yang berusaha mewujudkan wilayah ini sebagai salah satu pusat pariwisata di Propinsi Banten. Panorama alam pesisir Ujung Kulon yang menawarkan
keindahan alam yang luar biasa dan jadilah kawasan ini menjadi kawasan wisata pantai. Sekitar tahun 2000-an, mulai dibangun fasilitas pariwisata di Pulau
Umang yang baru diresmikan sekitar tahun 2004. Pulau Umang menyediakan fasilitas pariwisata yang relatif lengkap seperti hotel dan sarana penunjang
lainnya. Meskipun pariwisata di Pulau Umang sepenuhnya dikelola oleh pihak swasta, namun Sektor Pariwisata lebih terdorong perkembangannya ketika Pulau
Umang menjadi pulau wisata yang memiliki fasilitas lengkap. Selain Pulau Umang, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan juga merupakan tujuan wisata, namun
di kedua Pulau ini pengelolaannya terkait dengan Taman Nasional Ujung Kulon karena wilayahnya yang termasuk wilayah konservasi TNUK. Pulau Umang
adalah pulau kecil yang letaknya sangat dekat berseberangan dengan Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur, sedangkan Pulau Peucang dan Pulau
Panaitan berada di seberang semenanjung Ujung Kulon. Perkembangan kedua pulau ini sebagai tujuan wisata mengundang banyak turis lokal maupun turis
internasional masuk ke kawasan ini. Menurut Informan, turis internasional yang masuk ke kawasan ini umumnya berasal dari Rusia, argentina, Romania, Jerman,
Belanda, Jepang dan Korea. Turis lokal berasal umumnya dari wilayah sekitar Banten seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Tangerang. Selanjutnya pada desa-
desa pesisir TNUK mulai muncul tempat-tempat penginapan dan Vila-vila yang umumnya dimiliki oleh penduduk luar kampung. Situasi ini semakin
dimungkinkan ketika masuknya listrik diperluas mencapai desa terujung Pesisir Ujung Kulon pada Tahun 2005
Dari aspek pemerintahan era reformasi yang membawakan era otonomi daerah menjadikan jarak hubungan antara desa dengan negara menjadi semakin
dekat. Otonomi daerah menjadikan peluang menumbuh kembangkan pembangunan masyarakat Desa Sumber Jaya kepada pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten. Pada kenyataannya, ketika otonomi daerah diberlakukan, kedekatan antara desa dengan pemerintah Kabupaten semakin dekat dan semakin erat. Pada
era Reformasi pula, pada Pemerintahan Pusat, muncul Departemen Kelautan dan Perikanan. Keberadaan Departemen ini yang memiliki perpanjangan tangan
instansi berupa Dinas Kelautan dan Perikanan di Propinsi dan Kabupaten. Secara umum tonggak sejarah perubahan-perubahan yang terjadi di Desa Sumber Jaya
dapat diikhtisarkan pada matriks berikut ini :
Tabel 12. Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat EraMasa
Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat 1921
Rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature
, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK Pemerintah Hindia Belanda
Nomor : 60 Tanggal 16 Nopember 1921 1930 -1950 an
Sekitar Tahun 1930-an
Terbentuknya Kampung Pesisir Ujung Kulon termasuk Kampung Sumur sebagai Cikal Bakal Desa Sumber Jaya dan Kecamatan Sumur
Penduduk Kampung adalah penduduk asli dan mulai ada migrasi nelayan yang berasal
dari Labuan, Carita, dan binuangeun. Mulai ada pencetakan sawah di sepanjang pesisir Ujung Kulon
Pada Tahun 1937 Besluit Van Der Gouverneur General Van Nederlandch Indie dengan keputusan
Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 menetapkan status kawasan Suaka Alam Ujung Kulon diubah menjadi Kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau
Peucang dan Pulau Panaitan. Sekitar Tahun 1945-an
Dibangun Bandar pelabuhan tradisional di kampung Sumur Bandar Sumur. Bandar ini mempunyai arti penting bagi berkembangnya perekonomian masyarakat setempat
karena dapat menghubungkan pedagang hasil bumi dari Labuan dan sekitarnya serta hasil bumi dan perikanan menjadi lebih mudah untuk dipasarkan
Sekitar Tahun 1950-an
Mulai ada pencetakan kebun kelapa di sepanjang pesisir Ujung Kulon
Seiring dengan pencetakkan sawah dan kebun kelapa, semakin banyak nelayan yang
menetap menjadi penduduk Kampung Sumur Pertambahan penduduk menjadikan pencetakan sawah meluas
Tahun 1958 berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48Um1958 Tanggal 17 April 1958
Kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi Kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah.
Pada Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian Nomor : 16KptsUm31967 Tanggal 16 Maret 1967 Kawasan G. Honje Selatan seluas 10.000 Ha yang bergandengan dengan
bagian Timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon.
Sambungan Tabel 12. Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat EraMasa
Tonggak Historikal Transformasi Masyarakat 1960-1970 an
Sekitar Tahun 1970-an TNUK diperluas wilayahnya, Wilayah Kecamatan Sumur menjadi wilayah penyangga
TNUK Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang
menghubungkan Kecamatan Labuan - Cibaliung, namun masih terkendala dengan belum adanya jembatan di Kecamatan Citereup, sehingga kecamatan Ciabaliung dan
Sumur harus ditempuh memutar melaui jalan tanah yang jaraknya lebih jauh Bandar semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal
Listrik mulai masuk baru sampai Kecamatan Cibaliung sekitar 20 km dari Kecamatan Sumur
Pada tahun 1979, melalui SK Menteri Pertanian Negara Indonesia Nomor : 39KptsUm1979 Tanggal 11 Januari 1979 Kawasan Gunung Honje Utara seluas 9.498
Ha dimasukkan ke dalam wilayah Cagar Alam Ujung Kulon. 1980- 2000 an
Sekitar Tahun 1980-an Dibentuk Desa Sumber Jaya, dimana Desa Sumber Jaya pada masa itu merupakan
sebuah Kampung, yang bernama Kampung Sumur yang menjadi bagian dari Desa Sumber Jaya
Migrasi masuk nelayan Cirebon Indramayu serta Lampung Bugis Bandar Sumur semakin tidak berfungsi dan mulai ditinggalkan
Dibangun Jalan yang lebar dan dapat dilalui oleh Kendaraan roda empat, yang menghubungkan Kecamatan Cibaliung dengan desa-desa Pesisir di Kawasan Ujung
Kulon, namun kondisi jalan belum diaspal Tahun 1985 an
Jembatan di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan CibaliungSumur dibangun, sehingga prasarana jalan menjadi lancar dan jaraknya lebih dekat
Mulai masuk Kegiatan Pariwisata Sekitar Tahun 1990-an
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284Kpts-II1992 tanggal 26 Pebruari 1992 tentang perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan,
Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon seluas 78.619 Ha dan penunjukan perairan laut di sekitarnya seluas 44.337 Ha yang terletak di Pesisir dan
Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas kawasan sekitar 122.956 Ha.
Adanya pengakuan internasional pada Tahun 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO menetapkan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai Natural World Heritage Site dengan
Surat Keputusan Nomor: SCEco5867.2.409 Tanggal 1 Februari 1992. Jalan menuju desa-desa pesisir ujung kulon dan penghubung Kecamatan Cibaliung
dengan TNUK diklaim sebagai jalan propinsi, kemudian jalan tersebut di hotmix sampai Desa Sumber Jaya, selebihnya berupa jalanan kerikil.
Listrik mulai diperluas sampai perkampungan Sumur dan Desa Sumber Jaya th 1999 Nelayan Pendatang dari Lampung orang Bugis dan Indramayu masuk ke wilayah ini
mengenalkan teknologi bagan yang lebih maju, membawa modal dan membangun industri pengolahan ikan teri sobong
2000- sekarang Sekitar Tahun 2000
Adanya pemekaran desa Otonomi daerah menjadikan hubungan antara desa dengan pemerintah bertambah dekat
dengan semakin kuatnya otonomi pemerintah Kabupaten Keberadaan Departeman Kelautan dan Perikanan di Era Presiden Abdurrahman Wahid
menjadikan banyak program-program dari DKP yang dilaksanakan di Desa Sumber Jaya
Mulai dibangunnya Pulau Umang dengan Fasilitas pariwisata yang memadai Tahun 2004
Pulau Umang diresmikan sebagai salah satu tujuan wisata nasional Tahun 2005
Listrik diperluas mencapai desa terujung Pesisir Ujung Kulon, yaitu Desa Ujung Jaya
Transformasi Nafkah Nelayan
Adanya transformasi sistem nafkah merupakan respon masyarakat terhadap tonggak-tonggak perubahan masyarakat secara keseluruhan yang
disebabkan terbukanya isolasi wilayah dan masuknya pasar dalam kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Pada sekitar tahun 1930-an sampai di era 1940 an,
penduduk setempat lebih banyak bermata pencaharian sebagai petani sawah dan pengumpul hasil hutan. Kalaupun ada aktivitas ke laut umumnya hanya dilakukan
untuk mencukupi kebutuhan lauk-pauk ataupun sekedar barter dengan sesama penduduk lokal. Pada saat belum ada transaksi dengan menggunakan uang,
semua hasil tangkapan di barter dengan barang kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula dan garam. Pada masa ini sumberdaya perikanan masih sangat
melimpah, sehingga hasil tangkapan para nelayan juga melimpah. Namun nilai jual ikan belum terlalu bernilai ekonomis karena tidak memiliki saluran
pemasaran. Mata pencaharian utama sebagai petani sawah karena bertanam padi di sawah dianggap lebih memenuhi keterjaminan kebutuhan pangan beras yang
dianggap lebih aman dibandingkan menjadi nelayan dimana hasil tangkapan ikan tidak bisa dipasarkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan lokal. Mata
pencaharian mengambil dan mengumpulkan hasil hutan seperti madu, aren, jengkol, rotan dan lain-lain dilakukan oleh penduduk setempat karena komoditi
ini memiliki nilai ekonomis relatif tinggi yang dapat ditukarbarter dengan barang kebutuhan sandang dan pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal.
Pada masa itu aktivitas perekonomian masyarakat relatif sederhana dan subsisten dimana unit rumah tangga atau keluarga secara ekonomi merupakan unit
produksi dan konsumsi. Kebutuhan pokok rumah tangga dicukupi sedapat mungkin dengan produksi sendiri. Tentu saja mereka tidak menghadapi kendala
dalam memenuhi kebutuhan subsisten oleh karena dalam hal penyediaan sumberdaya hutan, tanah dan laut masih relatif banyak dengan jumlah penduduk
yang memanfaatkan sumber daya tersebut relatif masih sedikit.
Di era tahun 1945-an, dibangun bandar pelabuhan tradisional di Kampung Sumur. Pada saat inilah muncul mata pencaharian utama sebagai
nelayan oleh karena hasil laut atau komoditas ikan mulai ada pasar dan transaksi yang lebih luas. Dengan adanya bandar memberi arti penting bagi perkembangan
perekonomian masyarakat, khususnya di sektor perikanan tangkap dan juga merupakan titik awal masyarakat pesisir Ujung Kulon mengenal pasar yang lebih
luas. Kemunculan mata pencaharian nelayan erat kaitannya dengan situasi 1 hasil laut berupa ikan memiliki peningkatan nilai ekonomis karena terciptanya
pasar yang lebih luas keberadaan bandar membuka pasar yang lebih luas, 2 adanya para pemodal yang dapat memberikan modal melaut bagi nelayan, 3
munculnya para pengusaha pengasinan dan pindang ikan.
Para nelayan ini umumnya menjadi anak buah para pengusaha pengasinan dan pindang ikan, dan keduanya terikat pada hubungan patron klien. Para nelayan
mengkhususkan kegiatan mata pencahariannya hanya mencari ikan di laut tanpa bernafkah ganda menjadi petani sawah atau pengumpul hasil laut. Hal ini
dimungkinkan karena kebutuhan rumah tangganya sudah dicukupi oleh para pengusaha pengasinan dan pindang ikan yang menjadi patron. Walaupun
demikian pada masa itu, hanya sebagian kecil penduduk yang bermata
pencaharian sebagai nelayan, sementara mayoritas mata pencaharian utama menjadi petani sawah dan pengumpul hasil hutan.
Di era 1950-1970 an, ketika bandar menjadi semakin memiliki arti penting bagi perekonomian lokal, semakin banyak penduduk yang mengkhususkan
pekerjaannya mencari ikan di laut, namun pekerjaan sebagai petani sawah dan pengumpul hasil hutan tetap tidak ditinggalkan. Di era 1980an, mata pencaharian
penduduk sebagai nelayan dan perkembangan perekonomian penduduk di sektor perikanan tangkap semakin menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini
dipicu adanya migrasi masuk para nelayan yang berasal dari Lampung, Indramayu, dan Cirebon yang pada umumnya juga membawa modal usaha yang
dikembangkan di wilayah setempat. Di sisi lain, dengan dibangunnya jalan turut menggerakkan dan menumbuhkan mata pencaharian sebagai nelayan.
Keberadaan jalan memudahkan pengangkutan ikan melalui jalan darat sekaligus memudahkan untuk membuka pasar baru sehingga komoditas ikan semakin
memiliki nilai ekonomis. Perkembangan sektor perikanan semakin meningkat ketika jembatan di Kecamatan Citereup yang menghubungkan Labuan dan
CibaliungSumur dibangun, sehingga prasarana jalan menjadi lancar dan jaraknya lebih dekat sehingga memungkinkan transportasi pengangkutan ikan ke wilayah-
wilayah lain seperti Labuan, serang dan Jakarta. Situasi ini juga turut mendorong bermunculannya para pengusaha perikanan ataupun para pedagang ikan.
Pada masa itu, mata pencaharian sebagai nelayan dianggap dapat menjamin kebutuhan survival rumah tangga yang pada waktu itu terbatas pada
kebutuhan pangan dan sandang. Dalam arti kata, kebutuhan masyarakat belum beragam. Pemenuhan kebutuhan hidup semakin terjamin ketika ada sawah yang
berfungsi pemenuhan kebutuhan beras utama, adanya hasil hutan dan dari hasil produksi kebun kelapa yang memproduksi kopra.
Dalam perkembangannya keberadaan jalan yang pada dasarnya turut mewarnai perubahan mata pencaharian penduduk ternyata juga menyebabkan
perubahan yang dapat dimaknai sebagai perubahan positif dan perubahan negatif. Perubahan positifnya antara lain mata pencaharian sebagai pedagang mulai
bertambah banyak, terutama pedagang hasil laut dan hasil bumi Kopra. Mereka merupakan penduduk yang terkaya di desa. Selain itu mulai ada tenaga guru
PNS yang masuk desa. Keberadaan jalan dan adanya alat transportasi mendorong beberapa pemuda kampung Sumur mulai bersekolah ke jenjang yang
lebih tinggi seperti SMP dan SMA di Cibaliung serta beberapa pesantren di wilayah Cibaliung dan Labuan. Perubahan mata pencaharian lainnya adalah
ditekuninya mata pencaharian sebagai nelayan tanpa kombinasi dengan mata pencaharian sebagai petani. Perubahan negatif yang terjadi justru terjadinya
akumulasi pemilikan sawah. Golongan kaya di desa yang umumnya menjadi kaya karena terbukanya akses wilayah dan transportasi mulai mengakumulasi
pemilikan sawah dengan mengandalkan kemampuan finansial yang dimilikinya.
Bagi para nelayan, keberadaan jalan di sisi lain dapat meningkatkan perekonomian rumah tangga karena peningkatan nilai ekonomis komiditi ikan,
namun di sisi lain justru menyebabkan sebagian nelayan kehilangan sawah yang kepemilikannya diakumulasi para pedagang hasil bumi yang merupakan lapisan
atas desa. Seringkali kebutuhan modal melaut, kebutuhan membeli perahu atau alat tangkap serta situasi krisis pemenuhan kebutuhan rumah tangga karena hasil
tangkapan ikan yang jauh berkurang di masa paceklik menjadikan mereka harus
menjual sawah. Dengan terbukanya akses wilayah dan transportasi memang menjadikan nilai ekonomis dari hasil tangkapan ikan menjadi meningkat, namun
jumlah tangkapan ikan juga berfluktuasi sehingga tidak menjamin nelayan selalu memiliki pendapatan sementara kebutuhan mereka semakin bertambah.
Adanya perluasan TNUK membawa perubahan positif dan negatif memunculkan diversifikasi mata pencaharian penduduk. Misalnya keberadaan
dan perluasan TNUK menjadikan lapangan kerja baru menjadi tenaga PPH di TNUK, mulai munculnya jasa warung makanan bagi pegawai dan pengunjung
TNUK. Perubahan negatif justru dirasakan oleh para nelayan, karena perluasan TNUK menjadikan wilayah eksplorasi perikanan para nelayan mulai terbatas.
Banyaknya peraturan dan larangan yang terkait dengan keberadaan TNUK menjadikan tangkapan ikan para nelayan semakin berkurang sehingga mengurangi
pendapatan nelayan. Demikian pula dengan pendapatan para pengumpul hasil hutan yang semakin berkurang dengan adanya larangan memasuki kawasan hutan
TNUK untuk mengambil hasil hutan.
Gambar 26. Peta Zonasi TNUK Ujung Kulon Sumber : TNUK Ujung Kulon 2012
Zona merah merupakan Zona Inti terdiri dari daratan dan lautan 28.292 Ha, daratan seluas+ 26.974 Ha dan lautan seluas + 1.318 Ha. Zona inti
merupakan bagian dari Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang
mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Di Zona ini penduduk setempat tidak diperbolehkan
masuk atau memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, artinya pada zona ini dinyatakan terlarang untuk penduduk. Zona kuning merupakan Zona Rimba
seluas 45.971 Ha. Zona Rimba adalah bagian dari Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada
zona inti dan zona pemanfaatan. Zona biru adalah Zona Perlindungan Bahari seluas 42.804 Ha merupakan Zona Rimba yang berada di wilayah perairan laut.
Zona hijau adalah Zona Pemanfaatan seluas 948 ha, meliputi daratan 935 Ha dan
lautan 13 Ha dengan wilayah Pulau Panaitan Legon Kadam, Legon Butun dan Legon Bajo, Pulau Peucang, Pulau Handeleum, Pulau Cibiuk dan Perairan Pulau
Panaitan. Zona Pemanfaatan adalah bagian dari Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa pendukung lainnya. Pada zona ini memungkinkan penduduk keluar atau masuk melakukan aktivitas ekonomi yang
terkait dengan pariwisata, namun setiap aktivitas yang dilakukan harus mendapatkan ijin tertulis dari pihak Taman Nasional. Zona kuning kehijauan
merupakan Zona Tradisional seluas 2.553 Ha, terdiri dari daratan 2.356 Ha dan lautan 197 Ha. Zona Tradisional merupakan bagian Taman Nasional yang
ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahannya mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Di
zona ini nelayan dan masyarakat setempat dapat memanfaatkan sumberdaya baik sumberdaya perikanan, hutan dan pertanian. Zona biru tosca merupakan zona
rehabilitasi dimana di wilayah ini karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang
mengalami kerusakan. Zona ungu merupakan Zona Religi dan Budaya yang memungkinkan masyarakat masuk keluar untuk melakukan aktivitas religi dan
budaya atas seijin pihak Taman Nasional. Wilayahnya seluas 169 Ha terdiri dari Gunung Raksa, Sanghyang Sirah, Kutakarung, Gunung Tilu dan Cipanis. Zona
abu-abu adalah Zona Khusus dimana zone ini terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan
sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik
Masuknya kegiatan Pariwisata juga turut menyebabkan perubahan mata pencaharian Tahun 1980-1990 an. Ketika sektor pariwisata dikembangkan
mulai memunculkan perkembangan sektor jasa di wilayah ini. Sektor jasa tersebut antara lain adanya jasa penyewaan perahu, pengantaran guiding para
turis serta menjadi pelayanpembantu di penginapanvilla. Perubahan negatif dari masuknya pariwisata teridentifikasi ketika terdapat petani yang justru kehilangan
sawah karena dijual kepada penduduk luar desa untuk dibangun Villa. Petani tersebut terpaksa mengubah profesinya menjadi nelayan karena kehilangan lahan
sawah, seperti yang dituturkan di bawah ini :
Bapak Hll 52 th, seorang petani sawah memiliki sepetak sawah dekat dengan pesisir. Dari sawah bapak tersebut pemandangan begitu indah menuju ke arah laut lepas. Hal ini
mengundang orang luar tertarik membeli sawahnya untuk dibangun villa. Pak Hll tergiur dengan tawaran pendatang untuk membeli sawahnya dengan harga tinggi, akhirnya
terjdilah transaksi jual beli. Lahan sawah Pak Hll untuk dibangun Villa. Dengan uang hasil penjualan Pak Hll membangun rumah dan membeli perahu congkreng dan
memutuskan untuk menjadi nelayan. Saat ini Pak Hll termasuk dalam kelompok keluarga prasejahtera di Desa Sumber Jaya
Bagi para nelayan, keberadaan pariwisata justru membawa berkah bagi usaha perikanan. Berkah tersebut antara lain karena pariwisata menyebabkan ada
usaha tambahan para nelayan untuk menyewakan perahu kepada para turis, baik pengunjung TNUK, maupun turis yang ingin menyeberang ke Pulau Peucang dan
Pulau Panaitan. Selain itu nilai ekonomis ikan menjadi lebih tinggi jika hasil tangkapan ikan dijual kepada para turis.
Di era tahun 1990an sampai saat ini, mulai ada spesialisasi nafkah yaitu nelayan, petani sawah, kombinasi mata pencaharian nelayan-petani, dan nelayan-
jasa, buruh lepas dan PNS, namun mayoritas pekerjaan utama adalah sebagai nelayan. Pola nafkah ganda diterapkan untuk menghadapi situasi sulit bagi
penduduk yang hanya berprofesi sebagai nelayan. Selain itu rumah tangga para nelayan juga mengembangkan strategi nafkah yang didasarkan pada sumber daya
manusia dalam rumah tangga. Pola nafkah ganda yang diterapkan antara lain nelayan-pedagang, nelayan petani, nelayan-pengumpul hasil hutan dan nelayan
jasa.
Tabel 13. Tinjauan Historikal Transformasi Nafkah Masyarakat Era Masa
Mata Pencaharian Strategi Nafkah
Kelembagaan Ekonomi yang
Berperan 1930-1940 an
1945-1970 an 1970-1990 an
1990an- sekarang
bertanam padi di sawah dan
pengumpul hasil hutan
mata pencaharian nelayan mulai
muncul, petani sawah dan
pengumpul hasil hutan
nelayan, petani sawah,
pedagang, jasa dan PNS
Nelayan, petani sawah,
pedagang, jasa dan PNS,
Kombinasi mata pencaharian
Nelayan-petani Nelayan-jasa
Nelayan - pengumpul hasil
hutan Nelayan- Pedagang
bertanam padi lebih memenuhi keterjaminan kebutuhan pangan beras,
aktivitas melaut untuk kebutuhan subsisten. Mata pencaharian mengambil
dan mengumpulkan hasil hutan untuk barter dengan barang kebutuhan sandang
dan pangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal.
mata pencaharian sebagai nelayan dianggap dapat menjamin kebutuhan
survival rumah tangga karena kebutuhan masyarakat belum beragam. Pemenuhan
kebutuhan hidup semakin terjamin ketika ada sawah yang mencukupi kebutuhan
beras utama, hasil hutan dan dari hasil produksi kebun kelapa yang
memproduksi kopra. Mata pencaharian nelayan menjadi mata
pencaharian utama. Nelayan terlekat dengan kelembagaan patron klien yang
dianggap dapat menjadi penjamin keberlangsungan usaha dan pemenuhan
kebutuhan nelayan Pekerjaan sebagai nelayan saja dianggap
tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga sebagian para nelayan
menerapkan : 1Pola nafkah ganda, 2 Strategi nafkah berdasarkan alokasi
sumber daya manusia straddling strategy
Semua anggota rumah tangga dengan usia produktif terlibat dalam kegiatan
mencari nafkah dengan sektor pekerjaan yang berbeda-beda
Kelembagaan transaksi
barter Kelembagaan
transaksi barter dan
Kelembagaan Patron klien
dengan Norma Tradisional
Kelembagaan Patron Klien
dengan normaTradisio
nal Patron Klien
dengan Norma Ekonomi
Pasar
Adanya perubahan strategi nafkah dan kelembagaan ekonomi merupakan keharusan masyarakat untuk melakukan upaya penyesuaian adaptasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat berdasarkan perubahan waktu dan fenomena sosial. Masyarakat nelayan mengalami dan merasakan
dampak perubahan transformasi masyarakat dan mengalami perubahan sistem nafkah masyarakat sebagai respon atas perubahan-perubahan transformasi sosial
yang terjadi. Dengan adanya perubahan sistem nafkah, masyarakat nelayan secara otomatis melakukan perubahan strategi nafkah sebagai salah satu strategi
adaptasi untuk mempertahankan pemenuhan kebutuhan survival mereka. Sejalan dengan hal tersebut masyarakat nelayan juga membentuk dan mengembangkan
sistem kelembagaan ekonomi yang berfungsi menjamin penghidupan sosial masyarakat sebagai respon atas desakan pemenuhan kebutuhan survival minimum
masyarakat. Selanjutnya terjadilah proses transformasi dalam sistem ekonomi secara keseluruhan yang merupakan keharusan masyarakat untuk melakukan
penyesuaian terhadap proses transformasi sosial aktif dari sistem sosial itu sendiri.