Prevalensi Maloklusi pada anak autis di SLB, Yayasan terapi, dan anak normal di Sekolah Umum Kota Medan

(1)

PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK AUTIS DI

SLB, YAYASAN TERAPI DAN ANAK NORMAL

DI SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: ZILDA FAHNIA NIM: 110600132

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Kedokteran Gigi Anak

Tahun 2015

Zilda Fahnia

Prevalensi maloklusi pada anak autis di SLB, Yayasan terapi, dan anak normal di Sekolah umum Kota Medan

ix+53 halaman

Kemampuan kognitif, komunikasi, dan motorik anak autis yang terbatas cenderung mengakibatkan anak tidak dapat membersihkan rongga mulutnya sendiri dengan efektif, sehingga sangat rentan terjadinya karies dan penyakit periodontal yang akhirnya menyebabkan gigi hilang sebelum waktunya dan meningkatkan resiko terjadinya maloklusi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan Dental Aesthetic Index pada anak autis dan anak normal usia 6-18 tahun dan melihat kebutuhan perawatan maloklusi di Kota Medan. Jenis penelitian adalah survei deskriptif, dilakukan pada masing-masing 50 anak autis dan 50 anak normal usia 6-18 tahun, yang diambil dari 2 SLB, 3 Yayasan terapi, dan 2 Sekolah umum di Kota Medan. Pengambilan subjek anak autis dilakukan dengan cara total sampling, sedangkan pada anak normal dilakukan teknik matching berdasarkan usia dan jenis kelamin. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara orang tua dan pemeriksaan klinis pada anak menggunakan klasifikasi Angle, gambaran maloklusi dan Dental Aesthetic Index. Hasil pengolahan dan analisis data disajikan dalam bentuk persentase. Prevalensi maloklusi menurut klasifikasi Angle pada anak autis adalah 86% dan anak normal 76% dengan distribusi yaitu: maloklusi Klas I 48% dan 60%, Klas II 26% dan 6%, Klas III 12% dan 10%. Tiga gambaran umum maloklusi periode gigi bercampur terbanyak pada anak autis yaitu: gigi berjejal 46,42%, gigitan dalam 32,14% dan gigitan terbalik 25%; pada anak normal protrusi 41,37%, gigi berjejal 34,48% dan gigitan dalam 31,03%. Empat komponen DAI periode gigi permanen terbanyak pada anak autis yaitu, gigi berjejal 81,81%, ketidakteraturan terparah anterior maksila 68,18%, ketidakteraturan terparah anterior mandibula 45,45% dan relasi molar anteroposterior ≥1/2 cusp 45,45%; pada anak normal gigi berjejal dari lengkung rahang 71,42%,


(3)

ketidakteraturan terparah anterior maksila 47,61%, ketidakteraturan terparah anterior mandibula 42,85% dan jarak gigit anterior maksila 38,09%. Kebutuhan perawatan ortodontik periode gigi permanen berdasarkan DAI pada anak autis paling banyak adalah maloklusi yang sangat parah dan sangat memerlukan perawatan 36,36%, sedangkan pada anak normal adalah maloklusi ringan dan tidak membutuhkan perawatan sebesar 66,66%. Disimpulkan, diperlukan perawatan intersetif ortodontik pada periode gigi bercampur pada anak autis agar mengurangi tingkat keparahan maloklusi pada gigi permanen.


(4)

PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK AUTIS DI

SLB, YAYASAN TERAPI DAN ANAK NORMAL

DI SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh: ZILDA FAHNIA NIM: 110600132

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 3 Agustus 2015

Pembimbing Tanda tangan

Essie Octiara, drg., Sp.KGA ... NIP: 19721015 199903 2 001


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 3 Agustus 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA

Anggota : 1. Yati Roesnawi, drg


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT hanya karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Prevalensi maloklusi pada anak

autis di SLB, Yayasan terapi dan anak normal di Sekolah umum Kota Medan” yang merupakan

salah satu syarat bagi penulis mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan serta do’a dari berbagai pihak. Penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada Ayahanda Zulkarnain Rasul dan Ibunda Zainab; kakak saya Zulaika, Novariza dan Zuliani; adik saya Zulafri dan Zahra Syafitri yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga selama penulis mendapatkan pendidikan akademik dan menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

2. Yati Roesnawi, drg selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak serta seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Universitas Sumatera Utara.

3. Essie Octiara, drg., Sp.KGA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, pemikiran, tenaga, dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Yumi Lindawati, drg selaku dosen wali yang telah banyak memberikan arahan, masukan, serta membantu dan membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi FKG USU yang telah banyak membimbing, dan membantu penulis dalam menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

6. Kepala sekolah, pengurus yayasan terapi dan murid serta orang tua dan wali murid di SLB-E Negeri PTP Sumatera Utara, SDSLB-ABC-TPI, Kudos Kindle Center, Yayasan Tali Kasih, Yayasan Anak Kita, Sekolah Angkasa, dan Sekolah T.P.I yang telah memberikan waktunya dalam penyelesaian skripsi ini.


(8)

7. Para sahabat penulis Ika Elita, Salsabilla, Nofitri, Ega, Yessi, Yolanda,Yuniarti, Rahmah Fitri, Rahmy, Citra, Micho, Chai, Nadya, Dziah, Ayu, Sumery, Shinta, Ade, Shamini, Rara, Dian, Hera Adik-adik di lingkaran cinta Ulita, Elfia, Zia, Winda, Dean, Dilla, Yani, Diah, Jehan, Rizka, Khansa, Dewi Ayu, Putri, Kak Rizka, Kak Dini, Kak Nadya, Kak Revi serta K-MUS FKG USU, KAMMI Merah Putih USU, KAM Rabbani USU dan teman-teman stambuk 2011 yang telah memberikan dukungan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak guna penyempurnaan skripsi ini. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat digunakan dan memberikan manfaat serta sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, 03 Agustus 2015 Penulis,

Zilda Fahnia NIM. 110600132


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN TIM PENGUJI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif ... 6

2.2 Autis ... 7

2.2.1 Etiologi Autis ... 8

2.2.2 Prevalensi Autis ... 10

2.2.3 Diagnosis Autis ... 11

2.3 Kondisi Rongga Mulut Anak Autis ... 12

2.3.1 Status Periodontal ... 12

2.3.2 Karies ... 13

2.3.3 Maloklusi ... 13

2.4 Gambaran Maloklusi... 14

2.4.1 Etiologi Maloklusi... 15

2.4.2 Indeks Maloklusi... 18

2.4.2.1 Klasifikasi Angle ... 20

2.4.2.2 Dental Aesthetic Index ... 22

2.5 Kerangka Teori ... 26


(10)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Jenis Penelitian ... 28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 28

3.2.2 Waktu Penelitian ... 28

3.3 Populasi dan Sampel ... 29

3.3.1 Populasi ... 29

3.3.2 Sampel ... 29

3.4 Variabel Penelitian ... 30

3.5 Definisi Operasional ... 30

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 35

3.7.1 Pengolahan Data ... 35

3.7.2 Analisis Data ... 36

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 37

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian ... 37

4.2 Distribusi Oklusi Anak Autis dan Normal Menurut Klasifikasi Angle Berdasarkan Periode Pertumbuhan Gigi ... 38

4.3 Distribusi Gambaran Maloklusi pada Anak Autis dan Normal pada Periode Gigi Bercampur ... 39

4.4 Distribusi Komponen Dental Aesthetic Index pada Anak Autis dan Normal pada Periode Gigi Permanen ... 40

4.5 Distribusi Skor dan Kebutuhan Perawatan Dental Aesthetic Index pada Anak Autis dan Normal Periode Gigi Permanen ... 41

BAB 5 PEMBAHASAN ... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Distribusi data demografi responden berdasarkan usia dan jenis

Kelamin………. . 37 2. Distribusi oklusi pada anak autis dan normal dengan klasifikasi Angle

berdasarkan periode pertumbuhan gigi ... 38

3. Distribusi gambaran maloklusi pada anak autis dan normal periode gigi

bercampur ... 39

4. Distribusi komponen Dental Aesthetic Index pada anak autis dan normal

pada periode gigi permanen ... 40

5. Distribusi skor Dental Aesthetic Index dan kebutuhan perawatan pada


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Oklusi Normal Klas I Angle ... 21

Maloklusi Klas I Angle ... 21

Maloklusi Klas II Angle ... 22


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Data hasil penelitian 2. Hasil uji statistik

3. Surat tanda penelitian dari sekolah 4. Surat persetujuan komisi etik penelitian

5. Lembar penjelasan kepada orang tua / wali subjek penelitian 6. Lembaran persetujuan setelah penjelasan (informed consent) 7. Kuesioner dan lembar pemeriksaan klinis

8. Rencana anggaran penelitian 9. Data personalia diri


(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Kedokteran Gigi Anak

Tahun 2015

Zilda Fahnia

Prevalensi maloklusi pada anak autis di SLB, Yayasan terapi, dan anak normal di Sekolah umum Kota Medan

ix+53 halaman

Kemampuan kognitif, komunikasi, dan motorik anak autis yang terbatas cenderung mengakibatkan anak tidak dapat membersihkan rongga mulutnya sendiri dengan efektif, sehingga sangat rentan terjadinya karies dan penyakit periodontal yang akhirnya menyebabkan gigi hilang sebelum waktunya dan meningkatkan resiko terjadinya maloklusi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan Dental Aesthetic Index pada anak autis dan anak normal usia 6-18 tahun dan melihat kebutuhan perawatan maloklusi di Kota Medan. Jenis penelitian adalah survei deskriptif, dilakukan pada masing-masing 50 anak autis dan 50 anak normal usia 6-18 tahun, yang diambil dari 2 SLB, 3 Yayasan terapi, dan 2 Sekolah umum di Kota Medan. Pengambilan subjek anak autis dilakukan dengan cara total sampling, sedangkan pada anak normal dilakukan teknik matching berdasarkan usia dan jenis kelamin. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara orang tua dan pemeriksaan klinis pada anak menggunakan klasifikasi Angle, gambaran maloklusi dan Dental Aesthetic Index. Hasil pengolahan dan analisis data disajikan dalam bentuk persentase. Prevalensi maloklusi menurut klasifikasi Angle pada anak autis adalah 86% dan anak normal 76% dengan distribusi yaitu: maloklusi Klas I 48% dan 60%, Klas II 26% dan 6%, Klas III 12% dan 10%. Tiga gambaran umum maloklusi periode gigi bercampur terbanyak pada anak autis yaitu: gigi berjejal 46,42%, gigitan dalam 32,14% dan gigitan terbalik 25%; pada anak normal protrusi 41,37%, gigi berjejal 34,48% dan gigitan dalam 31,03%. Empat komponen DAI periode gigi permanen terbanyak pada anak autis yaitu, gigi berjejal 81,81%, ketidakteraturan terparah anterior maksila 68,18%, ketidakteraturan terparah anterior mandibula 45,45% dan relasi molar anteroposterior ≥1/2 cusp 45,45%; pada anak normal gigi berjejal dari lengkung rahang 71,42%,


(15)

ketidakteraturan terparah anterior maksila 47,61%, ketidakteraturan terparah anterior mandibula 42,85% dan jarak gigit anterior maksila 38,09%. Kebutuhan perawatan ortodontik periode gigi permanen berdasarkan DAI pada anak autis paling banyak adalah maloklusi yang sangat parah dan sangat memerlukan perawatan 36,36%, sedangkan pada anak normal adalah maloklusi ringan dan tidak membutuhkan perawatan sebesar 66,66%. Disimpulkan, diperlukan perawatan intersetif ortodontik pada periode gigi bercampur pada anak autis agar mengurangi tingkat keparahan maloklusi pada gigi permanen.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Autis merupakan suatu kondisi dimana adanya gangguan perkembangan yang sangat kompleks, biasanya telah terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Penyandang autis menunjukkan gangguan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial dan berkomunikasi normal, sehingga terisolasi dari kontak manusia dan tenggelam dalam dunianya sendiri.1-3

Anak autis juga sering disertai dengan adanya ketidakmampuan untuk bermain spontan dan imajinatif, kurangnya fungsi sensori dan motorik, pemilih dalam hal makanan, cenderung bermasalah dengan pencernaan sehingga asupan terbatas dan gangguan tidur. Etiologi autis belum diketahui secara pasti; kebanyakan ilmuwan percaya bahwa autis disebabkan faktor genetik.2,3

Dalam dekade terakhir ini jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat diberbagai belahan dunia. Pertambahan anak autis di Kanada dan Jepang mencapai 40% sejak tahun 1980. Menurut Center for Disease Control di Amerika Serikat perbandingan anak autis mencapai 1 anak per 80 kelahiran, sementara itu di Thailand seperti yang dilaporkan oleh Institut Nasional Kesehatan Anak Queen Sirikit, persentase autis mengalami peningkatan dari 1,43/10.000 pada tahun 1988 menjadi 6,94/10.000 pada tahun 2002. Penderita autis mencapai 7000 orang (Depkes 2004) di Indonesia. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Autis (FMPA) pada April 2012 jumlah anak autis di Sumatera Utara berkisar 1000 orang. Jumlah anak autis yang lahir di Kota Medan diperkirakan mencapai 250 orang pertahun dan akan terus bertambah dari tahun ke tahun.3-5

Kondisi oral hygiene yang buruk serta menunjukan angka penyakit periodontal dan karies yang cukup tinggi ditemukan pada anak autis. Terdapat beberapa hasil penelitian mengenai kondisi gigi pada anak-anak autis dan kebanyakan dilakukan di negara berkembang. Penelitian di Chennai, India menunjukkan bahwa kebanyakan anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kebersihan rongga mulut yang rendah, prevalensi karies yang tinggi, dan gingivitis


(17)

yang sedang. Penelitian lain juga dilakukan di Bangalore, India dengan membandingkan anak-anak autis dan normal dengan total sampel 135 orang pada usia 4 sampai 15 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan rerata skor OHIS, DMFT, dmft, DMFS dan dmfs kelompok autis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal.3 Penelitian Jaber Mohamed Abdullah menemukan bahwa anak-anak autis memiki gigi karies, gigi yang hilang atau gigi yang ditambal lebih tinggi secara signifikan daripada anak-anak normal dan memerlukan perawatan restorasi gigi.4,6

Karies yang tidak dirawat serta kehilangan gigi yang terlalu cepat akan membuat resiko terjadinya maloklusi. Maloklusi merupakan bentuk menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti kelainan ketika gigi-geligi atas dan bawah saling bertemu saat menggigit atau mengunyah. Maloklusi memberikan gangguan terhadap penampilan estetis, berbicara atau kenyamanan dalam mengunyah makanan bahkan pada maloklusi Angle Klas II mempunyai hubungan dengan gejala klinis gangguan fungsi mandibula.5,7

Menurut penelitian Vishnu et al (2012) di Chenai pada 438 anak penyandang autis diketahui prevalensi maloklusi sebesar 71,15%. Penelitian di Thailand yang dilakukan oleh Suwannee et al (2010) menyatakan bahwa ditemukan insiden karies, penyakit periodontal dan maloklusi yang cukup tinggi pada penyandang autis. Penelitian Ardiansyah (2010) pada 25 siswa di AGCA Centre Surabaya, Indonesia sebesar 60% anak autis memiliki maloklusi yang parah dan memerlukan perawatan, 16% memiliki maloklusi sedang dan memerlukan perawatan, 16% memiliki maloklusi ringan dan beberapa memerlukan perawatan dan 8% memiliki maloklusi ringan dan tidak memerlukan perawatan.3,5

Tingginya peningkatan jumlah penyandang autis tiap tahunnya sedangkan penelitian dan data lengkap mengenai prevalensi maloklusi pada anak autis di Indonesia khususnya di kota Medan masih belum ada. Mengingat hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai prevalensi maloklusi pada anak penyandang autis dan kebutuhan perawatannya.

Terdapat beberapa Yayasan Terapi dan SLB untuk anak autis di Kota Medan. Yayasan Terapi yang mengizinkan untuk dilakukan penelitian ini hanya ada 2-3, yaitu di Yayasan Tali Kasih, Kudos Kindell Centre dan HMC, sedangkan anak autis di SLB Kota Medan kebanyakan


(18)

hanya ada dua orang pada tiap SLB sehingga anak autis yang menjadi subjek penelitian saya berada di SLB-E Negeri Pembina Tingkat Propinsi dan SLB T.P.I.

Hasil survei pendahuluan didapatkan usia anak autis lebih banyak berusia 6-18 tahun. Alasan diambilnya sampel pada SLB dan Yayasan terapi tersebut karena pendataan anak autis di SLB dan Yayasan terapi lebih mudah dibandingkan dengan pendataan dari rumah ke rumah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapakah prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak autis berdasarkan periode gigi bercampur dan periode gigi permanen di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan?

2. Berapakah prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak normal berdasarkan periode gigi bercampur dan periode gigi permanen di sekolah Angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas)?

3. Bagaimana gambaran maloklusi (gigi berjejal, rotasi, diastema, protrusi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, gigitan dalam) pada anak autis berdasarkan periode gigi bercampur di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan?

4. Bagaimana gambaran maloklusi ( gigi berjejal, rotasi, diastema, protrusi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, gigitan dalam) pada anak normal berdasarkan periode gigi bercampur di sekolah Angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas)?

5. Bagaimana kebutuhan perawatan maloklusi menggunakan Dental Aesthetic Index pada anak autis pada periode gigi permanen di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan?

6. Bagaimana kebutuhan perawatan maloklusi menggunakan Dental Aesthetic Index pada anak normal pada periode gigi permanen di sekolah Angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas)?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak autis berdasarkan periode gigi bercampur dan periode gigi permanen di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan.


(19)

2. Mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak normal berdasarkan periode gigi bercampur dan periode gigi permanen di sekolah Angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas).

3. Mengetahui gambaran maloklusi ( gigi berjejal, rotasi, diastema, protrusi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, gigitan dalam) pada anak autis berdasarkan periode gigi bercampur di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan.

4. Mengetahui gambaran maloklusi ( gigi berjejal, rotasi, diastema, protrusi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, gigitan dalam) pada anak normal berdasarkan periode gigi bercampur di sekolah Angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas). 5. Mengetahui kebutuhan perawatan maloklusi menggunakan Dental Aesthetic Index pada anak autis pada periode gigi permanen di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan.

6. Mengetahui kebutuhan perawatan maloklusi menggunakan Dental Aesthetic Index pada anak normal pada periode gigi permanen di sekolah angkasa (Kecamatan Medan Baru) dan sekolah T.P.I (Kecamatan Medan Amplas).

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat khususnya pihak orangtua tentang prevalensi dan kebutuhan perawatan maloklusi pada anak penyandang autis serta memotivasi orangtua untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga rongga mulut dan menghilangkan kebiasaan buruk.

2. Sebagai penelitian pendahuluan agar dapat menjadi salah satu acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya dibidang kedokteran gigi anak.

3. Manfaat untuk Departemen Kedokteran Gigi Anak sebagai sumber data untuk mengetahui persentase dan kebutuhan perawatan maloklusi anak-anak autis di SLB dan Yayasan Terapi yang terletak di Kota Medan.

4. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk meningkatkan kualitas hidup anak autis pada usia dini dengan cara melakukan pencegahan dan perawatan pada gigi anak sehingga mengembalikan fungsi gigi tersebut.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Perkembangan Pervasif

Gangguan perkembangan pervasif atau pervasif developmental disorder (PDDs) adalah suatu gangguan perilaku atau fungsi pada berbagai area perkembangan. Gangguan ini pada umumnya menjadi tampak nyata pada tahun-tahun pertama kehidupan dan seringkali dihubungkan dengan retardasi mental. Gangguan ini pada umumnya diklasifikasikan sebagai bentuk psikosis pada edisi awal Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). Jumlah penderita gangguan perkembangan pervasif masih belum jelas, studi komunitas terbaru yang dilakukan terhadap anak-anak prasekolah di Inggris menunjukan bahwa 0,6% dari seluruh anak-anak memenuhi kriteria salah satu gangguan perkembangan pervasif, terutama autis.8-10

Autis merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PPD (Pervasif Development Disorder) diluar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Terdapat beberapa jenis gangguan perkembangan pervasif dengan masing-masing karakteristik berbeda, yaitu : 8,9,11

a. Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Muncul sebelum usia 3 tahun dengan gejala adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.

b. Asperger’s Sindrom

Hambatan perkembangan interaksi sosial, aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukan keterlambatan bahasa dan bicara, memiliki tingkat intelegensi rata-rata hingga diatas rata-rata.

c. Rett’s Sindrom

Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Anak sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran atau kehilangan kemampuan yang dimilikinya, kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakan-gerakan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1-4 tahun.


(21)

d. Pervasive Developmental Disorder- Not Otherwise Specified (PDD-NOS)

Merujuk istilah atypical autis, diagnosis PPD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosis tertentu (Autis, Asperger atau Rett’s Sindrom).

e. Childhood Disintregative Disorder (CDD)

Menunjukan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan. Pada tahun berikutnya anak kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

2.2 Autis

Autis atau gangguan spektrum autistik (GSA) adalah gangguan perkembangan yang kompleks dengan karakteristik kelainan fungsi sosial, bahasa dan komunikasi serta tingkah laku dan minat yang tidak biasa. Gejala autis umumnya terdiagnosis sebelum usia 3 tahun. Autis dapat mengenai siapa saja tanpa bergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi. Autis termasuk dalam kategori gangguan perkembangan pervasif bersama dengan sindrom Rett, sindrom Asperger dan gangguan disintegrasi pada anak.8-10

Kata autis berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri atau diri sendiri. Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1906 oleh seorang pskiater Swiss, Eugene Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berpikir autistik adalah suatu kecendrungan memandang diri sendiri sebagai pusat dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain yaitu Leo Kanner

menerapkan diagnosis “autis infantil awal” kepada sekelompok anak yang terganggu dan

tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dengan anak-anak retardasi mental, anak-anak autis tampaknya menutup diri dari setiap masukan dan dari dunia luar. Mereka menciptakan semacam kesendirian autistik.8,9,11,12

2.2.1 Etiologi Autis

Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autis ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat. Berbagai literatur menyebutkan kemungkinan penyebab autis multifaktorial, dimana sejumlah penelitian mengatakan bahwa gen diduga paling berpengaruh selain faktor lingkungan, infeksi, neurologis


(22)

dan metabolik. Hal ini terlihat dari peningkatan resiko relatif pada anak kedua dari keluarga yang memiliki anak pertama penderita autis 20-50 kali lebih berisiko bila dibandingkan dengan populasi normal.10

Gen yang mempengaruhi pematangan sinap memiliki peranan kuat, sehingga timbul teori neurobiologis yang berpusat pada konektivitas neuron dan efek neurobiologis. Penelitian terbaru, pada individu dengan gangguan autis mengalami kelainan neurobiologis pada susunan saraf pusat. Kelainan ini berupa pertumbuhan sel otak yang tidak sempurna pada beberapa bagian otak. Pemeriksaan dengan alat khusus Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak penyandang autis ditemukan adanya kerusakan yang khas didalam otak pada daerah yang disebut dengan limbik sistem yaitu pusat emosi.11,13,14

Selain faktor genetik tersebut, faktor lingkungan juga diduga menjadi agen penyebab. Faktor lingkungan yang diduga menjadi pencetus antara lain, komplikasi selama kehamilan dan persalinan serta kelainan saat masa perinatal. 11

Awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autis disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak.8,10,12

Beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autis yaitu :

1. Faktor biologi

Terdapat bukti kuat yang menunjukkan gangguan autis merupakan gangguan perkembangan otak yang berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Hal ini dikarakteristikan sebagai berikut:15

a. Penurunan jumlah sel purkinje pada bagian posterior inferior belahan otak. b. Kecacatan pada dendrit dan perkembangan saraf di sistem limbik.

c. Hipoplasia pada lobulus otak ke VI, VII.

d. Ukuran struktur batang otak, vermis otak, serta komponennya signifikan lebih kecil pada penderita autis dibandingkan dengan grup kontrol.


(23)

Beberapa hasil survei didapatkan 2-4% saudara kandung penderita autis juga mengalami autis. Para peneliti menampilkan DNA saudara kandung autis lebih dari 150 pasang, mereka mendapatkan bukti kuat mengenai bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis.15 Selain itu, ditemukan juga penyimpangan pada lengan panjang kromosom 15 dan kromosom sex.11

Lebih kurang 1% penderita autis juga mengalami fragile X syndrome; gangguan genetik pada lengan panjang kromosom X.15,16 Gangguan ini lebih rentan pada laki-laki sebab mereka hanya memiliki satu kromosom X dan sebesar 30-50% fragile X syndrome berhubungan dengan gangguan mental.16

3. Faktor imunologi

Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian imunologi dapat berkontribusi pada gangguan autis. Limfosit anak-anak autis bereaksi dengan antibodi ibu dapat menyebabkan saraf embrio, extraembrio, dan jaringan mengalami kerusakan selama kehamilan.15

4. Faktor neuroanatomi

Anak-anak gangguan autis dilahirkan dengan ukuran otak yang normal. Akan tetapi, ukuran otak signifikan bertambah besar ketika berusia 2-4 tahun.12 Studi MRI yang membandingkan anak autis dengan anak normal sebagai kontrol menunjukkan bahwa volume otak anak autis lebih besar, meskipun pada umumnya penderita autis yang mengalami retardasi mental yang berat memiliki ukuran kepala yang lebih kecil.15

Rata-rata kenaikan ukuran terjadi pada lobus occipital, lobus parietal, dan lobus temporal dan tidak terdapat perbedaan pada lobus frontal. Pembesaran spesifik pada hal ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat muncul mungkin dari 3 mekanisme yang berbeda, yaitu peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan peningkatan produksi jaringan otak nonneural, seperti sel glial ataupun pembuluh darah.15

Lobus temporal dipercaya merupakan daerah yang penting terhadap abnormalitas pada penderita autis. Hal ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan beberapa orang penderita autis mengalami kerusakan pada lobus temporal. Pada hewan-hewan bila terjadi kerusakan bagian temporal akan mengalami kehilangan perilaku sosial yang normal, kegelisahan, tingkah yang berulang – ulang, dan keterbatasan tingkah laku.16


(24)

Beberapa studi melaporkan individu autis tanpa retardasi mental memiliki insidensi hiperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak gangguan autis juga terdapat konsentrasi tinggi asam homovanillik (metabolisme utama dopamin) di cairan otak (CSF) yang berhubungan dengan tingkah laku meniru- niru dan menarik diri.12

6. Faktor prenatal

Infeksi virus pada intrauterin dan gangguan metabolisme memiliki peranan penting dalam patogenesis gangguan autis. Intrauterin yang terpapar obat teratogenik, thalidomide, dan valproate implikasi menyebabkan gangguan autis.17

2.2.2 Prevalensi Autis

Berdasarkan data UNESCO pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang menyandang autis di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia menyandang autis. Penelitian Hongkong pada tahun 2008 melaporkan tingkat kejadian autis di Asia prevalensinya mencapai 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun. Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2010 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autis pada rentang usia 5-19 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Wignyo-Sumarto dkk, pada 5120 anak dengan usia 4-7 tahun menunjukkan yang menderita autis adalah sebanyak 6 orang dengan menggunakan kriteria diagnostik CARS (Childhood Autism Rating Scale). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa gangguan autis 2 kali lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.3,4,12

2.2.3 Diagnosis Autis

Diagnosis autis mengikuti kriteria diagnosis menurut The Diagnosis and Stastical

Manual of Mental disorder 4th edition 9 (DSM-IV) yang dibagi menjadi 3 kategori umum yaitu:

gangguan intraksi sosial, gangguan komunikasi kualitatif dan pola perilaku. Gejala autis bervariasi dari gejala sangat ringan (mild), sedang (moderate), hingga parah (severe) dan sudah timbul sebelum anak tersebut berusia 3 tahun. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari interaksi sosial, komunikasi dan pola perilaku dengan minimal 2 gejala dari interaksi sosial, dan masing-masing 1 gejala dari komunikasi dan perilaku.8,12,13

Gejala-gejala autis adalah: 1. Gangguan interaksi sosial


(25)

a. Gangguan pada perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak isyarat yang biasanya mengatur interaksi awal.

b. Tidak mampu mengembangkan hubungan dengan teman sebayanya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.

c. Kurangnya spontanitas membagi kebahagiaan, minat, ataupun hasil yang dicapai dengan orang lain.

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik. 2. Gangguan komunikasi

a. Keterlambatan pada perkembangan bahasa verbal.

b. Bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan untuk memulai dan mempertahankan percakapan dengan orang lain.

c. Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan meniru-niru. d. Kemampuan bermain kurang variatif, kurang spontan. 3. Pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru a. Menunjukkan minat yang terbatas.

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada fungsinya. c. Menunjukkan gerakan-gerakan stereotip (misalnya menjentikkan jari-jari, membenturkan kepala, berayun ke depan dan belakang, berputar).

d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

Selain diagnosis autis dari DSM-IV, anak dengan gangguan autis sering memiliki faktor penyerta lainnya seperti retardasi mental, epilepsi, sebagian anak autis menyakiti diri sendiri, mudah tantrum dan histeris. Sifat-sifat autis umumnya menetap hingga dewasa dalam taraf tertentu. 8,11.15

2.3 Kondisi Rongga Mulut Anak Autis

Anak dengan gangguan autis memiliki banyak masalah kesehatan dan perilaku. Anak dengan gangguan autis tidak bisa menerima paparan benda asing, seperti suara, cahaya, bau dan warna, sering tiba-tiba mengamuk dan tidak kooperatif sehingga perawatan gigi dan mulut sulit dilaksanakan. Hal ini berdampak pada kondisi oral hygiene anak autis tergolong buruk. Selain itu, anak dengan gangguan autis memiliki beberapa kebiasaan yang menimbulkan kerusakan gigi


(26)

dan mulut, seperti bruksism, tongue thrusthing, menggigit-gigit jaringan lunak mulut dan jari.5,16,17

2.3.1 Status Periodontal

Sebuah penelitian terhadap anak-anak autis di Chenai menyebutkan bahwa anak dengan gangguan autis memiliki angka gingivitis yang cukup tinggi selama periode gigi bercampur dan gigi permanen. Akumulasi plak yang tebal dan pengaruh hormon mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya gingivitis. Akumulasi plak ini disebabkan kesulitan yang di alami anak autis dalam menyikat gigi. Orang tua anak autis seringkali kesulitan dalam mengajari menyikat gigi yang benar. Dilaporkan oleh sebuah penelitian yang dilakukan pada orangtua anak penyandang autis, diperoleh sebanyak 3,8% anak-anak mereka tidak pernah menyikat gigi, 28% menyikat gigi tidak teratur, dan 34% menyikat gigi satu atau dua kali setiap hari. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi oleh anak penyandang autis untuk mengendalikan gejala-gejala klinis seperti obat-obatan psikoaktif atau antikonvulsan juga menjadi salah satu penyebab gingivitis.3,5,18,19

2.3.2 Karies

Sebuah penelitian kesehatan mulut pada 124 anak-anak autis di Thailand menyebutkan bahwa lebih dari setengah sampel memiliki kondisi rongga mulut yang buruk dan karies. Pada umumnya, anak dengan gangguan autis seringkali memiliki kebiasaan yang menjadi faktor meningkatnya resiko karies. Beberapa kebiasaan tersebut antara lain, menyukai makanan lunak dan manis, lemahnya koordinasi otot menyebabkan anak autis lebih suka menyimpan makanan di mulut daripada menelannya, ditambah dengan sulitnya anak autis menyikat dan membersihkan gigi memicu terjadinya karies.3,18-20

Beberapa obat-obatan yang dikonsumsi oleh anak autis juga menyebabkan mulut kering dan mempunyai efek kariogenik. Karies rampan adalah suatu efek yang ditemukan pada anak autis yang mengkonsumsi methampethamin.3,21,22

2.3.3 Maloklusi

Sebuah penelitian oleh Luppanapornlap pada anak autis usia antara 3-5 tahun di Queen Sirikit National Institute menunjukan lebih dari setengah sampel memiliki kondisi rongga mulut yang buruk dan angka karies yang tinggi, karies memungkinkan untuk terjadinya kehilangan gigi


(27)

secara dini dan menyebabkan maloklusi. Penelitian ini juga menunjukan persentase yang tinggi dari diastema, overjet, gigitan terbuka dan Klas II hubungan molar. Masalah maloklusi ini kemungkinan juga berhubungan dengan kebiasaan pasien seperti, mengisap jari, menggigit kuku dan benda asing atau merusak gigi. Selain itu kebiasaan makan makanan yang lunak dan koordinasi otot yang lemah membuat anak tidak suka mengunyah makanan, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan rahang anak yang kemungkinan besar berakibat terjadinya gigi berjejal.3,5,20

2.4 Gambaran Maloklusi

Maloklusi merupakan keadaan menyimpang dari oklusi normal, hal ini dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara lengkung gigi dan lengkung rahang. Keadaan ini terjadi baik pada rahang atas maupun rahang bawah. Gambaran klinisnya berupa gigi berjejal, protrusi,

gigitan terbalik baik anterior maupun posterior. Menurut Salzman, maloklusi adalah hubungan antara gigi rahang atas dan bawah yang tidak sesuai dengan bentuk morfologi maxillodentofasial. Maloklusi berpengaruh besar terhadap fungsi pengunyahan dan bicara. Pada umumnya maloklusi merupakan proses patologis dan proses penyimpangan dari perkembangan normal.21,22

Maloklusi merupakan oklusi abnormal yang ditandai dengan tidak harmonisnya hubungan antar lengkung di setiap bidang spasial atau anomali abnormal dalam posisi gigi.13 Maloklusi menunjukkan kondisi oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi yang tidak reguler. Penentuan maloklusi dapat didasarkan pada kunci oklusi normal. Angle membuat pernyataan key of occlusion artinya molar pertama merupakan kunci oklusi.14,23

Menurut Angle yang dikutip oleh Dewanto oklusi normal sebagai hubungan dari bidang-bidang inklinasi tonjol gigi pada saat kedua rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan tertutup, disertai kontak proksimal dan posisi aksial semua gigi yang benar, dan keadaan pertumbuhan, perkembangan posisi dan relasi antara berbagai macam jaringan penyangga gigi yang normal pula.14

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9 %. Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar, hal ini ditambah dengan tingkat kesadaran


(28)

perawatan gigi masih rendah dan kebiasaan buruk seperti mengisap ibu jari atau benda-benda lain. Maloklusi merupakan salah satu masalah dalam kesehatan gigi. Penderita maloklusi cenderung menganggap bahwa dampak dari maloklusi adalah estetik yang buruk. Kelainan berupagigi berjejal, protrusi, gigitan terbalik ini pada umumnya dapat menimbulkan cacat muka, sehingga menurunkan daya tarik anak tersebut. Terkadang anak mendapat ejekan dari teman-temannya sehingga menimbulkan perasaan rendah diri dan menarik diri dari pergaulan.23,24

Maloklusi terjadi pada kondisi-kondisi berikut :25,26

- ketika ada kebutuhan bagi subyek untuk melakukan posisi postural adaptif dari mandibula

- jika ada gerak menutup translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat atau dari posisi postural adaptif ke posisi intercuspal.

- jika posisi gigi adalah sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme refleks yang merugikan selama fungsi pengunyahan dari mandibula.

- jika gigi-gigi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak mulut.

- jika ada gigi yang berjejal atau tidak teratur, yang bisa membuat pemicu bagi terjadinya penyakit periodontal dan gigi.

- jika ada penampilan pribadi yang kurang baik akibat posisi gigi. - jika ada posisi gigi-gigi yang menghalangi bicara yang normal.

2.4.1 Etiologi Maloklusi

Maloklusi merupakan kelainan perkembangan dimana kebanyakan disebabkan oleh proses patologis, yang penyebab utamanya yaitu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Meskipun sulit mengetahui penyebab maloklusi tetapi beberapa peneliti telah meneliti tentang faktor- faktor penyebab terjadinya maloklusi, yaitu:

1. Faktor Ekstrinsik

a. Faktor keturunan atau genetik

Faktor keturunan atau genetik adalah sifat genetik yang diturunkan dari orang tuanya atau generasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah ciri-ciri khusus suatu ras atau bangsa misalnya bentuk kepala atau profil muka sangat dipengaruhi oleh ras atau suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari kedua orang tuanya. Bangsa yang merupakan percampuran dari bermacam-macam ras atau suku akan dijumpai banyak maloklusi.23


(29)

b. Kelainan bawaan

Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan faktor keturunan, seperti: - Tortikolis adalah adanya kelainan dari otot-otot daerah leher sehingga tidak dapat tegak mengakibatkan asimetri muka.

- Kleidokranial disostosis adalah tidak adanya tulang klavikula baik sebagian atau seluruhnya, unilateral atau bilateral, keadaan ini diikuti dengan terlambatnya penutupan sutura kepala, rahang atas retrusi dan rahang bawah protrusi.

-Serebral palsi adalah adanya kelumpuhan atau gangguan koordinasi otot

yang disebabkan karena luka di dalam kepala yang pada umumnya sebagai akibat kecelakaan pada waktu kelahiran. Adanya gangguan fungsi pada otot-otot pengunyahan, penelanan, pernafasan dan bicara akan mengakibatkan oklusi gigi tidak normal.

- Sifilis, akibat penyakit sifilis yang diderita orang tua akan menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dan malposisi gigi dari bayi yang dilahirkan.

c. Gangguan keseimbangan endokrin, misalnya gangguan paratiroid, adanya hipotiroid akan menyebabkan kritinisme dan resorpsi yang tidak normal sehingga menyebabkan erupsi lambat dari gigi permanen.

d. Kekurangan nutrisi dan penyakit, misalnya Rickets (kekurangan vitamin D), scorbut (kekurangan vitamin C), beri-beri (kekurangan vitamin B1 mengakibatkan maloklusi yang hebat.21,23

2. Faktor intrinsik atau lokal a. Kelainan jumlah gigi

1. Supernumeraryteeth (gigi berlebih)

Lebih banyak terjadi pada rahang atas, kedudukan dekat midline sebelah palatal gigi insisivus rahang atas disebut mesiodens. Bentuk biasanya konus kadang-kadang bersatu (fusi) dengan gigi pertama kanan atau kiri, jumlah pada umumnya sebuah tapi kadang-kadang sepasang. Gigi supernumerary kadang-kadang tidak tumbuh (terpendam atau impaksi) sehingga menghalangi tumbuhnya gigi permanen didekatnya atau terjadi kesalahan letak (malposisi). Pada penderita yang mengalami kelambatan atau kelainan tumbuh dari gigi insisivus rahang atas perlu dilakukan ronsen.23

2. Agenesis dapat terjadi bilateral atau unilateral atau kadang-kadang unilateral dengan parsial agenesis pada sisi yang lain. Agenesis dapat terjadi pada rahang atas maupun rahang


(30)

bawah tetapi lebih sering pada rahang bawah. Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai berikut :

- Gigi insisivus II rahang atas ( I2 ) - Gigi premolar II rahang bawah ( P2 )

- Gigi molar III ( M3) rahang atas dan rahang bawah - Gigi premolar II ( P2 ) rahang bawah

- Pada kelainan jumlah gigi kadang diikuti dengan adanya kelainan bentuk atau ukuran gigi, misalnya bentuk pasak dari gigi insisivus II (peg shaps tooth).24,25

b. Kelainan ukuran gigi

Salah satu penyebab utama terjadinya malposisi adalah gigi itu sendiri yaitu ukuran gigi tidak sesuai dengan ukuran rahang, ukuran gigi lebih lebar atau sempit dibandingkan dengan lebar lengkung rahang sehingga menyebabkan gigi berjejal atau diastema.21

c. Kelainan bentuk gigi

Kelainan bentuk gigi yang banyak dijumpai adalah adanya peg shape teeth

(bentuk pasak) atau gigi bersatu (fusi). Perubahan bentuk gigi akibat proses atrisi besar pengaruhnya terhadap terjadinya maloklusi, terutama pada gigi desidui.21,22

d. Kelainan frenulum labial e. Prematur loss

Fungsi gigi desidui adalah: pengunyahan, bicara, estetis juga yang terutama adalah menyediakan ruang untuk gigi permanen, membantu mempertahankan tinggi oklusal gigi-gigi lawan (antagonis), membimbing erupsi gigi permanen dengan proses resopsi. Prematur loss

yang terjadi menyebabkan fungsi gigi akan terganggu atau hilang sehingga dapat mengakibatkan terjadinya malposisi atau maloklusi.21,23

f. Kelambatan tumbuh gigi permanen (delayed eruption) disebabkan karena adanya gigi

supernumerary, sisa akar gigi desidui atau karena jaringan

mukosa yang terlalu kuat atau keras sehingga perlu dilakukan eksisi.22

g. Kelainan jalannya erupsi gigi merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain, misalnya adanya pola herediter dari gigi berjejal yang parah akibat tidak seimbangnya lebar dan panjang lengkung rahang dengan elemen gigi, adanya persistensi atau retensi, supernumerary, pengerasan tulang, tekanan-tekanan mekanis seperti pencabutan, kebiasaan atau tekanan ortodonsi, faktor-faktor idiopatik (tidak diketahui).22,25


(31)

h. Ankilosis

Ankilosis atau ankilosis sebagian sering terjadi pada usia 6 – 12 tahun. Ankilosis terjadi karena robeknya bagian dari membran periodontal sehingga lapisan tulang bersatu dengan lamina dura dan sementum. Ankilosis dapat juga disebabkan karena gangguan endokrin atau penyakit-penyakit kongenital (seperti kleidokranial disostosis yang mempunyai predisposisi terjadi ankilosis, kecelakaan atau trauma).24

i. Karies gigi

Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan lengkung gigi, sedangkan karies oklusal mempengaruhi vertikal dimensi. Karies gigi pada gigi desidui mengakibatkan berkurangnya tekanan pengunyahan yang dilanjutkan ke tulang rahang, dapat mengakibatkan rangsangan pertumbuhan rahang berkurang sehingga pertumbuhan rahang kurang sempurna.22,23

j. Restorasi gigi yang tidak baik

Tumpatan aproksimal dapat menyebabkan gigi elongasi, sedangkan tumpatan oklusal dapat menyebabkan gigi ekstrusi atau rotasi.22

2.4.2 Indeks Maloklusi

Menurut Toung dan Striffler, indeks maloklusi adalah nilai numerik yang menjelaskan status relatif suatu populasi pada suatu skala bertingkat dengan batas atas dan batas bawah yang jelas. Hal ini dirancang agar mampu memberi kesempatan dan fasilitas untuk dibandingkan dengan populasi lain yang telah dikelompokkan dengan kriteria dan metode yang sama. Indeks maloklusi yang diperlukan adalah penilaian kuantitatif dan objektif yang dapat memberikan batasan adanya penyimpangan dari oklusi ideal yang masih dianggap normal, dan dapat memisahkan kasus-kasus abnormal menurut tingkat keparahan dan kebutuhan masyarakat.27

Syarat indeks menurut Jamison H.D dan Mc Millan R.S adalah :27 1. Indeks sebaiknya sederhana, akurat, dapat dipercaya dan dapat ditiru. 2. Indeks harus objektif dalam pengukuran dan menghasilkan data kuantitatif sehingga dapat dianalisis dengan metode statistik tertentu.


(32)

tidak merugikan.

4. Pemeriksaan yang dibutuhkan dapat dilakukan oleh pemeriksa walaupun tanpa instruksi khusus dalam diagnosis ortodonti.

5. Indeks sebaiknya dapat dimodifikasi untuk sekelompok data epidemiologi

tentang maloklusi dari segi prevalensi, insiden dan keparahan, contohnya frekeunsi malposisi dari masing-masing gigi.

6. Indeks sebaiknya dapat digunakan pada pasien atau model studi. 7. Indeks sebaiknya mengukur derajat keparahan maloklusi.

Maloklusi merupakan hal yang sukar didefenisikan. Hal ini disebabkan persepsi perseorangan tentang apa yang merupakan maloklusi sangat berbeda-beda, akibatnya belum ada indeks epidemiologi maloklusi yang dapat di terima secara umum.26-28

Sejumlah indeks maloklusi telah diusulkan dan diterapkan untuk epidemiologi. Macam-macam indeks maloklusi tersebut diantaranya yaitu:

a. Klasifikasi Angle

b. Occlusion Feature Index (OFI)

c. Malalignment Index (Mal I)

d. Handicapping Labio-Lingual Deviation Index (HLD Index)

e. Handicapping Malocclusion Assessment Index (HMA Index)

f. Treatment Priority Index (TPI) g. Occlusal Index (OI)

h. Dental Aesthetic Index (DAI)

Kebanyakan dari indeks-indeks tersebut mencatat kondisi-kondisi yang spesifik.

Malalignment Index menilai rotasi dan penyimpangan letak gigi, sedangkan Occlusion Feature

Index (OFI) mencatat gigi berjejal, interdigiditasi tonjol gigi, overjet dan jarak gigit.

Handicapping Labio-Lingual Deviation Index (HLD) telah digunakan menilai kebutuhan akan perawatan ortodontik. Grannger mengembangkan Treatment Priority Index (TPI) untuk maksud yang sama, dan indeks ini telah digunakan dalam studi-studi epidemiologi tentang kebutuhan anak-anak akan perawatan ortodontik.25,27


(33)

2.4.2.1 Klasifikasi Angle

Edward Angle (1899) membuat Klasifikasi maloklusi dilihat dari potongan sagital. Klasifikasi ini melihat hubungan antero-posterior lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan hubungan lateral serta vertikal. Angle mendasarkan klasifikasinya atas asumsi bahwa gigi molar pertama hampir tidak pernah berubah posisinya. Klasifikasi Angle merupakan klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam penentuan maloklusi.14 Angle menggambarkan tujuh malposisi individu gigi yaitu bukal atau labial, lingual, mesial, distal, rotasi, infraposisi, supraposisi. Malposisi gigi ini dapat digunakan untuk menggambarkan maloklusi secara lebih lengkap.15

Klasifikasi Angle memiliki kekurangan. Beberapa kekurangan klasifikasi Angle yaitu, klasifikasi Angle didasarkan atas relasi molar pertama permanen. Bila molar pertama permanen bergeser karena prematur ekstraksi molar sulung, maka relasi molar yang ada bukan relasi molar yang sebenarnya sebelum terjadi pergeseran. Bila molar pertama permanen telah dicabut berarti tidak ada relasi molar. Klasifikasi Angle hanya memandang dari potongan sagital padahal maloklusi juga terjadi dari jurusan transversal berupa gigitan silang anterior maupun posterior, baik dental maupun skeletal. Kelainan dalam jurusan vertikal, bisa berupa gigitan terbuka anterior maupun posterior dan dental maupun skeletal.26,27

Klasifikasi Angle adalah: a. Oklusi normal Klas I Angle

Oklusi Klas I yaitu, relasi normal anteroposterior dari mandibula dan maksila. Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen maksila berada pada bukal groove molar pertama permanen mandibula, pada oklusi ini tidak disertai dengan malposisi gigi yang lain.

b. Maloklusi Klas I Angle


(34)

Relasi lengkung anteroposterior yang normal dilihat dari relasi molar pertama permanen dimana mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada pada bukal groove molar pertama permanen mandibula dapat disertai dengan gigitan terbuka, protrusi bimaksila dan kelainan yang paling banyak adalah disertai dengan gigi berjejal, sedangkan diastema multipel yang menyeluruh jarang dijumpai, biasa disebut netroklusi.

Gambar 2. Maloklusi Klas I Angle26

c. Maloklusi Klas II Angle

Pada hubungan Maloklusi Klas II, lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap lengkung gigi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini disebut distoklusi. Maloklusi Klas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi insisivus atas yaitu:

- Divisi 1: insisivus atas protrusi atau meskipun insisivus atas inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan overjet yang bertambah.

- Divisi 2: insisivus sentral atas retroklinasi.

Gambar 3. Maloklusi Klas II Angle26

d. Maloklusi Klas III Angle

Pada hubungan Maloklusi Klas III lengkung bawah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial daripada lengkung gigi atas bila dilihat dari relasi molar pertama permanen.


(35)

Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior menunjukan adanya gigitan terbalik.

2.4.2.2 Dental Aesthetics Index

Dental Aesthetics Index (DAI), dikembangkan di Amerika Serikat dan diintegrasikan kedalam Studi Kolaborasi Internasional Oral Health oleh Organisasi Kesehatan Dunia. Dental Aesthetics Index adalah suatu indeks ortodonti yang berasaskan defenisi standar sosial yang berguna dalam survei epidemiologi untuk menemukan kebutuhan perawatan ortodonti dikalangan masyarakat. DAI diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), indeks ini dibuat lebih mudah digunakan, universal, sederhana, obyektif, tidak membutuhkan pencetakan ataupun foto ronsen dan terukur. Dental Aesthetic Index mengevaluasi 10 karakteristik oklusal, yaitu overjet, negatif overjet, kehilangan gigi, diastema, gigitan terbuka anterior, gigi berjejal bagian anterior, diastema anterior, lebar penyimpangan anterior dan hubungan anterior posterior.5,27,28

Cara pengukuran Dental Aesthetics Dental yaitu :

a. Gigi hilang (missing teeth). Ruang pada gigi hilang tersebut masih terlihat. Perhitungan dimulai dari premolar kedua kanan sampai premolar kedua kiri. Dalam satu rahang harus ada sepuluh gigi, jika kurang dari 10 harus dicatat sebagai gigi hilang, kecuali jika ruang antar gigi sudah menutup, masih ada gigi desidui atau gigi hilang sudah diganti dengan protesa tidak dihitung sebagai gigi hilang. Gigi hilang dihitung per gigi, misalnya yang hilang satu gigi diberi skor 1, dan seterusnya. Bobot pada penilaian ini adalah 6.

b. Gigi yang berjejal pada bagian anterior termasuk gigi rotasi dan gigi yang terletak di luar lengkung gigi (crowding in the incisal segment). Bila tidak ada berjejal maka diberi skor 0; bila pada salah satu rahang berjejal diberi skor 1; bila kedua rahang ada berjejal maka diberi skor 2. Bobot pada penilaian ini adalah 1.

kjkkjjhg


(36)

c. Ruang antar gigi pada anterior (spacing in the incisal segment), dilihat dari kaninus kanan sampai kaninus kiri, jika tidak ada ruang antar gigi atau setiap gigi kontak dengan baik diberi skor 0; jika dalam satu rahang ada ruang antar gigi maka diberi skor 1; jika pada kedua rahang ada ruang antar gigi diberi skor 2. Bobot pada penilaian ini adalah 1.

d. Diastema sentral (midline diastema), dicatat jika ada diastema sentralis pada rahang atas dan diukur dengan ukuran milimeter kemudian dicatat sesuai jarak yang ada (≥1 mm). Jika tidak ada diastema sentral diberi skor 0. Bobot pada penilaian ini adalah 3.

e. Ketidakteraturan terparah pada maksila (anterior maxillary irregularity). Diukur pada salah satu gigi yang paling tidak teratur (termasuk rotasi) dengan menggunakan jangka sorong, dengan ukuran millimeter, jika gigi terletak rapi dan tidak ada berdesakan atau rotasi diberi skor 0. Bobot pada penilaian ini adalah 1.

f. Ketidakteraturan terparah pada mandibula ( anterior mandibular

irregularity). Diukur pada salah satu gigi yang paling tidak teratur (termasuk rotasi) dengan menggunakan jangka sorong, dengan ukuran millimeter, jika gigi tersusun rapi dan tidak ada berdesakan diberi skor 0. Bobot pada penilaian ini adalah 1.

g. Jarak gigit anterior pada maksila (anterior maxillary overjet). Pengukuran ini dilakukan pada posisi oklusi sentris yang dicatat hanya pada bagian yang jarak gigitnya besar

(≥3mm), jika semua gigi insisivus bawah hilang dan terdapat gigitan terbalik, maka tidak perlu dicatat. Bila jarak gigit normal diberi skor 0. Bobot pada penilaian ini adalah 2.

h. Jarak gigit anterior pada mandibula (anterior mandibular overjet). Dicatat jika ada protrusi mandibula yang parah, tapi jika ada gigitan terbalik satu gigi karena gigi tersebut rotasi, tidak perlu dicatat. Bobot pada penilaian ini adalah 4.

i. Gigitan terbuka pada anterior (vertical anterior openbite), yang dicatat hanya gigitan terbuka terbesar dalam ukuran millimeter, jika tidak ada gigitan terbuka diberi skor 0. Bobot pada penilaian ini adalah 4.

j. Relasi molar anteroposterior dan deviasi terbesar dari normal baik kanan maupun kiri. Penilaian berdasarkan relasi molar pertama permanen atas dan bawah. Nilai 0 untuk relasi molar normal, nilai 1 jika molar pertama bawah kanan atau kiri setengah tonjol distal atau mesial dari molar pertama atas dan nilai 2 jika molar pertama bawah kanan atau kiri satu tonjol penuh atau lebih atau distal dari molar pertama atas. Bobot pada penilaian ini adalah 3.


(37)

Skor DAI diciptakan dari jumlah total sepuluh komponen yang telah dikalikan dengan bobot masing-masing kemudian hasil penilaian ditambahkan konstanta. Hasil skor tiap kasus dikelompokkan sesuai dengan keparahan maloklusinya. Pengelompokan maloklusi berdasarkan skor DAI :

- < 25 normal/maloklusi ringan, tidak perlu perawatan - 26-30 maloklusi sedang, beberapa perlu perawatan ringan - 31-35 maloklusi parah, perlu perawatan


(38)

2.5 Kerangka Teori

Anak Autis

Kebiasaan buruk /oral

habit

Koordinasi yang lemah terhadap otot

Diet Kurangnya

keterampilan dalam menyikat

gigi

Penyakit periodontal

(gingivitis) Karies gigi

Maloklusi Prevalensi maloklusi Etiologi maloklusi Indeks maloklusi

-Dental Aesthetic Index

- Klasifikasi Angle - OFI

- Mal I

- HLD Index

- HMA Index

- TPI

- OI

a. Dental Gambaran Maloklusi -Faktor Ekstrinsik -Faktor Intrinsik 1.Gigi berjejal 2. Rotasi 3. Diastema 4. Protrusi 5. Gigitan terbalik 6. Gigitan terbuka


(39)

2.6 Kerangka Konsep

Autis

Non-autis

 Jenis Kelamin

 Usia

Maloklusi

 Klasifikasi Angle

(Periode gigi bercampur dan periode gigi permanen)

 Dental Aesthetic Index (DAI)

(Periode gigi permanen)

 Gambaran maloklusi (Periode gigi bercampur)

1. Gigi berjejal 2. Rotasi 3. Protrusi 4. Diastema 5. Gigitan terbuka 6. Gigitan terbalik 7. Gigitan dalam


(40)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

a. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif.

b. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian untuk anak autis dilakukan di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia:

1. SLB-E Negeri Pembina Tingkat Propinsi 2. SLB T.P.I.

3. Yayasan Tali Kasih 4. Kudos Kindell Centre 5. Yayasan Anak Kita (Yakita)

Tempat penelitian anak normal dilakukan di Sekolah Angkasa Kecamatan Medan Polonia dan Sekolah Taman Pendidikan Islam Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 11 bulan, yaitu dari bulan September 2014-Juli 2015. Proposal penelitian dilakukan September 2014-Januari 2015. Pengambilan data penelitian dilakukan dari Februari-Maret 2015. Pengolahan dan analisis data dilakukan Maret-April 2015. Penyusunan dan pembuatan laporan dilakukan pada April- Juli 2015.

c. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi


(41)

Populasi adalah penderita autis dengan usia 6-18 tahun di SLB dan Yayasan Terapi Kota Medan serta anak normal dengan usia 6-18 tahun di Kecamatan Medan Polonia dan Kecamatan Medan Amplas Kota Medan.

3.3.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan untuk anak autis adalah total sampling.

Total sampling adalah pengambilan seluruh populasi, yaitu anak-anak autis yang berusia 6-18 tahun bersekolah di SLB-E Negeri Pembina Tingkat Propinsi, SLB T.P.I serta menjalani terapi di Yayasan Tali Kasih dan Kudos Kindels Centre.

Pemilihan sampel untuk anak normal dengan teknik matching, yaitu menyesuaikan usia dan jenis kelamin anak normal yang bersekolah di Sekolah Angkasa Kecamatan Medan Polonia dan Sekolah T.P.I Kecamatan Medan Amplas dengan anak-anak autis. Sekolah ini dipilih karena memiliki anak murid SD, SMP dan SMA, hal ini memudahkan penyesuaian usia. Selain itu, perizinan mudah didapatkan sehingga tidak memerlukan waktu yang lama. Bila dari hasil teknik

matching diperoleh jumlah yang lebih dari jumlah anak autis maka selanjutnya dilakukan teknik

random sampling dari anak normal tersebut. Kriteria Inklusi :

1. Anak autis dan anak normal 2. Usia 6-18 tahun

3. Di izinkan orangtua untuk memeriksa rongga mulutnya dengan pengisisan lembar

informed consent.

Kriteria Eksklusi :

1. Anak tidak mau diperiksa

2. Anak yang memakai pesawat ortodonti.

3. Tidak memiliki minimal satu hubungan gigi molar satu permanen atau kaninus permanen.

d. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 3.4.1 Variabel Penelitian

Beberapa variabel dalam penelitian ini: 1. Anak autis dan anak normal


(42)

2. Jenis kelamin 3. Usia 6-18 tahun 4. Klasifikasi Angle

5. Gambaran Maloklusi (gigi berjejal, rotasi, protrusi, diastema, gigitan terbuka, gigitan terbalik dan gigitan dalam)

6. Dental Aesthetic Index

3.4.2 Definisi Operasional

1. Anak autis adalah anak yang di diagnosis oleh dokter memiliki gangguan autis yang belajar di SLB maupun yayasan terapi autis.

2. Anak normal adalah anak yang tidak memiliki gangguan apapun dalam kondisi umum baik yang bersekolah di sekolah umum.

3. Jenis kelamin adalah penderita autis dan anak normal yang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

4. Usia 6-18 tahun adalah ulang tahun terakhir anak autis dan anak normal.

5. Periode gigi bercampur adalah suatu periode dimana dijumpai adanya gigi geligi sulung dan gigi geligi permanen bersamaan berada dalam mulut yaitu pada usia kira-kira 6-12 tahun. Usia pada periode gigi bercampur dalam penelitian ini adalah 6- 11 tahun.14

6. Periode gigi permanen adalah suatu periode dimana hanya dijumpai gigi permanen berada dalam mulut, periode gigi permanen dimulai ketika gigi desidui terakhir tanggal, pada umumnya saat usia pasien 11 atau 12 tahun. Pada penelitian ini berkisar antara usia 12-18 tahun14

7. Klasifikasi Angle digunakan untuk menghitung prevalensi maloklusi. Pada penelitian ini klasifikasi Angle digunakan pada periode gigi bercampur dan gigi permanen.

Klasifikasi ini menilai hubungan rahang atas dan rahang bawah yaitu: 26,27

a. Oklusi Klas I yaitu, relasi normal anteroposterior dari mandibula dan maksila. Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen maksila berada pada bukal groove molar pertama permanen mandibula, pada oklusi ini tidak disertai dengan malposisi gigi yang lain. b. Maloklusi Klas I yaitu, terdapat relasi lengkung anteroposterior yang normal dilihat dari relasi molar pertama permanen (netrooklusi). Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen maksila berada pada bukal groove molar pertama permanen mandibular


(43)

dan kelainan yang menyertai maloklusi klas I yakni: gigi berjejal, rotasi dan protrusi dan gambaran maloklusi lainnya.

c. Maloklusi Klas II yaitu, lengkung gigi bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap lengkung gigi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini disebut distoklusi. Maloklusi Klas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi insisivus atas yaitu:

- Divisi 1 : insisivus sentral atas protrusi sehingga didapatkan jarak gigit besar (overjet), insisivus lateral atas juga protrusi, tumpang gigit besar (overbite), dan curve of spee

positif.

- Divisi 2 : insisivus sentral atas retroklinasi, insisivus lateral atas protrusi, tumpang

gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit bisa normal atau sedikit bertambah. d. Maloklusi Klas III yaitu, lengkung bawah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke

mesial dari pada lengkung gigi atas bila di lihat dari relasi molar pertama permanen. Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior

menunjukan adanya gigitan terbalik.

8. Gambaran maloklusi, pada penelitian ini digunakan pada periode gigi bercampur, dengan memperhatikan:14,23,24

a. Gigi berjejal:yaitu suatu keadaan dimana gigi berada di luar susunan yang normal. Penyebab gigi berjejal adalah lengkung basal yang terlalu kecil dari lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prosesus alveolaris tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah lengkungan yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah

mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi geligi.

b. Gigi rotasi: yaitu perpindahan atau pergeseran posisi gigi dari sumbu gigi yang sebenarnya (normal) akibat terganggunya keseimbangan antara faktor-faktor yang

memelihara posisi gigi yang fisiologis oleh berbagai macam faktor penyebab, salah satunya yaitu penyakit periodontal, misalnya mobilitas gigi yang menyebabkan posisi gigi berpindah dari posisi yang sebenarnya.

c. Diastema: yaitu suatu keadaan adanya ruang di antara gigi geligi yang seharusnya berkontak.

d. Protrusi: yaitu gigi yang posisinya maju ke depan. Protrusi dapat disebabkan oleh faktor keturunan, kebiasaan jelek seperti menghisap jari dan menghisap bibir


(44)

bawah, mendorong lidah ke depan, kebiasaan menelan yang salah serta bernafas melalui mulut.

e. Gigitan terbalik: gigitan terbalik adalah suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam arah transversal dari gigi geligi maksila terhadap gigi geligi mandibula yang dapat mengenai seluruh atau setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja.

f. Gigitan terbuka: gigitan terbuka adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik.

g. Gigitan dalam: suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal gigi insisivus maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibular dalam arah vertikal melebihi 2-3 mm. Pada kasus gigitan dalam, gigi posterior sering linguoversi atau miring ke mesial dan insisivus mandibula sering berjejal, linguoversi, dan supra oklusi.

9. Indeks maloklusi Dental Aesthetic Index. DAI dapat digunakan pada periode gigi bercampur maupun gigi permanen, namun literatur menyebutkan bahwa hasilnya tidak terlalu akurat bila digunakan pada periode gigi bercampur, 27 oleh karena itu pada penelitian ini digunakan hanya pada periode gigi permanen. Pengukuran DAI dilakukan dengan memperhatikan:26,27

a. Gigi hilang (missing teeth). Ruang pada gigi hilang tersebut masih terlihat. Perhitungan dimulai dari premolar kedua kanan sampai premolar kedua kiri. Pada satu rahang harus ada sepuluh gigi, jika kurang dari 10 harus dicatat sebagai gigi hilang, kecuali jika ruang antar gigi sudah menutup, masih ada gigi desidui atau gigi hilang sudah diganti dengan protesa tidak dihitung sebagai gigi hilang. Gigi hilang dihitung pergigi, misalnya yang hilang satu gigi diberi skor 1, dan seterusnya. Bobot nya adalah 6.

b. Gigi yang berjejal pada bagian anterior termasuk gigi rotasi dan gigi yang terletak di luar lengkung gigi (crowding in the incisal segment). Bila tidak ada berjejal maka diberi skor 0; bila pada salah satu rahang berjejal diberi skor 1; bila kedua rahang ada berjejal maka diberi skor 2. Bobot pada penilaian ini adalah 1.

c. Ruang antar gigi pada anterior (spacing in the incisal segment), dilihat dari kaninus kanan sampai kaninus kiri. Jika tidak ada ruang antar gigi atau setiap gigi kontak dengan baik diberi skor 0; jika dalam satu rahang ada ruang antar gigi maka diberi skor 1; jika pada kedua rahang ada ruang antar gigi diberi skor 2. Bobot pada penilaian ini adalah 1.


(45)

d. Diastema sentral (midline diastema), dicatat jika ada diastema sentralis pada rahang atas dan diukur dengan ukuran milimeter kemudian dicatat sesuai jarak yang ada (mm). Jika tidak ada diastema sentral diberi skor 0. Bobot penilaian ini adalah 3.

e. Ketidakteraturan terparah pada maksila. Diukur pada salah satu gigi yang paling tidak teratur (termasuk rotasi) menggunakan jangka sorong, dengan ukuran millimeter. Jika gigi terletak rapi dan tidak ada berdesakan atau rotasi diberi skor 0. Bobot penilaian ini adalah 1.

f. Ketidakteraturan terparah pada mandibula. Diukur pada salah satu gigi yang paling tidak teratur (termasuk rotasi) menggunakan jangka sorong, dengan ukuran millimeter. Jika gigi tersusun rapi dan tidak ada berdesakan diberi skor 0. Bobot penilaian ini adalah 1.

g. Jarak gigit anterior pada maksila. Pengukuran ini dilakukan pada posisi oklusi sentris yang dicatat hanya pada bagian yang jarak gigitnya besar ( > 2mm). Jika semua gigi insisivus bawah hilang dan terdapat gigitan terbalik, maka tidak perlu dicatat. Bila jarak gigit normal diberi skor 0. Bobot penilaian ini adalah 2.

h. Jarak gigit anterior pada mandibula. Dicatat jika ada protrusi mandibula yang parah, tapi jika ada gigitan terbalik satu gigi karena gigi tersebut rotasi, tidak perlu dicatat. Bobot penilaian ini adalah 4.

i. Gigitan anterior terbuka, yang dicatat hanya gigitan terbuka terbesar dalam ukuran millimeter. Jika tidak ada gigitan terbuka diberi skor 0. Bobot penilaian ini adalah 4.

j. Relasi molar anteroposterior dan deviasi terbesar dari normal baik kanan maupun kiri. Penilaian berdasarkan relasi molar pertama permanen atas dan bawah. Nilai 0 untuk relasi molar normal, nilai 1 jika molar pertama bawah kanan atau kiri setengah tonjol distal atau mesial dari molar pertama atas dan nilai 2 jika molar pertama bawah kanan atau kiri satu tonjol penuh atau lebih atau distal dari molar pertama atas. Bobot penilaian ini adalah 3.

Pengelompokan maloklusi berdasarkan skor DAI : 1. < 25 normal/ maloklusi ringan, tidak perlu perawatan 2. 26-30 maloklusi sedang, beberapa perlu perawatan ringan 3. 31-35 maloklusi parah, perlu perawatan


(46)

e. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan peneliti adalah pemeriksaan klinis gigi yang mengalami maloklusi dan melakukan wawancara kepada orangtua dengan bantuan lembar pemeriksaan.

Adapun tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagi berikut :

1. Peneliti melakukan survei lokasi dan meminta izin kepada masing-masing kepala SLB dan pemilik yayasan dimana akan dilakukan penelitian.

2. Peneliti mengurus Ethical Clearance di Komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, setelah mendapat surat izin dari komisi etik baru dilakukan penelitian.

3. Penelitian dilakukan oleh 3 orang pemeriksa yang telah melakukan kalibrasi untuk mendapatkan validitas dan reabilitas. Pemeriksa merupakan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Peneliti mendatangi setiap lokasi penelitian satu persatu untuk menyerahkan surat izin dan untuk menginformasikan waktu melakukan penelitian kepada pihak sekolah.

5. Pada waktu yang ditentukan, peneliti memberikan Informed Consent kepada masing-masing orangtua dan menginformasikan mengenai penelitian. Anak yang bersedia dijadikan objek penelitian dan atas izin orangtua akan dilakukan pemeriksaan klinis dan pada orangtua akan dilakukan wawancara.

6. Pihak sekolah diminta untuk menyediakan sebuah ruangan yang memiliki penerangan yang cukup dan didalamnya terdapat 5 buah kursi dan 1 buah meja. Penelitian dilakukan pada pagi hari sampai siang hari.

7.Peneliti mewawancarai orangtua mengenai identitas, kemudian pemeriksaan maloklusi gigi dilakukan dengan dengan mengisi lembar kuisioner. Pemeriksaan klinis dilakukan menggunakan kaca mulut, senter, jangka sorong dan penggaris. Peneliti menyediakan cairan disinfektan untuk membersihkan alat.

8. Hasil pemeriksaan dicatat pada lembar pemeriksaan yang tersedia. Lembar pemeriksaan yang telah selesai dapat dikumpulkan untuk selanjutnya diolah dan dianalisis oleh peneliti.

f. Pengolahan dan Analisis Data 3.6.1 Pengolahan Data


(47)

Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan tahapan sebagai berikut:

1. Editing, memeriksa dan meneliti kembali kelengkapan jawaban kuisioner yang telah dikumpulkan.

2. Coding, mengubah data yang telah terkumpul kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.

3. Entry Data, data yang telah selesai di-coding selanjutnya dimasukkan dalam tabulasi. 4. Saving, data yang telah ditabulasi kemudian disimpan sebelum diolah.

3.6.2 Analisis data

Data diolah secara deskriptif yaitu data univarian, dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dan dihitung dalam bentuk persentase.


(48)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Pengambilan data dilakukan pada bulan September 2014 sampai bulan Mei 2015 di beberapa Sekolah Luar Biasa, Yayasan Terapi, dan Sekolah Umum di kota Medan. Pengumpulan data anak autis dilakukan di SLB-E Negeri PTP Sumatera, SDSLB-ABC-TPI, Yayasan Tali Kasih, Kudos Kindle Center, dan Yayasan Anak Kita Medan, sedangkan pengumpulan data anak normal dilakukan di Sekolah Angkasa dan Sekolah T.P.I Medan.

Data primer dari kedua kelompok subjek penelitian diperoleh melalui wawancara dan pemeriksaan klinis. Total subjek penelitian berjumlah 100 orang yang terdiri atas 50 anak autis dan 50 anak normal dengan menyesuaikan usia dan jenis kelamin yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

4.1 Data Demografi Subjek Penelitian

Data demografi subjek penelitian terdiri atas periode gigi bercampur dan permanen serta jenis kelamin. Pada Tabel 1, subjek penelitian pada periode gigi bercampur untuk anak autis yaitu sebanyak 28 anak (56%) dan untuk anak normal yaitu 29 anak (58%), sedangkan pada periode gigi permanen untuk anak autis sebanyak 22 anak (44%) dan anak normal sebanyak 21 anak (42%). Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian didominasi oleh laki-laki dengan jumlah 44 anak (88%) sedangkan perempuan sebanyak 6 anak (12%).

Tabel 1. Distribusi data demografi responden berdasarkan usia dan jenis kelamin

Karakteristik Kelompok Total Autis (n=50) n(%) Normal (n=50) n (%) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 44 (88) 6 (12) 44 (88) 6 (12) 88 (88) 12 (12) Periode gigi


(49)

Permanen 22 (46) 21 (42) 44 (44)

Total 50 (100) 50 (100) 100 (100)

4.2 Distribusi Oklusi Anak Autis dan Normal Menurut Klasifikasi Angle Berdasarkan Periode Pertumbuhan Gigi

Distribusi oklusi menurut Klasifikasi Angle pada seluruh populasi autis adalah: Oklusi Klas I (normal) sebanyak 7 anak (14%) dan maloklusi sebanyak 43 anak (86%), dengan rincian pada 28 anak autis periode gigi bercampur yaitu: oklusi normal/oklusi Klas I sebanyak 7 anak (14%), maloklusi Klas I sebanyak 12 anak (24%), maloklusi Klas II sebanyak 8 anak (16%), maloklusi Klas III sebanyak 1 anak (2%). Pada 22 anak autis periode gigi permanen diperoleh hasil: tidak ada oklusi normal/oklusi Klas I, maloklusi Klas I sebanyak 12 anak (24%), maloklusi Klas II sebanyak 5 anak (10), dan maloklusi Klas III sebanyak 5 anak (10%). Distribusi oklusi menurut Klasifikasi Angle pada seluruh populasi normal adalah: Oklusi normal Klas I sebanyak 12 anak (24%) dan maloklusi sebanyak 38 anak (76%). Berdasarkan periode gigi bercampur pada 29 anak normal yaitu: oklusi normal/oklusi Klas I sebanyak 8 anak (16%), maloklusi Klas I sebanyak 16 anak (32%), maloklusi Klas II sebanyak 2 anak (4%), maloklusi Klas III sebanyak 3 anak (6%). Pada 21 anak normal periode gigi permanen, oklusi normal/oklusi Klas I sebanyak 4 anak (8%), maloklusi Klas I sebanyak 14 anak (28%), maloklusi Klas II sebanyak 1 anak (2%), dan maloklusi Klas III sebanyak 2 anak (4%) (Tabel 2)

Tabel 2. Distribusi oklusi pada anak autis dan normal berdasarkan klasifikasi Angle periode pertumbuhan gigi

Klasifikasi Angle

Kelompok

Autis (n=50) Normal (n=50) Gigi bercampur n (%) Gigi permanen n (%) Total n (%) Gigi bercampur n (%) Gigi permanen n (%) Total n (%) Oklusi Klas I

Maloklusi: Klas I Klas II Klas III 7 (14) 12 (24) 8 (16) 1 (2) 0 12 (24) 5 (10) 5 (10) 7 (14) 24 (48) 13 (26) 6 (12) 8 (16) 16 (32) 2 (4) 3 (6) 4 (8) 14 (28) 1 (2) 2 (4) 12 (24) 30 (60) 3 (6) 5 (10)


(50)

4.3 Distribusi Gambaran Maloklusi pada Anak Autis dan Normal pada Periode Gigi Bercampur

Distribusi gambaran maloklusi pada periode gigi bercampur meliputi gigi berjejal, rotasi, diastema, protrusi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, gigitan dalam. Berdasarkan 28 orang anak autis pada periode gigi bercampur, diperoleh gambaran maloklusi gigi berjejal sebanyak 13 anak (46,42%), gigitan dalam sebanyak 9 anak (32,14%), gigitan terbalik sebanyak 7 anak (25%), diastema sebanyak 5 anak (17,85%), protrusi sebanyak 5 anak (17,85%), gigitan terbuka sebanyak 2 anak (7,14%) dan gigi rotasi sebanyak 1 anak (3,57%). Pada 29 orang anak normal, gambaran maloklusi terbanyak yaitu protrusi sebanyak 12 anak (41,37%), gigi berjejal sebanyak 10 anak (34,48%), gigitan dalam sebanyak 9 anak (31,03%), gigitan terbalik sebanyak 6 anak (20,68%), diastema sebanyak 4 anak (13,79%), gigitan terbuka sebanyak 2 anak (6,89%) dan rotasi sebanyak 1 anak (3,44%) (Tabel 3).

Tabel.3 Distribusi (%) gambaran maloklusi seluruh populasi pada periode gigi bercampur

Gambaran Maloklusi

Kelompok

Autis (n=28) Normal (n=29) n (%) n (%) Gigi berjejal Protrusi Gigitan terbalik Rotasi Diastema Gigitan terbuka Gigitan dalam 13 (46,42) 5 (17,85) 7 (25) 1 (3,57) 5 (17,85) 2 (7,14) 9 (32,14) 10 (34,48) 12 (41,37) 6 (20,68) 1 (3,44) 4 (13,79) 2 (6,89) 9 (31,03)

4.5 Distribusi Komponen Dental Aesthetic Index pada Anak Autis dan Normal pada Periode Gigi Permanen

Distribusi komponen DAI pada 22 orang anak autis periode gigi permanen yaitu: gigi hilang tidak ada, gigi berjejal sebanyak 18 anak (81,81%), ruang antar gigi sebanyak 1 anak (4,54%), diastema sentralis sebanyak 2 anak (9,09%), ketidakteraturan terparah anterior maksila sebanyak 15 anak (68,18%), ketidakteraturan terparah anterior mandibula sebanyak 10 anak (45,45%), jarak gigit anterior maksila sebanyak 9 anak (40,90%), jarak gigit mandibula


(51)

sebanyak 5 anak (22,72%), gigitan terbuka anterior sebanyak 4 anak (18,18%) dan relasi molar anteroposterior sebanyak 10 anak (45,45%). Distribusi komponen DAI pada 21 orang anak normal yaitu: gigi hilang tidak ada, gigi berjejal sebanyak 15 anak (71,42%), ruang antar gigi sebanyak 2 anak (9,52%), diastema sentralis sebanyak 3 anak (14,28%), ketidakteraturan terparah anterior maksila sebanyak 10 anak (47,61%), ketidakteraturan terparah anterior mandibula sebanyak 9 anak (42,85), jarak gigit anterior maksila sebanyak 8 anak (38,09%), jarak gigit mandibula sebanyak 1 anak (4,76%), gigitan terbuka anterior sebanyak 2 anak (9,52%) dan relasi molar anteroposterior sebanyak 3 anak (14,28%) (Tabel 4).

Tabel. 4 Distribusi komponen DAI pada anak autis dan normal pada periode gigi permanen Komponen DAI Kelompok Autis (n=22) n (%) Normal (n=21) n (%)

Gigi hilang (≥ 1)

Gigi berjejal/rotasi/ (1 atau 2 segmen) Ruang antar gigi (1 atau 2 segmen)

Diastema sentralis (≥ 1 mm)

Ketidakteraturan terparah anterior maksila (≥ 1 mm) Ketidakteraturan terparah anterior mandibular (≥ 1 mm)

Jarak gigit anterior maksila (≥ 3 mm)

Jarak gigit anterior mandibular (≥ 1 mm) Gigitan terbuka anterior (≥ 1)

Relasi molar anteroposterior (≥ ½ cusp)

0 18 (81,81) 1 (4,54) 2 (9,09) 15 (68,18) 10 (45,45) 9 (40,90) 5 (22,72) 4 (18,18) 10(45,45) 0 15 (71,42) 2 (9,52) 3 (14,28) 10 (47,61) 9 (42,85) 8 (38,09) 1 (4,76) 2 (9,52) 3 (14,28)

4.6 Distribusi Skor Dental Aesthetic Index dan Kebutuhan Perawatan pada Anak Autis dan Normal Periode Gigi Permanen.

Pada tabel.5 diketahui distribusi skor DAI pada 22 anak autis yaitu maloklusi ringan, tidak perlu perawatan sebanyak 6 anak (27,28%), maloklusi sedang, beberapa perlu perawatan ringan 4 anak (18,18%), maloklusi parah, perlu perawatan sebanyak 4 anak (18,18%) dan maloklusi yang sangat parah dan sangat memerlukan sebanyak 8 anak (36,36%). Distribusi komponen DAI pada 21 anak normal yaitu maloklusi ringan, tidak perlu perawatan sebanyak 14


(1)

Lampiran 3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK

PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK AUTIS

DI SLB ,YAYASAN TERAPI DAN ANAK NORMAL DI SEKOLAH UMUM KOTA MEDAN

No kartu : Tanggal : Pemeriksa :

A. Identitas Responden

Nama :

1. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki A1 2. Perempuan

2. Usia : ... Tahun A2

3. Periode gigi : 1. Bercampur 2. Permanen A3

B. Klasifikasi Angle

1.Normal 2.Klas I

3.Klas II B 4.Klas III

Jika pada gigi bercampur lanjut ke (C)

C. Beri tanda cheklist (√ ) pada kriteria yang terlihat saat pemeriksaan


(2)

2. Proklinasi 3. Gigitan terbalik 4. Rotasi

5. Diastema sentralis, Multiple diastema 6. Gigitan terbuka

7. Gigitan dalam

Jika pada gigi permanen lanjutkan ke ( D ) D. Dental Aesthetic Index (DAI)

1. Gigi insisivus, kaninus atau premolar permanen yang hilang (Missing teeth) 5 4 3 2 1 1 2 3 3 5

5 4 3 2 1 1 2 3 4 5

... x 6 = …………. D1 A. 0

B. ≥1

2. Adanya gigi berjejal/rotasi/keluar dari lengkung gigi pada bagian anterior 0= Tidak ada berjejal/ rotasi/ keluar dari lengkung gigi

1 = Adanya gigi berjejal/ rotasi/ keluar dari lengkung gigi pada satu rahang 2= Adanya gigi berjejal/ rotasi/ keluar dari lengkung gigi pada kedua rahang

D2 ……… X 1 =………

A. 0

B. 1-2 segmen

3. Diastema antar gigi pada bagian anterior.

0= tidak ada diastema/ setiap gigi kontak dengan baik


(3)

2= ada diastema antar gigi pada kedua rahang …………X 1 = ………..

A. 0

B. 1-2 segmen

4. Jarak diastema sentralis.

………mm X 3 = ………. D4

A. 0 B. ≥ 1 mm

5. Ketidakteraturan terparah pada maksila bagian anterior

…… .. mm X 1 = ………. D5

A. 0 B. ≥ 1 mm

6. Ketidakteraturan terparah pada mandibula bagian anterior

…….mm X 1 =……… C6

A. 0 B. ≥ 1 mm

7. Jarak gigit anterior pada maksila (Anterior maxillary overjet)

……..mm X 2 =……… D7

A. 0-2 mm B. >3 mm

8. Jarak gigit anterior pada mandibula ( Anterior mandibular overjet) ………….mm X 4 = ………

A. 0

B. ≥ 1 mm D8


(4)

………….mm X 4 = ………..

A. 0 D9

B. ≥ 1 mm

10.Relasi molar anteroposterior ( Anteroposterior molar relation ) 0= Normal

1= ½ tonjol distal atau mesial

2= tonjio penuh atau lebih distal atau mesial D10 ……… X 3 = ………..

A. Normal

B. 1= ½ tonjol distal atau mesial

C. 2= tonjio penuh atau lebih distal atau mesial

z

Konstanta = 13

11.Skor :

A .< 25 Normal/maloklusi ringan dan tidak butuh perawatan B . 26-30 Maloklusi sedang

C . 31-35 Maloklusi parah D11 D .> 36 Maloklusi sangat parah

(∑ Semua komponen X Bobot masing-masing ) + Konstanta = skor (...) + 13 = ...


(5)

ANGGARAN PENELITIAN

Prevalensi Maloklusi pada Anak Autis di SLB, Yayasan Terapi, dan Anak Normal di Sekolah Umum Kota Medan

Rincian biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan penelitian, yaitu:  Biaya persiapan proposal : Rp225.000,00

 Biaya kertas kuarto : Rp56.000,00  Biaya tinta printer : Rp15.000,00 Biaya Pengumpulan Data

 Transportasi : Rp100.000,00  Kuesioner @ 100 orang : Rp100.000,00  Ahli terapi autis : Rp500.000,00  Senter @ 3 buah : Rp105.000,00  Souvenir : Rp300.000,00 Biaya Analisis Data dan Penyusunan Laporan

 Penjilidan dan penggandaan laporan : Rp100.000,00 Total biaya : Rp1.501.000,00


(6)

Lampiran 4

DATA PERSONALIA PENELITI

Riwayat Peneliti

Nama : Zilda Fahnia

Tempat dan tanggal lahir : Perawang, 17 Januari 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 4 (empat) dari 6 (enam) bersaudara Alamat : Jalan Setia Gang Pribadi No. 8D No. Telepon : 082310576334

Alamat e-mail : nhea_syaren@ymail,com

Riwayat Pendidikan

1998-2004 : SDN 001 Perawamg 2004-2007 : SMPN 001 Perawang 2007-2010 : SMAN 14 Siak

2011-sekarang : Program Sarjana-1 Pendidikan Dokter Gigi