EROSION EVALUATION OF INTEGRATED FIELD LABORATORY FACULTY OF AGRICULTURE UNIVERSITY OF LAMPUNG IN LAND UNITS APPROACH
ABSTRACT
EROSION EVALUATION OF INTEGRATED FIELD LABORATORY FACULTY OF AGRICULTURE UNIVERSITY OF LAMPUNG
IN LAND UNITS APPROACH By
ISKANDAR ZULKARNAIN
FP Unila unified field laboratory is required to support Unila Vision, Mission and Vision of the Faculty of Agriculture Unila. Aside from being a supporter of the PBM (the learning process) and research, can also be used as a showcase (show window). This study aims to evaluate the erosion of the unified field laboratory FP Unila and studying alternative approach to land management with land units.
The method used is a survey method that consists of the preparation phase, a preliminary survey, primary survey, soil analysis in the laboratory, and data analysis. Evaluation of erosion using the Universal Soil Loss Equation (USLE). The experiment was conducted from April 2012 until May 2012 located at Integrated Field Laboratory the Faculty of Agriculture Unila.
The results showed that the erosion of the land unit 2 is still well below the tolerable erosion. Erosion on the land units 3 slope 8-15% by using a mixture of garden soil and pasture that is 100.29 t / ha / yr. Erosion on land units 4 and 5 respectively of 831.74 t / ha / yr and 381.81 t / ha / yr. Erosion on land units 3,4, and 5 have exceeded the value of erosion that can still be tolerated and require agrotechnology.
Agrotechnology for land units 3 is P0 (patio bench without plants) or a combination of bench terraces and swidden (P1C6). Land units 4 with the perfect combination of bench terraces and not in the specified moor (P1C2), or patio bench is perfect and good pasture (P1C1). 5 land units with a combination of bench terraces and a high density of annual plants (P1C3) or with an annual plant density is (P1C4).
Agrotechnologi applied in addition to suppress erosion, will also suppress the loss of C-organic, macro nutrients (N, P and K), and enhance the aesthetic value of integrated FP Unila field laboratory. Loss of organic C can be reduced to 80.51%, 96.80% and 95.99% respectively in land units 3, 4, and 5 with the agrotechnology. Losses due to loss of elements N, P and K can be reduced to 91.50%, 99.24% and 97.00% on each land unit 3, 4, and 5.
(2)
ABSTRAK
EVALUASI EROSI LABORATORIUM LAPANG TERPADU FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
MELALUI PENDEKATAN SATUAN LAHAN
Oleh
ISKANDAR ZULKARNAIN
Laboratorium lapang terpadu FP Unila sangat diperlukan untuk mendukung Visi Unila maupun Visi dan Misi Fakultas Pertanian Unila. Selain sebagai pendukung PBM (proses belajar mengajar) dan penelitian, juga dapat dijadikan sebagai etalase (show window). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi erosi pada laboratorium lapang terpadu FP Unila serta mempelajari alternatif pengelolaan lahan dengan pendekatan satuan lahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yang terdiri dari tahap persiapan, survey pendahuluan, survey utama, analisis tanah di laboratorium, dan analisis data. Evaluasi erosi menggunakan metodeUniversal Soil Loss Equation (USLE).Penelitian dilaksanakan mulai April 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Unila.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi pada satuan lahan 2 masih berada di bawah nilai erosi yang masih dapat ditoleransi. Erosi pada satuan lahan 3 dengan lereng 8 –15 % dengan penggunaan lahan kebun campuran dan padang rumput yaitu 100,29 t/ha/th. Erosi pada satuan lahan 4 dan 5 masing-masing sebesar 831,74 t/ha/th dan 381,81 t/ha/th. Erosi pada satuan lahan 3,4, dan 5 telah melampaui nilai erosi yang masih bisa ditoleransi dan memerlukan agroteknologi.
Agroteknologi untuk satuan lahan 3 adalah P0 (teras bangku tanpa tanaman) atau kombinasi teras bangku dan perladangan (P1C6). Satuan lahan 4 dengan kombinasi teras bangku sempurna dan tegalan tidak di dispesifikasi (P1C2), atau teras bangku sempurna dan padang rumput bagus (P1C1). Satuan lahan 5 dengan kombinasi teras bangku dan tanaman tahunan kerapatan tinggi (P1C3) atau dengan tanaman tahunan kerapatan sedang (P1C4).
Agroteknologi yang diterapkan selain dapat menekan erosi, juga akan menekan kehilangan C-organik, unsur hara makro (N, P dan K), dan meningkatkan nilai estetika laboratorium lapang terpadu FP Unila. Kehilangan C-organik dapat ditekan hingga 80,51%, 96,80%, dan 95,99% berturut-turut pada satuan lahan 3, 4, dan 5 dengan agroteknologi tersebut. Kerugian akibat kehilangan unsur N, P dan K dapat ditekan hingga 91,50%, 99,24%, dan 97,00% pada masing-masing satuan lahan 3, 4, dan 5.
(3)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Laboratorium lapang terpadu FP Unila sangat diperlukan untuk mendukung Visi Unila maupun Visi dan Misi Fakultas Pertanian Unila. Menurut Banuwa, Syam dan Wiharso (2011), laboratorium lapang terpadu FP Unila tersebut selain sebagai pendukung PBM (proses belajar mengajar) dan penelitian, juga dapat dijadikan sebagai etalase (show window). Keberadaan laboratorium lapang terpadu FP Unila ini diharapkan dapat membangun image baru pada bidang pertanian, khususnya bagi generasi muda, bahwa bidang pertanian tidak kalah dengan bidang yang lain, dapat menjadi profesi yang menarik, prospektif, dan terhormat.
Dari hasil penelitian sebelumnya, laboratorium lapang terpadu FP Unila mempunyai kelas lereng yang sangat beragam. Secara umum, didominasi oleh lereng agak miring/bergelombang dengan lereng (8 – 15 %) dengan luas lebih dari 50% laboratorium lapang terpadu FP Unila (Banuwa, dkk., 2011).
Laboratorium lapang terpadu FP Unila, dengan luas lebih kurang 6,784 Ha terletak di komplek kampus Universitas Lampung. Laboratorium ini, sesuai dengan peruntukannya, digunakan untuk melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan ilmu pertanian. Kondisi lereng dominan landai sampai bergelombang, serta
(4)
curah hujan yang tinggi, maka potensi erosi diperkirakan juga cukup besar sehingga dikhawatirkan akan terjadi penurunan kesuburan tanah serta berkurangnya lapisan atas tanah (top soil), apabila tidak dikelola dengan baik.
Di Indonesia, masalah erosi merupakan masalah nasional karena dampak dari kejadian erosi dapat menimbulkan bermacam-macam kerugian, misalnya di sektor pertanian dapat menurunkan produktivitas lahan sementara di bidang kesehatan adalah terjadinya banjir khususnya di perumahan penduduk yang dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit (Nurpilihan, Amaru, dan Suryadi, 2011). Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab terjadinya erosi ada dua yaitu air dan angin; Indonesia sebagai negara tropis sangat jarang atau dapat dikatakan tidak pernah terjadi erosi yang disebabkan oleh angin. Erosi yang terjadi di Indonesia adalah disebabkan hanya oleh air. Keadaan ini juga lebih disebabkan karena di Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada saat musim hujan air dapat disimpan (konservasi) di dalam tanah dan dipegang oleh agregat-agregat tanah (water holding capacity) sehingga tanah sukar terlepas dari agregatnya.
Masalah erosi tersebut akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan, yang akan berpengaruh pada kelestarian laboratorium lapang terpadu FP Unila, sehingga diperlukan upaya konservasi tanah dan air sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah
(5)
seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau (Arsyad, 2010).
Dalam rangka untuk melestarikan fungsi laboratorium lapang terpadu FP Unila tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi erosi dan upaya penanggulangannya, sehingga kelestarian laboratorium dapat dijaga.
B. Tujuan Penelitian
1. Mempelajari karakteristik lahan laboratorium lapang terpadu FP Unila 2. Mengetahui penutupan lahan pada laboratorium lapang terpadu FP Unila 3. Mengevaluasi erosi pada laboratorium lapang terpadu FP Unila
4. Mempelajari alternatif pengelolaan lahan dengan pendekatan satuan lahan di laboratorium lapang terpadu FP Unila untuk menjaga kelestariannya.
C. Kegunaan Penelitian
1. Sebagai sumber informasi bagi para mahasiswa dan peneliti yang akan melakukan praktik dan penelitian di laboratorium lapang terpadu FP Unila. 2. Sebagai sumber informasi bagi para peneliti, pemerhati masalah lingkungan,
serta pihak terkait lainnya yang membutuhkan, khususnya tentang erosi. 3. Sebagai sumber informasi bagi pengelola laboratorium lapang terpadu FP
Unila sehingga pemanfaatan lahan di laboratorium lapang terpadu FP Unila tetap lestari.
(6)
D. Keluaran
1. Besarnya prediksi erosi, pada setiap satuan lahan,
2. Model pengelolaan laboratorium lapang terpadu FP Unila yang tepat, sehingga kelestariannya terjamin.
3. Alternatif agroteknologi di laboratorium lapang terpadu FP Unila agar lestari.
E. Hipotesis
1. Kondisi laboratorium lapang terpadu FP Unila yang memiliki lebih dari 8 % sangat rawan terhadap bahaya erosi.
2. Erosi yang terjadi pada lahan yang landai hingga bergelombang di laboratorium lapang terpadu FP Unila diprediksi telah melampau nilai erosi yang masih dapat ditoleransi (Etol).
(7)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian bagian tanah terkikis dan terangkut, kemudian diendapkan di tempat lain (Arsyad, 2010). Pengikisan, pengangkutan dan pemindahan tanah tersebut dilakukan oleh media alami yaitu air dan angin.
Proses erosi terjadi melalui penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan (Meyer et al. 1991; Utomo 1987; dan Foth (1978, dalam Banuwa, 2008). Di alam terdapat dua penyebab utama yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Pada daerah iklim tropik basah seperti Indonesia, air merupakan penyebab utama terjadinya erosi, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh berarti (Arsyad 2010). Beasley (1972, dalam Banuwa, 2008) dan Hudson (1976, dalam Banuwa, 2008) berpendapat, bahwa erosi adalah proses kerja fisik yang keseluruhan prosesnya menggunakan energi. Energi ini digunakan untuk menghancurkan agregat tanah (detachment), memercikkan partikel tanah (splash), menyebabkan gejolak (turbulence) pada limpasan permukaan, serta menghanyutkan partikel tanah.
Erosi tanah (soil erosion) terjadi melalui dua proses yakni proses penghancuran partikel-partikel tanah (detachment) dan proses pengangkutan
(8)
(transport) partikel-partikel tanah yang sudah dihancurkan. Kedua proses ini terjadi akibat hujan (rain) dan aliran permukaan (run off) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain curah hujan (intensitas, diameter, lama dan jumlah hujan), karakteristik tanah (sifat fisik), penutupan lahan (land cover), kemiringan lereng, panjang lereng dan sebagainya (Wischmeier dan Smith 1978, dalam Banuwa, 2008). Faktor-faktor tersebut satu sama lain bekerja secara simultan dalam mempengaruhi erosi (Banuwa, 2008).
Mekanisme terjadinya erosi menurut Schwab (1999, dalam Nurpilihan, 2011) diidentifikasikan menjadi tiga tahap yaitu (i) detachment (penghancuran tanah dari agregat tanah menjadi partikel-partikel tanah); (ii) transportation (pengangkutan partikel tanah oleh limpasan hujan atau run off dan (iii) sedimentation (sedimen/pengendapan tanah tererosi); tanah tererosi akan terendapkan pada cekungan-cekungan atau pada daerah-daerah bagian bawah.
Selanjutnya, Banuwa (2008), menyatakan bahwa kehilangan tanah hanya akan terjadi jika kedua proses tersebut di atas berjalan. Tanpa proses penghancuran partikel-partikel tanah, maka erosi tidak akan terjadi, tanpa proses pengangkutan, maka erosi akan sangat terbatas. Kedua proses tersebut di atas dibedakan menjadi empat sub proses yakni: (1) penghancuran oleh curah hujan; (2) pengangkutan oleh curah hujan; (3) penghancuran (scour) oleh aliran permukaan; dan (4) pengangkutan oleh aliran permukaan. Jika butir hujan mencapai permukaan tanah, maka partikel-partikel tanah dengan berbagai ukuran akan terpercik (splashed) ke segala arah, menyebabkan terjadinya penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah. Jika aliran permukaan tidak terjadi (seluruh curah hujan terinfiltrasi), maka seluruh
(9)
partikel-partikel yang terpercik akibat curah hujan akan terdeposisi di permukaan tanah. Selanjutnya jika aliran permukaan terjadi, maka partikel-partikel yang terdeposisi tersebut akan diangkut ke lereng bagian bawah.
Hujan dengan drop size(ukuran butir-butir hujan) dengan kinetic energydan massanya akan memukul agregat tanah sehingga hancur menjadi partikel-partikel tanah; dan dengan mudah akan dibawa oleh limpasan hujan ke tempat-tempat yang lebih rendah (sedimentation). Besar dan kecepatan limpasan hujan sangat tergantung dari kemiringan tanah dan kapasitas infiltrasi (Nurpilihan, dkk., 2011).
Manik (2003) menyatakan bahwa erosi merupakan proses penghancuran, pengikisan dan pengangkutan butir-butir tanah atau bagian-bagian tanah dari stau tempat ke tempat lain oleh air atau angin. Kehilangan tanah ditempat erosi terjadi adalah sebanyak tanah yang terangkut dari tempat itu. Di daerah yang beriklim basah seperti di Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air yang merupakan hasil kerja dispersi butir-butir hujan dengan aliran permukaan. Laju erosi (E) dipengaruhi oleh factor-faktor: iklim(i); lereng atau topografi (r); jenis dan tipe vegetasi (v); tanah (t); serta manusia (m), yang dirumuskan sebegai berikut: E = f (i,r,v,t,m).
Selanjutnya Manik (2003) menyatakan bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi tersebut, faktor yang dapat diubah manusia adalah jenis dan tipe vegetasi (tumbuhan), sebagian dari sifat tanah (kesuburan tanah, ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi), serta panjang lereng. Faktor yang tidak dapat atau sulit diubah manusia adalah iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng. Erosi tanah memberikan dampak di dua tempat, yaitu di tempat terjadinya erosi (internal) dan di luar terjadinya erosi (external). Dampak internal berupa penurunan kesuburan dan
(10)
produktivitas lahan, sedangkan dampak eksternal adalah terjadinya pencemaran perairan dan sedimentasi, yang menyebabkan pendangkalan sungai, waduk, danau atau pantai.
Erosi internal adalah terangkutnya butir-butir tanah primer ke bawah dan masuk ke dalam celah celah atau pori-pori tanah sehingga tanah menjadi kedap air dan udara. Erosi ini tidak menyebabkan kerusakan yang berarti, karena bagian bagian tanah tidak hilang atau pindah ke tempat lain. Akibat erosi ini adalah menurunnya kapasitas infiltrasi tanah secara cepat sehingga meningkatkan aliran permukaan yang akan menyebabkan terjadinya erosi lembar atau erosi alur (Susanto, 1992).
Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2010). Konservasi tanah bukan berarti penundaan atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah berfungsi secara lestari. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, sehingga usaha untuk mengkonservasi taah juga merupakan konservasi air (Priyono dan Cahyono, 2004).
B. Prediksi Erosi
Prediksi erosi adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah dengan penggunaan dan pengelolaan lahan tertentu. Dengan diketahuinya perkiraan dan ditetapkan laju erosi yang masih dapat ditoleransi, maka
(11)
dapat ditentukan kebijaksanaan penggunaan lahan dan tindakan konservasi yang diperlukan untuk areal tersebut. Tindakan konservasi tanah dan penggunaan lahan yang diterapkan harus dapat menekan laju erosi agar “sama atau lebih kecil” daripada laju erosi yang masih dapat ditoleransikan.
Laju erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Susanto, 1992). Selanjutnya Susanto (1992) menyebutkan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan nilai erosi yang masih dapat ditoleransikan adalah: kedalaman tanah, ciri ciri fisik dan sifat sifat tanah lainnya yang mempengaruhi perkembangan perakaran, pencegahan erosi parit, penyusutan kandungan bahan orgnaik, kehilangan unsur hara dan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sedimen di lapangan.
Metode perkiraan erosi dapat juga digunakan sebagai alat penilai apakah suatu tindakan konservasi tanah telah berhasil mengurangi erosi dari suatu daerah aliran sungai (DAS). Salah satu metode perkiraan erosi adalah yang dikenal dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978).
USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah keadaan tertentu. Ia juga bermanfaat untuk tanah tempat bangunan dan penggunaan non pertanian, tetapi tidak
(12)
dapat meprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai (Arsyad, 2010).
Selanjutnya Arsyad (2010) menyatakan bahwa USLE memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu bidang tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam penanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau sedang digunakan. Persamaan yang digunakan mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju erosi ke dalam enam peubah utama yang nilainya setiap tempat dapat dinyatakan secara numerik.
Erosi pada setiap satuan lahan dihitung dengan menggunakan modelUniversal of Soil Loss Equation (USLE) (Wischmeier dan Smith (1978). Data ini digunakan untuk menentukan agroteknologi (tindakan) konservasi dan merencanakan pemanfaatan laboratorium lapang terpadu FP Unila secara lestari. Adapun rumus USLE yang digunakan untuk prediksi erosi adalah (Wischmeier dan Smith (1978):
A = R.K.L.S.C.P Keterangan :
A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/th) R = faktor indeks (erosivitas) hujan
K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng
C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
Penetapan nilai faktor-faktor dalam model USLE dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus atau hasil penelitian yang sudah ada:
(13)
Faktor Erosivitas hujan (R)
Erosivitas hujan adalah jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30), tahunan (Arsyad, 2010). Menurut Bols (1978, dalam Arsyad 2010), faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai-nilai indeks erosi hujan bulanan dan dihitung berdasarkan persamaan :
R =
12 1 ) 30 ( i i EI
Untuk menduga nilai EI30, Bols (1978, dalam Arsyad 2010) menggunakan persamaan sebagai berikut :
EI30 = 6,119 (Rain)1,21(Days)-0,47(Maxp)0,53 Keterangan :
EI30 = indeks erosi hujan bulanan
Rain = curah hujan rata-rata bulanan (cm) Days = jumlah hari hujan rata-rata per bulan
Maxp = curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan (cm) EI30 tahunan adalah jumlah EI30 bulanan
Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas tanah (kepekaan erosi tanah), yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah, yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22,1 m terletak pada lereng 9 %, tanpa tanaman (K = A/R) (Arsyad, 2010). Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Nilai erodibilitas tanah dihitung dengan menggunakan rumus Wischmeier dan Smith (1978) :
(14)
100K = {1,292 (2,1 M1,14(10-4)(12–a) + 3,25 (b–2) + 2,5 (c–3)} Keterangan :
K = erodibilitas tanah
M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + % debu)(100 - % liat) a = % bahan organik
b = kode struktur tanah (Tabel Lampiran 1)
c = kode permeabilitas profil tanah (Tabel Lampiran 2) Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Faktor panjang lereng yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22,1 m di bawah keadaan yang identik. Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan kemiringan 9 % di bawah keadaan yang identik (Arsyad, 2010). Faktor panjang dan kemiringan dihitung menurut rumus (Wischmeier dan Smith 1978) untk kemiringan kurang dari 12 persen:
LS = (X/22)0.50(0,0138 + 0,00965 S + 0,00138 S2)
Untuk lahan dengan kemiringan di atas 12 persen menggunakan rumus menurut Eppink (1985) sebagai berikut:
LS = (X/22)0.50(S/9)1,35
(15)
Faktor Tanaman dan Pengelolaannya (C)
Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman (Arsyad, 2010). Penentuan faktor C didasarkan atas berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel Lampiran 3).
Faktor Tindakan Konservasi (P)
Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengelolaan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakukan tindakan konservasi khusus, seperti pengelolaan menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, teras, terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik (Arsyad, 2010). Faktor tindakan konservasi juga ditentukan berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel Lampiran 4).
C. Erosi yang dapat ditoleransikan
Tujuan penetapan batas laju erosi yang dapat dibiarkan adalah agar dapat menurunkan laju erosi yang terjadi pada suatu lahan baik pertanian maupun non pertanian terutama pada lahan-lahan yang mempunyai kemiringan yang berlereng. Secara teori dapat dikatakan bahwa laju erosi harus seimbang dengan laju pembentukan tanah, namun dalam prakteknya sangat sulit untuk mencapai keadaan yang seimbang tersebut (Nurpilihan, dkk., 2011).
(16)
Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan adalah perlu, oleh karena tidaklah mungkin menekan laju erosi menjadi nol dari tanah yang diusahakan untuk pertanian terutama pada tanah-tanah yang berlereng. Akan tetapi suatu kedalaman tanah-tanah tertentu harus dipelihara agar didapat suatu volume tanah yang cukup, baik bagi tempat berjangkarnya akar tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Arsyad, 2010).
Beberapa cara untuk menetapkan nilai erosi yang dapat ditoleransi (Etol) telah dikemukakan. Thompson (1957, dalam Arsyad, 2010) menyarankan sebagai pedoman penetapan nilai Etoldengan menggunakan kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi substratum.
Selanjutnya, Arsyad (2010) menyatakan bahwa di Indonesia pada daerah-daerah yang masa tumbuhnya lebih dari 270 hari kecepatan pembentukan tanah dapat mencapai lebih dari 2 mm per tahun.
Hammer (1981, dalam Arsyad, 2010), menggunakan konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna (resources life) tanah untuk menetapkan nilai Etol suatu tanah. Kedalaman ekivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang dengan 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi. Menurunnya produktivitas tanah oleh erosi disebabkan oleh menurunnya kandungan unsur hara tanah dan atau memburuknya sifat-sifat fisik tanah.
Nilai Etol juga dapat dihitung dengan kriteria yang digunakan oleh Thompson (1957, dalam Arsyad, 2010), dengan menentukan Etol maksimum untuk tanah yang dalam, dengan lapisan bawah yang permeable, di atas bahan (substratum) yang telah
(17)
melapuk (tidak terkonsolidasi) sebesar 2,5 mm/th, dan dengan menggunakan nisbah nilai untuk berbagai sifat dan stratum tanah, maka nilaiEtol seperti tertera pada Tabel 1. disarankan untuk menjadi pedoman penetapan nilai Etoltanah-tanah di Indonesia.
Tabel 1. Pedoman Penetapan NilaiEtoluntuk tanah-tanah di Indonesia.
Sifat Tanah dan Substratum NilaiEtol
(mm/th)
Tanah sangat dangkal di atas batuan 0,0
Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak
terkonsolidasi) 0,4
Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0,8
Tanah dengan kedalam sedang di atas bahan telah melapuk 1,2 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas
substrata yang telah melapuk 1,4
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di
atas substrata telah melapuk 1,6
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermeabilitas sedang,
di atas substrata telah melapuk 2,0
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel sedang, di
atas substrata telah melapuk 2,5
Catatan: mm x Berat isi x 10 ton/ha/th
Berat isi tanah berkisar antara 0,8 sampai 1,6 g/cm3 akan tetapi pada umumnya tanah-tanah berkadar liat tinggi mempunyai berat isi antara 1,0 sampai 1,2 g/cm3
Sumber : Thompson (1957, dalam Arsyad, 2010)
Dalam penelitian ini, erosi yang dapat ditoleransi (Etol) dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983, dalam Banuwa, 2008) yang memperhitungkan kedalaman minimum tanah, laju pembentukan tanah, kedalaman ekuivalen (equivalent depth), dan umur guna tanah (resources life). Adapun persamaannya adalah sebagai berikut :
Etol= LPT
UGT D De
min
(18)
Keterangan :
De = kedalaman ekuivalen
= kedalaman efektif tanah (mm) x faktor kedalaman tanah Dmin = kedalaman tanah minimum (mm)
UGT = umur guna tanah (th)
LPT = laju pembentukan tanah (mm/th) Analisis Agroteknologi
Pemilihan agroteknologi untuk setiap satuan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan erosi yang diprediksi dengan menggunakan model USLE (Wischmeier dan Smith (1978).
Pemilihan agroteknologi ditetapkan berdasarkan kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum yang dijadikan alternatif agroteknologi adalah nilai CP yang mengakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi. Kriteria tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
A≤Etolatau RKLSCP≤Etol CP≤
RKLS Etol
atau CP≤ CPmax
D. Metode Konservasi Tanah dan Air
Metode konservasi tanah dan air dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu (1) metode konservasi secara fisik/mekanis, (2) metode konservasi secara biologis, dan (3) metode konservasi secara kimia.
(19)
1. Metode Konservasi Secara Fisik/Mekanis
Pada dasarnya konservasi secara fisik bertujuan untuk menghambat laju aliran air, mengurangi daya rusak butir-butir hujan, serta menampung sejumlah volume air pada saat tertentu.
Untuk menghambat laju aliran air, dapat dilakukan dengan membangun penghambat seperti bendung, teras, serta membuat saluran air yang memotong arah lereng (sejajar dengan garis kontur). Pada saluran air juga biasanya dibuat terjunan, yang berfungsi untuk memecah energi aliran air. Untuk mengurangi daya rusak (tumbuk) air hujan, misalnya dengan menutup permukaan tanah dengan bahan-bahan tertentu seperti aspal, semen, plastik, serasah dan bahan lainnya.
Secara umum metode konservasi secara fisik digambarkan adalah dengan membuat bangunan fisik, baik yang menggunakan bahan bahan alami maupun buatan (batu, kayu, bambu, pasir, beton, plastik, serasah, dan lain lain). Tujuan menggunakan metode ini antara lain untuk menghambat laju kecepatan air, menampung kelebihan air pada saat hujan (misalnya waduk, embung), kemudian mendistribusikannya kembali pada saat dibutuhkan. Penampungan air hujan biasanya berbentuk embung, parit, waduk, petakan sawah, biopori, atau bentuk penampungan lain, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah.
(20)
Metode konservasi tanah secara biologis bertujuan untuk mengurangi daya rusak butir hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, serta memperbaiki struktur dan ruang pori tanah.
Ada beberapa metode yang sering digunakan antara lain: menanam tanaman penutup tanah, umumnya menggunakan jenis leguminosa (Peuraria javanica dan Calopogonium pubescens) terutama pada perkebunan kelapa sawit, karet, dan kelapa.
Khususnya pada lahan yang berlereng curam atau tepian sungai, biasaya dilakukan dengan penanaman bambo (Bambusa bamboo), Pisang (Musa paradisiaca), serta tanaman keras lainnya seperti Durian, Tangkil, Petai, Nangka, Damar, Mangga, Manggis, Duku, Rambutan, Mahoni, dan lain lain.
Penanaman tanaman perdu seperti Kopi, Cokelat dan Tebu akan lebih bermanfaat bagi konservasi tanah apabila ditanami juga dengan tanaman pelindung seperti Dadap, Kapuk Randu, dan lain lain.
3. Metode Konservasi Secara Kimiawi
Metode konservasi secara kimiawi bertujuan untuk membentuk tanah agar lebih kompak, sehingga tidak mudah hancur karena pukuan air hujan. Bahan yang digunakan biasanya disebut soil conditioner. Penggunaan metode ini sangat jarang, karena memerlukan biaya yang mahal serta residu yang ditimbulkan belum tentu ramah lingkungan.
(21)
Karbon merupakan penyusun bahan organik. Oleh karena itu peredarannya selama pelapukan jaringan tanaman sangat penting. Sebagian besar energi yang diperlukan oleh flora dan fauna tanah berasal dari oksidasi karbon. Akibat dari hal tersebut maka CO2 terus menerus dibentuk. Berbagai perubahan yang terjadi dan
menyertai reaksi karbon tersebut di dalam dan di luar tanah disebut peredaran karbon (Soepardi, 1983 dalam Sukmawati, 2006). Karbon masuk ke dalam tanah melalui fotosintesis, dengan mengubah CO2 atmosfer menjadi senyawa organik yang
akhirnya masuk ke dalam tanah sebagai serasah tanaman, akar dan eksudat akar (Young, 1997, dalam Sukmawati, 2006).
Sukmawati (2006), menyatakan bahwa kandungan karbon organik tanah merupakan hasil bersih dari nilai masukan karbon dari fotosintesis dan karbon yang hilang. Kandungan bahan organik pada tanah aerob berkisar antara 0,5% atau kurang untuk tanah berpasir sampai 5% untuk permukaan mineral horizon pada tanah alami pada daerah beriklim sedang. Jumlah bahan organik menurun tajam dengan semakin dalamnya permukaan tanah. Pengolahan tanah biasanya menyebabkan kehilangan 1/3 sampai ½ bahan organik. Kandungan karbon organik pada tanah secara umum meningkat dengan semakin meningkatnya curah hujan dan dengan semakin menurunnya suhu. Suhu dingin meningkatkan kandungan karbon organik tanah dengan mengurangi nilai kehilangan karbon di dalam tanah (Bohn, dkk., 1979, dalam Sukmawati, 2006).
Selanjutnya, Sukmawati (2006), menyatakan bahwa penggunaan tanaman penutup tanah seperti rumput-rumputan, semak dan terutama pohon-pohonan dapat
(22)
meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah. Jumlah C organik dalam tanah dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ada pada lahan tersebut. Pertanian dengan tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan karbon tanah. Tingkat akumulasi karbon akan menurun berdasarkan waktu, sebagian penyerapan karbon terjadi melalui akar dan serasah tanaman (Widjaja, 2002, dalam Sukmawati, 2006).
Selanjutnya (Kloepper, 1993, dalam id.wikipedia.org/wiki/Karbon, 2012) menyatakan bahwa berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan karbon organik dalam tanah, yaitu 2%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon organik sekitar 2,5%. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Marpaung, 2009). Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007, dalam Marpaung, 2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen,
(23)
Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah (Marpaung, 2009).
Masalah karbon dan pemanasan global tidak bisa dipisahkan. Karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) dan termasuk dalam kelompok gas rumah kaca utama (CO2, CH4, N2O5). Menurut Hairiah (2007, dalam Banuwa dan
Buchari, 2010), tiga jenis gas tersebut akhir-akhir ini konsentrasinya di atmosfer terus meningkat hingga dua kali lipat.
Selanjutnya Banuwa dan Buchari (2010), melaporkan bahwa jumlah karbon tersimpan pada setiap penggunaan lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman, kerapatan tumbuhan, jenis tanah, cara pengelolaan, dan lain-lain.
Pengolahan tanah dan pemupukan N berpengaruh terhadap kadar karbon organik tanah. Hal ini seperti hasil penelitian Utomo, dkk. (2012), setelah penanaman selama 23 tahun, karbon organik tanah pada kedalaman 0–5 cm dengan perlakuanno tillage dengan kombinasi pemupukan N 200 kg/ha, ternyata 46,1% lebih besar dibandingkan dengan no tillage dan tanpa pemupukan N. Karbon organik tanah pada perlakuan minimum tillage 26,2% lebih tinggi daripada no tillage dan 13,9% lebih tinggi dari
(24)
intensive tillage. Pada kedalaman 10–20 cm, pemberian N 200 kg/ha, menyebabkan karbon organik tanah 20,3% dan 25,8% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian N 0 kg/ha dan N 100 kg/ha.
Adalah sangat strategis dan wajar bagi Indonesia yang telah mengesahkan Konvensi Perubahan Iklim, yang menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap masalah global tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional, melalui pengesahan Protokol Kyoto (Murdiyarso, 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk mencapai target penurunan emisi gas CO2,negara-negara industri dapat melakukannya secara domestik yang akan memakan biaya yang tinggi. Alternatifnya adalah mereka akan ke pasar karbon global di luar negeri melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, ET dan CDM).
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2001, dalam Murdiyarso, 2003), permintaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO2/th, 125 juta ton
diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Harga karbon di pasar global tersebut sekitar USD 8/ton CO2. Sedangkan Belanda menawarkan harga Euro 5,5/ton CO2
melalui program CERUPT. Selanjutnya dinyatakan bahwa Bank Dunia telah memfasilitasi pembeli dan penjual karbon melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development Carbon Fund,danBio Carbon Fund(Murdiyarso, 2003).
Mengacu pada Protokol Kyoto Pasal 3 ayat 2 maka upaya agroteknologi yang dapat menekan laju erosi merupakan suatu tindakan nyata dalam meningkatkan cadangan karbon yang diserap oleh rosot.
(25)
Tanah yang tererosi diangkut oleh aliran permukaan akan diendapkan di tempat-tempat aliran air melambat atau berhenti, baik di dalam sungai, saluran-saluran irigasi, waduk, danau dan muara sungai. Endapan tersebut akan menyebabkan sungai, waduk, saluran-saluran irigasi dan sebagainya mendangkal. Unsur usur hara dan bahan organik yang terbawa dalam peristiwa erosi dan kemudian diendapkan di dalam waduk dan danau akan mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yaitu proses pengkayaan yang dipercepat badan-badan air dengan unsur hara, yang akan mempercepat pertumbuhan vegetatif berbagai jenis mikroba dan tumbuhan air (Arsyad, 2010).
Selanjutnya, Arsyad (2010), menyatakan bahwa tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Nisbah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS).
Menurut Asdak (2002), hasil sedimen per satuan luas dapat dihitung dengan rumus berikut:
Y = E (NPS) Ws Dimana:
Y = hasil sedimen per satuan luas E = erosi total
NPS =nisbah pelepasan sedimen Ws = luas daerah tangkapan
(26)
Menurut Arsyad (2010), NPS merupakan fungsi luas daerah aliran. Nilai NPS mendekati satu berarti semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai. NPS untuk beberapa luas daerah aliran disajikan pada Tabel 2. berikut:
Tabel 2. Pengaruh luas daerah aliran sungai terhadap Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) Luas Daerah Aliran Sungai (km2) Nisbah Pelepasan Sedimen (%)
0,1 53,0
0,5 39,0
1,0 35,0
5,0 27,0
10,0 24,0
50,0 15,0
100,0 13,0
200,0 11,0
500,0 8,5
26.000,0 4,9
Sumber: Arsyad (2010) G. Satuan Lahan
Satuan lahan, sebagai ungkapan lanskap sebagai suatu sistem, adalah konsep mendasar dalam ekologi lansekap. Satuan lahan memberikan dasar untuk mempelajari topologic serta hubungan lanskap ekologi chorologic. Sebuah survei satuan lahan bertujuan untuk pemetaan satuan lahan tersebut. Hal ini dilakukan dengan secara simultan menggunakan karakteristik (mappable) atribut tanah yang paling jelas: bentuk lahan, tanah dan vegetasi (termasuk perubahan manusia dari ketiga). Satuan lahan adalah dasar dari legenda peta tetapi dapat dinyatakan melalui tiga atribut tanah tersebut. Atribut yang tanah lebih dinamis, seperti populasi hewan tertentu dan fluks air, kurang cocok sebagai kriteria diagnostik, tetapi sering menghubungkan satuan pada karakteristik informasi / energi flux (Zonneveld, 1989).
(27)
Satuan lahan adalah bagian dari lahan yang mempunyai karakteristik yang spesifik. Peta satuan lahan dibuat dan dipetakan melalui survey sumberdaya alam, dan dijadikan sebagai dasar untuk evaluasi lahan (Dent dan Young, 1981). Selanjutnya dinyatakan oleh Dent dan Young (1981), bahwa istilah satuan lahan (land units), tidak memiliki definisi yang baku. Namun demikian evaluasi lahan akan lebih mudah dilakukan apabila satuan lahan didefinisikan atas kriteria kriteria karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan (FAO, 1973). Pembuatan peta satuan lahan dapat menggunakan pendekatan geomorfologi, yaitu dengan memperhatikan kemiringan lereng, bentuk lahan, tanah dan penggunaan lahan (Tim Asisten, 2010). Satuan lahan digunakan untuk satu paket pengelolaan.
Lereng atau kondisi topografi suatu wilayah merupakan hal yang penting dalam pembuatan peta satuan lahan. Kemiringan lereng dapat dihitung dari peta topografi. Besarnya indek panjang dan kemiringan lereng dapat ditentukan dengan cara menghitung kerapatan garis kontur per satuan panjang.
Informasi geomorfologis suatu daerah sangat penting untuk diketahui dan dipahami terutama kaitannya dengan permasalahan lingkungan yang pernah, sedang atau akan terjadi. Proses-proses geomorfologis yang mencakup proses endogenik dan eksogenik yang terjadi pada skala umur manusia dapat dipahami dan diinterpretasikan dari satuan-satuan bentuk lahan yang menyusun suatu daerah. Analisis morfoometri, morfogenesis, morfokronologi dan morfoaransemen merupakan kunci dalam memahami proses-proses geomorfologi suatu daerah. Untuk itu, informasi geomorfologi ini sangat pening dalam penyusunan dan pembuatan peta satuan lahan.
(28)
Faktor iklim dan organisme yang merupakan proses geomorfologi pada satuan bentuk lahan tercermin pada proses pembentukan tanah. Proses geomorflogi merupakan hasil interaksi yang kompleks antara ikliim, organisme, batuan serta relief. Pemahaman yang komprehensif mengenai satuan tanah akan menggambarkan persebaran lahan yang ada di suatu daerah.
Dalam konteks tulisan ini, unit lahan adalah sebidang lahan yang secara ekologi homogen pada skala tingkat yang bersangkutan. Tanah istilah, ekologi, homogen dan skala tingkat dan juga konsep holisme layak penjelasan.
Dengan demikian unit tanah sering digunakan oleh ahli ekologi lanskap dan ilmuwan terkait untuk tiga tujuan:
1. Sebagai konsep sentral dalam hipotesis ekologi lansekap 2. Sebagai alat pemetaan.
3. Sebagai sarana mentransfer pengetahuan lansekap, melalui evaluasi, untuk aplikasi (Zonneveld, 1989).
(29)
III. METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2012 sampai dengan Mei 2012, bertempat di laboratoium lapang terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Jalan Sumantri Brojonegoro No. 1 Gedung Meneng Bandar Lampung.
Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive), mengingat laboratoium lapang terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung merupakan tempat civitas akademika Unila melakukan berbagai penelitian, percobaan, praktik serta kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan dan pengabdian masyarakat. Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara 526.650 mT dan 9.406.450 mU sampai – 527.200 mT dan 9.406.850 mU (Koordinat UTM) atau 5O 22’11.38” LS dan 105O14’25.96” BT sampai 5O21’58.35” LS dan 105O14’43.83” BT. Ketinggian tempat antara 110 – 130 m dpl. (The Worldwide Coordinate Converter, 2012).
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis tanah di laboratorium.
(30)
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : Seperangkat peralatan survey seperti peta kerja, Global Positioning System (GPS),clinometer, munsell soil color chart, pisau pandu tanah, meteran, kompas, bor tanah, ring sample, kantong plastik, dan kamera. Alat-alat lain adalah peralatan laboratorium, alat tulis kantor (ATK), dan seperangkat personal komputer lengkap.
C. Jenis dan sumber data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik. Data sekunder berupa peta-peta yang akan digunakan untuk membuat satuan lahan. Dari data satuan lahan yang ada kemudian ditetapkan lokasi pengambilan sampel tanah yang dianggap mewakili masing-masing satuan lahan. Sampel tanah diambil dari lokasi pada 9 titik, sampel tanah utuh 5 titik sampel dengan kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm, dan contoh tanah komposit diambil dari 5 titik sampel.
Data biofisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data vegetasi dan bangunan permanen dan semi permanen, data tanah dan iklim yang digunakan untuk menggambarkan karakteristik biofisik laboratorium lapang terpadu FP Unila. Data tanah dan iklim digunakan untuk prediksi erosi, dan penentuan agroteknologi. Data tanah yang diperlukan meliputi data sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Data iklim yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data curah hujan, yang. diperlukan untuk menentukan indeks erosivitas hujan dalam perhitungan prediksi erosi. Data curah hujan diperoleh dari stasiun Klimatologi Masgar, Tegineneng.
(31)
D. Penetapan Satuan Lahan
Satuan lahan ditetapkan berdasarkan sifat-sifat atau karakteristik lahan yang homogen. Sebagai faktor pembeda adalah:
• jenis tanah, • penutupan lahan,
• iklim dalam hal ini curah hujan, dan • kemiringan lereng.
Karena jenis tanah relatif homogen untuk seluruh wilayah penelitian, demikian pula curah hujan, oleh karena itu faktor kemiringan lereng dan penutupan lahan merupakan faktor pembeda dalam penetapan satuan lahan.
E. Teknik Pengumpulan Data Tanah
Data tanah diperoleh dari pengamatan lapang dan analisis sampel tanah di laboratorium tanah Politeknik Negeri Lampung (sampel komposit) dan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung (sampel utuh). Pengamatan lapang meliputi pengamatan tanah dan pengambilan sampel tanah pada setiap satuan lahan. Sampel tanah yang diambil terdiri dari sampel tanah utuh dan komposit. Sampel tanah utuh diambil sebanyak 5 (lima) titik, masing-masing diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm dengan dua ulangan. Sampel tanah utuh digunakan untuk analisis sifat fisik tanah seperti bobot isi dan tekstur tanah. Sedangkan sampel tanah komposit digunakan untuk analisis sifat-sifat tanah. Sampel
(32)
tanah komposit diambil dari 5 (lima) titik pengamatan, dengan 3 (tiga) profil tanah dan 2 (dua) titik pengeboran.
Vegetasi
Data vegetasi diperoleh dari hasil pengamatan lapang. Data vegetasi yang diperlukan antara lain: jenis vegetasi, perkiraan jumlah, perkiraan luas tutupan, serta penyebaran di lokasi penelitian secara visual.
Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat, yaitu stasiun penakar hujan Kemiling. Data dari stasiun ini diperoleh melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Masgar, Tegineneng, Kabupaten Pesawaran.
(33)
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian (1). Kondisi Geografi
Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara 526.650 mT dan 9.406.450 mU sampai –527.200 mT dan 9.406.850 mU (Koordinat UTM) atau 5O22’
11.38” LS dan 105O 14’ 25.96” BT sampai 5O 21’ 58.35” LS dan 105O 14’
43.83” BT. Ketinggian tempat antara 110 – 130 m dpl. (The Worldwide
Coordinate Converter, 2012). Secara administratif, lokasi penelitian terletak di Kelurahan Gedong Meneng, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Batas-batas lokasi penelitian dikelilingi dengan pagar tembok (Utara, Barat dan Timur), dan pagar kawat berduri (Selatan). Di sebelah Barat lokasi
terletak Masjid Al Wasi’i di Jl. Sumantri Brojonegoro, sebelah Utara terdapat
Gedung Gedung Fakultas MIPA dan Gedung Jurusan Peternakan FP Unila, sebelah Timur terdapat perumahan penduduk, dan sebelah Selatan terdapat perumahan dosen dan karyawan Universitas Lampung.
(34)
Jalan masuk utama dari sisi selatan serta jalan alternatif dari sisi utara (Jurusan Peternakan FP Unila). Sepanjang batas lahan telah dibuat jalan inspeksi dengan lebar lebih kurang 1,50 m dan diperkeras dengan paving blok.
Di bagian selatan, terdapat beberapa bangunan antara lain kantor, kandang ternak, rumah kaca, rumah pengawas/karyawan, serta tower penampung dan penyimpanan air bersih untuk keperluan domestik, ternak maupun untuk menyiram tanaman.
Bagian terendah terletak di tengah-tengah lokasi, dan aliran air dari arah barat menuju ke arah timur. Pada saat penelitian dilakukan, di bagian timur terdapat beberapa kolam/lebung, yang berfungsi sebagai penampung dan penyimpanan air limpasan sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat pemeliharaan ikan.
Dari hasil survey lapangan, penggunaan lahan di laboratorium lapang terpadu FP Unila masih beragam. Pada bagian yang rendah dan tergenang masih digunakan sebagai kolam dan sawah, sebagian digunakan sebagai tempat untuk menanam berbagai jenis tanaman semusim oleh mahasiwa yang sedang melakukan penelitian maupun praktikum. Di bagian lain terutama di sebelah barat masih tampak beberapa jenis tanaman kehutanan seperti sonokeling, jengkol, melinjo, enau, bambu, dan lain-lain. Pada bagian lereng yang bergelombang terdapat tanaman kakau, kelapa, kelapa sawit, dan tumbuhan seperti enau, bambu dan beberapa jenis perdu. Pada bagian selatan lebih banyak digunakan untuk mendirikan beberapa bangunan, kandang, kantor, rumah kaca, tempat pengomposan, tempat parkir, dan lain-lain.
(35)
(2). Kelas Lereng
Berdasarkan pengukuran pada peta topografi skala 1 : 500 (Gambar 3) diperoleh 5 (lima) kelas lereng yang teridiri dari datar ( 0–3 %), landai ( 3–8 %), bergelombang (8 –15 %), berbukit (15–30 %), dan agak curam (30 –45 %). Data luas masing-masing kelas lereng disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kelas lereng dan luas lereng laboratorium lapang terpadu Fakultas Pertanian Unila
No Kemiringan (%)
Kelas Luas (ha) Persentase (%)
1 0 - 3 Datar 0,737 10,87
2 3 - 8 Landai 0,245 3,60
3 8 - 15 Bergelombang 3,744 50,37
4 15 - 30 Berbukit 1,708 29,98
5 30 - 45 Agak Curam 0,351 5,17
Total 6,784 100,00
(36)
Dari Tabel 3. di atas, sebagian besar lahan laboratorium lapang terpadu FP Unila adalah bergelombang, dengan kemiringan lereng 8 – 15 % (50,37 %), dan berbukit dengan kemiringan 15–30 % (29,98 %). Hanya 5,17 % dari luas lahan merupakan lahan yang agak curam dengan kemiringan lereng 30–45 %. Bagian Timur laboratorium lapang terpadu FP Unila didominasi oleh lereng datar hingga landai, bagian utara dan selatan dengan lereng yang bergelombang, sedangkan bagian yang berbukit terdapat di bagian barat dan selatan bagian tengah. Peta kelas lereng disajikan pada Gambar 1.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar lahan laboratorium lapang terpadu FP Unila didominasi oleh lereng yang bergelombang (kemiringan 8–15 %) dan hanya sebagian kecil yang berlereng agak curam (kemiringan 30–
45 %). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa lereng dengan kemiringan 8 – 15 % mencapai luas areal 65 % dan lereng agak curam hanya sekitar 6 %.
Dengan diketahui dan dipetakannya kelas lereng ini maka akan mempermudah untuk melakukan tindakan-tindakan konservasi seperti pembuatan teras maupun pemilihan jenis tanaman yang akan di tanam pada setiap kelas lereng yang berbeda. Untuk lereng yang agak curam bisa diusahakan dengan menanam berbagai jenis tanaman kehutanan atau tanaman perkebunan yang berakar dalam untuk menjaga kerusakan tanah akibat erosi maupun untuk penyimpanan air.
(37)
(38)
(3). Curah Hujan
Curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, dan hujan maksimum harian diperoleh dari Stasiun Klimatologi Masgar, Tegineneng. Data yang dipergunakan adalah data enam tahun terakhir (2006 – 2011) pada stasiun penakar hujan Kemiling. Berdasarkan data dari Stasiun Klimatologi Masgar, Tegineneng, curah hujan tahunan rata-rata enam tahun terakhir di lokasi penelitian adalah sebesar 2.156 mm, dengan curah hujan tahunan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 3.297 mm. Sedangkan curah hujan bulanan rata-rata berkisar antara 78 mm (Agustus) hingga 297 mm (Februari). Bulan basah terjadi pada Desember hingga Mei (6 bulan), dan bulan kering (<100 mm) terjadi pada Agustus dan September. Rata-rata jumlah hari hujan bulanan adalah 8 hari, dengan jumlah hari hujan tertinggi adalah 13 hari yang terjadi pada bulan Januari, dan terendah adalah 4 hari pada bulan Agustus dan September. Jumlah hujan maksimum harian rata-rata adalah 49 mm, dengan hujan maksimum harian tertinggi terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 82 mm dan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 28 mm. Data curah hujan bulanan, hari hujan, dan hujan maksimum harian disajikan berturut-turut pada Tabel Lampiran 5, Tabel Lampiran 6, dan Tabel Lampiran 7, serta grafiknya disajikan pada Gambar 2.
(39)
Gambar 2. Hujan Maksimum Harian, Curah Hujan Bulanan dan Jumlah Hari Hujan di Lokasi Penelitian
0 50 100 150 200
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
2006 2007 2008 2009 2010 2011 100 200 300 400 500 600
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES
2006 2007 2008 2009 2010 2011 5 10 15 20 25
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES Data jumlah Hari Hujan
2006 2007 2008 2009 2010 2011
(40)
Faktor iklim yang sangat menentukan terjadinya erosi adalah curah hujan. Curah hujan yang tinggi dengan durasi yang cukup lama akan meningkatkan daya rusak air hujan terhadap tanah serta meningkatkan daya angkut butir-butir tanah melalui aliran permukaan. Curah hujan rata-rata tahunan selama enam tahun terakhir mencapai 2.156 mm dengan jumlah hari hujan 13 hari dalam sebulan. Jumlah hujan harian maksimum rata-rata selama enam tahun terakhir mencapai 82 mm yang terjadi pada bulan Desember.
Ketiga komponen curah hujan tersebut sangat menentukan erosivitas hujan (kemampuan air hujan untuk menyebabkan erosi).
(4). Tanah
a. Kesuburan Tanah
Dari hasil penelitian Banuwa, Syam dan Wiharso (2011), status kesuburan tanah laboratorium lapang terpadu FP Unila tergolong rendah, dengan pH 5,12–5,63, kandungan Nitrogen total antara 0,310
– 0,469 % (tergolong sedang), kandungan Phosphat antara 5,301 –
8,573 ppm (tergolong sangat rendah), kandungan Kalium dapat ditukar (K-dd) berkisar antara 0,165 – 0,760 me/100 g, kandungan Kalsium (Ca-dd) dapat ditukar tergolong rendah (2,298 – 3,612 me/100 g), kandungan Magnesium dapat ditukar (Mg-dd) tergolong rendah (0,374 –0,553 me/100 g), nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) berkisar antara 8,740 – 13,821 me/100 g (tergolong rendah), dan kadar Karbon (C) organik tanah berkisar antara 1,51–1,96 %.
(41)
b. Sifat Fisik Tanah
Dari hasil survey dan analisis laboratorium, laboratorium lapang terpadu FP Unila dapat diklasifikasikan dalam kelompok tanah Ultisoldengan bahan induk batuan beku/vulkanik. Kedalaman efektif tanah berkisar antara 72 cm – 136 cm. Muka air tanah lebih dari 72 cm, kecuali pada titik pengamatan B5 (hanya 8 cm). Secara umum, lokasi penelitian memiliki drainase yang baik. Data profil tanah hasil survey disajikan pada Lampiran 13.
Dari semua sampel tanah, tipe struktur tanah adalah tipe 4 (gumpal, lempeng, dan pejal: blocky, platy, and massive). Kelas permeabilitas sedang (moderate) dan sedang sampai lambat (moderate to slow). Kelas permeabilitas termasuk kelas 3 dan kelas 4 (Lampiran 2).
Kadar C-organik tanah di lokasi penelitian berkisar antara 1,51 hingga 1,96 %. Bobot isi berkisar antara 1,13–1,21 gram/cc.
Dari hasil pengamatan dan analisis laboratorium, secara umum tanah di daerah penelitian tergolong bertekstur halus yang berupa liat, dengan struktur yang tergolong sudah berkembang. Secara umum struktur tanah berbentuk kubus bersudut dengan ukuran sedang sampai kasar. Pada lapisan atas pada tempat tertentu masih berbentuk kubus membulat, hal ini disebabkan karena masih banyak dipengaruhi oleh kandungan bahan organik.
(42)
Secara umum tanah di lokasi penelitian tergolong lekat dengan plastisitas tergolong plastis sesuai dengan tekstur tanah yang banyak mengandung liat. Tanah-tanah yang mengandung liat ini sedikit agak padat, akan tetapi kemampuan tanah untuk menahan air masih cukup tinggi.
Pada daerah lembah di bagian tengah daerah penelitian masih terdapat genangan air yang mengakibatkan drainase agak buruk. Tanah-tanah pada daerah genangan ini umumnya berwarna kelabu, sedangkan pada bagian lainnya drainase tergolong baik dengan ditandai warna tanah yang cerah dan homogen.
Kedalaman tanah secara umum tergolong dalam (lebih dari 72 cm), sehingga akar-akar tumbuhan masih dapat berkembang dengan baik. Bobot isi tanah di daerah penelitian tidak terlalu bervariasi yaitu antara 1,13 –1,21 g/cc. Ruang pori total hasil analisis adalah berkisar antara 54,34 –57,36 %. Permeabilitas tanah lapisan atas antara 4,10 –
11,53 cm per jam, yang tergolong lambat sampai sedang dan sedang. Sedangkan untuk lapisan bawah berkisar antara 0,77 – 6,73 cm/jam, yang tergolong lambat sampai sedang.
(5). Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada saat dilakukan penelitian ini ada beberapa jenis. Pada bagian tengah memanjang dari barat ke timur terdapat beberapa lebung/kolam yang sebagian tidak tergenang. pada bagian utara dan tengah, dipergunakan sebagai tempat mahasiswa/peneliti melakukan
(43)
penelitian dan prakrik berbagai jenis tanaman semusim seperti jagung, kacang tanah, kacang panjang, tanaman kehutanan, bayam, kangkung darat, dan lain-lain. Pada bagian barat merupakan kebun campuran yang tidak terlalu rapat dan terdapat berbagai tanaman seperti pisang, kakau, tangkil, kelapa, enau, bambu, sonokeling, pepaya, dan lain lain. Pada bagian tenggara terdapat beberapa pohon kelapa sawit dan terdapat guludan serta teras tradisional. Di bagian selatan yang merupakan jalan masuk utama, terdapat beberapa bangunan permanen dan semi permanen, kandang ternak, rumah kaca, kantor, tempat tinggal penjaga, tower, dan lain lain.
Di sepanjang pagar batas laboratorium lapang terpadu FP Unila dilengkapi dengan jalan inspeksi yang menggunakan paving block dengan lebar lebih kurang 150 cm. Sekitar halaman kantor juga ditutupi olehpaving block.
2. Satuan Lahan
Berdasarkan hasil survey lapang dan analisis contoh tanah serta peta kelas lereng, maka diperoleh 5 satuan lahan pada laboratorium lapang terpadu FP Unila. Secara rinci, satuan lahan laboratorium lapang terpadu FP unila disajikan pada Gambar 3. Tabel 4, menunjukkan bahwa sebagian besar lahan laboratorium lapang terpadu FP Unila didominasi oleh satuan 3 dengan luas 3,417 ha (50,37%) dan 4 dengan luas 2,034 ha (29,98%).
(44)
Tabel 4. Satuan lahan laboratorium lapang terpadu Fakultas Pertanian Unila No Satuan Kemiringan
Penggunaan Lahan/Vegetasi Luas Jenis
Urut Lahan lereng (ha) (%) Tanah
1 1 0 - 3 % Talas dan rumput-rumputan,
genangan/kolam 0,737 10,87% Ultisol
2 2 3 - 8 % Alang alang dan semak
belukar 0,245 3,60% Ultisol
3 3 8 - 15 % Padang rumput dan kebun
campuran, jengkol, dll 3,417 50,37% Ultisol 4 4 15 -30 % Kebun campuran, jagung,
kacang-kacangan 2,034 29,98% Ultisol
5 5 30 - 45 % Kebun campuran, bambu,
cokelat, pisang, dll 0,351 5,17% Ultisol
Jumlah 6,784 100,00%
Sumber: Hasil pengukuran peta topografi dan pengamatan lapangan
Secara umum, lokasi penelitian terdiri dari 5 satuan lahan, sesuai dengan karakteristik masing-masing lokasi. Satuan lahan 1 adalah satuan lahan dengan kemiringan 0 – 3 % yang pada saat penelitian dilakukan berupa kolam dan sawah yang tidak diolah. Luas satuan lahan 1 ini lebih kurang 0,737 ha. Satuan lahan yang paling luas adalah satuan lahan 3 (3,417 ha), dengan berbagai penggunaan lahan seperti seperti kebun campuran, alang-alang dan ubi kayu. Satuan lahan yang luasnya paling kecil adalah 5 (0, 351 ha). Lahan ini mempunyai kemiringan lereng agak curam, yang ditumbuhi semak belukar dan terdapat teras tradisional.
(45)
3. Evaluasi Erosi
Perkiraan erosi menggunakan persamaan USLE yaitu: A = R K L S C P
Dimana:
A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/th) R = faktor indeks (erosivitas) hujan
K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng S = faktor kecuraman lereng
C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
3.1.Faktor Erosivitas hujan (R)
Erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan dari Indeks erosivitas hujan bulanan (EI30) selama 12 bulan. Nilai EI30 dihitung dengan persamaan Bols (1978):
EI30= 6,119 (Rain)1,21(Days)-0,47(Maxp)0,53dan
R =
12 1 ) 30 ( i i EI
Hasil perhitungan EI30 disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 6. diperoleh nilai
eosivitas hujan (R) sebesar 2.236, dimana nilai EI30 tertinggi pada bulan
Desember yaitu sebesar 350 dan terendah pada bulan Agustus sebesar 71. 3.2.Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Nilai K dihitung berdasarkan berbagai faktor yaitu tekstur, struktur, kadar C organik, dan permeabilitas. Dari hasil perhitungan (Tabel Lampiran 9) diperoleh
(46)
nilai K bervariasi antara 0,151 – 0,196. Nilai K tersebut termasuk klasifikasi rendah berdasarkan penilaian seperti pada Tabel Lampiran 10.
3.3. Faktor Kemiringan dan panjang lereng (LS)
Faktor LS ditentukan oleh kemiringan lereng dan panjang lereng. Karena kemiringan bervariasi dari 1 –45 % dan panjang lereng juga bervariasi dari 1 m hingga 165 m, maka diperoleh nilai LS yang beragam tergantung pada kelas lereng dan panjang lereng tersebut. Dari hasil perhitungan (Tabel Lampiran 8), nilai LS berkisar antara 0,077 hingga 4,717. Nilai LS untuk masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 4.7.
3.4.Faktor Pengelolaan dan vegetasi (CP)
Faktor pengelolaan dan vegetasi diberi nilai berdasarkan Lampiran 3 dan Lampiran 4. Faktor CP berkisar antara 0,200 hingga 0,500. Pemberian nilai ini sesuai dengan hasil pengamatan (survey) lapang, dimana kondisi vegetasi penutup sangat beragam.
(47)
(48)
Tabel 5. Perhitungan nilai EI30dan R (Erosivitas Hujan)
BULAN Rain (cm) Days Maxp(cm) EI30
Jan 27,17 12,50 5,97 261,49
Feb 29,67 11,00 6,08 312,08
Mar 28,02 9,83 6,63 321,37
Apr 20,30 7,83 6,70 243,45
Mei 16,78 8,50 4,00 141,60
Jun 12,93 6,17 3,30 108,48
Jul 12,20 4,67 3,68 122,14
Agt 8,37 4,17 2,83 71,02
Sep 7,75 3,50 3,38 77,19
Okt 10,23 5,17 3,37 89,74
Nop 14,05 6,17 4,25 137,12
Des 28,15 10,50 8,18 350,30
Tahunan 215,62 90,00 2.236
Sumber : Stasiun Klimatologi Masgar, Tegineneng (2012)
Gambar 4. Indeks Erosivitas Hujan Bulanan (EI30) di Lokasi penelitian
50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGT SEP OKT NOP DES Indeks Erosivitas Hujan Bulanan
(49)
3.5. Perkiraan besarnya erosi
Perhitungan perkiraan besarnya erosi secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 11. Sedangkan rekapitulasi perkiraan besarnya erosi pada masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rekapitulasi perkiraan besarnya erosi setiap satuan lahan pada laboratorium lapang terpadu Fakultas Pertanian Unila
Satuan Kelas Kemiringan
R K LS *) CP (t/ha/th)Erosi IBE Etol
Lahan Lereng lereng (t/ha/th) (t/ha/th)
1 1 0 - 3 % 2.236 - - - -
-2 2 3 - 8 % 2.236 0,172 0,077 0,300 8,88 0,880 33,67
3 3 8 - 15 % 2.236 0,181 1,239 0,200 100,30 13,995 35,83
4 4 15 -30 % 2.236 0,176 4,227 0,500 831,67 46,144 36,05
5 5 30 - 45 % 2.236 0,181 4,717 0,200 381,84 50,251 37,99
Keterangan : IBE = Indek Bahaya Erosi =RKLS/Etol
Erosi terbesar adalah pada satuan lahan 4 dengan luas 2,034 ha maka erosi diperkirakan sebesar 831,67 ton/ha/th. Berikutnya adalah satuan lahan 5 dengan luas 0,351 ha, perkiraan erosi yang terjadi adalah 381,84 ton/ha/th. Satuan lahan 2 diprediksi paling sedikit mengalami erosi, diikuti dengan satuan lahan 3, masing masing 8,88 dan 100,30 ton/ha/th.
Indek Bahaya Erosi untuk satuan lahan 2 tergolong rendah (IBE < 1,0), sedangkan untuk satuan lahan 3,4 dan 5 diklasifikasikan sangat tinggi (IBE > 10,01) (Hammer, 1981, dalam Arsyad, 2010).
4. Erosi yang masih dapat ditoleransi
Erosi yang dapat ditoleransi (Etol) dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983, dalam Banuwa, 2008) yang memperhitungkan
(50)
kedalaman minimum tanah, laju pembentukan tanah, kedalaman ekuivalen (equivalent depth), dan umur guna tanah (resources life). Perhitungan nilaiEtol secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 12. Laju pembentukan tanah yang digunakan adalah 2 mm/th dengan umur guna tanah (UGT) sebesar 400 tahun (Arsyad, 2010), faktor kedalaman tanah sebesar 0,8 dengan kedalaman efektif tanah yang bervariasi antara 720 mm hingga 1200 mm.
Nilai Etol berkisar antara 33,67 ton/ha/th (satuan lahan 2) sampai dengan 37,99 ton/ha/th (satuan lahan 5). Besarnya nilai Etol pada masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 6. Nilai Etol diperoleh dengan mempertimbangkan laju pembentukan tanah sebesar 2 mm pertahun dengan Umur Guna Tanah 400 tahun. Dengan asumsi bahwa selama 400 tahun tersebut fungsi laboratorim lapang lerpadu FP Unila masih berfungsi dengan baik. Karena laju erosi jauh di atas nilai erosi yang masih bisa ditoleransi maka perlu upaya yang serius untuk menekan laju erosi pada masing-masing satuan lahan terutama dengan melakukan upaya pengelolaan yang konservatif sehingga nilai CP bisa ditekan seminimal mungkin. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan memperpendek nilai panjang lereng (X) dengan cara pembuatan teras maupun guludan pada lokasi-lokasi tertentu.
5. Kandungan Karbon organik tanah
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, diperoleh kadar C-organik tanah pada lapisan atas (0 – 20 cm) berkisar antara 1,51 % hingga 1,96 %. Jumlah karbon organik pada satuan lahan 1, 2, 3, 4, dan 5 masing masing berturut-turut sebesar 1,51 %, 1,96 %, 1,75 %, 1,79 % dan 1, 70%. Tabel 7. menyajikan data kandungan karbon organik tanah pada berbagai satuan lahan.
(51)
Tabel 7. Kandungan karbon organik tanah pada lapisan atas
Satuan Lahan Kedalaman (cm) C-Organik (%)
1 0 - 20 1,51
2 0–20 1,96
3 0–20 1,75
4 0–20 1,79
5 0–20 1,70
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah FP Unila (2012)
Kandungan karbon organik tanah mencerminkan jumlah karbon yang tertangkap oleh tumbuhan melalui fotosintesis kemudian masuk kedalam tanah melalui proses pelapukan, kemudian tersimpan di dalam tanah. Laju erosi yang tinggi tentu saja akan mengakibatkan juga terjadi kehilangan karbon yang tersimpan di dalam tanah. Kadar karbon organik juga mencerminkan kondisi tumbuhan yang menutupi lahan yang bersangkutan. Pada lahan-lahan yang terbuka, kemampuan tumbuhan untuk menangkap karbon melalui proses fotosintesis jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan yang tertutup rapat. Semakin besar karbon organik yang ditemukan dalam tanah berarti semakin tinggi jumlah fotosintesis yang terjadi pada bagian permukaan lahan dimana karbon ditemukan. Cadangan karbon organik tertinggi adalah pada satuan lahan 2.
(52)
6. Analisis Agroteknologi
Pemilihan agroteknologi ditetapkan berdasarkan kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum yang dijadikan alternatif agroteknologi adalah nilai CP yang mengakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi. Hasil perhitungan nilai CP maksimum untuk masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perhitungan nilai CP untuk pengelolaan lahan laboratorium lapang terpadu Unila
No Satuan
R K LS *) Etol CP CPmax Tindakan
konservasi
Urut Lahan (t/ha/th)
1 1 2.236 - - - Tidak
2 2 2.236 0,172 0,077 33,67 0,300 1,000 Tidak
3 3 2.236 0,181 1,239 35,83 0,200 0,071 Ya
4 4 2.236 0,176 4,227 36,05 0,500 0,022 Ya
5 5 2.236 0,181 4,717 37,99 0,200 0,020 Ya
Keterangan: Hasil analisis dan perhitungan, CP = nilai CP aktual, CPmax= nilai
CP maksimum agar erosi < Etol, Tindakan konservasi = memerlukan
tindakan (CP>CPmax) atau tidak memerlukan (CP≤ CPmax).
7. Sedimen dan Sedimentasi
Luas laboratorium lapang terpadu FP Unila adalah 6,784 ha atau kurang dari 0,1 km2. Berdasarkan Tabel 2. maka Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) lebih dari 53 %. Hal ini berarti bahwa lebih dari 53 % tanah yang tererosi akan terbawa oleh air dan masuk ke dalam lebung yang terletak pada satuan lahan 1. Hasil sedimen untuk masing-masing satuan lahan disajikan pada Tabel 9.
(53)
Tabel 9. Perhitungan jumlah sedimen akibat erosi pada laboratorium lapang terpadu FP Unila.
Satuan erosi Luas NPS Sedimen N P2O5 K-dd
lahan t/ha/th (ha) (%) t/th (%) kg/th (ppm) kg/th (mg/100g) kg/th Tanpa agroteknologi
1 - 0,737 53,0 - 0,469 - 7,306 - 0,230
-2 8,88 0,245 53,0 1,15 0,354 4 8,573 0,01 0,760 0,01
3 100,29 3,417 53,0 181,62 0,381 692 6,646 1,21 0,294 0,53 4 831,74 2,034 53,0 896,63 0,389 3.488 5,866 5,26 0,714 6,40
5 381,81 0,351 53,0 71,03 0,434 308 5,910 0,42 0,577 0,41
Total 6,784 1.150,43 4.492 6,90 7,35
Dengan Agroteknologi
1 - 0,737 53,0 - 0,469 - 7,306 - 0,230
-2 8,88 0,245 53,0 1,15 0,354 4 8,573 0,01 0,760 0,01
3 8,52 3,417 53,0 15,44 0,381 59 6,646 0,10 0,294 0,05
4 6,32 2,034 53,0 6,81 0,389 27 5,866 0,04 0,714 0,05
5 11,45 0,351 53,0 2,13 0,434 9 5,910 0,01 0,577 0,01
Total 6,784 25,53 99 0,17 0,12
Keterangan : NPS=nisbah pelepasan sedimen, Ns= total N dalam sedimen, P2O5=
P2O5dalam sedimen, K-dd = Kalium dapat ditukar dalam sedimen
Dari Tabel 9. nampak bahwa sedimen yang terangkut dari lahan 2 sampai 5 berjumlah 1.150 ton/th apabila tidak ada tindakan konservasi atau agroteknologi, dan akan menurun menjadi 25,53 ton/th setelah adanya tindakan konservasi. Unsur hara N yang terdapat di dalam sedimen berjumlah 4.492 kg/th, P2O5 berjumlah 6,90 kg/th dan K-dd sebesar 7,35 kg/th. Jumlah ketiga unsur hara tersebut akan berkurang dengan adanya agroteknologi menjadi berturut-turut sebesar 99 kg/th, 0,17 kg/th, dan 0,12 kg/th.
(54)
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
a. Erosi aktual tanpa tindakan konservasi tanah dan air: satuan lahan 2 adalah 8,88 ton/ha/th, satuan lahan 3 adalah 100,29 ton/ha/th, satuan lahan 4 sebesar 831,74 ton/ha/th, dan satuan lahan 5 sebesar 381,81 ton/ha/th.
b. Agroteknologi untuk satuan lahan 3 adalah P1C2 (teras bangku sempurna dan tegalan tidak di despesifikasi), P1C6 (teras bangku sempurna dan perladangan), dan P2C1 (teras tradisional dan padang rumput bagus). Dengan agroteknologi P0 (teras bangku tanpa tanaman), erosi sudah berada di bawah nilai erosi yang masih dapat ditoleransi.
c. Agoteknologi untuk satuan lahan 4 adalah P1C1 (teras bangku sempurna dan padang rumput bagus), P1C2 (teras bangku sempurna dan tegalan tidak di desifikasi), dan P2C1 (teras tradisional dan padang rumput bagus).
d. Agroteknologi untuk satuan lahan 5 adalah P1C3 (teras bangku sempurna dan kebun campuran dengan kerapatan tinggi) dan P1C4 (teras bangku sempurna dan kebun campuran dengan kerapatan sedang).
e. Dengan agroteknologi, erosi pada satuan lahan 3 menjadi 14,04 ton/ha/th (P1C2), 4,01 ton/ha/th (P1C4), 8,02 ton/ha/th (P1C6), dan 8,02 ton/ha/th
(55)
(P2C1); pada satuan lahan 4 menjadi 2,66 ton/ha/th (P1C1), 6,65 ton/ha/th (P1C2), 13,31 ton/ha/th (P1C5), dan 26,62 ton/ha/th (P2C1);, dan satuan lahan 5 menjadi 7,64 ton/ha/th (P1C3), dan 15,27 ton/ha/th (P1C4).
f. Erosi juga menyebabkan kehilangan karbon organik dalam tanah sebesar 38,6 ton/th atau sebesar 15,32 % dari total karbon organik tersimpan dalam tanah di laboratorium lapang terpadu FP Unila, dengan kehilangan terbesar terjadi pada satuan lahan 4 yaitu sebesar 30,28 ton/th. Dengan agroteknologi, kehilangan karbon organik dapat ditekan menjadi 0,85 ton/th atau sebesar 0,34 % dari total karbon organik tersimpan dalam tanah di laboratorium lapang terpadu FP Unila.
g. Kehilangan unsur hara makro akibat erosi pada satuan lahan 3, 4 dan 5 berturut-turut mencapai Rp. 2.560.176/ha/th, Rp. 21.678.136/ha/th, dan Rp. 11.095.073/ha/th tanpa agroteknologi. Dengan agroteknologi maka kerugian dapat ditekan menjadi Rp. 217.615/ha/th, Rp. 164.754/ha/th, dan Rp. 332.852/ha/th.
B. SARAN
a. Tindakan konservasi tanah dan air untuk satuan lahan 3 adalah dengan pembuatan teras bangku sempurna. Teras bangku sempurna dapat dikombinasikan dengan perladangan atau tegalan yang ditanami dengan tanaman semusim.
b. Kombinasi teras bangku sempurna dan ditanami tanaman penguat teras serta rumput permanen dapat diterapkan pada sebagian satuan lahan 4.
(56)
c. Satuan lahan 5 dengan lereng 30–45 % dan luas lebih kurang 0,351 ha, dapat ditanami berbagai jenis tanaman tahunan permanen, dengan rumput di bawahnya untuk tempat penelitian dosen dan praktik mahasiswa jurusan kehutanan. Satuan lahan 5 juga dapat dibuat teras bangku dengan mempertimbangkan aspekestetikadan biaya.
(57)
EVALUASI EROSI LABORATORIUM LAPANG TERPADU
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
MELALUI PENDEKATAN SATUAN LAHAN
(Tesis)
Oleh
ISKANDAR ZULKARNAIN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
(58)
ABSTRACT
EROSION EVALUATION OF INTEGRATED FIELD LABORATORY FACULTY OF AGRICULTURE UNIVERSITY OF LAMPUNG
IN LAND UNITS APPROACH By
ISKANDAR ZULKARNAIN
FP Unila unified field laboratory is required to support Unila Vision and Mission and Vision of the Faculty of Agriculture Unila. Aside from being a supporter of the PBM (the learning process) and research, can also be used as a showcase (show window). This study aims to evaluate the erosion of the unified field laboratory FP Unila and studying alternative approach to land management with land units.
The method used is a survey method that consists of the preparation phase, a preliminary survey, primary survey, soil analysis in the laboratory, and data analysis. Evaluation of erosion using the Universal Soil Loss Equation (USLE). The experiment was conducted from April 2012 until May 2012 located at Integrated Field Laboratory the Faculty of Agriculture Unila.
The results showed that the erosion of the land unit 2 is still well below the tolerable erosion. Erosion on the land units 3 slope 8-15% by using a mixture of garden soil and pasture that is 100.29 t / ha / yr. Erosion on land units 4 and 5 respectively of 831.74 t / ha / yr and 381.81 t / ha / yr. Erosion on land units 3,4, and 5 have exceeded the value of erosion that can still be tolerated and require agrotechnology.
Agrotechnology for land units 3 is P0 (patio bench without plants) or a combination of bench terraces and swidden (P1C6). Land units 4 with the perfect combination of bench terraces and not in the specified moor (P1C2), or patio bench is perfect and good pasture (P1C1). 5 land units with a combination of bench terraces and a high density of annual plants (P1C3) or with an annual plant density is (P1C4).
Agrotechnologi applied in addition to suppress erosion, will also suppress the loss of C-organic, macro nutrients (N, P and K), and enhance the aesthetic value of integrated FP Unila field laboratory. Loss of organic C can be reduced to 80.51%, 96.80% and 95.99% respectively in land units 3, 4, and 5 with the agrotechnology. Losses due to loss of elements N, P and K can be reduced to 91.50%, 99.24% and 97.00% on each land unit 3, 4, and 5.
(59)
ABSTRAK
EVALUASI EROSI LABORATORIUM LAPANG TERPADU FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
MELALUI PENDEKATAN SATUAN LAHAN
Oleh
ISKANDAR ZULKARNAIN
Laboratorium lapang terpadu FP Unila sangat diperlukan untuk mendukung Visi Unila maupun Visi dan Misi Fakultas Pertanian Unila. Selain sebagai pendukung PBM (proses belajar mengajar) dan penelitian, juga dapat dijadikan sebagai etalase (show window). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi erosi pada laboratorium lapang terpadu FP Unila serta mempelajari alternatif pengelolaan lahan dengan pendekatan satuan lahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey yang terdiri dari tahap persiapan, survey pendahuluan, survey utama, analisis tanah di laboratorium, dan analisis data. Evaluasi erosi menggunakan metode Universal Soil Loss Equation (USLE). Penelitian dilaksanakan mulai April 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Unila.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa erosi pada satuan lahan 2 masih berada di bawah nilai erosi yang masih dapat ditoleransi. Erosi pada satuan lahan 3 dengan lereng 8
– 15 % dengan penggunaan lahan kebun campuran dan padang rumput yaitu 100,29 t/ha/th. Erosi pada satuan lahan 4 dan 5 masing-masing sebesar 831,74 t/ha/th dan 381,81 t/ha/th. Erosi pada satuan lahan 3,4, dan 5 telah melampaui nilai erosi yang masih bisa ditoleransi dan memerlukan agroteknologi.
Agroteknologi untuk satuan lahan 3 adalah P0 (teras bangku tanpa tanaman) atau kombinasi teras bangku dan perladangan (P1C6). Satuan lahan 4 dengan kombinasi teras bangku sempurna dan tegalan tidak di dispesifikasi (P1C2), atau teras bangku sempurna dan padang rumput bagus (P1C1). Satuan lahan 5 dengan kombinasi teras bangku dan tanaman tahunan kerapatan tinggi (P1C3) atau dengan tanaman tahunan kerapatan sedang (P1C4).
Agroteknologi yang diterapkan selain dapat menekan erosi, juga akan menekan kehilangan C-organik, unsur hara makro (N, P dan K), dan meningkatkan nilai estetika laboratorium lapang terpadu FP Unila. Kehilangan C-organik dapat ditekan hingga 80,51%, 96,80%, dan 95,99% berturut-turut pada satuan lahan 3, 4, dan 5 dengan agroteknologi tersebut. Kerugian akibat kehilangan unsur N, P dan K dapat ditekan hingga 91,50%, 99,24%, dan 97,00% pada masing-masing satuan lahan 3, 4, dan 5. Katakunci : satuan lahan, agroteknologi, erosi, C-organik, hara makro
(60)
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Tesis dengan Judul : “EVALUASI EROSI LABORATORIUM LAPANG
TERPADU AKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG MELALUI PENDEKATAN SATUAN LAHAN” adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atas karya penulis lain dengan cara tidak sesuai dengan norma etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme
2. Hak intelektual atas karya ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung
Atas pernyataan ini apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya. Saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Bandar Lampung, Juli 2012 Pembuat Pernyataan,
ISKANDAR ZULKARNAIN NPM. 1020011008
(1)
dalam Banuwa dan Buchari, 2010), tiga jenis gas tersebut akhir-akhir ini konsentrasinya di atmosfer terus meningkat hingga dua kali lipat.
Selanjutnya Banuwa dan Buchari (2010), melaporkan bahwa jumlah karbon tersimpan pada setiap penggunaan lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman, kerapatan tumbuhan, jenis tanah, cara pengelolaan, dan lain-lain.
Pengolahan tanah dan pemupukan N berpengaruh terhadap kadar karbon organik tanah. Hal ini seperti hasil penelitian Utomo, dkk. (2012), setelah penanaman selama 23 tahun, karbon organik tanah pada kedalaman 0 – 5 cm dengan perlakuan no tillage dengan kombinasi pemupukan N 200 kg/ha, ternyata 46,1% lebih besar dibandingkan dengan no tillage dan tanpa pemupukan N. Karbon organik tanah pada perlakuan minimum tillage 26,2% lebih tinggi daripadano tillage dan 13,9% lebih tinggi dari intensive tillage. Pada kedalaman 10 – 20 cm, pemberian N 200 kg/ha, menyebabkan karbon organik tanah 20,3% dan 25,8% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian N 0 kg/ha dan N 100 kg/ha.
Adalah sangat strategis dan wajar bagi Indonesia yang telah mengesahkan Konvensi Perubahan Iklim, yang menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap masalah global tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional, melalui pengesahan Protokol Kyoto (Murdiyarso, 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk mencapai target penurunan emisi gas CO2, negara-negara industri dapat melakukannya secara domestik yang akan memakan biaya yang tinggi. Alternatifnya adalah mereka akan ke pasar karbon global di luar negeri melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme Kyoto (JI, ET dan CDM).
(2)
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2001, dalam Murdiyarso, 2003), permintaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO2/th, 125 juta ton
diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Harga karbon di pasar global tersebut sekitar USD 8/ton CO2. Sedangkan Belanda menawarkan harga Euro 5,5/ton CO2
melalui program CERUPT. Selanjutnya dinyatakan bahwa Bank Dunia telah memfasilitasi pembeli dan penjual karbon melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development Carbon Fund, dan Bio Carbon Fund (Murdiyarso, 2003).
Mengacu pada Protokol Kyoto Pasal 3 ayat 2 maka upaya agroteknologi yang dapat menekan laju erosi merupakan suatu tindakan nyata dalam meningkatkan cadangan karbon yang diserap oleh rosot.
F. Sedimen dan Sedimentasi
Tanah yang tererosi diangkut oleh aliran permukaan akan diendapkan di tempat-tempat aliran air melambat atau berhenti, baik di dalam sungai, saluran-saluran irigasi, waduk, danau dan muara sungai. Endapan tersebut akan menyebabkan sungai, waduk, saluran-saluran irigasi dan sebagainya mendangkal. Unsur usur hara dan bahan organik yang terbawa dalam peristiwa erosi dan kemudian diendapkan di dalam waduk dan danau akan mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yaitu proses pengkayaan yang dipercepat badan-badan air dengan unsur hara, yang akan mempercepat pertumbuhan vegetatif berbagai jenis mikroba dan tumbuhan air (Arsyad, 2010).
Selanjutnya, Arsyad (2010), menyatakan bahwa tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut
(3)
sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Nisbah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS).
Menurut Asdak (2002), hasil sedimen per satuan luas dapat dihitung dengan rumus berikut:
Y = E (NPS) Ws
Dimana:
Y = hasil sedimen per satuan luas E = erosi total
NPS =nisbah pelepasan sedimen Ws = luas daerah tangkapan
Menurut Arsyad (2010), NPS merupakan fungsi luas daerah aliran. Nilai NPS mendekati satu berarti semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai. NPS untuk beberapa luas daerah aliran disajikan pada Tabel 2. berikut:
Tabel 2. Pengaruh luas daerah aliran sungai terhadap Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) Luas Daerah Aliran Sungai (km2) Nisbah Pelepasan Sedimen (%)
0,1 53,0
0,5 39,0
1,0 35,0
5,0 27,0
10,0 24,0
50,0 15,0
100,0 13,0
200,0 11,0
500,0 8,5
26.000,0 4,9
Sumber: Arsyad (2010) G. Satuan Lahan
(4)
Satuan lahan, sebagai ungkapan lanskap sebagai suatu sistem, adalah konsep mendasar dalam ekologi lansekap. Satuan lahan memberikan dasar untuk mempelajari topologic serta hubungan lanskap ekologi chorologic. Sebuah survei satuan lahan bertujuan untuk pemetaan satuan lahan tersebut. Hal ini dilakukan dengan secara simultan menggunakan karakteristik (mappable) atribut tanah yang paling jelas: bentuk lahan, tanah dan vegetasi (termasuk perubahan manusia dari ketiga). Satuan lahan adalah dasar dari legenda peta tetapi dapat dinyatakan melalui tiga atribut tanah tersebut. Atribut yang tanah lebih dinamis, seperti populasi hewan tertentu dan fluks air, kurang cocok sebagai kriteria diagnostik, tetapi sering menghubungkan satuan pada karakteristik informasi / energi flux
(Zonneveld, 1989).
Satuan lahan adalah bagian dari lahan yang mempunyai karakteristik yang spesifik. Peta satuan lahan dibuat dan dipetakan melalui survey sumberdaya alam, dan dijadikan sebagai dasar untuk evaluasi lahan (Dent dan Young, 1981). Selanjutnya dinyatakan oleh Dent dan Young (1981), bahwa istilah satuan lahan (land units), tidak memiliki definisi yang baku. Namun demikian evaluasi lahan akan lebih mudah dilakukan apabila satuan lahan didefinisikan atas kriteria kriteria karakteristik lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan (FAO, 1973). Pembuatan peta satuan lahan dapat menggunakan pendekatan geomorfologi, yaitu dengan memperhatikan kemiringan lereng, bentuk lahan, tanah dan penggunaan lahan (Tim Asisten, 2010). Satuan lahan digunakan untuk satu paket pengelolaan.
Lereng atau kondisi topografi suatu wilayah merupakan hal yang penting dalam pembuatan peta satuan lahan. Kemiringan lereng dapat dihitung dari peta
(5)
topografi. Besarnya indek panjang dan kemiringan lereng dapat ditentukan dengan cara menghitung kerapatan garis kontur per satuan panjang.
Informasi geomorfologis suatu daerah sangat penting untuk diketahui dan dipahami terutama kaitannya dengan permasalahan lingkungan yang pernah, sedang atau akan terjadi. Proses-proses geomorfologis yang mencakup proses endogenik dan eksogenik yang terjadi pada skala umur manusia dapat dipahami dan diinterpretasikan dari satuan-satuan bentuk lahan yang menyusun suatu daerah. Analisis morfoometri, morfogenesis, morfokronologi dan morfoaransemen merupakan kunci dalam memahami proses-proses geomorfologi suatu daerah. Untuk itu, informasi geomorfologi ini sangat pening dalam penyusunan dan pembuatan peta satuan lahan.
Faktor iklim dan organisme yang merupakan proses geomorfologi pada satuan bentuk lahan tercermin pada proses pembentukan tanah. Proses geomorflogi merupakan hasil interaksi yang kompleks antara ikliim, organisme, batuan serta relief. Pemahaman yang komprehensif mengenai satuan tanah akan menggambarkan persebaran lahan yang ada di suatu daerah.
Dalam konteks tulisan ini, unit lahan adalah sebidang lahan yang secara ekologi homogen pada skala tingkat yang bersangkutan. Tanah istilah, ekologi, homogen dan skala tingkat dan juga konsep holisme layak penjelasan.
Dengan demikian unit tanah sering digunakan oleh ahli ekologi lanskap dan ilmuwan terkait untuk tiga tujuan:
1. Sebagai konsep sentral dalam hipotesis ekologi lansekap 2. Sebagai alat pemetaan.
(6)
3. Sebagai sarana mentransfer pengetahuan lansekap, melalui evaluasi, untuk aplikasi (Zonneveld, 1989).