48
Konflik ini juga menunjukkan adanya pertentangan kepentingan. Konflik penanganan Pantai Kuta juga menggambarkan adanya perbedaan kepentingan.
Mitchell, 2003 menyatakan bahwa sumber timbulnya perbedaan kepentingan menyangkut alokasi untung-rugi. Penanganan Pantai Kuta menggunakan groin
dikuatirkan masyarakat akan berdampak pada hilangnya potensi ombak di pantai. Sedangkan ombak pantai merupakan asset pariwisata Kuta yang selama ini
menguntungkan masyarakat, khususnya untuk kegiatan surfing. Sementara berdasarkan kajian teknis perencanaan, pemerintah memandang bahwa
penggunaan groin akan lebih efektif mengatasi abrasi dan lebih efesien dalam biaya operasional maupun pemeliharaannya.
4.7.2. Para Pihak Dispute Parties
Pada awalnya konflik ini hanya menyangkut pertentangan penanganan pantai antara pihak masyarakat Kuta dengan pihak pemerintah, yaitu Dinas
Pekerjaan Umum DPU Bali melalui Proyek Pengamanan Pantai Kuta. Pada perkembangannya pihak masyarakat memandang bahwa permasalahan
penanganan abrasi di Pantai Kuta juga berkaitan dengan tindakan pihak hotel dan pembangunan runway oleh Bandara Ngurah Rai. Pihak hotel-hotel dianggap
bertindak sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi dengan desa adat masyarakat. Masyarakat juga beranggapan bahwa abrasi merupakan dampak pembangunan
perpanjangan landasan pacurunway Bandara Ngurah Rai yang menjorok ke tengah laut. Masyarakat meminta pihak bandara juga harus ikut bertanggung
jawab. Parum Samigita yang merupakan wadah komunikasi masyarakat di
wilayah Seminyak, Legian dan Kuta yang merupakan bagian dari pendukung Sistem Informasi Manajemen Kawasan Perkotaan Kuta Simkotaku. Konflik ini
berkembang dengan terlibatnya Parum Samigita serta masyarakat Legian dan Seminyak. Keterlibatan Desa Adat Legian dan Seminyak disamping karena
adanya ikatan historis wilayah juga adanya kekuatiran dampak penanganan terhadap wilayah pantai di Legian dan Seminyak. Konflik ini pada akhirnya juga
melibatkan Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
49
menyangkut beban biaya operasional dan pemeliharaan penanganan pantai setelah selesai konstruksi.
Para pihak yang berkonflik menurut Hadi 2004 dapat dikelompokkan sebagai primary parties dan secondary parties. Konflik yang terjadi di Pantai
Kuta yang dapat disebut sebagai primary parties pihak utama adalah pihak pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Pekerjaan Umum Bali PU Bali melalui
Proyek Pengamanan Daerah Pantai Selatan Bali dan pihak masyarakat yang meliputi Desa Adat Kuta dan Parum Samigita serta pihak hotel-hotel di wilayah
Kuta. Sedangkan masyarakat Desa Adat Legian dan Seminyak serta Instansi di lingkungan Pemerintah Propinsi Bali dan Kabupaten Badung dapat dipandang
sebagai secondary parties pihak lain. Konflik ini diselesaikan melalui pertemuan para pihak yang terkait
penanganan Pantai Kuta. Sebelum para pihak dengan suka rela melakukan pertemuan, diperlukan pendekatan khususnya kepada pihak masyarakat Kuta.
Pendekatan pihak masyarakat meliputi bendesa dan klian banjar adat, kelompok nelayan, pengelola pantai, serta masyarakat yang ada di pantai. Selain itu juga
dilakukan pendekatan dengan pengelola hotel-hotel di wilayah Pantai Kuta diantaranya adalah Hotel Patra Jasa, Kartika Plaza, Hotel Bali Inn, Inna Beach
Hotel, Hotel Rama, Hotel Ramada, serta Café Pantai. Pendekatan dengan tokoh- tokoh masyarakat Kuta awalnya tidak mudah dikarenakan masyarakat sudah
apriori terhadap pemerintah PU. “Pada awalnya susah karena awalnya membahas pantai aja masyarakat
menolak……Dari PU sudah pengalaman mentok, masyarakat sudah gak mau dengar, kita sendiri awalnya masuk sulit karena apriori sama PU.”
Sumber Pratista
4.7.3. Dinamika Penyelesaian Proses