KRISIS DAN KETIDAKPASTIAN NAFKAH: KARAKTERISTIK

Tabel 15. Variasi Unsur Cuaca Wilayah Pesisir Ujung Kulon Periode Juni - Oktober 2011 Tabel 16. Variasi Unsur Cuaca Wilayah Pesisir Ujung Kulon Periode Januari-Oktober 2012 Sumber : Diolah dari Prakiraan Cuaca Wilayah Carita, Labuan, Tanjung Lesung, Panimbang dan Sumur. BMKG Serang. 2012 Sejalan dengan monson tenggara dan upwelling yang terjadi di perairan bagian selatan Pulau Jawa, maka pada sekitar bulan Maret-September merupakan musim tangkapan ikan bagi nelayan pesisir Ujung Kulon yang mencapai puncak Bulan Unsur Cuaca Arah Angin Arah Gerak Gelombang Tinggi Gelombangm Cuaca Kecepatan Angin knts Juni Tenggara,Timur laut, Timur, Selatan Tenggara, selatan 0.8 – 2.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Juli Tenggara,Timur, Barat Daya Tenggara 0.8 – 3.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Agustus Timur, Tenggara, Selatan Tenggara 1.0 – 3.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0 September Tenggara,Timur laut, Timur, Selatan Tenggara Selatan 0.6 – 2.5 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0 Oktober Selatan, tenggara, Barat Daya Selatan 0.6 – 2.0 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0 November Tenggara Barat Daya Selatan Tenggara Selatan 0.6 – 2.0 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 15.0 Desember Barat, Barat Daya Barat 0.7 – 2.5 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 15.0 Sumber : Diolah dari Prakiraan Cuaca Wilayah Carita, Labuan, Tanjung Lesung, Panimbang dan Sumur. BMKG Serang. 2011 Bulan Unsur Cuaca Arah Angin Arah Gerak Gelombang Tinggi Gelombangm Cuaca Kecepatan Anginknts Januari Barat, Barat Laut, Barat Daya Barat 0.7 – 4.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 20.0 Pebruari Utara, Barat Laut, Barat Daya, selatan Barat, Tenggara, Selatan 0.8 – 2.0 Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Maret Barat, Barat Laut, Barat Daya Barat 0.6 – 2.5 Berawan, hujan ringan 3.0 – 15.0 April Barat Daya, Timur, Timur Laut Tenggara Selatan 0.7 – 2.5 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Mei Timur, Tenggara, Barat Daya,selatan Tenggara, Selatan 0.7 – 2.0 Cerah Berawan, hujan ringan 3.0 – 12.0 Juni Timur, Barat Daya, tenggara Tenggara. 0.7 – 3.0 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 15.0 Juli Tenggara, selatan Tenggara 0.5 – 2.5 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 12.0 Agustus Barat Daya, Tenggara Selatan Tenggara 0.3 – 1.2 Berawan, Hujan ringan 3.0 – 10.0 September Tenggara, Timur Tenggara 0.8 – 3.0 Cerah Berawan, Hujan Ringan 3.0 – 15.0 Oktober Tenggara, Timur Tenggara 0.7 – 2.5 Cerah Berawan, Hujan Ringan 3.0 – 15.0 musim ikan sekitar bulan Mei-Juni. Pada bulan berikutnya yaitu antara Oktober sampai Nopember angin monsun tenggara semakin menguat. Penguatan angin tenggara ini menyebabkan pusat upwelling bergerak ke pantai barat Sumatera dan di pesisir Ujung Kulon terjadi angin Barat Oktober –Pebruari. Tangkapan ikan di wilayah pesisir Ujung Kulon menjadi berkurang dan mencapai puncaknya pada bulan Desember-Pebruari yang dikenal dengan musim paceklik. Tabel 17. Matriks Fluktuasi Musim Tangkapan Ikan Nelayan Pesisir Ujung Kulon Musim Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des Hasil Tangkapan Tinggi √ √ √ Hasil Tangkapan Sedang √ √ √ √ Hasil Tangkapan Sedikit √ √ Musim Paceklik Paila √ √ √ Musim hasil tangkapan tinggi dalam setiap aktivitas melaut berlangsung selama kurang lebih tiga bulan dalam setahun, yaitu pada bulan April, Mei dan Juni. Pada musim ini, hasil tangkapan ikan cukup tinggi. Pada saat inilah nelayan berharap tingkat penghasilan relatif tinggi dari usaha penangkapan ikan yang dapat menutupi defisit pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan rumah tangga pada bulan-bulan sebelumnya. Pada tiga bulan musim tangkapan tinggi merupakan musim tangkapan ikan teri, tenggiri, kembung, lemur, ekor kuning, tongkol, belida yang memiliki nilai ekonomis relatif tinggi. Khusus ikan teri yang merupakan komoditas utama yang dihasilkan alat tangkap bagan merupakan komoditas yang menghidupkan usaha pengolahan ikan teri rebus kering untuk komoditas ekspor. Keberadaan usaha penangkapan dan pengolahan ikan teri inilah yang mendorong denyut aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan semakin tinggi. Pada saat ini nelayan berlomba-lomba mengubah alat tangkap ikan yang dimilikinya menjadi alat tangkap bagan, karena usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bagan menurut nelayan lebih menjanjikan pendapatan yang relatif lebih pada musim-musim tangkapan puncak. Pada bulan April, Mei dan Juni 2012, dalam satu bulan nelayan dapat melaut dengan frekuensi sampai 20 kali melaut dengan jumlah tangkapan yang cukup besar. setiap perahu bagan dapat menangkap ikan rata-rata 4,64 ton per bulan dan 183, 28 kg per melaut. Perahu Congkreng yang merupakan alat tangkap yang lazim terdapat di wilayah setempat dapat melakukan aktivitas melaut dengan frekuensi yang hampir sama dengan perahu bagan namun perahu jenis ini dipakai untuk memancing dan memancing ikan-ikan yang berukuran sedang seperti ikan kembung, cumi, udang, tenggiri, tongkol, kakap, dan lain-lain. Pada musim tangkapan puncak, setiap perahu congkreng dapat menangkap ikan dengan jumlah rata-rata 30,85 kg rata-rata per sekali melaut dan dalam satu bulan tangkapan puncak dapat menangkap ikan rata-rata 6.16 kwintal per bulan. Pada bulan Maret, Juli, Agustus dan September, tangkapan nelayan mulai agak berkurang dibandingkan musim tangkapan puncak. Dalam periode ini nelayan masih dapat melakukan aktivitas melaut 13-15 kali sebulan untuk jenis alat tangkap bagan dan perahu congkreng. Rata-rata tangkapan perahu bagan dalam sebulan di musim ini masih dapat menangkap ikan sebanyak 1,77 ton per bulan dan 1.38 kwintal rata-rata per sekali melaut, sedangkan tangkapan perahu Gambar 29. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Bagan per Bulan Jan- Des 2012 Gambar 30. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Congkreng per Bulan Jan-Des 2012 Gambar 31. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Bagan per melaut Jan-Des 2012 Gambar 32. Fluktuasi Hasil Tangkapan Perahu Congkreng per melaut Jan-Des 2012 congkreng di musim ini sebesar 2,96 kwintal rata-rata per bulan dan 19,75 per sekali melaut. Pada musim tangkapan sedikit di bulan Oktober dan Nopember nelayan bagan hanya melakukan aktivitas melaut, paling banyak 10 kali dalam sebulan, itupun dengan hasil tangkapan yang tak seberapa dan tak bisa diprediksi. Pada musim tangkapan sedikit, nelayan bagan mendapatkan hasil tangkapan ikan teri 0,7 kwintal rata-rata per sekali melaut, sedangkan nelayan yang menggunakan perahu congkreng yang melakukan kegiatan menjaring dan memancing ikan dilaut hanya mendapatkan rata-rata 0,16 kwintal per sekali melaut. Pada musim paceklik, nelayan bagan sama sekali tidak melakukan aktivitas melaut selama tiga bulan, yaitu di bulan Desember, Januari dan Pebruari, karena pada saat itu musim tangkapan ikan teri sudah berakhir. Beberapa nelayan ada yang mencoba-coba melakukan aktivitas melautpun tidak mendapatkan hasil tangkapan. Pada musim ini seringkali terjadi badai ataupun angin dengan kecepatan tinggi, sehingga bagi nelayan-nelayan yang menghindari risiko rusaknya bagan dan perahu mereka, lebih baik memilih tidak melakukan aktivitas melaut. Berbeda dengan nelayan bagan, nelayan perahu congkreng masih sesekali melakukan aktivitas melaut di sekitar pesisir yang memudahkan mereka berbalik ke darat jika cuaca tiba-tiba menjadi buruk. Mereka tetap sesekali melakukan aktivitas melaut dengan risiko kerugian yang besar. Dari data primer yang telah dikumpulkan nelayan congkreng di wilayah setempat pada bulan Desember, Januari dan Pebruari di masa paceklik melakukan aktivitas melaut, maksimal 8 kali dalam sebulan dengan hasil tangkapan yang relatif sedikit yaitu rata-rata 8,3 kg per sekali melaut, bahkan pada bulan Pebruari, nelayan hanya mendapatkan ikan dengan jumlah rata-rata 7 kg per sekali melaut. Hasil ini jika dikurangi ongkos melaut logistik dan bahan bakar, hasil yang menjadi pendapatan nelayan menjadi relatif kecil, bahkan pada saat tertentu hasil tangkapan nelayan tidak dapat menutupi modal yang harus dikeluarkan. Nelayan semakin terpuruk jika modal melaut yang dikeluarkan ternyata didapat dengan cara berhutang. Adanya fluktuasi hasil dan nilai tangkapan ikan dalam aktivitas melaut, menjadikan pendapatan para nelayan menjadi berfluktuasi dalam setiap musim. Fluktuasi pendapatan yang tidak menentu ditambah pengelolaan keuangan rumah Gambar 33. Fluktuasi Nilai Tangkapan Perahu Bagan per Bulan Jan- Des 2012 Gambar 34. Fluktuasi Nilai Tangkapan Perahu Congkreng per Bulan Jan-Des 2012 tangga yang tidak tepat dapat bermuara pada terciptanya krisis pada perekonomian nelayan setempat, terutama nelayan buruh bagan, pancingjaring yang umumnya tidak memiliki modal dan alat tangkap sendiri dalam kegiatan melaut. Kerugian ketika mereka melakukan aktivitas melaut yang tidak menghasilkan tangkapan ikan di musim tangkapan ikan sedikit dan musim paceklik akan terus terakumulasi dan ketika mereka mendapatkan pendapatan di saat ada hasil tangkapan ikan terpaksa harus terpotong tunggakan hutang modal. Gambar 35. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Pemilik Bagan per Bulan Jan-Des 2012 Gambar 36. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Buruh Bagan per Bulan Jan-Des 2012 Gambar 37. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Kunca per Bulan Jan-Des 2012 Gambar 38. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Sampan per Bulan Jan-Des 2012 Gambar 39. Fluktuasi Pendapatan Nelayan Congkreng per Bulan Jan-Des 2012 Seluruh nelayan di wilayah pesisir Ujung Kulon mendapatkan penghasilan maksimum di musim panen ikan, yaitu selama bulan April Mei dan Juni, dan pendapatan tersebut semakin berkurang di musim-musim berikutnya, yaitu musim tangkapan sedang. Ketika tiba musim tangkapan sedang dan musim paceklik, di periode inilah para nelayan sering menghadapi krisis, baik dalam konteks pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun penyediaan modal melaut. Bagi nelayan pendapatan yang mereka terima pada masa-masa tangkapan puncak dan tangkapan sedang jauh melebihi pendapatan pada musim tangkapan sedikit dan paceklik. Jika pengelolaan keuangan rumah tangga berjalan baik, maka surplus pendapatan yang didapat pada kedua musim ini dapat diperuntukkan menutupi defisit pendapatan rumah tangga pada musim tangkapan sedikit dan masa paceklik. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ketika musim tangkapan tinggi yang berarti pula nelayan menerima pendapatan yang tinggi, pengeluaran rumah tangga juga meningkat sehingga seringkali yang terjadi pendapatan yang ada dihabiskan untuk menutupi pengeluaran yang tinggi, dan ketika tiba masa tangkapan sedikit dan paceklik, tidak ada surplus pendapatan rumah tangga yang dapat digunakan untuk menutupi defisit, sehingga tak jarang para nelayan harus berhutang. Demikian pula halnya dengan nelayan buruh mengalami hal yang tak jauh berbeda, malah terkadang situasinya menjadi lebih parah karena nilai pendapatan yang diterima oleh nelayan buruh relatif lebih kecil. Jumlah pendapatan yang tidak dapat diprediksi dan penuh ketidakpastian juga menyulitkan perencanaan pengelolaan keuangan rumah tangga yang berujung pada terciptanya krisis ekonomi rumah tangga nelayan Keterbatasan Teknologi Penangkapan Ikan Umumnya nelayan Desa Sumber Jaya adalah nelayan tradisional. Alat tangkapnyapun berupa alat tangkap tradisional pancing memancing dengan menggunakan jukung dan jaring bagan, perahu motor dengan ukuran kecil sampai ukuran sedang, sehingga wilayah tangkapan mereka umumnya hanya di sekitar TNUK, selat Sunda dan Samudera Indonesia. Penggunakan alat dan sarana yang tradisional menyebabkan masyarakat setempat belum mampu memanfaatkan sepenuhnya potensi perikanan yang sangat besar di wilayah perairan tersebut. Di bawah ini merupakan data jumlah kepemilikan perahu motor dan alat tangkap ikan di Desa Sumber Jaya. Tabel 18. Jumlah Kepemilikan Perahu Motor dan Alat Tangkap Ikan Nelayan No Jenis Perahu dan alat Tangkap Jumlah 1 Perahu Motor Besar 5 2 Perahu Motor Sedang 17 3 Perahu Motor Kecil congkreng 52 4 Jukung 127 5 Sampan 25 6 Bagan Tancap 27 7 Bagan ApungJerigen 36 8 Bagan Perahu 40 9 Bagan Badak 10 Jumlah 339 Sumber : Monografi Desa dan Hasil Wawancara Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dapat dilihat dari armada penangkapan ikan yang didominasi armada sederhana dan tradisional. Jumlah perahu motor besar hanya 5 buah dan perahu ukuran sedang hanya 17 buah yang umumnya dimiliki para juragan besar. Mayoritas nelayan desa-desa pesisir Ujung kulon merupakan nelayan bagan berupa bagan tancap, bagan apung, bagan perahu dan bagan badak. Sebagian nelayan merupakan nelayan jaring dan nelayan pancing yang menggunakan jukung dan congkreng perahu motor kecil. Terdapat pula nelayan bagan yang merangkap menjadi nelayan pancing dan nelayan jaring. Bagan adalah suatu alat penangkap ikan yang terdiri susunan bambu dan memanfaatkan cahaya sebagai penarik ikan berkumpul. Bagan merupakan alat tangkap dengan menggunakan jaring angkat. Alat tangkap bagan yang paling banyak terdapat di wilayah ini adalah bagan apung dan bagan perahu . Hanya sebagian kecil nelayan yang masih menggunakan bagan tancap. Bagan tancap dianggap tidak efektif dan efesien untuk menangkap ikan karena bersifat statis tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain mengejar ground fishing seperti bagan apung dan bagan perahu. Sementara bagan badak dianggap alat tangkap yang paling efesien dan efektif untuk menangkap ikan, namun karena modal pembuatan bagan badak yang relatif besar, sekitar 100-120 juta per buah menjadikan bagan ini tidak terlalu terjangkau oleh mayoritas nelayan. Umumnya hanya para juragan dan nelayan kaya yang memiliki bagan badak. Gambar 41. Bagan Badak dengan menggunakan perah ukuran sedang Gambar 40. Bagan Perahu Gambar 43. Bagan Apung yang ditarik ke pinggir pantai untuk diperbaiki Gambar 42. Perahu Bolga Bagan apung adalah bagan yang diapungkan di atas permukaan air dengan menggunakan drum bekas. Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, terdiri dari kerangka kayu yang diatasnya terdapat susunan bambu, jaring atau waring berukuran 0,3 cm dan alat penggulung yang disebut roller untuk menggulung atau menurunkan waring. Untuk menyalakan lampu-lampu yang dipasangkan di sekeliling bagan digunakan mesin genset berbahan bakar bensin. Cahaya dari lampu ini yang menarik ikan-ikan kecil berkumpul di sekitar waring . Jenis ikan yang didapat biasanya ikan-ikan kecil berupa ikan teri, ikan tembung dan ikan lemeut. Namun, khusus ikan teri memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena produk olahan ikan teri ini merupakan produk ekspor. Bagan apung tidak memiliki motormesin penggerak, oleh karenanya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain harus ditarik oleh perahukapal motor penarik. Masyarakat setempat menyebut kapal motor penarik dengan sebutan perahu muatan . Kapal motor penarik berukuran 13m-15m x 2m x 3 m, menggunakan mesin mobil 4 silinder P 120 s Mitsubishi PS 100 dengan tonase sekitar 7 ton, ada juga yang menggunakan mesin Yanmar. Satu kapal motor penarik dapat menarik 7-10 bagan perahu. Ket : BP : Bagan Perahu, BA : Bagan Apung Gambar 44. Kapal Motor Penarik Bagan Bagan perahu boat lift nets saat ini lebih menjadi pilihan alat tangkap karena lebih lincah bergerak dan berpindah tempat mencapai fishing ground. Perbedaan bagan perahu dengan bagan apung adalah digunakannya perahu sebagai bagian utama dari alat tangkap ini sehingga memungkinkan bagan perahu berpindah-pindah mengejar fishing ground dengan lebih mudah dan lebih jauh dan lebih cepat daripada bagan apung. Persamaannya adalah jenis bagan ini tetap Kapal Motor Penarik Bagan BPBA 8 BPBA 1 BPBA 7 BPBA 2 BPBA 3 BPBA 6 BPBA 4 BPBA 5 Mesin Kapal Motor Penarik Bagan harus ditarik oleh perahu motor untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Posisi jaring angkatnya berada di kiri atau kanan perahu. Perahu yang digunakan untuk bagan perahu rata-rata berukuran 23 GT. Umumnya perahu tersebut memiliki ukuran 13m x 3m x 2m. Jaring atau waring pada bagan perahu bahan PA monofilament berwarna gelap, seperti hitam atau biru tua, dengan mesh size berkisar antara 0,3-0,5 cm. Ukuran jaring biasanya disesuaikan dengan ukuran perahu yang digunakan. Supaya jaring dapat terbentang dengan baik, maka dibentuk kerangka yang terbuat dari bambu yang berlubang atau pipa besi pada bagian atas jaring dekat permukaan air. Bingkai jaring dari bambu waga berdiameter sekitar 8-10 cm dan panjang masing-masing bambu 6m dimaksudkan agar jaring dapat terbentang dengan baik. Panjang bambu tersebut biasanya disesuaikan dengan lebar waring yang digunakkan. Bingkai bambu juga dilengkapi dengan bingkai besi berdiameter kurang lebih 6,25 cm. Ujung pada bambu waga diberi lubang untuk mengkaitkan tali agar dapat menghubungkan bambu dengan pipa besi, berfungsi sebagai pembuka mulut jaring dan pemberat agar bambu waga dapat tenggelam. Sebagai pengumpul ikan hasil tangkapan digunakan lampu. Lampu tersebut dipasang di sisi kanan dan kiri perahu. Lampu yang digunakan adalah lampu merkuri dan lampu set. Lampu merkuri tersebut memiliki daya sebesar 200 watt sedangkan lampu set memiliki daya sebesar 1.000 watt. Tidak semua nelayan bagan perahu menggunakan lampu set. Hal tersebut dikarenakan karena harganya yang mahal yaitu mencapai Rp 4.000.000,- per perangkat lampu set. Sebagai sumber listrik untuk menyalakan lampu-lampu tersebut, perahu ini menggunakan mesin genset. Ukuran dan tenaga mesin yang digunakan sangatbergantung pada total tenaga yang dibutuhkan oleh lampu bagan. Semakin besar daya lampu yang digunakan, maka akan semakin besar pula mesin genset yang diperlukan. Teknis pengoperasian bagan perahu, biasanya dilakukan 5-6 orang nelayan. Pengoperasian bagan perahu dimulai dengan persiapan operasi penangkapan dilakukan sebelum menuju fishing ground yakni mempersiapkan perbekalan berupa bahan bakar untuk genset untuk menyalakan lampu, makanan, air bersih, rokok dan lain-lain, memeriksa kondisi waring, lampu bagan perahu, keranjang dan mesin kapal. Waktu yang digunakan untuk mencapai fishing ground berkisar antara 2-6 jam perjalanan, tergantung pada jarak fishing ground dari fishing base. Biasanya, saat dirasa hasil tangkapan di fishing ground tidak banyak, nelayan bagan perahu akan berpindah lokasi fishing ground. Setibanya di fishing ground yang dituju, seorang nelayan segera menurunkan jangkar untuk memastikan bagan perahu tidak terbawa arus, kemudian bingkai lampu bagan perahu di turunkan sehingga menghadap ke perairan. Setelah itu, dilakukan waring yang tergulung disekeliling perahu mulai dilepas dan secara perlahan waring diturunkan ke dalam perairan. Kedalaman posisi pemasangan waring ditentukan oleh kedalaman perairan dan ukuran waring itu sendiri. Setelah waring ditenggelamkan, barulah lampu bagan dinyalakan. Fungsi lampu ini adalah memberikan cahaya yang menarik ikan-ikan untuk berkumpul. Pembagian tugas anak buah bagan, ada yang bertugas mengoperasikan waring bagan perahu, selain itu ada pula yang bertugas untuk mengemudikan kapal sekaligus mengatur nyala dan matinya lampu. Hal ini dikarenakan posisi sakelar lampu terdapat di ruang kemudi. Setiap kali menurunkan waring dibutuhkan waktu sekitar 1,5-2 jam menunggu ikan-ikan berkumpul. Ketika dirasa ikan sudah cukup banyak berkumpul di atas waring, maka waring segera diangkat secara perlahan mulai dengan mematikan lampu pada sisi dimana waring tidak dipasang. Kemudian secara perlahan waring diangkat. Saat mendekati permukaan penarikan waring dipercepat dan satu persatu lampu dimatikan dan disisakan beberapa lampu sehingga ikan terpusat pada satu titik. Ketika mencapai permukaan, bingkai bambu ditarik dan dilepaskan dari waring dan waring diangkat ke atas permukaan laut. Kemudian salah satu nelayan menyerok ikan hasil tangkapan. Salah satu keberhasilan operasi penangkapan dengan bagan perahu adalah kecepatan pengangkatan waring pada saat mendekati permukaan. Gambar 45. Bagan Perahu dan Aktivitas Menurunkan dan Menarik Jaring Teknis operasional ketiga bagan lainnya apung, tancap, badak hampir sama dengan teknis operasional bagan perahu di atas, hanya bedanya bagan tancap bersifat statis sehingga tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Konsekuensinya ketika ikan berkumpul di tempat lain maka, penguluran waring memakan waktu lebih lama menunggu ikan berkumpul dan terkadang hasilnya tidak begitu memuaskan. Namun disisi lain para nelayan bagan tancap tidak perlu membagi pendapatan dari hasil tangkapnya kepada juragan kapal motor penarik layaknya bagan apung dan bagan perahu, oleh karena tidak menggunakan jasa penarik bagan. Di sisi lain bagan apung dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, namun umumnya daya beratnya lebih tinggi dari bagan perahu, sehingga dianggap kurang lincah dan tidak ekonomis. Perahu motor yang menarik bagan apung membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berpindah tempat dibandingkan bagan perahu, sehingga otomatis biaya yang digunakan untuk membeli bahan bakar menjadi lebih tinggi dan waktu yang diperlukan juga menjadi lebih lama. Kondisi inilah yang menyebabkan nelayan yang telah memiliki bagan apung akan berusaha merombak bagan apungnya menjadi bagan perahu. Hal ini dianggap menjadi sebuah peluang bagi para juragan perahu motor penarik bagan untuk meminjamkan modal perombakan bagan kepada pada nelayan dengan imbalan ikatan kerja yang sifatnya mengikat selama pinjaman tersebut belum dilunasi. Artinya nelayan yang telah meminjam modalpinjaman kepada juragan perahu motor harus menjadi anggota tarikan perahu motor tersebut selama proses pencicilan dari pinjaman, dan tentu saja harus berbagi pendapatan hasil tangkapan ikan kepada para juragan perahu motor. Dari gambaran aktivitas ekonomi nelayan bagan dan nelayan jaringpancing, tampak jelas bahwa teknologi penangkapan yang ada tidak mampu mengatasi permasalahan cuaca yang ekstrim serta kurang memiliki daya jelajah yang luas, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan menggunakan armada tradisional ini menjadi relatif terbatas. Situasi ini pula yang menyebabkan nelayan secara ekonomi lekat dengan krisis, karena teknologi yang mereka gunakan tidak dapat mengatasi situasi-situasi krisis yang diakibatkan oleh sifat sumberdaya laut yang penuh ketidakpastian dan krisis. Ketidak-mandirian dalam Sistem Permodalan dan Ketimpangan dalam Bagi Hasil Ketidak-mandirian dalam sistem permodalan melaut dalam ekonomi nelayan disebabkan adanya sifat-sifat tertentu dalam sistem ekonomi perikanan yang mengandalkan sumber daya laut yang lekat dengan ketidakpastian. Adanya fluktuasi pendapatan permusim yang sedemikan besar, kekhasan kelembagaan ekonomi yang terbentuk seperti patron klien dan sistem budaya ekonomi yang tercipta. Ketidak-mandirian dalam sistem permodalan seperti memiliki dua sisi mata uang jika dilihat dari sebab dan akibat dari hal tersebut. Di satu sisi ketidak- mandirian nelayan dalam sistem permodalan disebabkan adanya situasi krisis yang tercipta akibat adanya fluktuasi pendapatan yang begitu besar dari setiap musim yang sangat tergantung dengan faktor-faktor alam yang berada di luar kemampuan nelayan untuk mengendalikannya dan kelembagaan sistem permodalan nelayan yang terbentuk dianggap merupakan salah satu jalan keluar yang ditempuh untuk mengatasi krisis ini. Di sisi yang lain, fakta menunjukkan bahwa kelembagaan sistem permodalan yang terbentuk yang bermuara pada ketidak-mandirian nelayan dalam permodalan melaut justru menciptakan krisis baru dalam sistem ekonomi nelayan. Nelayan seperti terjebak pada lingkaran masalah permodalan yang di suatu saat menjadi way out dari situasi krisis sekaligus menciptakan krisis-krisis yang baru, dan nelayan sulit untuk keluar dari situasi tersebut. Di wilayah setempat aktivitas ekonomi nelayan terdiri dari beberapa kelompok yang terkait satu sama lain dan mencerminkan pula ketergantungan dan keterkaitan dalam hal permodalan, yaitu 1 usaha penangkapan ikan bagan yang memiliki keterkaitan dengan juragan perahu dan usaha pengolahan ikan teri Sobong,2 usaha penangkapan ikan nelayan pancing dan jaring yang memiliki keterkaitan permodalan dengan pihak langgan pedagang pengumpul, 3 keterkaitan pemodal lokal dengan pemodal luar yang juga memiliki imbas pada sistem ekonomi nelayan secara keseluruhan, 4 keterkaitan pihak nelayan lokal dengan pihak pemodal luar. Nelayan buruh bagan memiliki keterkaitan modal dengan pemilik bagan yang memberikan modal pada setiap aktivitas melaut dengan imbalan pembagian hasil tangkapan. Pemilik bagan memiliki ketergantungan dengan pihak juragan perahu muatan yang memiliki kapal penarik yang bisa menarik bagan ke tengah laut dan memberikan modal awal pembuatan bagan perahu yang juga dengan imbalan bagi hasil tangkapan dalam setiap aktivitas melaut. Nelayan pemilik bagan juga memiliki ketergantungan dengan pengusaha sobong yang dapat memberikannya modal tambahan jika diperlukan dengan imbalan nelayan akan menjual tangkapannya kepada pengusaha sobong tersebut. Bagi nelayan jaringpancing memiliki ketergantungan modal dengan para langgan yang memberikan modal melaut kepada para nelayan jaring dan pancing dengan syarat nelayan yang bersangkutan harus menjual hasil tangkapannya kepada pihak langgan yang telah memberikan modal. Para pemodal lokal sendiri seperti pengusaha sobong dan juragan perahu muatan memiliki ketergantungan permodalan dengan pihak luar tengkulak besar. Ketergantungan pemodal lokal dengan pihak tengkulak besar yang berada di luar wilayah terimplementasi dengan ikatan jual beli. Di saat juragan membutuhkan modal untuk membeli atau memperbaiki alat produksi perahu, mesin, alat pengolahan dan alat tangkap lainnya tengkulak besar akan menyediakannya atau meminjamkan uang dengan konsekuensi juragan harus menjual hasil tangkapannya kepadan tengkulak tersebut dengan harga yang telah ditentukan Ketergantungan dalam hal permodalan akan menyebabkan krisis jika di dalamnya ada unsur eksploitasi termasuk berupa ketimpangan pembagian hasil yang tidak seimbang antara si pemberi modal dan yang menerima modal. Di wilayah setempat sistem pembagian hasil dan konsekuensi akan ketergantungan permodalan adalah sebagai berikut : 1 Usaha penangkapan ikan bagan yang memiliki keterkaitan antara juragan perahu, nelayan pemilik bagan, nelayan buruh, nelayan kunca, nelayan sampan dan palime-lime Juragan perahu muatan menyediakan kapal motor berukuran sedang, bahan bakar kapal motor, alat penarik bagan, tenaga nakhoda, tenaga sampan, dan tenaga tukang kuras palime-lime. Satu kapal motor dapat menarik sekitar delapan bagan perahu. Pemilik bagan perahu menyediakan modal bahan bakar untuk genset penerangan di masing- masing bagan, dan logistik masing-masing nelayan buruh bagan di setiap bagan. Sistem bagi hasil pada bagan antara lain : a. Bagi Hasil yang Diterima Juragan Kapal Motor Penarik Juragan Perahu Muatan : Mendapatkan bagian 30 dari nilai hasil tangkapan seluruh bagan delapan bagan dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan dikurangi biaya modal operasional kapal penarik. Hasilnya dibagi kembali dengan kunca, sampan dan palime-lime yang menjadi tanggung jawab juragan. Juragan mendapat 60, kunca 30 dan sampan serta palime-lime masing-masing mendapat 5 Uj = { [Hb x – Mb x ] x 0,3 } - Mj x 0,6 Uj = Bagian hasil keuntungan juragan kapal motor setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik Mj = Modal yang dikeluarkan oleh juragan solar kapal penarik dan logistik kunca, sampan, palime-lime b. Bagi Hasil yang diterima pemilik bagan : Mendapatkan bagian 70 dari nilai hasil tangkapan bagan dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan. Hasilnya dibagi kembali dengan anak bagan yang menjadi tanggung jawab pemilik bagan. Pemilik bagan mendapat 50, dan anak bagan seluruhnya mendapat 50 Ub = { [Hb x – Mb x ] x 0,7 x 0,5 Ub = Bagian hasil keuntungan juragan kapal motor setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik c. Bagi hasil yang diterima anak bagan nelayan buruh bagan : Mendapatkan bagian 50 dari 70 nilai hasil tangkapan bagan yang sudah dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan. Hasilnya dibagi kembali dengan jumlah anak bagan yang berada dalam satu bagan Uab = { [Hb x – Mb x ] x 0,7 x 0,5 x 0.25 Uab = Bagian hasil keuntungan anak bagan nelayan buruh bagan setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik 0,25 = Faktor pengali jumlah anak bagan setiap bagan rata-rata mempekerjakan 4 orang anak bagan d. Bagi Hasil yang Diterima Kunca : Mendapatkan bagian 30 dari 30 nilai hasil tangkapan seluruh bagan delapan bagan dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan dikurangi biaya modal operasional kapal penarik. Uk = { [Hb x – Mb x ] x 0,3 } - Mj x 0,3 Uk = Bagian hasil kunca pada setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik Mj = Modal yang dikeluarkan oleh juragan solar kapal penarik dan logistik kunca, sampan, palime-lime e. Bagi Hasil yang Diterima Sampan : Mendapatkan bagian 5 dari 30 dari nilai hasil tangkapan seluruh bagan delapan bagan dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan dikurangi biaya modal operasional kapal penarik Us = { [Hb x – Mb x ] x 0,3 } - Mj x 0,05 Us = Bagian hasil keuntungan sampan setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik Mj = Modal yang dikeluarkan oleh juragan solar kapal penarik dan logistik kunca, sampan, palime-lime f. Bagi Hasil yang Diterima Palime-lime : Mendapatkan bagian 5 dari 30 dari nilai hasil tangkapan seluruh bagan delapan bagan dikurangi modal yang disediakan oleh pemilik bagan dikurangi biaya modal operasional kapal penarik Upl = { [Hb x – Mb x ] x 0,3 } - Mj x 0,05 Upl = Bagian hasil keuntungan palime-lime setiap aktivitas melaut bagan Hb x = Hasil tangkapan seluruh bagan H b1-b8 persekali melaut Hb x = ∑ H b1-b8 H b1-b8 = Hasil tangkapan masing-masing bagan persekali melaut Mb x = Modal yang dikeluarkan oleh pemilik bagan bahan bakar genset, logistik Mj = Modal yang dikeluarkan oleh juragan solar kapal penarik dan logistik kunca, sampan, palime-lime Ketimpangan bagi hasil yang terjadi adalah porsi pendapatan yang diterima juragan kapal penarik porsinya jauh lebih besar daripada porsi pendapatan yang diterima pelaku-pelaku ekonomi yang lain. Dari data lapangan selama Januari – Desember 2012, nilai pendapatan rata-rata hasil rata-rata yang di terima pelaku-pelaku ekonomi dalam sistem penangkapan ikan bagan per trip adalah Rp 4.035.867.5. Juragan kapal penarik menerima porsi yang paling besar yaitu hampir 56,9 , sedangkan sisanya dibagi dengan porsi yang tidak berimbang kepada pelaku-pelaku ekonomi yang lain seperti nelayan pemilik bagan, nelayan buruh bagan, kunca, sampan dan palime-lime. Nelayan pemilik bagan menerima 14,9 dari hasil, nelayan buruh bagan anak bagan menerima 3.8 persen dari hasil, kunca menerima 14,7 , dan sampan serta palime-lime menerima pembagian hasil masing-masing 4.9 per tahun. Gambar 46. Bagi Hasil Rata-rata Pelaku-pelaku Ekonomi dalam Sistem Penangkapan Ikan Bagan Per Sekali Aktivitas Melaut 2 Usaha penangkapan ikan nelayan pancing dan jaring yang memiliki keterkaitan permodalan dengan pihak langgan pedagang pengumpul Sistem bagi hasi nelayan jaring dan nelayan pancing one day fishing yaitu jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut dipotong biaya modal operasional berupa bahan bakar untuk mesin tempel dan perbekalan. Jika perahu yang digunakan bukan milik sendiri, maka biaya modal biasanya ditanggung pemilik perahu dan bagi hasil yang berlaku adalah seluruh nilai hasil tangkapan dikurangi biaya modal dan pemilik perahu mendapat 30 dan nelayan buruh dua orang menerima 70 . Nilai tangkapan 70 tersebut kemudian dibagi dua, masing-masing nelayan mendapat 50 . Jika perahu yang digunakan adalah milik sendiri, artinya nelayan pemilik perahu ikut melaut, maka bagi hasil yang berlaku adalah hasil tangkapan yang sudah dikurangi biaya modal operasional dibagi dengan porsi 60 : 40, nelayan pemilik perahu 60 dan nelayan buruh 40 . Pendapatan yang diterima nelayan buruh akan lebih besar jika perahu yang digunakan merupakan milik nelayan yang juga melakukan aktivitas melaut, daripada jika perahu yang digunakan milik juragan perahu yang tidak melakukan aktivitas melaut Nelayan jaring dan nelayan pancing yang melakukan aktivitas melaut di atas tiga hari three or four days fishing. Nelayan ini umumnya mengandalkan penyediaan alat tangkap perahu, jaring dan permodalan dari juragan yang umumnya berprofesi sebagi langgan. Langgan adalah orangpemodal yang memberi pinjaman perahu kepada pihak nelayan yang ingin melakukan aktivitas melaut termasuk keperluan nelayan pada saat mereka melaut, dapat berupa bahan makanan, bahan bakar, alatsarana tangkap maupun kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh nelayan dalam menangkap ikan. Langgan merupakan pedagang pengumpul tingkat desa yang mengumpulkan hasil tangkapan nelayan untuk dipasarkan ke wilayah atas desa. Selain kewajiban menjual hasil tangkapan kepada langgan, maka nelayan juga harus membagi hasil tangkapan tersebut dengan porsi 30 : 70. Porsi 30 untuk langgan atas jasanya menyediakan perahu dan modal operasional dan 70 sisanya dibagikan kepada nelayan buruh yang terlibat dalam aktivitas melaut di perahu tersebut. Langgan mendapatkan porsi lebih dari keuntungan tangkapan nelayan karena selain langgan mendapatkan bagian dari jasa pinjaman perahu dan modal, langgan juga dapat mengambil untung dari selisih harga ikan yang dibeli dan harga ikan yang dipasarkan. Masalah ketimpangan bagi hasil terjadi jika langgan menetapkan harga ikan jauh di bawah harga pasar, maka pendapatan nelayan akan berkurang dari yang seharusnya diterimanya, sementara langgan menerima porsi keuntungan yang jauh lebih besar.

BAB 7 PASAR DAN

SOCIAL SECURITY SYSTEM MASYARAKAT NELAYAN Norma Pasar dan Moralitas Ekonomi Masyarakat Nelayan Ujung Kulon Moralitas ekonomi erat kaitannya dengan budaya yang merupakan sistem ideasional atau sistem gagasan atau the state of mind yang mendorong perilaku yang khas pada kelompok masyarakat tertentu. Budaya pada suatu saat berada pada posisi independent variable bila dikaitkan dengan kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Namun di saat lain, dalam rangka mencapai kemajuan perekonomian tersebut, budaya pun bisa direkayasa melalui public policy, sehingga posisi budaya berubah menjadi dependent variable. Huntington 2000 dalam Marzali 2005. Budaya seringkali dilihat sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku sosial, ekonomi dan politik. Dalam hal ini terdapat dua aliran pemikiran, yaitu pertama aliran konservatif yang mengemukakan tesis bahwa budaya menentukan kesuksesan suatu masyarakat. Kedua, aliran liberal yang mengemukakan bahwa politik dapat mengubah sebuah budaya dan membuatnya bertahan Moynihan dalam Huntington and Harrison. 2011. Menurut Huntington 2011, budaya dalam pengertian subjektif dapat mempengaruhi cara-cara masyarakat untuk berhasil atau gagal dalam mencapai kemajuan perkembangan ekonomi. Dalam hal ini Huntington mendefinisikan kemajuan manusia sebagai gerakan menuju perkembangan ekonomi dan kesejahteraan materi, keadilan sosial ekonomi dan demokrasi politik. Dengan demikian Huntington seolah menegaskan bahwa di dalam masyarakat tertentu terdapat budaya yang mempengaruhi memperlancar kemajuan manusia dan di sisi lain terdapat budaya yang justru menghambat masyarakat untuk maju. Pendapat serupa dikemukakan oleh Hefner 1999 bahwa budaya sebagian masyarakat Asia Cina, Melayu, Vietnam merupakan media yang baik untuk tumbuh suburnya kapitalisme, sementara budaya masyarakat yang lain sebaliknya. Hefner menunjukkan bagaimana pertumbuhan yang mencengangkan industri dan pasar kapitalis di Asia Timur dan Asia Tenggara yang sekaligus mematahkan mitos kapitalisme yang menyatakan bahwa hanya masyarakat Barat yang memungkinkan adanya pertumbuhan kapitalisme. Menurut Marzali 2005, dalam aliran cultural developmentalism, studi tentang budaya menjadi sarat nilai dan praksis, karena kalangan aliran ini menganggap bahwa budaya harus dapat dinilai mana yang baik dan yang buruk, artinya dapat ditentukan mana budaya yang maju dan mana budaya yang tertinggal. Implikasinya harus ada sikap yang sarat nilai dan praksis untuk mengangkat dan membangkitkan budaya yang berguna untuk kemajuan masyarakat dan meninggalkan budaya yang tidak berguna. Oleh karenanya perlu keberanian untuk menentukan mana budaya yang maju dan terbelakang, dimana keberanian ini juga terkait dengan aspek politik pembangunan, kebijakan, nilai- nilai universal dalam ilmu pengetahuan, etika akademik dan sebagainya. Kebudayaan juga dikaitkan dengan konsep sistem nilai dan sikap mental masyarakat seperti definisi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1972 bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Budaya juga diartikan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat yang dimiliki oleh manusia selaku anggota masyarakat yang meliputi semua pola berpikir, pola rasa dan pola bertindak Taylor. 1987 dalam Soekanto. 2001. Sesuatu yang superorganik, artinya berada di lapangan gagasan idiil. Kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi dan tetap akan hidup terus walaupun manusia yg menjadi anggota masyarakat lahir dan mati silih berganti Herkovits. 1955 dalam Soekanto. 2001. Walaupun demikian konsep budaya dalam studi budaya masih sangat luas, seperti pembahasan bahwa budaya itu terdapat dalam lapangan kognitif manusia aliran antropologi kognitif, budaya itu dipengaruhi arena publik di luar diri manusia seperti pendapat Geertz 1973 atau budaya sebagai sebuah sistem yang kompleks aliran materialisme budaya. Implikasinya bahwa topik perdebatan mengenai bagaimana menangkap pola budaya yang begitu abstrak dari pola simbol yang kongkret, tentang bagaimana budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tentang bagaimana suatu generasi memanipulasi dan memodifikasi budaya untuk kepentingan pribadi yang lama kelamaan melahirkan satu bentuk budaya yang baru dan seterusnya. Pembahasan budaya pada tulisan ini berawal pemikiran teoritis yang didasari konsep Weber tentang etika protestan yang terkait dengan perkembangan kapitalisme pada masyarakat Eropa secara otomatis telah menjawab pertanyaan ini. Bahwa ada etika-etika yang bersumber dari budaya protestanisme yang mendukung perkembangan kapitalisme Barat. Ketika Weber mengemukakan tesis utamanya dalam buku The Protestant Ethic bahwa terdapat aspek-aspek tertentu dalam etika protestan yang merupakan perangsang yang kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis. Maka pendapat Weber ini menempatkan sistem nilai budaya yang bersumber dari etika agama sebagai variabel independent yang justru mempengaruhi tindakan dan perilaku ekonomi masyarakat. Etika protestan menjadi pengaruh yang merangsang dan dapat dilihat sebagai konsistensi logis dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara tuntutan etis tertentu yang berasal dari kepercayaan protestan dan pola-pola motivasi ekonomi yang perlu untuk pertumbuhan kapitalisme. Dengan kata lain, etika protestan melahirkan semangat perjuangan moral untuk memperbaiki kehidupan masyarakat melalui etika-etika calvinism self discipline , etika profit making yang berintikan semangat be industrious rajin bekerja, be frugal berhati-hati penuh kewaspadaan, be punctual memelihara ketepatan dalam segala hal baik waktu maupun perhitungan, be fair memelihara kejujuran dan earning money as a legitimate end it myself mencari uang adalah absah bagi kehidupan. Dengan semangat- semangat moralitas tersebut, menurut Weber, masyarakat dipacu untuk meningkatkan derajat kesejahteraan sosial ekonominya sebagai bagian dari tanggung jawab pribadi. Masuknya norma pasar terkait dengan berkembangnya kapitalisme yang membawakan free fight liberalism yang secara historis sosiologis bias budaya barat ke dalam perekonomian bangsa-bangsa di dunia ini. Sedangkan pasar merupakan pranatainstitusi pokok dalam kapitalisme yang menata jaringan sosial pertukaran dengan berbasiskan pada penawaran dan permintaan. Essensi norma kapitalisme adalah pemilikan, persaingan dan rasionalitas yang diperlukan untuk mencapai tingkat ekonomi tinggi. Untuk itu yang harus dilakukan adalah mengekploitasi dorongan-dorongan alamiah seperti individualisme, maksimisasi profit, perhitungan benefit cost, maksimisasi utilitas yang menjadi basis norma ekonomi pasar. Intinya setiap pelaku ekonomi diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadinya. Norma ekonomi pasar inilah yang merubah secara signifikan norma-norma ekonomi tradisional yang berbasis norma moralitas asli yang cenderung guyub, berasas gotong royong, penuh dengan solidaritas dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks masyarakat nelayan, masuknya norma pasar yang mempengaruhi moralitas ekonomi nelayan sehingga moralitas ekonomi nelayan mengalami perubahan. Pada pembahasan ini akan digali dimensi perubahan moralitas ekonomi nelayan yang terjadi terkait dengan penetrasi norma budaya pasar. Sebuah mekanisme ekonomi yang menopang social security tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan tumbuh dalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas yang terkait dengan budaya yang melingkupinya. Unsur-unsur lokal yang menjadi penyusun kekuatan juga tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Dasar dari terbentuknya mekanisme ekonomi juga tergantung dari keberhasilan membangun hubungan sosial atau ikatan-ikatan sosial yang didasari sistem nilai yang berlaku. Secara historisitas, sebelum masyarakat setempat mengenal norma ekonomi pasar, ternyata dalam masyarakat setempat mempunyai unsur-unsur pokok budaya yang menjadi basis kemampuan masyarakat untuk bisa bertahan dari situasi krisis dan ketidakpastian nafkah crisis and uncertainty. Unsur-unsur tersebut juga dapat membangun suatu mekanisme penghidupan ekonomi untuk mencapai tujuan bersama. Di masa lalu masyarakat nelayan setempat memiliki sistem nilai moralitas yang menjadi dasar dari mekanisme social security untuk mencapai tujuan bersama dan cenderung saling menguntungkan dengan sistem nilai budaya yang terpelihara. Terbukanya wilayah tidak hanya mengenalkan sistem ekonomi pasar kepada masyarakat, namun berarti pula masyarakat setempat mengenal budaya baru yang dibawakan oleh pasar. Pasar membawa masuk barang-barang baru, gaya hidup baru dan informasi-informasi baru kepada masyarakat. Perkembangan moralitas ekonomi pasar ditunjang oleh berkembangnya sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi seperti televisi, handphone, internet dan sebagainya yang juga turut mempengaruhi gaya hidup masyarakat nelayan setempat. Norma-norma ekonomi pasar seperti budaya selfish mementingkan diri sendiri, memaksimumkan keuntungan dan kepuasan, individualisme, serta kompleksitas pasar mempengaruhi moralitas ekonomi masyarakat setempat termasuk sistem nilai yang mendasari hubungan sosial dalam mekanisme ekonomi masyarakat serta menjadi penyusun kekuatan dari social security. Beberapa perubahan yang terjadi dalam konteks moralitas ekonomi nelayan, antara lain : Orientasi bekerja keras untuk kekayaan dan konsumtif Pada masa lalu sebelum mengenal pasar secara luas, aktivitas perekonomian masyarakat relatif sederhana dan subsisten dimana unit rumah tangga atau keluarga secara ekonomi merupakan unit produksi dan konsumsi. Kebutuhan pokok rumah tangga dicukupi sedapat mungkin dengan produksi sendiri. Mata pencaharian sebagai nelayan dianggap dapat menjamin kebutuhan survival rumah tangga yang pada waktu itu terbatas pada kebutuhan pangan dan sandang. Dalam arti kata, kebutuhan masyarakat belum beragam, sehingga orientasi bekerja masyarakat bertujuan pada pemenuhan kebutuhan hidup pada level subsistensi. Artinya sistem nilai yang mendasari orientasi bekerja adalah bekerja untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi. Hal ini menjadikan masyarakat pada masa itu tidak terlalu membutuhkan kerja keras untuk bisa tercukupi karena level kebutuhan hidup yang tidak terlalu beragam. Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat semakin terjamin ketika jumlah penduduk yang terbatas dengan persediaan sumber daya alam yang mencukupi. Tentu saja mereka tidak menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan subsisten oleh karena dalam hal penyediaan sumberdaya hutan, tanah dan laut masih relatif banyak dengan jumlah penduduk yang memanfaatkan sumber daya tersebut relatif masih sedikit. Pada masa kini, pasar mengenalkan mereka pada bentuk-bentuk barang baru dan kepuasan-kepuasan baru dimana kekayaan dan konsumsi merupakan bentuk kebutuhan baru yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa stratifikasi sosial di dalam masyarakat juga ditentukan oleh faktor kekayaan, sehingga orientasi bekerja masyarakat adalah berupaya sekeras mungkin untuk mengejar kekayaan dan memenuhi kebutuhan konsumsi akan beragam barang dan jasa yang disediakan oleh pasar Denyut perekonomian di Pesisir Ujung kulon sangat ditentukan oleh aktivitas perekonomian kaum nelayan. Hal ini tercermin dari aktivitas perekonomian di tempat pendaratan ikan di sepanjang basisir dan Muara Baru Desa Sumber Jaya Kecamatan Sumur. Di saat musim tangkapan ikan, basisir terlihat ramai dengan aktivitas pendaratan ikan, pengolahan ikan di sobong terutama di daerah Muara Baru dan transaksi jual beli baik antara nelayan dan pedagang pengumpul maupun konsumen ikan dengan pedagang. Selain itu, aktivitas perekonomian di Pasar Sumur akan berdenyut ramai jika nelayan mendapatkan hasil ikan yang memadai pada saat musim tangkapan ikan. Menurut pedagang pasar Sumur, mayoritas pembeli yang royal dengan uangnya adalah para nelayan. Jika musim tangkapan ikan sedang pada masa puncaknya, maka bukan pemandangan asing bagi masyarakat nelayan membelanjakan uangnya dengan nilai jutaan untuk hanya sekedar membeli pakaian atau perlengkapan rumah tangga. Menurut mereka, yang membuat Desa Sumber jaya yang merupakan ibukota Kecamatan Sumur ramai adalah para nelayan, jika ikan banyak, pasar menjadi ramai oleh transaksi pembelian, perekonomian kembali berdenyut dan uang kembali berputar. Desa Sumber Jaya Kecamatan Sumur merupakan wilayah pusat perekonomian Pesisir Ujung Kulon sejak masa lalu dengan adanya bandar yang menjadi pusat transaksi perdagangan yang disinggahi pedagang dari luar Ujung Kulon. Pada masa kini, Desa Sumber Jaya masih menjadi pusat perekonomian masyarakat, baik pada sektor perikanan, sektor jasa dan perdagangan maupun sektor pariwisata. Ketiga sektor ini sebenarnya saling kait mengkait satu sama lain. Ketika sektor perikanan sedang pada masa puncak aktivitasnya sekaligus juga meramaikan transaksi di sektor jasa dan perdagangan dan pada saat itu pula merupakan saat yang ramai dengan kegiatan pariwisata. Pada saat musim angin barat, aktivitas perekonomian menjadi sepi karena nelayan tidak melaut sehingga otomatis tidak memiliki pendapatan dan konsekuensinya nelayan mengurangi aktivitas pembelian di pasar yang berarti mengurangi transaksi jual beli dan perdagangan. Pada saat musim baratan, kegiatan pariwisata juga relatif sepi, karena biasanya angin yang berhembus relatif kencang disertai hujan mengurangi keinginan para wisatawan berwisata di wilayah tersebut. Pesisir Ujung Kulon memiliki lokasi memang terujung dan terpencil, jarak lokasi dengan ibukota Kabupaten Pandeglang sekitar 140 km. Namun bukan berarti pada masa kini wilayah ini menjadi terpencil. Kenyataannya wilayah ini sangat terbuka yang diindikasikan dengan kelancaran arus barang, jasa dan informasi. Interaksi dengan masyarakat luar cukup intensif didukung oleh lancarnya sarana transportasi baik masuk maupun keluar wilayah. Selain itu para wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal yang berkunjung ke wilayah ini tentu saja membawa hal-hal baru yang turut memacu perubahan-perubahan yang terjadi. Selain itu lancarnya sarana dan prasarana komunikasi dan media massa juga memiliki andil yang besar dalam mempengaruhi kapasitas pengetahuan masyarakat Masyarakat nelayan seringkali digambarkan sebagai sosok pekerja keras yang berbeda jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain seperti para petani dan para pegawai. Perbedaan tersebut muncul dari perbedaan sumberdaya alam yang harus ditaklukan dalam aktivitas mata pencaharian mereka. Nelayan memiliki orientasi nilai untuk bekerja keras yang menjadi ciri khas kelompok masyarakat ini terkait dengan konteks lingkungan sumberdaya laut yang harus ditaklukan. Hanya orang-orang yang bisa bekerja keras yang dapat melakukan penangkapan ikan dilaut. Di tengah laut mereka harus bekerja keras untuk melawan garangnya ombak dan gelombang, bekerja keras melawan cuaca terik maupun hujan dan bekerja keras menarik jaring ataupun alat tangkap lainnya. Seringkali mereka harus mengejar fishing ground jauh ke tengah lautan dengan modal dan risiko yang dipertaruhkan relatif besar, sehingga risiko untuk menghindari kerugian mendorong para nelayan tak kenal menyerah dalam menaklukan laut. Beberapa petikan wawancara berikut ini mencerminkan betapa nelayan memiliki motivasi bekerja keras dalam setiap aktivitas mata pencaharian mereka “..kalau pas melaut kami terkadang tidak tidur semalaman untuk mengejar ikan. Kalau tidak nemu ikan di kejar saja berpindah-pindah sampai ada ikan. Risiko menjadi nelayan harus begitu, harus tahan kerja keras dan pantang menyerah. Kalau ada hasil minimal modal harus tertutupi, kalau tidak bisa-bisa jadi rugi dan jadi hutang. Mul, 34 th “..berangkat ke laut harus niat, badan juga harus sehat, karena dilaut itu kerja keras, orang malas tidak akan bisa jadi nelayan. Saya dilaut bisa empat hari, kalau siang terpanggang matahari, kalau malam kena angin malam, kadang kehujanan..harus kerja keras kalau mau dapat hasil ..” Bdn, 28 th “..kalau malas-malasan nanti musim paila, kalau masih ada ikan kenapa harus malas atuh..sok harus kerja keras kalau mau uang mah..apalagi modalnya dapat ngutang, di laut kerja malas, tidak dapat apa-apa, malah modal jadi tendoan, jadi utang, bagaimana mau ngasih makan anak istri, belum lagi pengen barang ini dan itu Pl. 35 th”