BAB 4 NEGARA, PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN MASYARAKAT
NELAYAN UJUNG KULON
Inti dari masalah ekonomi di sektor apapun adalah masalah alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi. Permasalahan ini pula yang dihadapi oleh
masayarakat nelayan terkait dengan dalam aktivitas ekonominya di sektor perikanan. Masalah alokasi tentu saja terkait dengan pengaturan dari berbagai
sumber daya, baik sumber daya laut, sumber daya manusia, faktor permodalan dan lain-lain yang dimiliki oleh masyarakat nelayan untuk kegiatan produksi
yang menjadi aktivitas ekonominya. Kegiatan produksi sendiri terkait dengan bagaimana aktivitas ekonomi masyarakat nelayan mentransformasikan atau
mengubah bentuk input produksi perikanan menjadi produk yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus dapat menjadi sumber
pendapatan bagi masyarakat nelayan. Sementara masalah distribusi terkit dengan bagaimana produksi perikanan yang ada dapat di distribusikan ke tangan
konsumen, masalah konsumsi terkait dengan bagaimana upaya memilih berbagai alternatif konsumsi berbagai produk barang dan jasa yang tersedia di sektor
perikanan dan bagaimana hal tersebut dapat digunakan untuk memberikan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan.
Cara pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dikemukakan di atas ditentukan sistem ekonomi politik yang mempengaruhi masyarakat nelayan.
Sistem ekonomi politik yang ada akan mempengaruhi kinerja lembaga-lembaga ekonomi yang hidup dan berperan dalam pengaturan ekonomi masyarakat
nelayan. Sistem ekonomi politik juga mempengaruhi dan menentukan bagaimana produk-produk kebijakan publik yang ditujukan sebagai pengaturan aktivitas
ekonomi dalam rangka mengatasi permasalahan ekonomi yang ada. Kenyataannya dalam setiap aktivitas perekonomian suatu negara, apapun
bentuknya, tidak dapat hanya diserahkan pada interaksi antara produsen dan konsumen dalam mekanisme pasar. Adakalanya pasar tidak bekerja secara
sempurna. Di sinilah campur tangan negara untuk mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan kepentingan publik. Setiap keputusan yang menyangkut
kebijakan publik terkait dengan masyarakat nelayan akan berhubungan dengan lembaga ekonomi dan lembaga politik yang ada dan tentu saja terkait dengan
bagaimana mencapai pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan umum bonum commune
masyarakat nelayan. Jadi, pembahasan tentang posisi negara dan kaitannya dengan masyarakat nelayan terkait erat dengan produk kebijakan publik
di sektor perikanan mulai dari proses, sistem organisasi dan implementasi dari kebijakan publik tersebut. Dalam hal ini, pemahaman akan kebijakan publik yang
diambil oleh negara dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi lembaga- lembaga ekonomi dan politik yang ada dalam masyarakat nelayan berarti
pemahaman akan ekonomi politik masyarakat nelayan. Dan pemahaman akan ekonomi politik masyarakat nelayan akan membawa pada pemahaman pada
keseluruhan proses dan aktivitas masyarakat dalam upaya memecahkan masalah- masalah ekonomi sekaligus mencapai tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik
masyarakat nelayan.
Sejarah, Pertumbuhan dan Pengelolaan Sektor Perikanan
Jika dirunut ke belakang melihat sejarah kebijakan pembangunan perikanan di Indonesia, tampak sekali bahwa sektor ini di masa lalu menjadi
sektor urutan kedua yang dipentingkan setelah sektor pertanian, dimana hal ini juga berimplikasi pada pertumbuhan sektor perikanan yang juga sangat terkait
pada perkembangan perekonomian masyarakat nelayan. Walaupun selalu ada
ungkapan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah “pelaut” yang artinya seluruh aktivitas kehidupannya terkait dengan sumber daya laut tidak menjadikan
negara menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor utama dan andalan dalam perekonomian bangsa Indonesia. Dari masa penjajahan sampai
awal kemerdekaan sebenarnya pemerintah kolonial sudah memiliki perhatian terhadap bidang ekonomi yang terkait dengan kelautan dan perikanan, namun
perhatian tersebut belum mampu menjadikan sektor ekonomi kelautan dan perikanan tumbuh seperti yang diharapkan.
Sejarah mencatat, semenjak masa penjajahan Kolonial Belanda, perhatian pada sektor kelautan dan perikanan mulai ada, dibuktikan pada tahun 1911
terbentuk lembaga Bugerlijk Openbare Werken yang berubah menjadi Departemen Verkeeren Waterstaat
pada tahun 1931. Lembaga ini merupakan lembaga organisasi formal dalam tubuh organisasi pemerintahan Kolonial
Belanda yang mengurusi masalah kelautan dan masyarakat pantai yang menyandarkan kegiatan ekonomi dibidang kelautan. Namun pada kenyataannya
keberadaan lembaga ini lebih ditujukan bagaimana menjaga kepentingan ekonomi pemerintah Belanda daripada memperhatikan sektor perikanan dan kelautan itu
sendiri. Pada saat itu Belanda berkepentingan dalam aktivitas kepelabuhan terutama yang dapat mendukung kegiatan ekspor rempah-rempah dan bagaimana
produksi perikanan dapat mencukupi kebutuhan konsumsi pemerintah kolonial. Pada saat itu Belanda juga mulai memperhatikan aspek legalitas wilayah
pengelolaan perikanan dengan adanya UU Ordonansi tentang batas laut Hindia Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie pada tahun
1939, yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Hindia Belanda ditetapkan pada masing-masing pulau sampai sejauh 3 mil.
Lembaga yang
menangani kegiatan-kegiatan
perikanan semasa
pemerintahan Kolonial Belanda masih berada dalam lingkup Departemen Pertanian yang bernama Departemen van Landbouw Nijverheid en handel yang
kemudian berubah menjadi Departemen van Ekonomische Zaken. Kegiatan- kegiatan perikanan masa itu digolongkan sebagai kegiatan pertanian dan ada sub
departemen khusus yaitu Onderafdeling Zee Visserij yang mengurusi kegiatan ekonomi yang terkait dengan kelautan serta Institut Voor de Zee Visserij yang
merupakan lembaga atau wadah kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan laut. Posisi perikanan dan kelautan yang menjadi subsektor dari sektor pertanian
bertahan dari jaman penjajahan Belanda, Jepang, masa Orde Lama dan Masa Orde Baru.
Semasa pendudukan Jepang 1942-1945, Departemen van Ekonomische Zaken
berubah nama menjadi Gunseikanbu Sangyogu. Fungsi dan tugas departemen ini tidak berubah dari fungsinya di zaman Kolonial Belanda.
Lembaga penelitian dan pengembangan perikanan laut Institut Voor de Zee Visserij
berubah nama menjadi Kaiyoo Gyogyo Kenkyuzo dan berpusat di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang ini terjadi perluasan lembaga-lembaga perikanan pemerintah dengan dibentuknya Jawatan Penerangan Perikanan yang disebut
Suisan Shidozo di daerah. Hal yang tidak berubah pada masa pendudukan Jepang
ini adalah seperti halnya dengan pemerintah Kolonial Belanda, sektor perikanan dan kelautan tetap dimasukkan dalam katagori sektor pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Jawatan Perikanan 2 September 1945 yang berada di bawah Koordinator Pertanian hingga terbentuknya kabinet
parlementer ketiga pada 3 Juli 1947. Pada tanggal 1 Januari 1948 terjadi restrukturisasi pada Kementerian Kemakmuran Rakyat, Jawatan Perikanan
menjadi bagian dari Urusan Pertanian dan Kehewanan. Pada masa pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949, Kementerian Kemakmuran Rakyat kemudian
dipecah menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Pada masa itulah Jawatan Perikanan masuk ke
dalam Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian pada 17 Maret 1951 mengalami perubahan susunan, yakni penunjukan tiga koordinator yang
menangani masalah Pertanian, Perkebunan dan Kehewanan. Di bawah Koordinator Pertanian, dibentuk Jawatan Pertanian Rakyat. Jawatan Perikanan
pada masa itu telah berkembang menjadi Jawatan Perikanan Laut, Kantor Perikanan Darat, Balai Penyelidikan Perikanan Darat, dan Yayasan Perikanan
Laut. Kesemua jawatan tersebut berada di bawah Jawatan Pertanian Rakyat. Struktur ini tidak bertahan lama. Pada 9 April 1957, susunan Kementrian
Pertanian mengalami perubahan lagi dengan dibentuknya Direktorat Perikanan dan di bawah direktorat tersebut.
Upaya menguatkan kapasitas kelembagaan formal Negara yang terkait dengan urusan perikanan dan kelautan pada masa itu terpengaruh oleh jatuh
bangunnya kabinet karena politik yang tidak stabil semasa pemerintahan parlementer. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali pada
UUD 1945. Kabinet yang menjadi pelaksana pemerintahan disebut Kabinet Presidensial. Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi
beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Lembaga
Pendidikan Usaha Perikanan dan BPU Perikani.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak kembali susunan kabinet dan terbentuklah Kabinet
Dwikora pada 1964. Pada Kabinet Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi lima buah departemen dan pada kabinet ini terbentuk
Departemen Perikanan DaratLaut di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan DaratLaut merupakan respon pemerintah
atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya departemen khusus untuk meningkatkan pembangunan perikanan. Melalui
pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, Departemen Perikanan DaratLaut tidak lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria melainkan
mengalami reposisi dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi
Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung lama, pada 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan
Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet Ampera I pada 1966. Masa ini
menandai berakhirnya pemerintah orde lama dan digantikan oleh pemerintah orde baru.
Beberapa kebijakan publik yang dikeluarkan pada periode awal kemerdekaan dan akhir orde lama banyak yang tidak dilaksanakan karena
pergolakan politik. Sejarah mencatat pada masa Ekonomi Terpimpin semua sektor ekonomi Indonesia memburuk dengan inflasi mendekati 500. Hal yang
menggembirakan adalah dalam hal kebijakan publik yang diambil terkait ekonomi politik perikanan dan kelautan yaitu dengan ditetapkannya Deklarasi
Djuanda, pada tanggal 13 Desember 1957, mendasari Indonesia menjadi rejim negara kepulauan Archipelagic State sebagai dasar konsepsi kewilayahan
nusantara. Deklarasi Djuanda isinya antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk
daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia. Konsepsi archipelago
diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 1031963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan
maritim. UU tersebut memperkokoh konsep wawasan nusantara. Pada masa-masa dimana paham nasionalisme ditanamkan secara gencar, pernah ada pemikiran
untuk memperjuangkan sektor perikanan sebagai salah satu mainstream pembangunan nasional. Pemikiran dan harapan tersebut tertuang dalam
Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional pada tahun 1961, namun upaya untuk mewujudkannya terkendala situasi
politik yang cenderung tidak stabil.
Pada masa orde baru, terjadi peningkatan dalam produksi perikanan, namun sektor perikanan dan kelautan belum menjadi prime mover perekonomian
bangsa, walaupun ditinjau dari aspek kelembagaan formal tampak lebih mapan dan stabil karena dari segi stabilitas politik juga turut mendukung kondisi ini.
Dari aspek pendanaan program dan kebijakan publik tentu saja tidak menjadi kendala karena pada masa orde baru dana pembangunan tersedia cukup dengan
keberhasilan pemerintah orde baru memanfaatkan harga minyak yang tinggi dan pengelolaan sumberdaya hutan dan pertambangan lainnya. Pada masa ini
pertumbuhan ekonomi meningkat signifikan dengan tumpuan minyak bumi, sektor kehutanan dan sektor pertambangan lainnya yang pada saat itu
menjanjikan pemasukan pendapatan nasional yang relatif tinggi. Dalam perkembangannya kemudian pemerintah ordebaru terlalu fokus pada upaya untuk
mencapai sebutan sebagai negara industri sehingga sektor lain seperti kelautan dan perikanan yang secara kelembagaan menjadi subsektor dari sektor pertanian
kurang menjadi perhatian karena dianggap sumbangan subsektor ini terhadap pendapatan nasional tidak terlalu signifikan.
Di era selanjutnya terjadi perubahan besar dari segi politik, sehingga dimulailah era baru yaitu era reformasi. Di era ini, tonggak sejarah yang paling
berpengaruh pada pengelolaan sektor pertanian adalah ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan kebijakan politik untuk membentuk
departemen khusus yang membawahi urusan perikanan dan kelautan yang selama masa orde baru menjadi subsektor Departemen Pertanian. Momentum baru ini
ditandai dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dengan Keputusan Presiden No.355M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode
1999-2004. Pembentukan Departemen Eksplorasi Laut DEL beserta rincian
tugas dan fungsinya ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah
dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145
Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan
Perikanan DELP melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan
nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan DKP sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. DKP kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan
Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur
Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan tidak mengalami perubahan KKP 2008.
Terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan mencerminkan bahwa sektor ini bukan lagi pada posisi di anak-tirikan, ada kemauan politik untuk
membangun dan mengembangkan sektor ini lebih baik. Bahkan terdapat harapan yang besar untuk menjadikan sektor perikanan dan kelautan menjadi prime mover
perekonomian bangsa di masa depan. Selain itu pada masa ini juga dimulailah era desentralisasi perikanan yang merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah
di era reformasi. UU No 22 Tahun 1999 sudah direvisi dengan UU N0.23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menetapkan bahwa wilayah laut sejauh 12 mil
merupakan wilayah daerah propinsi. Sepertiga atau empat mil dari wilayah propinsi tersebut merupakan kewenangan daerah kabupatenkota. Desentralisasi
kewenangan daerah tersebut meliputi 1 eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah tersebut, 2 pengaturan kepentingan
administrasi, 3 pengaturan tata ruang, 4 penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah
pusat dan 5 bantuan penegakan keamanan negara.
Adanya kemauan politik untuk memberikan perhatian terhadap sektor kelautan dan perikanan memang berimplikasi pada peningkatan produksi
perikanan pada masa-masa selanjutnya. Produksi perikanan dalam periode 2007- 2011 mengalami kenaikan rata-rata 47.78 per tahun, dengan volume produksi
pada tahun 2011 sebesar 12.385.850 ton perikanan tangkap dan budidaya. erdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, No. KEP.
45MEN2011, tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI, total potensi kelompok sumberdaya ikan adalah 6.520.200 ton per
tahun, terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar 1.145.400 tontahun, ikan pelagis kecil 3.645.600 tontahun, ikan demersal 1.452.400 tontahun,
udang penaeid 98.300 tontahun, ikan karang konsumsi 4.800 ton tahun dan cumi-cumi 6.520.200 tontahun.