Kedaulatan Konstitusi TINJAUAN PUSTAKA

Ajaran kedaulatan rakyat berpangkal tolak kepada hasil penemuannya bahwa tanpa tata tertib dan kekuasaan, manusia akan hidup tidak aman dan tentram. Tanpa tata tertib manusia merupakan binatang buas “homo homini lupus”, dan kehidupan itu berubah menjadi perang antar sesama manusia “bellum omnium contra omnes ”. 30 5. Konsep Teori Kedaulatan Hukum Teori kedaulatan hukum lahir sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan negara, yang menentukan bahwa satu-satunya dasar bagi hukum ialah negara dan wibawanya, sebaliknya menurut Hugo Krabbe, sumber dan ukuran bagi mengikatnya hukum ialah perasaan dan kesadaran hukum rakyat. 31 Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang memiliki kekuasaan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa ataupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. 32 Dalam segi pelaksanaannya kedaulatan untuk memiliki daya ikat dituangkan dalam suatu bentuk norma tertinggi yang disebut sebagai konstitusi. Menurut Prodjodikoro konstitusi berasa l dari kata “constituer” Perancis yang berarti membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan. 33 Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat pengertian konstitusi yang pertama adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan Undang-Undang Dasar dan sebagainya, yang kedua adalah Undang-Undang Dasar suatu negara. 34 Termuat dalam Kamus Hukum Inggris, Oxford Dictionary of Law mencatat pengertian konstitusi adalah 30 Ibid., hlm.36. 31 Ibid., hlm. 37. 32 Ibid. 33 Ibid., hlm, 56. 34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Balai Pustaka, 1990 hlm. 457. “Constitution is the rules and parctices that determain the composition and functions of the organs of central and local government in a state and regulate the relationship between individual and the state.” 35 C.F. Strong memahami konstitusi sebagai asas-asas fundamental yang mengatur kekuasaan lembaga-lembaga negara di satu pihak, dan pihak lain mengatur pula hak-hak rakkyat yang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia yang sering disingkat HAM, serta bagaimana mengatur hubungan vertikal antara yang memerintah dan yang diperintah, sehingga hubungan keduanya berjalan dengan harmonis. Berbagai macam pengertian konstitusi semakin berkembang sejak Abad 19, Ferdinan Lassal salah satu pakar tata negara yang hidup pada Abad ke 19 memberikan pengertian konstitusi dengan membaginya kedalam dua pengertian. Menurut Ferdinan mengartian konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar merupakan pengertian yang lebih sempit dari pengertian konstitusi yang sebenarnya. Ferdinan membagi pengertian konstitusi menjadi dua konsep pemikiran, yaitu: 1. Konstitusi dalam arti sosiologis dan politik. Konstitusi dalam hal ini dipandang sebagai hubungan dari faktor-faktor kekuatan real dalam masyarakat, seperti Presiden, Parlemen, Partai Politik, Kelompok Kepentingan dan sebagainya. 2. Konstitusi dalam arti yuridis. Konstitusi dalam pengertian ini dipandang sebagai dokumen yang tertulis yang mengatur lembaga-lembaga negara dan prinsip memerintah dalam suatu negara. 36 Konstitusi dalam pandangan yuridis yang dikemukakan oleh Ferdinan jelas sama dengan Undang-Undang Dasar yang memuat aturan-aturan hukum. Selain Ferdinan Lassal, Herman Heller juga memberikan pengertian yang luas mengenai pengertian dari konstitusi. 35 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi indonesia Sesudah UUD 1945, Malang: Setara Press, 2010 hlm. 23. 36 Ibid., hlm. 33. Herman Heller menggambarkan perngetian konstitusi atas tiga tingakatan. Ketiga tingkatan pengertian konstitusi tersebut dalah sebagai berikut: Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk hukum, melainkan tercermin dalam perilaku nyata dari kehidupan warga masyarakat. Pada tingkat kedua, konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan, terhadap setiap pelanggaran atas konstitusi. Konstitusi dalam pengertian pengaturan tertulis. Pada tingkat ketiga konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang muncul akibat aliran kodifikasi. Aliran kodifikasi adalah mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum, kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum. 37 Konstitusi menjadi amat penting dalam suatu negara karena apabila tidak terdapat sebuah kedaulatan konstitusi maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara. Kedaulatan konstitusi merupkan syarat mutlak yang harus dimiliki sebuah negara, mengingat kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar atau basic law yang mengandung norma-norma dasar berfungsi untuk mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Lantas bagaimana kedaulatan konstitusi di Indonesia? 37 Ibid., hlm. 34. Sri Soemantri M dalam disertasinya mengartikan konstitusi di Indonesia sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan di sebagaian negara-negara dunia termasuk Indonesia. 38 penyamaan pengertian antara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell Lord Protector Republik Inggris 1649-1660 yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai Instrument of Government, yaitu bahwa Undang- Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan di sinilah timbul identifikasi dari pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar. 39 Sri Soemantri berpendapat pada umumnya materi konstitusi atau Undang-Undang Dasar mencakup tigas hal dasar yang fundamental: 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya; 2. Ditetapkan susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. 40 Di Indonesia kedaulatan ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam kaitannya dengan teori-teori kedaulatan seperti apa yang telah dipaparkan diatas lantas muncul sebuah pertanyaan yang menarik yaitu: teori kedaulatan mana saja dianut oleh UUD 1945? Lantas bagaimana kedudukannya? Dan bagaimana pelaksanaannya? Melihat substansi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pembuat UUD 1945 sejak semula memilih bentuk pemerintahan Republik, sehingga dengan sendirinya pemerintahan yang berbentuk kerajaan atau kedaulatan raja tidak dikehendaki di Indonesia. 38 Dahlan Thaib dkk, Op.cit., hlm. 8. 39 Ibid., hlm. 8. 40 Anwar C, Op.cit., hlm. 61. Kedaulatan negara merupakan unsur kedaulatan pertama yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal ini terlihat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dengan tersirat memberikan kekuasaan penuh terhadap negara dan menempatkan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Selain kedaulatan negara ternyata Indonesia juga menganut teori kedaulatan Tuhan, hal ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alenia ketiga yang menyatakan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya” Atas berkat rahmat Allah menunjukan bahwa rakyat Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian dari Allah SWT yang membuktikan dalam hal ini Indonesia menganut konsep kedaulatan Tuhan. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa: 1 Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 2 Negara Indonesia adalah negara hukum. Melihat apa yang telah diterangkan Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia juga menganut kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep negara modern, yaitu teori negara hukum dan teori konstitusi. Teori negara hukum meletakkan prasyarat bagi pelaksanaan pemerintahan dalam negara yang berdasarkan kedaulatan hukum. Teori konstitusi meletakkan kerangka dasar hukum tertinggi dalam suatu negara modern atau memberikan landasan bagi berjalannya supremasi konstitusiUUD yang menjadi prasayarat berlakunya kedaulatan hukum. Karena itu, teori negara hukum dan teori konstitusi selanjutnya dijadikan landasan teori untuk menganalisis kedaulatan hukum pada umumnya, khususnya kedaulatan hukum menurut UUD 1945. Kedaulatan hukum pada suatu negara dapat dilihat dari sisi apakah negara tersebut menganut konsepsi kedaulatan hukum, apabila suatu negara menganut konsepsi kedaulatan hukum maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah negara hukum. Istilah negara hukum ini merupakan padanan dari rechtsstaat dan the rule of law. Istilah Rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah The rule of law mulai populer dengan terbitnya buku oleh Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the study of the law of the constitution.” Unsur-unsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental adalah sebagai berikut: a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politica; c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang; d. Apabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah masih melanggar hak asasi campur tangan pemerintah dalam kehidupan peribadi seseorang, maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memeberikan unsur-unsur the rule of law sebagai berikut: a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenangan-wenangan, sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; b. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan; Berdasarkan uraian diatas melihat ciri, konteks dan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan bahwa Konstitusi Indonesia menganut kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang seyogyanya berjalan dengan seiring. Kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konstitusi negara Indonesia yang memuat 4 kedaulatan sekaligus merupakan norma dasar yang menjadi patokan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembentukan hukum yang terdapat di Indonesia. Pada konteks ketatanegaraan penyelenggaraan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia dijalankan oleh organ-organ negara yang memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menjalankan tugas dan kewajiban negara. Dalam perkembangannya di Indonesia organ-organ pelaksana konstitusi dibagi menjadi 3 lembaga pelaksana yaitu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semua lembaga ini berperan penting dan memiliki masing-masing wilayah dalam hal pelaksanaan konstitusi suatu negara. Dan salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bagian dari badan peradilan yudikatif yang berfungsi untuk menjamin dan mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara.

2.1 Mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. 41 Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi, keberadaan Mahkamah Konstitusi pada awalnya hanyalah untuk menjalankan wewenang constitusional review, sedangkan munculnya constitutional review itu sendiri dapat 41 Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: MKRI, 2010, hlm. 1. dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi. 42 Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945. 43 Indonesia sendiri merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dari sisi gagasan constitutional review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Muhammad Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” MA perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman constitutional review. 44 Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945, wewenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal ini diatur dalam ketetapan MPR Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 ayat 1 ketetapan tersebut 42 Ibid., hlm. 3. 43 Perubahan Ketiga UUD 1945 ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001. 44 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid 1, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hlm. 341-342. menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Namun pengujian ini tidak dapat disebut sebagai constitutional review, karena dilakukan oleh MPR yang bukan merupakan lembaga peradilan. 45 Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945. Yaitu, MPR, MA atau MK. Gagasan memberikan wewenang tersebut kepada MPR akhirnya dikesampingkan karena disamping tidak ada lagi lembaga tertinggi, MPR bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan konstitusi, melainkan wakil organisasi dan kelompok kepentingan politik. Gagasan yang kedua memberi wewenang pengujian undang-undang kepada Mahkamah Agung MA, namun juga akhirnya tidak dapat diterima karena MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini berdasarkan pembahasan panjang yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I 2000. Panitia yang secara khusus dibentuk untuk membahas amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000, telah diulas tentang kekuasaan kehakiman dan judicial review. Namun, belum ada anggota-anggota fraksi yang mengusulkan pembentukan Mahkamah Konstitusi dampai akhirnya beberapa bulan kemudian mucul ide pembentukan Mahkamah Konstitusi setelah PAH I BP MPR 2000 melakukan kunjungan ke daerah-daerah, studi banding, dan dengar pendapat dengan berbagai pihak. 46 45 Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.cit., hlm. 6-7. 46 Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: MKRI, 2008, hlm. 283. Pada rapat ke-32 PAH I, tanggal 17 Mei 2000, Gregorius Seto Harianto dari F-PKB menyampaikan pendapatnya mengenai Mahkamah Konstitusi dalam usulan fraksinya. Di

Dokumen yang terkait

A. Pendahuluan - KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12

BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33PUU-IX2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Put

0 0 39

BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33PUU- IX2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkama

0 0 18

Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi Ultra Petita in the Judicial Review of Law by the Constitutional Court

0 0 18

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 Terkait Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang- Undang Implementation of Constitutional Court Decision Number 92PUU-X2012 In Relation To The Authority of Regional Representati

0 0 27

Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang Judicialization of Politics and Judicial Restraint: The Role of the Constitutional Court on the Review of Laws

0 0 30

Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Jurisprudence Enforceability on Judicial Review Authority in the Constitutional Court Decision

0 0 24

Tenggang Waktu Konstitusionalitas dan Kebersesuaian Undang-Undang dengan UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi The Limitation of Time in Constitutionality and Conformity of Law to The Constitution UUD 1945 in Constitutional Court Decision

0 0 22

Penambahan Kewenangan Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya untuk Melindungi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Expanding the Authority of Constitutional Question in the Constitutional Court as an Effort for Protecting Citizens’ Co

0 0 22