PDRB Perikanan, Pendapatan Nelayan dan Nilai Tukar Nelayan
Realisasi Pendapatan Asli Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten bersumber dari retribusi benih ikan baik ikan tawar maupun ikan pantai,
izin usaha serta pengujian hasil perikanan. Unit yang menghasilkan pendapatan bagi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten adalah Unit Pelaksana Teknis
Balai Benih Air Tawar BBAT Curug Barang yang berlokasi di Pandeglang, Balai Benih Ikan Pantai di Cigorondong Kab. Pandeglang, Balai Pengujian Mutu
Hasil Perikanan BPMHP Tangerang terutama unit check point di Merak, serta jasa pengurusan surat ijin usaha kapal perikanan.
Tabel 8. Realisasi Pendapatan Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Tahun 2010 No
Sumber Nilai
1. UPTD BBIP Cigorondong
50.215.000 2.
UPTD BBAT Curug Barang 50.600.000
3. RPKAD Ijin Usaha Perikanan
10.556.000 4.
UPTD BPMHP Sertifikasi Pengujian Mutu 64.735.350
TOTAL 176.106.350
Sumber : DKP Propinsi Banten 2012
Tahun 2010, sektor kelautan dan perikanan merealisasikan pendapatan asli daerah sebesar Rp 176.106.350, jumlah yang masih terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah dana yang dikeluarkan untuk pembiayaan pembangunan kelautan dan perikanan di Propinsi Banten.
Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan dan Masyarakat Nelayan
Beberapa peraturan formal yang dikeluarkan oleh Negara baik berupa Undang-undang maupun produk hukum turunannya terkait dengan kehidupan
dan aktivitas ekonomi para nelayan. Beberapa peraturan formal baik yang dikeluarkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang secara ekonomi politik
berimplikasi terhadap nelayan lokal, antara lain Undang-undang No 45 tahun 2009 tentang Perikanan yang merupakan revisi dari Undang-undang No 31 Tahun
2004. Undang-undang No 31 Tahun 2004 merupakan perbaikan dari UU perikanan No 9 th 1985 dianggap belum menampilkan ciri desentralistik
kebijakan kelautan dan perikanan karena dikeluarkan pada saat pemerintahan rezim orde baru dimana sifat kebijakan pembangunan cenderung sentralistik.
Selain itu UU tersebut dianggap tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan di masa kini dan masa datang. Perikanan semakin
mengalami perubahan yang berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya ikan, kelestariannya, perekmbangan metode penangkapan dan pengolahan serta
pemasaran yang semakin modern serta keharusan pengelolaan perikanan dilakukan secara berhati-hati berdasarkan asat manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi dan kelestarian yang berkelanjutan.
UU No 45 Tahun 2009 yang merupakan perubahan atas UU No 31 Tahun 2004. UU No 31 Tahun 2004 dianggap dapat menjadi pedoman dari kebijakan
yang mencerminkan kemauan politik untuk membangun dan mengembangkan sektor ini lebih baik dan menjadikannya sektor prime mover perekonomian
bangsa di masa depan. Namun sejalan dengan waktu, dirasakan ada beberapa hal
yang harus diperbaiki, diperjelas dan ditambahkan sehingga disahkanlah undang- undang baru yaitu Beberapa isu yang menjadi alasan dari perubahan UU ini
adalah adanya gejala penangkapan ikan berlebih dan illegal fishing yang merugikan negara dan mengancam masa depan perikanan Indonesia. Dengan
dasar hal tersebut diperlukan penegakan hukum dan kepastian hukum untuk menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan berkelanjutan. UU No
31 Tahun 2004 dianggap belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi serta perekembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan perikanan yang
terkait dengan aspek substansi, manajemen, birokrasi maupun aspek hukum.
UU No 45 Tahun 2009 merivisi dan menambahkan beberapa pasal antara lain pasal ketentuan umum pasal 1, definisi nelayan kecil, pasal 2 asas
pengelolaan perikanan, pasal 7 pengelolaan perikanan, pasal 9 alat penangkapan ikan, pasal 14 pelestarian plasmanuftah, pasal 15A tambahan
tentang mutu induk dan benih ikan, pasal 18 tata pemanfaatan air dan budidaya ikan, pasal 23 larangan penggunaan bahan tambahan berbahaya dalam
pengolahan ikan, pasal 25system bisnis perikanan, pasal 25a, 25b,25c tambahan tentang usaha dan pelaku usaha perikanan, pasal 27 pengoperasian kapal
penangkap ikan, pasal 28 dan 32, 35A, 36 perijinan dan pengoperasian kapal penangkap ikan, pasal 41, 41A, 42 pelabuhan perikanan dan tugas dan wewenang
syahbandar, pasal 43, 44 laik operasi dan persetujuan berlayar kapal, pasal 46, 46A sistem informasi dan data statistik perikanan, pasal 48, 50 pungutan
perikanan, pasal 65 tugas pemerintah daerah, pasal 66, 66A, 66B, 66C pengawasan perikanan, pasal 69 kapal pengawas perikanan, pasal 71, 71A
pengadilan perikanan, pasal 73, 73A,73B,75, 76, 76A,76B,76C, penyidikan dan penuntutan tindak pidana perikanan, 78A, 83A, 85,93, 94A, 98, 100A, 100B,
100C tersangka dan sanksi pidana perikanan, pasal 110, 110A, 111 ketentuan berlakunya, UU.
Beberapa hal yang di atur dalam UU No 45 Tahun 2009 yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas nelayan kecil yang merupakan mayoritas katagori
nelayan di wilayah penelitian antara lain adalah pendefinisian nelayan kecil dan pengaturan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Pengertian nelayan kecil
menurut UU yang terbaru adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT. Artinya seluruh nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan perahu
motor 5 GT ke bawah dapat disebut sebagai nelayan kecil. Di Propinsi Banten armada perikanan dengan katagori tersebut meliputi 84,4 dari total armada,
sehingga dapat dikatakan bahwa mayoritas nelayan di Banten merupakan Nelayan kecil. Demikian pula dengan nelayan Ujung Kulon mayoritas menggunakan
perahu motor tempel dan kapal motor 5GT.
Dalam konteks pemberdayaan nelayan kecil, UU perikanan memuat aturan bahwa pemerintah harus memberdayakan nelayan kecil melalui : 1
penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara mudah, bunga pinjaman rendah dan sesuai dengan
kemampuan nelayan kecil, 2 menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi nelayan kecil untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan di bidang perikanan, 3 penumbuh-kembangan kelompok nelayan kecil, kelompok pembudidaya ikan dan koperasi perikanan, 4 pemerintah
menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil baik bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan perundangan yang
berlaku.
Hal lain yang diatur adalah asas dan tujuan pengelolaan perikanan dimana pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efesiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Pengelolaan perikanan bertujuan untuk : a meningkatkan taraf
hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, b meningkatkan penerimaan dan devisa negara, c mendorong perluasan dan kesempatan kerja, d
meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, e mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, f meningkatkan produktivitas,
mutu, nilai tambah dan daya saing, g meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, h mencapai pemerataan sumberdaya ikan, lahan
pembudidaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal dan i menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang.
Dalam UU perikanan juga diatur izin penangkapan, pungutan perikanan, pembinaan dan pengawasan usaha perikanan, zonasi dan jalur penangkapan ikan,
sanksi terhadap pelanggaran aturan, peraturan tentang kelestarian sumber daya perikanan dan bentuk usaha perikanan. Pengaturan izin didelegasikan kepada
pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya. Izin penangkapan meliputi Surat Izin Penangkapan Ikan SIPI, Surat Izin Usaha Perikanan SIUP dan Surat
Izin Kapal Pengangkut Ikan SIKPI. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian SIPI, SIUP dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri. Sementara
pengaturan pungutan perikanan ditetapkan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya perikanan dikenakan pungutan perikanan.
Besarnya pungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan beserta dengan masyarakat. Pemerintah
mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawas perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Terkait
dengan pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, maka Menteri menetapkan jenis, jumlah,
ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan. Mengenai sanksi terhadap pelanggaran, dinyatakan
bahwa setiap orang yang sengaja melakukan tindakan pelanggaran dalam bidang perikanan akan dikenankan hukum pidana penjara dan denda. Undang-undang
juga mengatur tentang kewajiban dan sanksi terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya seperti penggunaan bahan kimia, bahan biologis dan bahan peledak.
Pemerintah Daerah Propinsi Banten juga mengeluarkan kebijakan perikanan, khususnya terkait dengan izin usaha perikanan yang terlingkup dalam
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 6 Tahun 2004 tentang Izin Usaha Perikanan. Didalam Perda tersebut dumuat beberapa peraturan yang ditujukan
kepada masyarakat nelayan dan pelaku ekonomi perikanan Propinsi Banten, diantaranya mengenai :
1
Peraturan Izin Penangkapan Dalam Perda ditetapkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia, Badan
Hukum atau Koperasi, yang melakukan kegiatan usaha perikanan wajib memiliki