Proses Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Ki Hadjar Dewantara

pertumbuhan dan perkembangan fisik anak agar terjadi keseimbangan dan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. Salah satu pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut dipandang sangat representatif, visioner, serta penuh sarat makna dan menyeluruh, sehingga di antara para pakar pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai pionir Pendidikan Nasional. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara pun menyatakan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang terdapat pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setingi-tingginya. 5 Adapun cara-cara mendidik oleh seorang guru terbagi kedalam beberapa tahapan cara sebagai berikut: 1. Memberi contoh voorbeeld 2. Pembiasaan pakulinan, gewoontevorming 3. Pengajaran leering, wulang wuruk 4. Perintah, paksaan, dan hukuman regeering en tucht 5. Laku zelfbeheersching,zelfdiscipline 6. Pengalaman lahir dan batin nglakoni, ngrasa, beleving 6 Selain itu, untuk keperluan pendidikan, maka Ki Hadjar Dewantara membagi kelompok usia anak didik menjadi tiga masa yaitu masa kanak- kanak pada rentang usia 1-7 tahun, masa pertumbuhan jiwa pikiran intelectual periode pada rentang usia 7-14 tahun, dan masa terbentuknya budi pekerti atau social periode yaitu pada rentang usia 14 – 21 tahun. 7 Dikaitkan dengan cara atau tahapan mendidik yang dikemukakan di atas, maka pengaturannya disesuaikan dengan kelompok usia tersebut.

B. Proses Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Ki Hadjar Dewantara

5 Ibid., hlm. 20. 6 Ibid., hlm. 28. 7 Op.cit. 6 Berdirinya perguruan nasional Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922, dimulai dengan dibukanya sekolah bagi anak-anak dibawah usia 7 tahun yang diberi nama “Taman Lare” atau “Taman Anak”. 8 Berdasarkan Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini yang ditulis oleh Mutiara Magta dengan judul “Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Pada Anak Usia Dini 9 , proses pendidikan anak usia dini menurut Ki Hadjar Dewantara dipengaruhi oleh pemikiran Frőbel yang memberikan kebebasan pada anak yang diatur secara tertib dan pemikiran Montessori yang membebaskan anak-anak seakan-akan secara tak terbatas, maka Ki Hadjar Dewantara merumuskan sebuah semboyan “Tut Wuri Handayani” yakni memberi kebebasan yang luas selama tidak ada bahaya yang mengancam kanak-kanak. Inilah sikap yang terkenal dalam hidup kebudayaan bangsa kita sebagai sistem “among”. Pendidikan anak usia dini berdasarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara didasarkan pada pola pengasuhan yang berasal dari kata “asuh” artinya memimpin, mengelola, membimbing. Pendidikan dilaksanakan dengan memberi contoh teladan, memberi semangat dan mendorong anak untuk berkembang. Pemikiran ini sesuai dengan pernyataan Bandura, bahwa anak mengobservasi perilaku orang dewasa dan menirunya. Lebih lanjut teori kognitif sosial Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan dan orang atau kognisi merupakan faktor penting di dalam perkembangan. Perilaku dapat mempengaruhi individu dan sebaliknya individu tersebut dapat mempengaruhi lingkungan, lingkungan mempengaruhi seseorang dan seterusnya. Oleh sebab itu, keteladanan mutlak dibutuhkan oleh anak-anak, Ki Hadjar Dewantara menyebutnya Ing Ngarsa Sung Tulada, dimana guru harus menjadi teladan untuk anak didiknya. Teori yang mendukung pemikiran Ki Hadjar Dewantara adalah teori Rousseau, yaitu orang dewasa berperan sebagai pendidik dengan 8 Ibid, hlm. 275 9 Mutiara Magta, “Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara Pada Anak Usia Dini”. Jurnal Pendidikan Usia Dini Volume 7 Edisi 2, November 2013, hlm. 224-227. 7 dukungan support kepada anak untuk dapat berkembang secara alami. Elkind juga percaya bahwa anak-anak membutuhkan dukungan yang kuat untuk bermain dan kegiatan yang dipilihnya sendiri dengan tujuan untuk dapat bertahan dalam stres yang ada sekarang dalam lingkungan anak. Dukungan yang diberikan dapat berupa motivasi dan penyediaan media belajar. Dalam sistem among, hal ini disebut sebagai Ing Madya Mangun Karsa. Jadi, kebebasan yang diberikan pada anak usia dini sesungguhnya memerlukan bimbingan yang bersifat keteladanan sebagai bentuk perwujudan kepemimpinan orang dewasa dan membutuhkan dorongan atau motivasi orang dewasa kepada anak dalam menjalani proses hidupnya secara alami yaitu ketika anak bermain atau kegiatan-kegiatan yang diminati anak. Proses pembelajaran yang dilakukan Ki Hadjar Dewantara kepada anak usia dini dilakukan dengan pendekatan budaya yang ada dilingkungan anak-anak. Menurutnya untuk menyempurnakan perkembangan budi pekerti anak-anak jangan dilupakan dasar “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu mementingkan segala unsur-unsur kebudayaan yang baik-baik dimasing-masing daerah kanak-kanak sendiri, dengan maksud pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi melaksanakan “konvergensi” seperlunya, menuju kearah persatuan kebudayaan Indonesia secara evolusi. sesuai dengan alam dan jaman. Ki Hadjar Dewantara membentuk sistem pendidikan yang bersumber pada kebudayaan sendiri dan kepercayaan atas kekuatan sendiri untuk tumbuh. Pendekatan budaya yang digunakan Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan anak usia dini adalah dengan melalui permainan, nyanyian, dongeng, olaraga, sandiwara, bahasa, seni, agama dan lingkungan alam. Sejalan dengan teori Bronfenbrenner yang mengatakan bahwa perkembangan anak yang dipengaruhi oleh konteks mikrosistem keluarga, sekolah dan teman sebaya, konteks mesosistem hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan sebaya dan sebaya dengan individu, konteks ekosistem latar sosial orang tua dan kebijakan 8 pemerintah dan konteks makrosistem pengaruh lingkungan budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan. Ki Hadjar Dewantara juga menyatakan bahwa mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberi pengetahuan akan tetapi baru berusaha akan sempurnanya rasa pikiran. Adapun segala tenaga dan tingkah laku itu sebenarnya besar pengaruhnya bagi hidup batin; juga hidup batin itu berpengaruh besar atas tingkah laku lahir. Jalan perantaranya didikan lahir ke dalam batin yaitu panca indera. Maka dari itu latihan panca indera merupakan pekerjaan lahir untuk mendidik batin pikiran, rasa, kemauan, nafsu dll. Pemikiran tersebut dilatari oleh pemikiran Frőbel dan Montessori. Frőbel memberi pelajaran panca indera tetapi tetap yang diutamakan adalah permainan anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indera diwujudkan menjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Sedangkan Montessori mementingkan pelajaran panca indera dengan memberikan kemerdakaan anak yang luas tetapi permainan tidak dipentingkan. Ki Hadjar Dewantara menggabungkan keduanya, menurutnya pelajaran panca indera dan permainan anak tidak terpisah. Segala tingkah laku dan segala keadaan hidupnya anak-anak sudah diisi oleh Sang Maha Among Tuhan dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak. Proses pembelajaran pada anak usia dini menurut pemikiran Ki Hadjar Dewantara berlangsung secara alamiah dan membebaskan. Namun dalam kebebasannya tersebut terdapat tuntunan dan bimbingan dari pendidik kepada anak yang bersumber pada kebudayaan lingkungan anak, dimana nilai budi pekerti, nilai seni, nilai budaya, kecerdasan, ketrampilan dan agama yang menjadi kekuatan diri anak untuk tumbuh berkembang melalui panca inderanya. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan sehari-hari yang mengelilingi kehidupan si anak seperti nyanyian, permainan, dongeng, alam sekitar dan sebagainya. 9 C. Penerapan Teori-teori Bermain dan Perkembangan Anak Usia Dini Berdasarkan Perspektif Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara memberi perhatian penuh terhadap permainan anak dalam hubungannya dengan pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa permainan amat sesuai dengan jiwa anak guna memenuhi daya khayal dan dorongan bergerak, maka permainan merupakan hal yang sangat penting untuk pendidikan yang banyak diberikan di Taman Indrya, Taman Anak, dan Taman Muda. 10 Bermain dan permainan yang dipakai adalah permainan nasional yang terdiri dari berbagai permainan tradisional agar anak tetap dalam lingkungan kebudayaan bangsanya. Permainan bangsa asing memberi kemungkinan akan terpisahnya anak dari adat istiadat dan kesenian bangsanya sendiri. Permainan anak Jawa seperti: sumbar, ganteng, unclang itu mendidik anak agar seksama titi pratitis, cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain sebagainya. Permainan dakon, cublak- cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang pengertian konsep perhitungan dan perkiraan. Permainan seperti gobag, trembung, raton, geritan, obrog, panahan, jamran, jelungan, dan lain-lainnya yang bersifat sport dapat melatih kekuatan fisik motorik untuk kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan, keterampilan, keberanian, ketajaman penglihatan, dan lain sebagainya. Permainan seperti mengutas bunga ngronce, menyulam daun piang atau janur, membuat tikar itu semua berfaedah untuk pendidikan karakter, tertib, dan teratur. 11 Ki Hadjar Dewantara menolak permainan-permainan tiruan dari bangsa asing karena kita telah mempunyai permainan sendiri, Ki Hadjar berpendapat bahwa barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang murni seperti kepunyaan sendiri. Hal ini dianalogikan sebagai “Kain cap meskipun indah rupanya, derajatnya tentu di bawah kain batik”. Ki Hadjar membolehkan meniru sebatas pada permainan-permainan yang 10 Eman Suparman, Dewi Agustini. Pedagogik: Teori Bermain Anak usia Dini. PPPPTK dan PLB Bandung: 2016hlm. 36 11 Loc.cit 10 tidak kita punyai. Namun, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan untuk waspada agar tidak salah meniru dan hanya meniru permainan-permainan bermanfaat. Lebih dari itu, beliau juga mengulangi peringatannya dengan berkata, “ lagi pula: jangan meniru belaka, tetapi barang baru yang hendak kita pakai itu bagus disesuaikan lebih dahulu, dengan rasa kita dan dengan keadaan hidup kita, ini yang kita namakan menasionalisasikan”. 12 Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara, berpandangan bahwa permainan bagi anak, khususnya permainan tradisional, mempunyai dua manfaat, yakni manfaat jasmani atau kesehatan anak dan manfaat rohani atau kesehatan mental anak. Pertama, permainan menjadikan tubuh atau badan anak menjadi sehat dan kuat serta membentuk kelenturan bagian- bagian tubuh, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara optimal. Seluruh pancaindera, mata, telinga dan kaki tangannya, dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya, lancar, lembut, luwes, dan cekatan. Kedua, bermain permainan tradisional melatih ketajaman pikiran, kehalusan rasa, serta kekuatan kemauan. Dengan kata lain, permainan dapat melatih anak-anak untuk memahami dirinya sendiri, memahami orang lain dan melakukan sikap yang bijak terhadap orang lain. Dengan demikian, bermain dan permainan anak-anak sangat bermafaat untuk melatih perasaan diri dan sosial, kedisiplinan, toleransi, mau berbagi, tenggangrasa, ketertiban, kesetiaan dan ketaatan pada aturan, ketaatan pada janji dan kesanggupan, membiasakan bersikap waspada serta siap sedia meghadapi segala keadaan dan peristiwa. Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa nilai pendidikan yang terkandung dalam bermain dan permainan diterima oleh anak-anak tanpa paksaan atau perintah, melainkan karena kemauan serta kesenangan anak-anak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa bermain dan permainan anak-anak sangat penting untuk mempertebal rasa kemerdekaan. 13 Selain itu, Ki Hadjar mengatakan dan menggaris bawahi 12 Ibid, hlm.37. 13 Ibid, hlm.38 11 adanya jenis-jenis permainan khusus untuk anak laki-laki dan permainan khusus untuk anak-anak perempuan, serta permainan yang cocok untuk anak laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Dalam satu hal permainan anak-anak di Indonesia mempunyai corak yang istimewa, yaitu kebanyakan permainan anak dilakukan dengan nyanyian. Hal ini sangat sesuai dengan sifat kebudayaan Indonesia, Di mana lagu dan nyanyian mempunyai kedudukan yang penting artinya bangsa kita adalah bangsa yang sangat musikal atau gemar pada lagu dan musik. Ketika penjelasan hal ini, Ki Hadjar Dewantara mengingatkan pada sistem pengajaran yang disebut dengan istilah “antroposofis onderwifs” karya Rudolf Steiner. System antroposofis adalah sistem pengajaran yang bermaksud untuk mengembalikan cara pendidikan dan pengajaran dari sifatnya yang “intelektualistis” kepada sifat “kemanusiaan”, yang pada intinya adalah mempergunakan “rhytme”, yakni “wirama” untuk mencapai terbentuknya budi pekerti yang lurus atau “harmonis”. Berjenis-jenis latihan dan pengajaran diciptakan oleh Steiner, yang semuanya disebut “Eurhytmie” yang berarti “wirama indah” dan berisi latihan-latihan yang mengandung kesenian. 14

D. Pendidikan Menurut Mohammad Syafei