PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum secara maksimal untuk memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain, tetapi pada kenyataannya putusan hakim belum sesuai dengan ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa dalam pembelian dan pengadaan solar nonsubsidi, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan. (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan teori keseimbangan yaitu menekankan


(2)

Christian Kartono Apriansyah Silaen

adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, dengan ketentuan hukum. Putusan tersebut dapat dinyatakan telah memenuhi teori keseimbangan antara kesalahan terdakwa, ketentuan undang-undang serta hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa. Selain itu hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan keuangan Negara. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan daerah dan badan usaha milik daerah hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar berdasar pada teori keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat.


(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

NPM. 1012011320

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana ... 24

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 26

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 30

E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung ... 32

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Narasumber... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39


(8)

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 42

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 68

V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara


(10)

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


(11)

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi maka diketahui bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlah kasus tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai 2.156 kasus, meningkat menjadi 2.876 kasus pada tahun 2011 dan kembali mengalami peningkatan menjadi 3.127 kasus pada tahun 20121.

Peningkatan tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan

1


(12)

Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2

Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil , tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 3

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para

2

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak

Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3. 3

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001,


(13)

Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah atau pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Beberapa modus operandi korupsi yaitu sebagai berikut:

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain dengan ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/ koorporasi jika ada kepentingan atau berurusan dengan


(14)

instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.4

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah

(aanvullend rech). 5

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan di luar ketentuan pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala

4

Eddy Mulyadi Soepardi, op cit, hlm. 4. 5


(15)

adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian


(16)

tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.6

Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar

Lampung adalah tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor:

21/PID/TPK/2012.PN.TK. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terdakwa Haris Munandar yang menjabat Kepala Sub Bagian Pembelian Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung telah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.608.000.000,- (enam ratus delapan juta rupiah).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa Haris Munandar yang menjabat sebagai Kasubag Pembelian PDAM Way Rilau, melakukan tindak pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung serta terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dipidana dengan selama 2,5 tahun penjara. Sebelumnya JPU menuntut kepada terdakwa agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana selama 3,5 tahun penjara dan uang pengganti Rp 608 juta subsidair enam bulan penjara.

Berdasarkan fakta-fakta di persidangan Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 2,5 penjara dan mewajibkan terdakwa membayar denda

6


(17)

Rp 50 juta subsidair satu bulan penjara serta uang pengganti Rp 608 juta subsidair enam bulan penjara, sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini sesuai dengan keterangan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan pada

adanya unsur kesalahan, adanya kemampuan terdakwa untuk

mempertanggungjawabkan perbuatanya dalam artian bahwa terdakwa telah cakap atau dewasa untuk bertanggung jawab serta tidak dalam keadaan kurang ingatan atau gila.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 7

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

7

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan


(18)

Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2013.


(19)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012. PN.TK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012.PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dan dasar pertimbangan


(20)

hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 697/Pid/B/2012/ PNTK.

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih optimal.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian, sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).


(21)

Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan


(22)

terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.8

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat9

Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

8

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 46.

9


(23)

demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.10

10

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.


(24)

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 11

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

11


(25)

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.


(26)

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsnya.12

12


(27)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 13

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum15

13

Moeljatno, op cit, hlm. 49. 14

Ibid, hlm. 53. 15

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat


(28)

d. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).16 Tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut. 17

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25. 16

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) 17

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)


(29)

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana korupsi.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor:

21/PID/TPK/2012.PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar pada


(30)

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012.PN.TK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya1

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

1

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.


(32)

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut2

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi

2


(33)

perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya3

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3


(34)

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya4

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 5

4

Ibid, hlm. 46. 5


(35)

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya 2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh

hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 6

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh

6


(36)

sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1

KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus

7


(37)

memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis.

Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,

8


(38)

dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.


(39)

Menurut P.A.F. Lamintang:

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah. 9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10

Menurut Andi Hamzah:

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

9

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

10


(40)

kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11

Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

11


(41)

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal12

12


(42)

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Syed Husein Alatas:

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).13

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:

a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban c) Penyembunyian pelanggaran. 14

13

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:

LP3ES, 1983, hlm. 12. 14

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 56.


(43)

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah

(aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum


(44)

pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale). Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum, sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.

Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian korupsi secara tegas. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)


(45)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, dapat disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.

Pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a) Setiap orang yang berarti perseorangan

b) Koorporasi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat


(46)

berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya. c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat)

dalam pasal I ayat (2) Undang - Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 15

Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural) korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan

15


(47)

dan perekonomian negara serta berdampak pada kerugian seluruh masyarakat Indonesia.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 16

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

16


(48)

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum (3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan


(49)

hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat


(50)

merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.17

Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.18

E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung

Menurut Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto:

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah badan usaha milik pemerintah daerah, yang melaksanakan fungsi pelayanan menghasilkan kebutuhan air minum/air bersih bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan pelayanan akan air bersih yang merata kepada seluruh lapisan

17

Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 77. 18


(51)

masyarakat, membantu perkembangan bagi dunia usaha dan menetapkan struktur tarif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat. 19

Pengertian di atas menunjukkan bahwa keberadaan PDAM sebagai BUMD dapat membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, menunjang bagi perkembangan kelangsungan dunia usaha dan perkembangan ekonomi di daerah, percepatan pembangunan di daerah, karena air bersih yang dihasilkan PDAM merupakan barang yang essensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Di sisi lain dengan menjual air bersih ini PDAM diharapkan juga memiliki efisiensi sehingga memiliki kemampuan dalam memupuk dana dan menghasilkan keuntungan, yang juga merupakan kontribusi bagi PAD. Dana dari PAD ini yang kemudian diharapkan mampu menunjang terselenggaranya rencana pembangunan di daerah, dan hasil pembangunan itu pada akhirnya dapat dinikmati kembali oleh masyarakat. Maka sejalan dengan itu agar PDAM berjalan dengan tujuan dan fungsinya, memerlukan pengelolaan yang baik dan benar dengan memperhatikan segala kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimilikinya, dalam upayanya makin mensejahterakan masyarakat di era otonomi ini.

Menurut Sri Maemunah:

19

Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto. Kedudukan dan Peranan Perusahaan Daerah dalam Pelaksanaan yang Nyata dan Bertanggungjawab. Jawa Timur, Universitas Brawijaya. 2001. hlm. 61.


(52)

Perusahaan Daerah Air Minum merupakan salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang penyediaan air bersih untuk kebutuhan masyarakat. Keberadaan Perusahaan Daerah Air Minum sebagai unsur pelayanan publik, harus mengutamakan aspek sosial. Hal ini tercermin di dalam penetapan harga produk lebih mempertimbangkan kemampuan masyarakat, namun di balik fungsinya sebagai unsur pelayanan publik juga tidak terlepas dari dimensi ekonomi, yaitu mencari keuntungan, karena menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.20

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690-069 tahun 1992, tentang Pola Petunjuk Teknis ditegaskan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum mempunyai fungsi pokok pelayanan umum kepada masyarakat, sehingga di dalam menjalankan fungsinya tersebut Perusahaan Daerah Air Minum harus mampu membiayai dirinya sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanan dan diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada Pemerintah Daerah dalam fungsinya sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu perlu penyelenggaraan dan pembinaan PDAM yang didasarkan pada asas ekonomi yang sehat, sehingga mampu berkompetisi dengan perusahaan lain dalam meraih peluang bisnis yang lebih menguntungkan.

Pemerintah Daerah mendirikan perusahaan daerah atas dasar pertimbangan: menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat;

20


(53)

melindungi konsumen dalam hal ada monopoli alami; dalam rangka mengambil alih perusahaan asing; menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah; dianggap cara yang efisien untuk menyediakan layanan masyarakat, menebus biaya, dan menghasilkan penerimaan Pemerintah Daerah.

PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung mempunyai fungsi pokok sebagai penyedia air minum bagi masyarakat dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung bertujuan memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat sesuai dengan standar mutu dan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berusaha meningkatkan kapasitas produksi dengan melakukan invenstasi berupa pengadaan sarana dan prasarana air bersih yang dapat memproduksi air sehingga kebutuhan masyarakat baik dari segi kuantitas dan kualitas dapat terpenuhi

Menurut Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto:

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan organisasi yang dimiliki oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan penyertaan modal sebesar 50% atau lebih. BUMD berada di bawah top manajerial pemerintah, yang meliputi hak untuk menunjuk top manajemen dan menentukan kebijaksanaan pokok. BUMD didirikan untuk mencapai

public purpose yang ditetapkan, bersifat multi dimensi yang secara konsekuen ada dalam sistem public accountability.21

21


(54)

Pengertian di atas menunjukkan BUMD berusaha dalam aktivitas yang mempunyai sifat bisnis, yang menyangkut ide investasi dan keuntungan dengan memasarkan produk yang dihasilkan berupa barang/jasa. BUMD merupakan wujud nyata dari investasi negara dalam dunia usaha, tujuannya adalah untuk mendorong dan mengembangkan aktivitas perekonomian nasional/daerah.

Menurut Andriyanto, W.A:

BUMD mempunyai dua dimensi yaitu dimensi publik dan dimensi badan usaha (enterprise). Dimensi publik sebuah badan usaha akan ditentukan oleh pemilikan (ownership) dan oleh pengawasan dari pemerintah yaitu sejauh mana keputusan intern dapat dilakukan oleh pimpinan perusahaan.

22

Pengertian di atas menunjukkan BUMD merupakan organisasi yang mempunyai dua dimensi. Sebagai badan usaha ia harus menghasilkan keuntungan, tumbuh dan selalu menjaga kelangsungan usahanya. Sebagai alat kebijakan pemerintah ia mempunyai tujuan yang berorientasi kepentingan masyarakat. Tujuan BUMD adalah untuk menunjang perkembangan ekonomi; mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal melalui perintisan usaha dan pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi; menjaga stabilitas dengan menyediakan persediaan barang yang cukup terutama menyangkut hajat hidup orang banyak;

22


(55)

mencapai efisiensi teknik agar dapat menjual dengan harga yang terjangkau tanpa mengurangi mutu dan kemampuan memupuk dana dari keuntungan: dan menunjang terselenggaranya rencana pembangunan. Tujuan BUMD selalu terdiri dari tujuan sosial dan tujuan komersial. Sebaiknya tujuan sosial dibedakan dari tujuan komersial, untuk tujuan sosial pemerintah memberi subsidi sedang tujuan komersial dibayar oleh konsumen.Turut campur tangan pemerintah dalam perekonomian dalam bentuk BUMD, secara ekonomis merupakan tindakan untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar dalam distribusi sumber daya secara optimal, yang berarti pula mengatasi adanya kegagalan mekanisme pasar dalam mencapai nilai ekonomis yang optimal atas sumber daya.


(56)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini

1


(57)

bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah.

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibendakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dai bahan pustaka2. Data tersebut yaitu:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara atau kuisioner dengan Majelis Hakim atau Jaksa yang menuntut dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK. Adapun sumber data yang penulis peroleh berupa keterangan-keterangan tentang pertanggungjawaban pidana Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

2


(58)

a. Bahan Hukum Primer, adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme 4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang berhubungan dengan bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012. PN.TK


(59)

c. Bahan Hukum Tersier, bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2

orang

2). Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1

orang

3). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang+

Jumlah = 4

orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:


(60)

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan

data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan3 Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

3


(61)

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran


(62)

V. P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa dalam pembelian dan pengadaan solar nonsubsidi, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan teori keseimbangan yaitu menekankan adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, dengan ketentuan hukum. Putusan tersebut dapat dinyatakan telah memenuhi teori keseimbangan antara


(1)

51

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan

data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan3 Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

3


(2)

52

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran


(3)

85

V. P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa dalam pembelian dan pengadaan solar nonsubsidi, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan teori keseimbangan yaitu menekankan adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, dengan ketentuan hukum. Putusan tersebut dapat dinyatakan telah memenuhi teori keseimbangan antara


(4)

86

kesalahan terdakwa, ketentuan undang-undang serta hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa. Selain itu hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan keuangan Negara. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum

A. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan daerah dan badan usaha milik daerah hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar berdasar pada teori keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES.

Andriyanto, W.A. 1998. Penilaian Tingkat Kinerja BUMD. Jakarta, Rineka Cipta,

Arief, Barda Nawawi dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

_______. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.

_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Fakutas Hukum Universitas Pakuan.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Sri Maemunah, 2003, Revitalisasi BUMN dan BUMD, Jakarta, Lentera.

Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto. 2001. Kedudukan dan Peranan Perusahaan Daerah Dalam Pelaksanaan yang Nyata dan Bertanggungjawab. Jawa Timur, Universitas Brawijaya. 2001.

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

LAIN-LAIN

Ali Hasan, Tindak Pidana Korupsi Indonesia. 23 September 2013, http//www.kpk.go.id.


Dokumen yang terkait

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST.)

0 9 69

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Pada Putusan Nomor 116/Pid.B/2012/PN.TK)

0 11 52

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ABORSI DI BANDAR LAMPUNG (Studi Putusan PN Nomor 169/PID/B/2009/PNTK)

1 26 59

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

2 26 62

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

4 34 65

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENYIMPAN UANG RUPIAH PALSU (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 1071/Pid.B/2014/PN.Tjk).

1 15 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DANA TILANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (Studi Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK)

0 9 53

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Putusan No: 51/Pid.A/2013/Pn.GnS)

1 10 55