Gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada pneumonia

perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ngml, sedangkan AT-III memiliki sensitivitas 80 dan spesifisitas 75 Agapakis DI dkk, 2010. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan hubungan antara nilai DD dengan perluasan kerusakan paru yang terjadi pada penderita PK. Pada penelitian Levi dkk melaporkan hubungan antara perluasan kerusakan paru, gambaran radiologi, dan peningkatan DD pada penderita pneumonia berat Karalezli A dkk, 2009. Ribelles dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada penderita dengan pneumonia lobar atau multilobar dibandingkan dengan pneumonia segmental. Selain itu penelitian tersebut juga menemukan hubungan yang erat antara angka mortalitas dan nilai DD pada penderita PK. Nilai mean DD 3,786 ± 2,646 ngml pada pasien yang meninggal, dan 1,609 ± 1,808 ngml pada pasien yang hidup. Mereka juga berhasil menemukan bahwa pasien PK dengan PSI kategori IV dan V yang memiliki nilai DD yang tinggi lebih dari 2000 ngml memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sedangkan nilai DD yang rendah pada pasien PK 500 ngml pada saat awal masuk ke rumah sakit ternyata menurunkan resiko untuk mengalami kematian lebih awal atau morbiditas yang berat Levi M dkk, 2003. Chalmer dkk, juga melaporkan bahwa nilai DD 500 ngml pada pasien PK yang diperiksa pada saat awal masuk rumah sakit memiliki nilai duga negatif negative predictive value yang tinggi untuk menyingkirkan terjadinya PK yang berat Ribelles JMQ dkk, 2004.

2.4. Gangguan koagulasi dan fibrinolisis pada pneumonia

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi telah mencoba meneliti dalam respon host terhadap bakteri terutama terhadap aktivasi koagulasi. Respon terhadap infeksi yang memberikan dampak terhadap sistem koagulasi yang mungkin berperan dalam patogenesis disfungsi organ Kaplan dkk, 2003. Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang sitokin proinflamasi dan meningkatkan akumulasi neutrofil Milbrandt dkk, 2009. Aktivasi koagulasi lokal yang muncul akan didorong terutama oleh tissue factor Rijneveld dkk, 2006; Van der Poll T, 2008. Biasanya, sangat sedikit tissue factor TF yang Universitas Sumatera Utara keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel endotel dapat mengeluarkan TF pada permukaan dimana membentuk thrombogenic tissue factor yang selanjutnya berkembang menjadi gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru Abraham E dkk, 2000. Aktivasi koagulasi yang dimediasi oleh TF-kompleks faktor VIIa yang berperan dalam pembentukan fibrin, serta perubahan fibronogen menjadi fibrin. Secara bersamaan juga terjadi gangguan jalur antikoagulan alamiah misalnya antithrombin dan protein C. Penumpukan fibrin akan mensupresi aktivitas fibrinolitik yang disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor PAI-1 Levi M, dkk 2003. Respon prokoagulan bronchoalveolar selama infeksi berat dan inflamasi sistemik ini memiliki mekanisme yang sangat mirip, meskipun tidak identik. Dalam bronchoalveolar kompartemen, TF tampaknya memiliki penting peran dalam inisiasi koagulasi; disfungsi antikoagulan alamiah; serta penghambatan fibrinolisis selama sepsis atau endotoksemia Gambar 2.4.1 Levi M, dkk 2003. Sumber : Crit Care Med.2003 Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner Pembentukan thrombin broncoalveolar dapat terdeteksi melalui pemeriksaan prothrombin activation peptide fragment 1+2 atau thrombin- antithrombin complexes, kedua marker tersebut kadarnya dapat meningkat tiga kali lipat pada cairan broncoalveolar lavage BAL selama terjadinya endotoksemia, serta pada pasien pneumonia juga terjadi peningkatan pembentukan thrombin pada cairan BAL Levi M, dkk 2003. Universitas Sumatera Utara Cairan bronchoalveolar mengandung faktor antikoagulan fisiologis yang mirip dengan yang hadir di sistem antikoagulan darah. Konsentrasi antitrombin yang rendah pada paru-paru ini dapat dengan cepat digunakan bahkan pada kasus prohemostatik ringan, misalnya, endotoksemia dosis rendah. Tidak jelas apakah elastase neutrofil yang teraktivasi mampu mendegradasi antithrombin, sehingga menyebabkan tidak terdeteksinya antitrombin pada acute lung injury ALI. Pentingnya antitrombin dalam patogenesis endotoksin diinduksi cedera paru telah dibuktikan studi eksperimental. Hasil studi pada tikus endotoksemik, menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi antitrombin konsentrat dapat mencegah penumpukan fibrin di paru-paru Levi M, dkk 2003. Sistem Protein C adalah regulator penting pada pembentukan trombin. Paru-paru hanya memiliki kapasitas terbatas untuk memproduksi protein C, namun activated protein C APC terdapat dalam cairan bronchoalveolar. Aktivasi protein C terdeteksi dalam paru-paru manusia dan mengalami penurunan selama inflamasi. Gangguan aktivasi protein C kemungkinan disebabkan oleh downregulation dari thrombomodulin, karena pada pemberian rekombinan thrombomodulin dapat mencegah cedera pembuluh darah paru pada tikus endotoksemik. APC mencegah cedera paru-paru pada studi eksperimental dan bakteremia endotoksemia pada berbagai hewan Levi M, dkk 2003. Sitokin berperan penting dalam menghubungkan inflamasi dan perubahan yang terjadi pada sistem koagulasi dan fibrinolisis bronkoalveolar. Sitokin yang dilepaskan sebagai respon terhadap adanya endotoksin memberikan efek yang berbeda. Interleukin IL-6 berperan dalam aktivasi koagulasi; tumor necrosis factor TNF- α berperan menghambat aktivitas fibrinolisis. Makrofag alveolar adalah sumber sitokin proinflamasi di paru-paru. Aktivasi makrofag alveolar dapat secara langsung menstimulasi terbentuknya TF Levi M, dkk 2003.

2.5. Skor Klinis Pneumonia