Kultur Sputum Kultur Darah

molekular yang sensitif seperti D-dimer, protrombin fragmen 1+2, atau kompleks trombin-antitrombin. 2. Non-overt disseminated intravascular coagulation Sedangkan tahap selanjutnya ditandai dengan pembentukan fibrin intravaskular yang menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan marker aktivasi namun pemeriksaan lain masih normal. 3. Transient consumption coagulopathy Jika rangsangan prokoagulasi tetap terjadi maka akan terjadi ketidakseimbangan antara penggunaan plasma protein koagulasi dan sintesis di hati. Apabila rangsangan dihentikan dengan menghilangkan penyebabnya maka gangguan tersebut dapat teratasi dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan prothrombine time PT, trombosit menurun, jumlah protein C menurun, fibrinogen dapat normal maupun menurun. 4. Overt DIC Proses berkelanjutan sampai koagulopati konsumtif berat jarang dijumpai. Gangguan tersebut ditandai dengan penghentian mekanisme inhibisi sehingga hemostasis tidak terkontrol dan menyebabkan perdarahan berat. Manifestasi klinis DIC yang paling sering adalah perdarahan, trombosis atau keduanya yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan waktu pembekuan darah, peningkatan fibrin degradation product FDP, D-dimer, penurunan trombosit dan kadar fibrinogen, penurunan kadar faktor koagulasi seperti faktor V dan VIII, dan penurunan penghambat koagulasi antitrombin dan protein C. Pemeriksaan koagulasi serial akan lebih baik dalam mendiagnosis DIC.

2.9. Kultur Sputum

Dalam Infectious Disease Society of American IDSA dan American Thoracic Society Guidlines ATS, 2007 menunjukkan bahwa penyebab PK terbanyak disebabkan bakteri Gram positif oleh kuman Streptococcus Universitas Sumatera Utara pneumoniae. Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup Hemophilus influenza, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Neisseria meningitides, Moraxella catarrhalis, Klebsiella pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya. Menurut British Thoracic Society Guidlines BTS, 2009 menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus pneumoniae dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara, Streptococcus Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti Chlamydia Pneumoniae dan bakteri gram negatif Wattanathum dkk, 2003. Di Cina kuman patogen Streptococcus pneumoniae paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma pneumoniae dan H Influenza Huang HH dkk, 2006. Begitu juga di Jepang, Streptococcus pneumoniae paling umum ditemukan dan diikuti oleh H Influenza Saito A dkk, 2006. Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella pneumoniae Dahlan Z, 2009.

2.10 Kultur Darah

Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten, dimana kuman Streptococcus pneumoniae menjadi patogen yang paling umum yang diidentifikasi BTS, 2009. ATS dan IDSA merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada PK berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman patogen selain Streptococcus pneumoniae, termasuk Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan gram-negatif lainnya. Kultur darah yang positif Universitas Sumatera Utara pada pneumonia hanya pada 5-16 kasus. Dimana kuman patogen yang paling umum ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae ATS, 2007. Christ-Crain M dkk 2006 mendapatkan bahwa adanya bakteri patogen di dalam darah bloodstream infection BSI erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk. Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata demam dan leukositosis, yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika harus menunggu hasil kultur akan memperpanjang masa penundaan pemberian antibiotik Christ-Crain M dkk, 2006. Universitas Sumatera Utara

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL