Mo sintuwu Po sintuwu Po sintuwu

terakhir bersama suami dan anak-anaknya menjadi satu sombori, maka secara tradisi Ibu Pelia kehilangan somborinya bersama suami dirumah tersebut. Hilangnya sombori dari Ibu Pelia di rumah dikarenakan sebagai orang tua ia tidak bertanggungjawab menafhkai keluarga dari anak terakhirnya. Bahkan dari kenangan cerita masyarakat mula-mula yang didengar oleh Ibu Pelia dari tetua dikampungnya, dahulu sebuah tempat menetap salah satu wilayah disekitar tempat penelitian yang saat ini menjadi sebuah perkampungan besar, ditempati oleh 5-6 rumah besar. Dimana 1 rumah besar terdiri dari satu sombori utama yang melahirkan anak-anak yang kemudian menghasilkan sombori-sombori baru di dalam rumah tersebut. Penjelasan ini didukung oleh Bapak Ito yang merupakan tetua adat Desa Tonusu. Menurutnya dahulu sebelum menjadi perkampungan wilayah Desa Tonusu dan Desa Leboni hanya memiliki 2 tempat pemukiman, dimana setiap pemukiman terdiri dari 2 – 3 rumah besar. Adapun alasan mereka berkumpul bersama dalam satu pemukiman untuk memudahkan mengkoordinir anggota kelompoknya.

4.2.2 Mo sintuwu Po sintuwu

Bagi komunitas Masyarakat Pamona mo sintuwu dan po sintuwu merupakan dua istilah yang sangat familiar. Mo sintuwu dimaknai sebagai aktifitas melakukan sintuwu sedangkan po sintuwu itu sendiri dimaknai sebagai nilai dari wujud apa yang dilakukan dalam aktifitas sintuwu. Menurut J. Kruyt 2 dalam Depdikbud 1978, Sintuwu dipahami 2 Dalam tulisan Henley 2005: 47 penulis m emperoleh informasi bahwa J.Kruyt juga dikenal dengan nam a Jan Kruyt merupakan anak dari Albert C Kruyt Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer sebagai suatu pola kehidupan bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan. Sintuwu selanjutnya diwujudkan dalam tindakan metulung atau saling memberi bantuan tenaga. Ungkapan metulung kemudian dapat dilihat melalui kebiasaan mesale. Di Kabupaten Poso sendiri istilah Sintuwu dijadikan sebagai sebuah jargon politis untuk menyatukan orang-orang pamona dengan istilah tuwu malinuwu, tuwu siwagi, Sintuwu maroso. Makna jargon ini intinya mengandung makna persatuan seperti yang tertuang dalam semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.

4.2.3 Po sintuwu

Berdasarkan penjelasan Bapak Bou Mulanya segala bentuk po sintuwu tidak tertulis seperti saat ini buku po sintuwu karena pada saat itu belum dikenal alat tulis sederhana seperti kertas dan tinta oleh kebanyakan Masyarakat Pamona. Akan tetapi sejak masuknya pengaruh Belanda melalui zendingnya pada ditahun 1945 beberapa kelompok masyarakat dari golongan Kabose sudah membuat pencatatan-pencatatan 3 yang saat ini dikenal dengan nama buku po sintuwu. Hal ini kemudian memperkuat penjelasan Bapak Buloko bahwa dalam tradisi po sintuwu berlaku suatu nilai yang sangat mempengaruhi atau membelenggu 4 kehidupan Masyarakat Pamona, khususnya mereka 3 Ibu penulis sendiri lahir di tahun 1957 m enjelaskan bahwa pada tahun 1962 sekolah dasar pada m asa itu masih m enerapkan sist im “ t ulis-hapus” pada sebuah batu. Zam an ini dikenal dengan ist ilah gerepu batu tulis. 4 Setiap nama dalam buku po sintuw u m erupakan jam inan sekaligus hutang yang harus dibayar dikem udian hari jika orang yang berada dalam cacatatan t ersebut m elakukan hajatan. Besaran nilai Po sint uw u yang diberikan Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer yang masih tinggal di pedesaan. Karena jika orang tersebut melanggar maka ia akan mendapatkan sangsi sosial baik secara fisik maupun mental. Lebih lanjut dikatakan oleh Bapak Bou bahwa besarnya pengaruh po sintuwu dalam kehidupan bermasyarakat dipengaruhi oleh status sosial seseorang, Sebagai contoh pada orang yang status sosialnya tinggi akan banyak orang yang berpo sintuwu dan sebaliknya, Alasan ini secara rasional menurut penulis dimungkinkan terjadi karena orang dengan status sosial tinggi cenderung selalu terlibat dalam aktifitas mo sintuwu baik atas dorongan personal maupun atas dasar ajakan dari relasinya. Adapun gambaran nominal po sintuwu secara materi dideskripsikan Ibu Mora sebagai berikut; Umumnya po sintuwu diberikan dalam bentuk beras berkisar 3 sampai 5 Kg, Uang Rp 20.000 dan seringkali dengan menyumbangkan tenaga fisik. Selanjutnya pada keluarga dekat yang masih memiliki ikatan sombori biasanya memberikan nominal po sintuwu yang lebih besar berubah uang berkisar diatara Rp100.000 sampai Rp 250.000, dalam kondisi tertentu terkadang beberapa anggota keluarga memberikan 1 karung beras sedangkan untuk lauk jamuan makan bersama seperti babi atau sapi biasanya anggota keluarga melakukan patungan uang untuk pengadaannya. Pada penjelasan lain po sintuwu sebagai bentuk bantuan tenaga tergambarkan melalui penuturan Papa Bou sebagai berikut. Saat pernikahannya 28 juli 1979 diceritakan bahwa sebagian besar rumah pemukiman yang saat ini bernama Desa Tonusu terbuat dari kayu dan umumnya berbentuk panggung. Pada masa tersebut segala bentuk disesuaikan dengan perkembangan jaman. Jadi Rp 100 pada t ahun 60an mungkin akan sama dengan Rp 1jt dit ahun 2000an. Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer alas baik untuk tidur, untuk duduk hanya menggunakan ali atau sejenis tikar yang dianyam dari sejenis daun pandan tertentu yang mudah ditemui disekitar lokasi pemukiman. Bahkan untuk penyajian jamuan seperti kue dan nasi untuk tamu undangan, tuan pesta tidak terlalu direpotkan karena setiap keluarga di desa tersebut menyiapkan kue dan beberapa diataranya menyiapkan nasi yang kemudian dikumpulkan ke tuan pesta yang selanjutnya dibagikan kembali ke tamu undangan yang sebagaian besar adalah warga desa itu sendiri. Meskipun tradisi seperti ini sudah jarang ditemui di dalam masyarakat akan tetapi pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti seperti perayaan natal kelompok atau perpisahan tahun tradisi ini masih dilakukan. Papa Bou juga mengambarkan bahwa pada masa itu akses jalan darat sudah menghubungkan Desa Tonusu dengan desa desa lain akan tetapi ketiadaan transportasi darat dan dukungan jalan yang memadai membuat masyarakat memilih jalur transportasi air dengan menggunakan sejenis perahu dayung yang disebut duanga, sedangkan untuk transportasi moderennya menggunakan perahu bermesin yang dikenal dengan istilah katinting. Gambar 4 : Foto perahu bermotor atau katinting Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer Selain itu pada masa “terisolasi” oleh alam pengaruh kebudayaan luar juga mempengaruhi tradisi pernikahan itu sendiri. Salah satu contohnya adalah penambahan syarat untuk pernikahan yang tidak masuk dalam tradisi perkawinan asli Suku Pamona sampapitu 5 seperti pengadaan langka atau dipan dan lemari pakaian. Dalam kasus pernikahan Papa Bou pengadaan syarat tambahan ditanggung secara kolektif dari beberapa keluarganya sombori dari beberapa tempat desa. Meskipun tradisi po sintuwu sangat kuat akan tetapi bukan berarti tidak ada yang berani melanggarnya. Pada wujud tindakan jenis pelanggaran po sintuwu yang umumnya dikenal yaitu to polinoro. Akan tetapi menurut Papa Bou sebenarnya definisi orang yang malas berpo sintuwu dan molinoro itu berbeda akan tetapi sikap atau perilaku keduanya sama-sama tidak disukai oleh masyarakat. Pada konteks orang yang malas berpo sintuwu dicontohkan sebagai berikut; ketika seseorang individu diajak 6 untuk membantu pekerjaan disebuah pesta kemudian individu tersebut mengiyakan, namun pada saat bekerja ia tidak datang membantu bahkan pada kasus tertentu si individu bersikap acuh tak acuh dengan ajakan individu lain maupun kelompok komunitas. Pada konteks molinoro pelanggaran secara spesifik terjadi ditempat individu yang sedang membuat sebuah pesta. Seseorang yang disebut to polinoro akan datang membantu mengolah hewan untuk dikonsumsi pada saat pesta baik dalam kegiatan memasak, memotong daging dan sebagainya, namun dalam aktifitasnya mereka yang disebut to polinoro akan 5 7 jenis peralatan seperti piring, sarung, alat pertanian,dan t ikar yang digunakan untuk keperluan sehari-hari untuk bekerja diladang dan untuk keperluan memasak di dapur 6 Dalam bahasa pamona kata diajak bisa m engacu pada ist ilah mesale ataupun mew alo Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer menyisihkan sebagian dari hasil olahan bahan makanan tersebut menjadi milik mereka. Perilaku ini biasanya tersamarkan namun ada pula yang melakukannya secara terang- terangan, adapun alasan dari mereka yang disebut to polinoro yakni untuk mengganti upah lelah bekerja. Perilaku ini kadangkala menyebabkan tuan pesta sering kewalahan menjamu tamu yang tidak kebagian lauk pada saat jamuan makan. Dalam wawancara yang lain Ibu Pelia juga mendeskripsikan definisi orang yang malas berpo sintuwu dijelaskan dalam sebuah kalimat petikan wawancara demikian “ ku kita mo i anu podo mancoko koro….” Kalimat ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut “sudah kulihat orang yang hanya berpangku tangan… dari petikan wawancara ini dapat juga dipahami bahwa orang yang malas berpo sintuwu adalah orang yang datang kesuatu acara hanya menjadi penonton saja. Dari beberapa penjelasan diatas, penulis kemudian menyimpulkan yang dimaksud dengan penyimpangan dalam tradisi po sintuwu adalah gambaran karakter individu dalam sebuah kelompok komunitas yang egois, kurang berempati, atau pada kasus lain dapat menjadi seorang yang antisosial. Pada kasus lain pelanggaran po sintuwu lebih dikarenakan pengaruh budaya perkotaan yang cenderung individualis serta desakan kebutuhan ekonomi yang memaksa seorang untuk mendahulukan memenuhi kebutuhan pribadi dan mengesampingkan kepentingan kolektif sosial.

4.2.4 Mesale dan mewalo

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pertanggungjawaban Koperasi Simpan Pinjam Berbadan Hukum T2 322010008 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Database Sistem Simpan Pinjam pada Unit Simpan Pinjam Kud Mekar Ungaran

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan Database Sistem Simpan Pinjam pada Unit Simpan Pinjam Kud Mekar Ungaran

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB V

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB VI

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu

0 1 29

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Transmigrasi Lokal Pemerintah Provinsi Papua T2 BAB IV

0 1 4