“PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PADAT RUMAH POTONG HEWAN DAN M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK”.
.
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PADAT
RUMAH POTONG HEWAN DAN M-16 PADA
PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK
O l e h :
0252010014
PRIYO SIGIT
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
(2)
.
RUMAH POTONG HEWAN DAN M-16 PADA
PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1)
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
O l e h :
0252010014
PRIYO SIGIT
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM
SURABAYA
(3)
.
SKRIPSI
PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PADAT
RUMAH POTONG HEWAN DAN M-16 PADA
PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK
oleh : 0252010014
PRIYO SIGIT
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada hari : ………. Tanggal : ……… 2010 Menyetujui
Pembimbing
NPT : 3 7710 99017 41 Euis Nurul Hidayah., ST
Penguji I
NIP : 19551231 198503 1 00 2 DR. Ir. Edi Mulyadi., SU
Mengetahui
Penguji II
NIP : 19580812 198503 1 00 2 DR. Ir. Rudy Laksmono W., MT Ketua Progdi
NIP : 19620501 198803 1 00 1 Ir. Tuhu Agung R., MT
Penguji III
NIP : 030 174 661 Ir. Putu Wesen., MS
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan Untuk memperoleh gelar sarjana (S1), tanggal :
Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
NIP : 19551231 198503 1 00 2 DR.Ir. Edi Mulyadi., SU
(4)
.
Tempat/ tanggal lahir : Surabaya, 24 November 1982 Alamat : Jl.Kebraon Mitra I / 27, Surabaya
Telp rumah : -
Nomor Hp. : 085731552004
Email : zigiyoo@gmail.com
PENDI DI KAN
No. Nama Univ / Sekolah Jurusan Mulai Keterangan
Dari sampai
1 FTSP UPN ” Veteran” Jatim Teknik Lingkungan
2002 2010 Lulus
2 SMK YPM I Sidoarjo Mesin 1998 2001 Lulus 3 SMP Negeri 24 Surabaya Umum 1995 1998 Lulus 4 SD Negeri Kebraon I I Umum 1989 1995 Lulus
TUGAS AKADEMI K
No. Kegiatan Tempat/ Judul Selesai tahun
1 Kuliah Lapangan STTL, UPN “ Veteran” Jogja,UI I ,I PAL Sewon Bantul 2004
2 Kunj. Pabrik Pustekling Yogyakarta 2004
3 KKN Desa Grengenan Probolinggo, Jawa Timur 2007
4 Kerja Praktek Studi Pengelolaan dan Pengolahan Limbah Cair Pabrik Gula Watoetoelis, Krian, Sidoarjo
2006
5 PBPAB Bangunan Pengolahan Air Buangan I ndustri
Elektroplating
2006 6 SKRI PSI Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong
Hewan dan M-16 pada Proses Pengomposan Sampah Organik
2010
ORANG TUA
Nama : Suroso. D
Alamat : Jln. Kebraon Mitra I / 27, Surabaya
(5)
(6)
(7)
i
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat penyusun ucapkan selain puji syukur kehadiran Allah SWT, dengan rahmat serta hidayahnya penyusun dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH PADAT RUMAH POTONG HEWAN DAN M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK”.
Skripsi ini merupakan salah satu kurikulum pendidikan pada jurusan Teknik Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur yang merupakan syarat bagi penyusun untuk mendapatkan gelar sarjana.
Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak DR. Ir. Edy Mulyadi, SU., selaku Dekan dosen penguji Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UPN “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Ir. Tuhu Agung R, MT., selaku Ketua Jurusan Teknik Lingkungan UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Euis Nurul, ST., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan masukan kepada penyusun.
4. Bapak Dr. Ir Rudy Laksmono, selaku dosen penguji yang telah memberikan krtik dan saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
5. Ir. Putu Wesen, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan krtik dan saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Ibu Nanik Ratni JAR, MKes, yang telah memberikan krtik dan saran yang membangun sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
(8)
7. Ibu Dr. Ir. B. Wisnu Widjajani, MP., selaku Kepala LAB Jurusan Ilmu Tanah UPN “Veteran” Jawa Timur.
8. Kedua orang tuaku, keluargaku, yang telah membantu material, doa, serta support yang tidak pernah habis.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik membangun sangat diperlukan untuk kesempurnaan penelitian ini. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila didalam penyusunan laporan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan atau kurang dipahami.
Surabaya, Juni 2010
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Terselesaikannya skripsi ini berkat usaha, doa, dan bantuan dai orang-orang yang aku sayangi dan teman-teman ku. Untuk itu aku ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya buat :
1. Kedua orang tuaku yang selalu memberikan support dan doa yang gak pernah habis untukku, tanpamu mungkin aku tidak bias sampai seperti sekarang ini. Terima kasih buat semuanya. gelar ini aku aku persembahkan buat ibu dan bapakku tercinta.
2. Tunangganku Diana Faikan tercinta dan tersayang yang selalu memberikan support dan doa yang gak pernah habis untukku. Terima kasih buat waktu dan kesabaran nya dan selalu ada disampingku selama ini. tanpamu mungkin aku tidak bias sampai seperti sekarang ini.
3. Semua teman-teman ku TL angkatan 02 yg gak bias ak sebutin satu persatu tetap kompak sampai kapanpun and keep fight, Dani bunga thanx buat bantuan nya, wedos thanx buat kompinya,si PRO thanx tiap hari kau mesti bangun pagi-pagi buat mengantarku ke kampus. Terima kasih buat semuanya
Terima kasih yang sebesar-besarnya buat semuanya. Hidup ini tetap berjalan dan perjuangan terus berlanjut demi mencapai kebahagiaan yang diharapkan, maaf bila selama ini banyak kekurangan dan kesalahanku yang disengaja maupun tidak disengaja.
(10)
iv
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.5. Ruang Lingkup... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sampah ... 4
2.1.1. Sumber Sampah ... 4
2.1.2. Jenis Sampah... 6
2.1.3. Karakteristik Sampah... 6
2.2. Kompos... 10
(11)
v
2.2.2. Kualitas Kompos ... 12
2.2.3. Manfaat Kompos ... 14
2.3. Pengomposan.... ... 14
2.3.1. Prinsip Pengomposan ... 15
2.3.2. Jenis Pengomposan ... 15
2.4. Mikroorganisme ... 16
2.4.1. Jenis Mikroorganisme ... 17
2.4.2. Pertumbuhan Mikroorganisme ... 18
2.5. Biostarter M-16... 20
2.6. Limbah Padat Rumah Potong Hewan ... 25
2.7. Landasan Teori ... 26
2.7.1. Proses Pengomposan Secara Aerobic ... 26
2.7.2. Proses Pengomposan Secara Anaerobic ... 27
2.7.3. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan ... 29
2.8. Hipotesis ... 32
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian ... 33
3.2. Peralatan Penelitian ... 33
3.3. Prosedur Penelitian ... 34
3.4. Variabel ... 35
3.5. Analisa Data ... 37
(12)
vi
4.3. Kondisi Awal Pengomposan ... 42 4.4. Pengaruh Penambahan Limbah Padat RPH dan M-16
Terhadap Laju Penyisihan Rasio C/N pada Proses
Pengomposan ... 44 4.5. Pengaruh Penambahan Limbah Padat RPH dan M-16
Terhadap Laju Penyisihan C-organik pada Proses
Pengomposan ... 48 4.6. Pengaruh Penambahan Limbah Padat RPH dan M-16
Terhadap Laju Penyisihan N-total pada Proses
Pengomposan ... 51 4.7. Pengaruh Penambahan Limbah Padat RPH dan M-16
Terhadap Rasio C/N pada Proses Pengomposan ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 57 5.2. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(13)
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sumber-Sumber Sampah dalam Komunitas………4
Tabel 2.2 Komposisi Fisik Sampah Kota (Surabaya) (%)...8
Tabel 2.3 Tipikal Data Analisa Akhir untuk Material Mudah Terbakar pada Sampah Pemukiman, Komersial dan Industri...9
Tabel 2.4 Kandungan Unsur Hara Kompos………...11
Tabel 2.5 Kandungan Hara Kompos...11
Tabel 2.6 Spesifikasi Kualitas Kompos...13
Tabel 2.7 Karakteristik Beberapa Mikroorganisme Dalam Biostarter M-16...21
Tabel 2.8 Karakteristik limbah padat rumah potong hewan...26
Tabel 4.1 Kondisi Awal Sampah UPN “Veteran“ JATIM………..39
Tabel 4.2 Kondisi Awal Pengomposan...42
Tabel 4.3 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan Rasio C/N (%)... 44
Tabel 4.4 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan C-organik (%)...49
Tabel 4.5 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan N-total (%)...52
Tabel 4.6 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Rasio C/N...54
(14)
viii
Gambar 2.1 Jaringan Makanan pada Timbunan Kompos ... 17 Gambar 2.2 Pola Temperatur dan Pertumbuhan Mikroorganisme
dalam tumpukan Kompos ... 19 Gambar 3.1 Desain Reaktor Penelitian... 33 ambar 3.2 Dimensi Reaktor Penelitian... 34 Gambar 4.1 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan Rasio C/N (%)... 46 Gambar 4.2 Pengaruh Penambahan limbah padat rumah potong hewan
dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan C-organik (%)... 50 Gambar 4.3 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Laju Penyisihan N-total (%)... 53 Gambar 4.4 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Rasio C/N... 55
(15)
ABSTRACT
Composting is one of alternative in the solid waste treatment. Composting have some advantage, one of them is reduce the problem that cause by solid waste. This research use organic waste to process become compos. The purpose of research to analyze flow of composting by adding solid waste of slaughterhouse and M-16 by aerob process, and determine effective mix that need in composting by adding solid waste of slaughterhouse and M-16. Solid waste for the research taken from campus UPN “Veteran” JATIM. Every reactor use 5 kg garbage that been sliced and solid waste from slaughterhouse with different variation. The variation is 1 kg, 2kg,3 kg. At the first 3 reactor added solid waste of slaughterhouse and 10 ml of M-16. And then next 3 reactor just added by solid waste of slaughterhouse. The research use aerob method.
This research is to know the effect of the adding solid waste of slaughterhouse and M-16 to the aerob process, and to determine the right dosis for composting process on organic waste.
The research can be use as alternative for solid waste management in campus UPN “Veteran” JATIM. And also another composting method that can be use in society.
The best result of this method is in reactor V by adding 1kg solid waste of slaughterhouse and 10 ml of M-16, composting time is 28 day with ratio C/N 11.25.
(16)
1
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan teknologi dan bertambahnya penduduk,
peningkatan pencemaran lingkungan semakin menjadi masalah yang cukup
banyak dibicarakan. Pencemaran lingkungan berhubungan erat dengan sampah
karena sampah merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan. Secara
garis besar, sampah perkotaan mengandung 10% (berat) yaitu bahan yang
langsung dapat didaur ulang. Seperti kertas, besi, plastik, kaleng dan sebagainya,
50% bahan organik yang memiliki komponen antara lain terdiri dari sisa sayuran,
sisa buah-buahan, sisa daun pembungkus, serta sisa makanan. Dimana jenis
sampah organik ini akan cepat menyebarkan bau busuk karena adanya proses
penguraian bahan organik dalam sampah yang dilakukan oleh mikroorganisme.
sedangkan 40% adalah residu (Pusda Kota Ubaya, 2005).
Limabah padat rumah potong hewan Kedurus Suarabaya adalah
merupakan limbah atau sampah buangan dari pengolahan kegitan pemotongan,
apabila dibiarkan terus menerus akan terjadi penumpukan dan menimbulkan bau
yang menyengat. Salah satu penanggulangan yang paling baik adalah dengan cara
pengomposan secara aerob.
Salah satu teknologi penanganan sampah yang dapat dilakukan untuk
mengatasi permasalahan sampah dikampus UPN “Veteran“ JATIM adalah dengan
(17)
2
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi sampah. Sampah
dikampus UPN “Veteran“ JATIM yang sebagian besar terdiri dari bahan organik
membuat metode pengomposan secara aerob lebih tepat dilakukan. Metode ini
digunakan karena dalam metode ini dilakukan secara terbuka sehingga dapat
mengurangi timbulnya bau yang menyengat dan penyebaran bibit penyakit.
Agar proses dekomposisi berjalan dengan baik, maka keberadaan jumlah
mikroorganisme tertentu harus mencukupi. Sekarang ini telah dikembangkan
suatu produk yaitu microorganisms 16 atau disingkat M-16 yang memanfaatkan
sejumlah mikroorganisme untuk mempersingkat waktu pengomposan secara
aerob (Alaigan, 2008). Dalam M-16 ini terdapat berbagai macam mikroorganisme
penting yang sangat dibutuhkan dalam proses dekomposisi sampah. Selain itu
dilakukan penambahan limbah padat rumah potong hewan yang mengandung
unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman sehingga dapat dijadikan sebagai
sumber makanan bagi mikroorganisme dalam proses pengomposan bahan-bahan
organik.
1.2 Perumusan Masalahan
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Yangmenjadi masalah dalam penelitian ini adalah besarnya tumpukan
sampah UPN ”Veteran” JATIM yang merupakan sebagian besar sampah organik
sehingga mudah busuk dan mengganggu estetika serta merupakan vektor
penyebar penyakit (tikus, lalat, dan kecoa), padahal sampah tersebut dapat
(18)
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pemanfaatan sampah UPN ”Veteran” JATIM menjadi kompos melalui
proses composting
b. Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap proses pengomposan
1.4 Manfaat Penelitian
a. Meningkatkan sanitasi dilingkungan UPN ”Veteran” JATIM
(karena tidak tercecer)
b. Meningkatkan kesuburan tanah
c. Sebagai pupuk alternatif bagi masyarakat
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan batasan-batasan sebagai
berikut:
a. Sampah yang digunakan adalah sampah dari UPN “Veteran“ JATIM.
b. Penelitian ini dilakukan dengan penambahan limbah padat rumah potong
hewan yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan Kedurus Surabaya dan
M-16 yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga Surabaya
(19)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah
Sampah adalah semua jenis buangan bersifat padat yang dihasilkan dari
aktifitas manusia dan binatang yang dibuang karena tidak dipergunakan atau
dinginkan (Peavy,1985). Sampah dihasilkan dari aktivitas manusia termasuk
sampah yang dihasilkan dari perumahan, kegiatan komersial, sapuan jalan,
institusi dan industri. Sampah umumnya dalam bentuk sisa makanan (sampah
dapur), daun-daunan, ranting pohon, kertas/karton, plastik, kain bekas, kaleng,
debu sisa penyapuan.
2.1.1 Sumber Sampah
Klasifikasi sampah berdasarkan sumber penghasil sampah dapat dilihat
pada Tabel 2.1 :
Tabel 2.1 Sumber-Sumber Sampah dalam Komunitas.
Sumber
Tipikal fasilitas, aktivitas atau lokasi dimana sampah
dihasilkan
Tipe Sampah Pemukiman Tempat tinggal dengan satu
atau beberapa keluarga, apartemen, dll.
Sampah makanan, kertas, cardboard, plastik, tekstil, kulit, sampah jalan, kayu, gelas/kaca, kaleng, alumunium dan logam lainnya, abu, sampah khusus (termasuk barang elektronik, sampah jalan yang dikumpulkan tterpisah, baterai, minyak, pohon), sampah rumah tangga yang tergolong B3.
(20)
Tabel 2.1 Sumber-Sumber Sampah dalam Komunitas (lanjutan)
Sumber
Tipikal fasilitas, aktivitas atau lokasi dimana sampah
dihasilkan
Tipe Sampah Komersial Toko, restoran, pasar,
perkantoran, hotel, motel, percetakan, tempat-tempat servis, dll.
Kertas, cardboard, plastik, kayu, sampah makanan, gelas/kaca, logam, sampah khusus, sampah B3, dll. Institusional Sekolah, rumah sakit,
penjara, pusat pemerintahan.
Sama dengan sampah komersial.
Konstruksi dan peruntuhan bangunan lama
Area konstruksi baru, area renovasi jalan, peruntuhan bangunan, ubin batu (paving) yang rusak
Kayu, besi, beton, debu/kotoran. Pelayanan/sarana kota (termasuk fasilitas pengolahan) Pembersihan jalan, landscaping, pembersihan saluran atau kolam, taman dan pantai, area rekreasi.
Sampah khusus, rubbish, sapuan jalan, landscape dan tebangan pohon, sampah taman, pantai dan area rekreasi.
Instalasi pengolahan, insenerator kota
Air, air limbah, proses pengolahan industri, dll.
Sampah dari instalasi pengolahan, lumpur pengolahan.
Sampah kota Semua yang tercantum diatas
Semua yang tercantum diatas.
Industri Konstruksi, fabrikasi, manufaktur ringan dan berat, pertambangan, instalasi kimia, instalasi pembangkit energi, peruntuhan bangunan, dll.
Sampah dari proses industri, sisa material, dll. Sampah dari proses non-industri termasuk sampah makanan, rubbish, abu, sampah konstruksi dan runtuhan bangunan, sampah khusus, sampah B3.
Pertanian Ladang, perkebunan, kebun anggur, pabrik susu, mentega, keju, pertanian, dll.
Sampah
buah/sayur/makanan busuk, sampah proses pertania, rubbish, sampah B3. Sumber : Tchobanoglous, Theisen & Vigil, 1993 dalam Setiwan, 2007
(21)
6
2.1.2 Jenis Sampah
Sampah menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi :
a. Sampah Organik
Sampah yang mudah membusuk dikenal pula sebagai sampah basah (wet
waste, atau garbage). Termasuk kelompok ini adalah sampah dari dapur (sisa
makanan), daun-daunan, sisa sayuran, kulit buah dan sebagainya.
b. Sampah Anorganik
Sampah yang tidak mudah membusuk dikenal pula sebagai sampah
kering. Termasuk disini adalah kertas, plastik, kayu, kaleng dan sebagainya.
(Damanhuri,1999).
2.1.3 Karakteristik Sampah
Dalam proses pengolahan sampah menjadi kompos ditentukan oleh
komposisi yang terdapat pada sampah tersebut, sehingga karakteristik yang
dimiliki oleh masing-masing sampah akan mempengaruhi proses pembentukan
kompos.
a. Komposisi Fisik
Menurut Peavy (1985) , komposisi fisik sampah antara lain
1. Komponen individu
Komponen sampah secara individual yang mempengaruhi komposisi
sampah kota secara keseluruhan. Komponen sampah dapat dibedakan menjadi
sampah makanan, kertas, cardboard, plastik, tekstil, karet, kulit, tebangan pohan,
(22)
2. Ukuran partikel
Ukuran material yang terdapat dalam sampah merupakan hal yang
penting untuk diketahui dalam proses daur ulang material, terutama dengan
menggunakan peralatan seperti magnetic separators.
3. Kelembaban atau kandungan air
Kandungan air sampah biasanya dinyatakan sebagai massa air per satuan
massa material basah atau kering. Persamaan kandungan air sampah dinyatakan
sebagai berikut :
Kandungan air (%) = 100
−
a b a
…………..(2.1)
Dimana a = massa sampel awal
b = massa sampel setelah pemanasan
Untuk mengetahui massa kering, sampah dikeringkan dalam oven pada
77 °C selama 24 jam. Suhu dan waktu ini diperlukan untuk mendehidrasi materi secara sempurna dan untuk membatasi penguapan zat volatile.
4. Densitas atau berat spesifik.
Densitas dinyatakan sebagai berat material per satuan volume (kg/m3
a) Komposisi Fisik
).
Densitas di beberapa area berbeda-beda tergantung pada kondisi geografi, musim
dalam setahun dan lama penimbunan/penyimpanan sampah.
Komposisi fisik sampah UPN “Veteran” JATIM terdiri dari bahan
organik dan bahan anorganik. Bahan organik yang dimiliki oleh sampah UPN
(23)
8
Sedangkan bahan anorganik yang terdapat pada sampah UPN “Veteran” JATIM
dapat berupa kaca, botol bekas, kaleng bekas, besi bekas. Dimana komposisi fisik
tersebut juga terdapat dalam sampah kota (Surabaya), sehingga sampah UPN
“Veteran” JATIM memiliki kedekatan komposisi fisik dengan sampah kota
(Surabaya).
Menurut Japan International Cooperation Agency (1992) komposisi
fisik sampah kota (Surabaya) dapat dilihat pada Tabel 2.2 :
Tabel 2.2 Komposisi Fisik Sampah Kota (Surabaya) (%)
Klasifikasi Bahan Musim Hujan Musim Kemarau
a. Kertas b. Kain
c. Sampah Organik d. Kayu
e. Plastik f. Kulit / Karet g. Logam dari besi h. Logam non besi i. Gelas/kaca j. Batu keramik k. Tulang l. Lain-lain 13,54 1,85 52,93 19,15 7,7 0,45 0,82 0.08 1,12 1,61 0,62 0,13 4,37 2,03 55,59 15,72 7,51 0,03 0,74 0,16 0,68 4,46 0,74 0,07
(24)
b) KomposisiKimia
Komposisi kimia sampah dapat dilihat dalam Tabel 2.3 :
Tabel 2.3 Tipikal Data Analisa Akhir untuk Material Mudah Terbakar pada Sampah Pemukiman, Komersial dan Industri.
Tipe Sampah Prosentase Berat (%)
Karbon Hidrogen Oksigen Nitrogen Sulfat Abu Makanan dan produk
makanan Lemak
Sampah makanan (mixed)
Sampah buah Sampah daging Produk kertas Cardboard Majalah Surat kabar Kertas (mixed) Waxed cartons Plastik
Plastik (mixed) Polietilena Polistirena Polyurethane Polyvinyl Chloride
Tekstil, karet, kulit Tekstil
Karet Kulit
Kayu, pohon, dll Sampah jalan Kayu (green timber) Hardwood Kayu (mixed) Serpihan kayu (mixed) 73,0 48,0 48,5 59,6 43,0 32,9 49,1 43,4 59,2 60,0 85,2 87,1 63,3 45,2 48,0 69,7 60,0 46,0 50,1 49,6 49,5 48,1 11,5 6,4 6,2 9,4 5,9 5,0 6,1 5,8 9,3 7,2 14,2 8,4 6,3 5,6 6,4 8,7 8,0 6,0 6,4 6,1 6.0 5,8 14,8 37,6 39,5 24,7 44,8 38,6 43,0 44,3 30,1 22,8 - 4,0 17,6 1,6 40,0 - 11,6 38,0 42,3 43,2 42,7 45,5 0,4 2,6 1,4 1,2 0,3 0,1 < 0,1 0,3 0,1 - < 0,1 0,2 6,0 0,1 2,2 - 10,0 3,4 0,1 0,1 0,2 0,1 0,1 0,4 0,2 0,2 0,2 0,1 0,2 0,2 0,1 - < 0,1 - < 0,1 0,1 0,2 1,6 0,4 0,3 0,1 < 0.1 < 0,1 < 0,1 0,2 5,0 4,2 4,9 5,0 23,3 1,5 6,0 1,2 10,0 0,4 0,3 4,3 2,0 3,2 20,0 10,0 6,3 1,0 0,9 1,5 0,4
(25)
10
2.2 Kompos
Kompos merupakan istilah untuk pupuk organik buatan manusia yang
dihasilkan dari proses pembusukan sisa-sisa buangan makhluk hidup
(hewan dan tumbuhan). Menurut SNI 19-7030-2004 mengenai spesifikasi kompos
dari sampah organik domestik, kompos merupakan bentuk akhir dari
bahan-bahan organik sampah domestik setelah mengalami dekomposisi atau perubahan-bahan
komposisi bahan organik sampah domestik akibat penguraian oleh
mikroorganisme pada suhu tertentu menjadi senyawa organik yang lebih
sederhana.
2.2.1 Unsur Hara dalam Kompos
Suatu kondisi yang sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan
tanaman yang baik adalah persediaan unsur hara yang memadai dan seimbang
secara tepat waktu yang bisa diserap oleh akar tanaman. Produksi tanaman dapat
terhadang jika unsur hara yang terkandung di dalam tanah kurang atau tidak
seimbang, terutama di daerah yang kadar unsur haranya buruk atau tanahnya
terlalu asam atau basa. Untuk memperbaiki atau mengembalikan kesuburan tanah
dapat dilakukan dengan memanfaatkan pupuk organik.
Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan
hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi
kebutuhan tanaman. Menurut Yuwono (2006), unsur hara yang diperlukan
tanaman dibagi menjadi tiga golongan.
a. Unsur hara makro primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah
(26)
b. Unsur hara makro sekunder, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah
kecil, seperti sulfur/belerang (S), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg)
c. Unsur hara mikro, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit,
seperti besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), klor (Cl), boron (B), mangan (Mn)
dan molibednium (Mo)
Unsur hara yang terkandung didalam kompos tercantum dalam Tabel 2.4 :
Tabel 2.4 Kandungan Unsur Hara Kompos
Komponen Kandungan (%)
Kadar air
C-N
Organik
P2O
K 5 2 Ca O Mg Fe Al Mn 41,00-43,00 4,83-8,00 0,10-0,51 0,35-1,12 0,32-0,80 1,00-2,09 0,10-0,19 0,50-0,64 0,50-0,92 0,02-0,04
(Sumber : Musnamar, 2003)
Sedangkan menurut Rabbani, (2005) dalam penelitian Novita (2006)
kandungan rata-rata unsur hara kompos dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.5 Kandungan Hara Kompos
Komponen Kandungan (%)
N P K (0,43-3,5) (0,3-3,5) (0,5-1,8)
(27)
12
Kompos yang sudah jadi atau siap digunakan untuk memupuk tanaman
mengandung sebagian besar unsur hara makro primer, makro sekunder dan unsur
hara mikro yang sangat dibutuhkan tanaman.
2.2.2 Kualitas Kompos
Kompos dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat
kematangannya sempurna. Menurut Haug (1980) dalam Polprasert (1996)
kematangan kompos memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Turunnya temperatur pada akhir pengomposan
b. Berkurangnya bahan organik pada kompos seperti volatile solid (VS), COD
dan rasio C/N
c. Munculnya unsur tertentu seperti nitrat dan hilangnya unsur yang lain seperti
amonia
d. Tidak adanya serangga dan berkembangnya larva pada akhir pengomposan
e. Tidak ada bau yang menjijikkan
f. Munculnya warna abu-abu atau putih berkaitan dengan pertumbuhan
actinomycetes.
Sedangkan menurut SNI 19-7030-2004, kematangan kompos ditunjukkan oleh :
a) C/N rasio mempunyai nilai 10-20 : 1
b) Suhu sesuai dengan suhu air tanah
c) Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah
(28)
Menurut SNI 19-7030-2004, spesifikasi kualitas kompos yang berasal dari
sampah organik dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Spesifikasi Kualitas Kompos
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % - 50
2 Temperatur °C Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan Organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 -
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10 -
13 C/N - Rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,20 *
Unsur mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
25 Kalsium % * 25.50
26 Magnesium (Mg) % * 0.6
27 Besi (Fe) % * 2.00
28 Alumunium (Al) % * 2.20
29 Mangan (Mn) % * 0.10
Bakteri
30 Fecal coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4 gr 3
Keterangan : Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
(29)
14
2.2.3 Manfaat Kompos
Menurut Indriani (1999), kompos mempunyai beberapa sifat yang
menguntungkan antara lain :
a. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan
b. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai
c. Menambah daya ikat air pada tanah
d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah
e. Memperbaiki daya ikat tanah terhadap zat hara
f. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit (jumlah hara
ini tergantung dari bahan pembuat pupuk organik)
g. Membantu proses pelapukan bahan mineral
h. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba
i. Menurunkan aktivitas mikroorganisme yang merugikan
2.3 Pengomposan
Menurut Polprasert (1996), proses pengomposan merupakan proses
dekomposisi biologis dan stabilisasi bahan organik pada kondisi yang mendukung
terciptanya temperatur termofilik (50-60 °C), sebagai akibat dari panas yang dihasilkan pada proses biologis tersebut, dengan produk akhir yang cukup stabil
untuk disimpan dan digunakan pada tanah tanpa menimbulkan efek pada
lingkungan. Secara umum, proses pengomposan diperuntukkan bagi sampah
organik padat dan semi padat seperti sludge, kotoran hewan (pupuk kandang), sisa
(30)
2.3.1 Prinsip Pengomposan
Menurut SNI 19-7030-2004 prinsip pengomposan adalah menurunkan
rasio C/N bahan organik hingga sama dengan rasio C/N tanah yaitu sekitar 10 -12.
Bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman karena
kandungan C/N dalam bahan relatif tinggi atatu tidak sama dengan kandungan
C/N tanah. Karena itu perlu dilakukan proses pengomposan untuk menurunkan
rasio C/N bahan organik tersebut sehingga bahan organik tersebut dapat diserap
oleh tanaman Dalam proses pengomposan terjadi perubahan :
Karbohidrat, selullosa, hemiselullosa, dan lignin menjadi CO2 dan H2
a. Zat putih telur (protein) menjadi amonia, CO
O
2 dan H2
b. Peruraian senyawa organik yang dapat diserap oleh tanaman O
Dengan perubahan tersebut, maka kadar karbohidrat akan hilang dan senyawa N
yang larut (amonia) meningkat, sehingga C/N akan turun mendekati C/N tanah.
2.3.2 Jenis Pengomposan
Menurut Pradana (2008) ada dua mekanisme proses pengomposan,
yakni pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses pengomposan ini
dibedakan berdasarkan ketersediaan oksigen bebas.
a. Pengomposan secara Aerobik
Pada proses pengomposan secara aerob, oksigen mutlak dibutuhkan.
Mikrorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen
dan air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon,
nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lainnya untuk sintesis protoplasma sel
(31)
16
humus, karbondioksida, air dan energi. Beberapa bagian energinya digunakan
untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk
panas.
b. Pengomposan secara Anaerobik
Proses pengomposan anaerobik berjalan tanpa adanya oksigen, proses
ini melibatkan mikroorganisme anaerob untuk membantu mendekomposisi bahan
yang dikomposkan. Bahan baku yang dikomposkan secara anaerob biasanya
berupa bahan organik yang berkadar air tinggi. Pengomposan anaerobik akan
menghasilkan gas metan (CH4), karbondioksida (CO2) dan asam organik yang
memiliki bobot molekul rendah seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat,
asam laktat dan asam suksinat. Gas metan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar
alternatif (biogas).
2.4 Mikroorganisme
Sampah organik umumnya didekomposisi oleh konsumen tingkat
pertama seperti bakteri, jamur (fungi) dan actinomycetes . Setelah langkah ini
konsumen tingkat pertama menjadi makanan konsumen tingkat dua, seperti kutu,
cacing pita, binatang bersel satu dan rotifera. Konsumen tingkat ketiga seperti
lipan, kumbang tanah dan semut memangsa konsumen tingkat kedua (Polprasert,
(32)
Gambar 2.1 Jaringan Makanan pada Timbunan Kompos (Polprasert,1996 dalam Setiawan 2007)
Jumlah mikroorganisme pada awal proses dekomposisi bahan organik akan sangat
menentukan lamanya pengomposan, sehingga untuk mempercepat proses
dekomposisi diperlukan jumlah mikroorganisme dalam jumlah yang banyak.
2.4.1 Jenis Mikroorganisme
Menurut Alaigan (2008) jenis mikroorganisme dapat dibedakan menjadi
a. Mikroorganisme mesofilik
Mikroorganisme yang membutuhkan oksigen untuk dapat
mendekomposisikan bahan organik dan dapat bekerja pada kondisi mesofilik
yaitu antara 30-45ºC. Mikroorganisme ini berfungsi untuk memperkecil
(33)
18
b. Mikroorganisme fakultatif
Mikroorganisme yang dapat mendekomposisikan bahan organik
dengan adanya oksigen maupun tanpa oksigen. Mikroorganisme ini dapat
bekerja pada kondisi mesophili maupun thermophili yaitu antara 30-55ºC.
c. Mikroorganisme termofilik
Mikroorganisme yang dapat mendekomposisikan bahan organik dalam
kondisi tanpa oksigen. Mikroorganisme ini dapat bekerja pada kondisi
termofilik yaitu antara 45-65ºC. Mikroorganisme ini berfungsi untuk
menguraikan bahan organik yang telah diperkecil oleh bakteri mesofilik
sehingga bahan organik dapat terdegradasi dengan cepat.
Untuk tiap mikroorganisme yang bekerja pada pengomposan memiliki
temperatur dimana laju metabolismenya dapat bekerja secara maksimal, sehingga
mikroorganisme yang bekerja dapat diketahui dari temperatur proses yang terjadi.
2.4.2 Pertumbuhan Mikroorganisme
Pertumbuhan mikroorganisme dalam pengomposan dapat dibedakan
dalam 4 (empat) fase, yaitu :
a. Fase Laten
Menunjukkan waktu yang diperlukan mikroorganisme untuk beradaptasi
dan membentuk koloni pada lingkungan baru yaitu pada tumpukan kompos.
b. Fase Pertumbuhan
Ditunjukkan dengan adanya peningkatan suhu hingga level mesofilik
(34)
c. Fase Termofilik
Dimana temperatur mengalami kenaikan paling tinggi. Fase ini
merupakan fase dimana proses stabilisasi sampah dan pembunuhan patogen
paling efektif.
d. Fase Maturasi
Dimana temperatur menurun hingga level mesofilik atau sama dengan
suhu ambien. Terjadi fermentasi tahap kedua yang berjalan lambat seperti
proses pembentukan humus, yaitu transformasi beberapa zat organik menjadi
koloid humus yang berhubungan dengan mineral-mineral (besi, kalsium,
nitrogen, dll) dan akhirnya menjadi humus.
Untuk tiap mikroorganisme yang bekerja pada proses pengomposan
memiliki temperatur dimana laju metabolismenya dapat bekerja secara maksimal,
sehingga mikroorganisme yang bekerja dapat diketahui dari temperatur proses
yang terjadi.
Pola temperatur dan pertumbuhan mikroorganisme dalam tumpukan
kompos pada masing-masing fase dapat dilihat dalam Gambar 2.2 :
T em p era tu r o C La te n P er tum bu ha
n Mes
o
filik
→ Termofilik Mesofilik Ambien
Waktu
Bakteri, jamur,
actinomycetes
Konsumen tingkat Kedua dan ketiga
B
ak
ter
i
Gambar 2.2 Pola Temperatur dan Pertumbuhan Mikroorganisme dalam tumpukan Kompos (Polprasert, 1996)
(35)
20
2.5 Biostarter M - 16
Dekomposisi akan berjalan lebih lambat apabila mikroorganisme pada
awal proses jumlahnya sedikit. Agar proses dekomposisi dapat berjalan efektif,
harus tersedia sejumlah mikroorganisme yang cocok dan memikiki kemampuan
mengurai tipe-tipe bahan-bahan penyusun sampah untuk distabilisasi. Untuk
memperbanyak jumlah mikroorganisme pada awal pengomposan dapat
ditambahkan biostarter M-16
Proses pembuatan biostarter M-16 melalui daur ulang limbah rumah
potong hewan yaitu isi rumen sapi yang diproses melalui tahapan-tahapan seperti
pemerasan, penyaringan, pemupukan mikroba, pemeriksaan laboratorium secara
intensif,seleksi dan identifikasi kuman yang menguntungkan sehingga hasil akhir
yang didapat adalah sebanyak 16 mikroba yang mempunyai sifat simbiosis
mutualistik. Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam biostarter M-16
dapat dilihat pada Tabel 2.7. biostarter yang dihasilkan tersebut mempunyai
kemampuan fermentasi yang cukup kuat dan cepat didalam mengelola limbah
atau sampah sehingga menghasilkan kompos dalam waktu kurang lebih 20 hari.
Biostarter M-16 yang digunakan terdiri dari berbagai mikroba pengurai
seperti Lactobacillus sp., Micrococcus sp., yeast, Streptococcus sp., Streptomyces
sp., Enterobacteria sp., Peptostreptococcus sp., Streptomyces sp., Bifidobacterium bifidum., Acitnomycetes sp., Clostridium sp., Eubacterium sp., Veillonella sp.,
Fusobacterium sp., dan Bacteroides fragilis (Adikara dan Herry dalam Alaigan,
(36)
Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam biostarter M-16
dapat dilihat karakteristiknya pada tabel 2.7
Tabel 2.7 Karakteristik Beberapa Mikroorganisme Dalam Biostarter M-16
No Mikroorganisme Sifat Mikroorganisme
1 Actinomycetes sp. • Anaerob, beberapa anaerob obligat
• Berfungsi menghasilkan senyawa-senyawa
antibiotik yang bersifat toksik terhadap
mikroorganisme patogen
• Menguraikan senyawa-senyawa organik yang
komplek dan selulosa dari bahan organik
2 Bacteroides
fragilis
• Metabolisme karbohidrat atau pepton. Produk fermentasi karbohidrat meliputi kombinasi
asam-asam suksinat, laktat, asetat dan propionat
3 Bifidobacterium
bifidum
• Mempercepat proses penggemburan
sampah-sampah padat dan keras menjadi lunak
menyerupai tepung
• Mampu mengikat sulfida menjadi sulfit,
sehingga menghindari timbulnya bau busuk pada
(37)
22
Tabel 2.7 Karakteristik Beberapa Mikroorganisme Dalam Biostarter M-16 (lanjutan)
4 Clostridium sp. • Hanya tumbuh pada keadaan anaerobik
• Merupakan mikroorganisme pembusuk utama
• Meragikan asam amino dalam protein, baik dari sampah tumbuhan maupun sampah hewan
menjadi suatu senyawa amoniak
5 Enterobacteria sp. • Bersifat aerob atau anaerob fakultatif
• Menfermentasi glukosa pada suhu 37o C
dengan menghasilkan asam dan gas (CO2 : H2
= 2 : 1)
6 Fusobacterium sp. • Bersifat anaerobik obligat
• Memetabolisme karbohidrat menjadi
asam-asam organik
7 Lactobacillus sp. • Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif
• Dapat tumbuh pada suhu 5 – 53o C dengan suhu optimum 30 – 40o
• Memenfertasikan bahan organik menjadi
senyawa-senyawa asam laktat C
8 Micrococcus sp. • Bersifat aerobik
• Tumbuh optimum pada suhu 25o C – 30o C
9 Peptostreptococcus
sp.
(38)
Tabel 2.7 Karakteristik Beberapa Mikroorganisme Dalam Biostarter M-16 (lanjutan)
10 Staphylococcus sp. • Tumbuh pada keadaan anaerob
• Berkembang baik pada suhu 37o
• Meragikan karbohidrat dan asam laktat
C, resisten
terhadap pengeringan dan panas
11 Veillonella sp. • Bersifat anaerobik
• Meragi beberapa oksigen
12 Yeast • Memenfertasi bahan organik tanah menjadi
senyawa-senyawa organik (dalam bentuk
alkohol, gula dan asam amino)
13 Streptococcus sp. • Bersifat anaerobik fakultatif, tetapi ada juga
yang bersifat obligat anaerob
(Sumber : Jewetz, et al., 1986; Pelzar dan Chan, 1986, dalam Sani, 2007)
Mikroorganisme utama yang terdapat dalam pengomposan sebagai berikut :
a. Bakteri Fotosintetik
Bakteri akan mengurai senyawa golongan protein lipid dan lemak pada
kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas (Supriyanto,2001). Pada
awal proses, bakteri mesofilik akan mulai bekerja. Seiring dengan kenaikan
temperatur, bakteri termofilik yang menempati semua bagian dalam tumpukan
akan muulai muncul. Bakteri termofilik, terutama bacillus sp berperan utama
dalam pembusukan protein dan campuran karbohidrat lainnya
(39)
24
b. Jamur
Jamur merupakan mikrobia multiseluler, nonfotosintesis, heterotropik.
Kebanyakan jamur mempunyai kemampuan untuk tumbuh di bawah
kondisi-kondisi kelembaban rendah. dimana tidak menyukai pertumbuhan bakteri.
Nilai pH optimum untuk kebanyakan jenis jamur sekitar pH 5.6, walaupun
pada umumnya yang ideal adalah pH 2 – 9 (Tchobanoglous,1993). Fungi
(jamur) termofilik biasanya muncul setelah 5-10 hari pengomposan
(Polprasert,1996).
c. Actinomycetes
Actinomycetes merupakan organisme peralihan antara bakteri dan jamur,
actinomycetes sering dikelompokkan dengan jamur karena karakteristik
pertumbuhan mereka memiliki persamaan (Tchobanoglous,1993).
Actinomycetes dan jamur yang selama proses pengomposan berada pada
kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa
organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik (Supriyanto,2001).
d. Ragi/Yeast
Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara
fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk
pertumbuhan sel dan pembelahan akar. Ragi ini juga berperan dalam
perkembangbiakan atau pembelahan mikroorganisme menguntungkan lain
(40)
Beberapa keunggulan dengan penggunaan M-16 antara lain :
a). Menekan potensi pencemaran lingkungan dan mempersiapkan dekomposisi limbah organik.
b).Mempercepat proses dekomposisi bahan organik c).Meningkatkan ketersediaan unsur hara dan nutrisi alam
d).Memperbaiki sifat kimia dan biologis tanah
e).Mampu menurunkan folume sampah dan mengurangi bau
f).Produk akhirnya mudah diserap oleh tanah dan tanaman.
2.6 Limbah Padat Rumah Potong Hewan
Dalam proses pengomposan, peran mikroorganisme sangat besar untuk
mendekomposisi bahan organik. Oleh karena itu diperlukan nutrient sebagai
sumber energi dan untuk membangun sel-sel baru mikroorganisme, sehingga
proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik. Sumber nutrient tersebut dapat
ditemukan pada kotoran ternak yang telah dikenal kegunaannya sebagai pupuk
kandang.
Limbah padat yang dihasilkan rumah potong hewan dapat diolah menjadi
kompos. Proses pembuatan kompos tersebut adalah penguraian bahan padat
organik oleh bakteri aerob yang ditandai dengan timbulnya suhu yang cukup
tinggi. Setelah proses selesai akan diperoleh bahan padat yang menyerupai humus
(41)
26
Tabel 2.8 Karakteristik limbah padat rumah potong hewan.
Jenis Bahan Parameter Nilai
Limbah padat Rumah Potong Hewan
Kadar Air 86.48%
%C 51.3%
%N 2.87%
Rasio C/N 17.87%
(Sumber :Yustiowatie, 2006)
2.7 Landasan Teori
Dalam pengomposan (Composting) dapat berjalan secara dua proses, yaitu
proses aerobik dan proses anaerobik.
2.7.1 Proses Pengomposan Secara Aerobik
Jika pengomposan berjalan secara aerobik, menurut setiawan (2007)
mikroorganisme akan melakukan proses biokimia secara dua tahap, yaitu proses
oksidasi senyawa organik dan proses sintesa sel sebagai berikut.
a. Oksidasi senyawa organik
Dalam proses ini senyawa organik dioksidasi menjadi CO2, NH3,
C5H7NO2
Reaksi yang terjadi :
dan hasil akhir oleh organisme hetrotropik.
Zat Organik + O2
Mikroorganisme
CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir
(42)
b. Sintesa sel
Pada proses ini dilakukan sintesa sel oleh organisme heterotropik menjadi CO2,
H2O, amonia dan energi.
Reaksi yang terjadi :
C5H7NO2+ 5O2 Mikroorganisme CO2 + H2O + NH3 + Energi
...(2.3)
Sehingga secara keseluruhan proses biokimia yang terjadi pada proses
aerobik sebagai berikut :
Zat Organik + O2
Mikroorganisme
Sel baru + CO2 + H2O + NH3 + SO22-
2.7.2 Proses Pengomposan Secara Anaerobik
+ E
...(2.4)
Jika pengomposan berjalan secara anaerobik, Menurut Winarti (2002) maka
dalam pengomposan tersebut akan terjadi proses biokimia secara empat tahap.
Adapun tahap proses biokimia sebagai berikut :
a. Proses hidrolisis
Pada proses ini terjadi beberapa perubahan, yaitu protein diubah menjadi
asam amino, polisakarida diubah menjadi glukosa, Lemak diubah menjadi gliserol
dan asam lemak berantai panjang. Hal ini dikarenakan enzim yang dihasilkan oleh
bakteri fermentasi menghidrolisa senyawa organik kompleks menjadi senyawa
yang lebih sederhana.
(43)
28
Pada proses ini dihasilkan H2, CO2
Reaksi yang terjadi
, asam-asam volatil, asam laktat, dan
etanol oleh bakteri fermentasi.
Asam organik Mikroorganisme CH3CH2OH+CO2+H2
c. Proses asetogenesis
………….(2.5)
Pada proses ini terjadi proses terhadap hasil proses asidogenesis menjadi
asam asetat oleh bakteri asetogenik. Bakteri asetogenesis terdiri dari dua
kelompok, yaitu :
1. Bakteri hidrogenogenik yang mengubah asam-asam volatil menjadi H2
CH
dan
asam asetat.
3CH2OH+H2O CH3COOH+2H2
2. Bakteri hidrogenotropik mengubah H
...……..(2.6)
2 dan CO2
3H
menjadi asetat
2+2CO2 CH3COOH+2H2
d. Proses Methanogenesis
O
...……..(2.7)
Pada proses ini mengubah H2, CO2
1. Bakteri asetotropik mengubah asam asetat menjadi metan
dan asam asetat menjadi gas methan
oleh bakteri methanogenik. Bakteri methanogenik terdiri dari :
CH3COOH CH4+CO2
2. Bakteri hidrogenotropik mengubah H
………..(2.8)
(44)
4H2+CO2 CH4+H2
Gas methan yang dihasilkan oleh bakteri asetotropik kurang lebih 70-75%
sedangkan sisanya dihasilkan oleh bakteri hidrogenotropik.
O
..……...(2.9)
Sehingga secara keseluruan proses biokimia yang terjadi pada proses
anaerobik sebagai berikut :
Zat Organik Mikroorganisme Sel baru+Energi+CH4+CO2+Hasilakhir
...(2.10)
2.7.3 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan secara anaerob
sebagai berikut :
a. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin banyak jumlahnya dan semakin
luas permukaannya yang memungkinkan yang memungkinkan permukaan
yang dapat dicerna mikroorganisme lebih banyak (CPIS,1992). Untuk hasil
yang maksimal ukuran sampah harus antara 25 – 75 mm (Tchobanoglous,1993)
b. Rasio C/N Bahan
Nilai rasio C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan karena Karbon (C) merupakan sumber
energi bagi mikroorganisme, sedangkan Nitrogen (N) digunakan untuk
membangun sel–sel tubuh mikroorganisme (Polprasert,1996). Besarnya
(45)
30
ideal untuk proses pengomposan adalah 20:1 sampai dengan 40:1 dimana rasio
yang terbaik adalah 30:1 (CPIS, 1992).
Jika diketahui bahwa campuran bahan belum mencapai perbandingan
C/N yang ideal, maka perlu dilakukan pencampuran. Bila rasio C/N bahan
tinggi, proses pembusukan akan berlangsung lama. Sebaliknya bila rasio C/N
terlalu rendah maka sisa nitrogen akan berlebihan sehingga terbentuk amonia
(NH3
c. Pencampuran dan Penambahan mikroorganisme (Blending and Seeding)
) yang menimbulkan bau yang menggangu. Untuk bahan dengan rasio
C/N yang kurang dapat ditambahkan sumber karbon lain yang memiliki rasio
C/N lebih tinggi (Yuwono,2006).
Dua faktor yang berpengaruh pada pencampuran dari sampah untuk
pengomposan yaitu rasio C/N dan kadar kelembababan. Seeding adalah
penambahan mikroorganisme dalam proses yang berfungsi untuk mempercepat
dekomposisi sebagai aktivator. Seeding yang disarankan yaitu 1–5 % dar berat
sampah (Tchobanoglous,1993)
d. Kelembaban Bahan
Kadar air yang baik untuk proses pengomposan secara anaerob antara
50-60 % dengan nilai yang terbaik 55% (Tchobanoglous,1993). Bahan yang
terlalu kering akan mengganggu kehidupan mikroorganisme sedang bahan
yang terlalu basah akan menyebabkan udara sulit masuk ke pori-pori kompos.
Bila kelembaban kurang dapat dilakukan penambahan air, sedangkan
kelembaban yang tinggi perlu dilakukan pencampuran dengan bahan lain yang
(46)
e. Pengadukan dan pembalikan ( Mixing / Turning )
Untuk menjaga kelembaban dan jalannya udara dalam proses
pengomposan, maka perlu dilakukan pengadukan atau pembalikan bahan
sesuai jadwal atau pada saat dibutuhkan (Tchobanoglous,1993).
f. Temperatur
Kisaran suhu ideal tumpukan adalah 55 – 65 °C, dengan suhu minimum 45°C selama proses pengomposan. Suhu ideal bagi perkembangan jasad termofilia adalah 50-65°C. Pada suhu tersebut, perkembangan mikroba adalah yang paling baik sehingga populasinya lebih banyak. Disamping itu, enzym
yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik juga paling efektif daya
urainya (CPIS, 1992).
g. Kontrol Patogen
Hal ini sebaiknya dilakukan, memungkinkan untuk membunuh semua
patogen, bibit hama dan bibit rumput liar. Untuk melakukannya temperatur
harus mencapai 60-70°C level termofilik selama 24 jam
(Tchobanoglous,1993).
h. Kebutuhan Oksigen
Pada komposting anaerob dikondisikan agar setiap bagian kompos
mendapatkan suplai udara yang cukup. Suhu kompos yang meningkat akan
membuat bahan hancur dengan cepat dan akhirnya memadat. Kurangnya
oksigen dapat juga disebabkan oleh kelembaban bahan terlalu tinggi sehingga
(47)
32
ditempat terbuka sehingga udara dapat masuk dari berbagai sisi dan secara
berkala dilakukan pembalikan kompos (Yuwono,2006).
i. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) yang terbaik untuk proses pengomposan anaerob
adalah pada kondisi pH netral yaitu berkisar antara 6 – 8 (CPIS,1992). Untuk
mengurangi hilangnya nitrogen dalam bentuk gas amoniak, pH seharusnya
tidak lebih dari 8.5 (Tchobanoglous,1993).
2.8 Hipotesis
Diduga bahwa dengan meninjau waktu yang dibutuhkan pada
pengomposan dengan penambahan limbah padat rumah potong hewan dan M-16
sebagai biostarter, maka penurunan ratio C/N bahan organik sampah (UPN
(48)
33
3.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sampah Organik yang diambil dari sampah UPN “Veteran“ JATIM.
b. Limbah padat rumah potong hewan sebagai Biostarter.
c. M-16 yang digunakan sebagai Biostarter.
3.2 Peralatan Penelitian
Peralatan yang akan digunakan untuk proses pengomposan ini berupa bak
plastik . Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.1.
(49)
34
Adapun dimensi dari reaktor tersebut adalah sebagai berikut :
Diameter : 40 cm
Tinggi : 60 cm
Gambar 3.2. Dimensi Reaktor Penelitian
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan melakukan prosedur penelitian sebagai
berikut :
a. Persiapan alat-alat yang digunakan dalam penelitian
b. Persiapan bahan baku sampah organik UPN “Veteran“ JATIM” yang
akan di pergunakan dalam penelitian.
c. Pemilahan bahan sampah organik yang akan di pergunakan dalam
penelitian
d. Sampah organik yang telah dipilah kemudian dipotong-potong atau
dicacah hingga berukuran ± 2-5 cm.
e. Masukkan bahan sampah organik ke dalam bak – bak reaktor yang telah
di sediakan dan mulai lakukuan proses pengomposan
(50)
f. Tambahkan limbah padat rumah potong hewan dengan variasi berat 1 kg,
2 kg, 3 kg dan M-16 sebanyak 10 ml
g. Setelah tercampur maka dilakukan penelitian pendahuluan, untuk
mengetahui berapa nilai kelembaban, rasio C/N, suhu dan pH awal. Hal
ini berguna untuk mengetahui kondisi awal apakah sudah sesuai
dengan persyaratan.
h. Jika kondisi awal belum sesuai, dilakukan pengaturan kelembaban dan
rasio C/N dengan penambahan air jika kelembaban kurang. Aduk
kembali hingga merata.
i. Aduk campuran bahan hinga merata pada masing-masing reaktor,
pencampuran dilakukan perlahan dan diaduk hingga merata di semua
bagian.
j. Pada masing-masing reaktor ditempelkan label sesuai dengan variasi
yang dilakukan, untuk memudahkan saat pengambilan sampel. Dengan
demikian proses pengomposan aerobik telah dimulai.
k. Pengadukan dilakukan tiap 3 hari untuk semua reaktor.
3.4 Variabel
Penelitian akan dilakukan dengan meninjau variabel-variabel sebagai
berikut :
a. Konsentrasi penambahan Limbah padat rumah potong hewan kering (kg) :
(51)
36
b. Lama Pengomposan (hari) :
0 hari, 7 hari, 14 hari, 21 hari, 28 hari.
Dengan menetapkan :
a). Berat sampah organik = 5 kg
b). Penambahan M-16 = 10 ml
c). Kelembaban bahan organik awal = < 55%
d). Ukuran bahan organik (Seragam) = 2 -5 cm
Adapun komposisi bahan tiap reaktor adalah sebagai berikut :
R1 = 5 kg sampah
R2 = 5 kg sampah + 1 kg Limbah padat rumah potong hewan
R3 = 5 kg sampah + 2 kg Limbah padat rumah potong hewan
R4 = 5 kg sampah + 3 kg Limbah padat rumah potong hewan
R5 = 5 kg sampah + 1 kg Limbah padat rumah potong hewan + 10 ml M-16
R6 = 5 kg sampah + 2 kg Limbah padat rumah potong hewan + 10 ml M-16
(52)
Variasi yang dilakukan pada masing-masing reaktor ditunjukkan sebagai beikut :
3.5 Analisa Data
Data yang akan di amati dalam penelitian ini adalah
a. Nilai C/N
b. Kadar air
c. Temperatur
d. Keasaman (pH)
Analisis parameter dilakukan setiap tujuh hari sekali, sedangkan temperatur
diukur setiap hari dengan menggunakan termometer alkohol.
M-16 10 ml Limbah padat
rumah potong hewan
1 kg
Sampah organik sebagai control
M-16 10 ml
M-16 10 ml Limbah padat
rumah potong hewan
2 kg
Limbah padat rumah potong
hewan 3 kg
(53)
38
Analisa pendahuluan
Meliputi analisa kelembaban, kadar C, kadar N, pH dan suhu
3.6 Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut :
Ide Penelitian
Studi Literatur
Sampah, Proses komposting, Faktor-faktor yang mempengaruhi komposting, Karakteristik Limbah padat rumah potong hewan, M-16
Persiapan alat :
1. Penyediaan peralatan analisis
2. Penyediaan reaktor, drum plastik yang sudah dilubangi dibagian dasarnya
Persiapan bahan :
- Penyediaan sampah organik, - Penyediaan Limbah padat rumah
potong hewan
- Penyediaan M-16
Analisis parameter Meliputi kelembaban, kadar C,
kadar N, pH dan suhu, untuk mengetahui kematangan kompos Analisis P dan K untuk mengetahui
kualitas kompos
Hasil pengamatan dan pembahasan
Kesimpulan dan saran Penyusunan laporan
Proses pengomposan aerobik
Variasi Limbah padat rumah potong hewan
- 1 kg
- 2 kg
- 3 kg
Penambahan M-16 tiap reactor 10 ml
(54)
39
4.1 Kondisi Awal Sampah
Kondisi awal sampah adalah kondisi dimana sampah organik yang telah
dipisahkan dari sampah anorganik melalui sortasi sebelum dilakukan variasi
penambahan limbah padat rumah potong hewan, dan M-16, yang dapat
mempercepat pengomposan. Kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM dapat
dilihat pada Tabel 4.1 :
Tabel 4.1 Kondisi Awal Sampah UPN “Veteran“ JATIM
Parameter Komposisi
Suhu (ºC) 30
pH 6.1
Kadar air (%) 32.12
C-organik (%) 30.23
N-total (%) 1.8
Rasio C/N 16.79
Sumber : Hasil Pengukuran
Kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM memiliki suhu yang masih
rendah, kisaran suhu yang ideal dalam proses pengomposan yaitu 55º C - 70º C
dengan suhu minimum 45º C selama proses pengomposan (Pusdakota Ubaya,
2005). Hal ini menunjukkan masih minimnya aktivitas mikroorganisme dalam
mendekomposisikan bahan organik, sehingga perlu dilakukan penambahan
biostarter untuk mempercepat pertumbuhan mikroorganisme dalam
mendekomposisi bahan organik yang dapat menghasilkan panas (Setiawan, 2007).
Kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM memiliki pH yang bersifat
(55)
40
6-8 (CPIS,1992). pH biasanya turun karena sejumlah mikrooganisme tertentu
merubah sampah organik menjadi asam organik, kemudian mikroorganisme jenis
lainnya akan memakan asam organik tersebut sehingga menyebabkan pH naik
kembali sampai mendekati neteral. Kondisi ini menunjukkan telah adanya
aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisikan bahan organik
(Pusdakota Ubaya. 2005) .
Kadar air pada kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM cukup rendah,
menurut (Polprasert,1989) dalam (Pusdakota Ubaya. 2005) kadar air yg baik
antar 50 – 70 %. Komposisi sampah yang digunakan dalam pengomposan
merupakan jenis sampah organik dengan kadar air rendah seperti sisa
sayur-sayuran, daun-daunan, sisa daun pembungkus dan sisa makanan. Proses
pengomposan memerlukan penambahan limbah padat rumah potong hewan yang
banyak mengandung nutrien sebagai sumber energi untuk membangun sel- sel
baru mikroorganisme dan biostarter M-16 untuk memperbanyak jumlah
mikroorganisme dalam awal pengomposan sehingga dapat memenuhi standar
pengomposan aerobik 50 – 60 % (CPIS,1992).
Kondisi awal rasio C/N sampah UPN “Veteran“ JATIM masih belum sesuai
dengan kriteria awal pengomposan yang disarankan untuk pengomposan antara
20:1-40:1 dengan rasio terbaik adalah 30:1 (CPIS, 1992). Hal itu disebabkan
sampah UPN “Veteran“ JATIM yang digunakan memiliki unsur karbon yang
rendah dan unsur nitrogen yang tinggi, sehingga rasio C/N yang dimiliki masih
rendah dan belum memenuhi kriteria yang disarankan. Maka diperlukan
(56)
karbon yang tinggi dengan unsur nitrogen yang rendah, sehingga didapatkan
perbandingan rasio C/N 30:1 pada awal pengomposan.
4.2 Limbah Padat Rumah Potong Hewan
Limbah padat rumah potong hewan memiliki nilai pH 8,1, sehingga dapat
digunakan sebagai biostarter dalam pengomposan karena pH limbah padat rumah
potong hewan memenuhi kriteria pengomposan 6-8,5 (Yustiowatie, 2006).
Penggunaan limbah padat rumah potong hewan sebagai biostarter dalam
pengomposan diharapkan dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme untuk
mendekomposisikan bahan organik yang akan mempengaruhi nilai pH pada awal
pengomposan, sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan efektif. Hal
inidapat ditujukkan dengan kenaikan pH pada awal pengomposan yang diikuti
dengan penurunan pada hari berikutnya sebagai indikator telah adanya aktifitas
mikroorganisme dalam tumpukan.
Dalam pengomposan secara aerobik mikroorganisme mesofilik
(actinomycetes dan ragi) berperan melakukan degradasi bahan organik
menghasilkan panas, sehingga suhu dalam tumpukan meningkat.
Pada proses aerobik ditandai dengan suhu yang terus meningkat sehingga
merangsang pertumbuhan mikroorganisme termofilik (Lactobacillus sp.) untuk
menggantikan fungsi mikroorganisme mesofilik dalam membusukkan tumpukan
sampah. Setelah itu suhu pada tumpukan akan menurun atau stabil, sehingga
proses dekomposisi akan terhenti dan kompos dapat digunakan dengan
(57)
42
4.3 Kondisi Awal Pengomposan
Kondisi awal pengomposan adalah kondisi sampah organik setelah
dilakukan variasi penambahan daun-daunan kering, dan air yang dapat
mempercepat pengomposan. Kondisi awal pengomposan dapat dilihat pada
Tabel 4.2 :
Tabel 4.2 Kondisi Awal Pengomposan
Parameter R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
Suhu (ºC) 30 30 30 30 30 30 30
pH 6.1 6.3 6.5 6.7 6.8 7.1 7.2
Kadar air (%) 57.43 57.20 54.98 58.18 56.59 54.78 56.66
C-organik (%) 54.24 54.02 53.46 54.07 54.28 53.18 53.89
N-total (%) 1.85 1.84 1.85 1.87 1.90 1.92 1.90
Rasio C/N 29.32 29.36 28.90 28.91 28.57 27.80 28.36
Sumber : (Hasil Pengukuran, 2009)
Kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM memiliki suhu yang masih
rendah. Hal ini menunjukkan masih minimnya aktivitas mikroorganisme dalam
mendekomposisikan bahan organik yang dapat menghasilkan panas. Penambahan
limbah padat rumah potong hewan dan M-16 sebagai biostarter dapat
meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisikan bahan
organik sehingga suhu dalam tumpukan dapat meningkat. Dengan suhu tumpukan
yang terus meningkat maka proses pengomposan dapat berjalan secara efektif.
pH pada kondisi awal sampah UPN “Veteran“ JATIM bersifat netral
6,1 Hal itu sudah memenuhi kriteria pH dalam pengomposan antara 6-8
(CPIS,1992). Kondisi ini menunjukkan telah adanya aktivitas mikroorganisme
dalam mendekomposisikan bahan organik untuk mengubah sampah organik
(58)
sebagai biostarter menyebabkan pH pada tumpukan meningkat, sedangkan
perbedaan pH pada tiap reaktor disebabkan karena variasi penambahan limbah
padat rumah potong hewan dan M-16 pada tiap reaktor.
Penambahan air dan biostarter pada awal pengomposan meningkatkan kadar
air dalam tumpukan, sehingga dapat memenuhi standar pengomposan aerobik
50-60%. Kelembaban yang sesuai dapat melarutkan nutrien bagi aktivitas
mikroorganisme dan protoplasma sel, sehingga akan mempercepat proses
pengomposan (Setiawan, 2007).
Perbedaan rasio C/N pada tiap reaktor diakibatkan karena komposisi sampah
yang dimasukkan kedalam tiap reaktor tidak diperhitungkan secara detail.
Akibatnya reaktor yang berisi terlalu banyak tumbuhan hijau cenderung memiliki
rasio C/N yang lebih tinggi dibandingkan dengan reaktor yang mengandung bahan
organik yang mudah membusuk.
Dengan penyesuaian yang dilakukan pada awal pengomposan diharapkan
mikroorganisme yang terdapat dalam tumpukan dapat beraktivitas secara
maksimal. Untuk itu pada awal pengomposan diperlukan penambahan air, limbah
padat rumah potong hewan dan M-16 sebagai biostarter yang dapat menghasilkan
mikroorganisme dalam jumlah banyak, sehingga proses dekomposisi bahan
organik akan lebih cepat karena mikroorganisme dapat bekerja dengan baik dalam
tumpukan yang mengakibatkan perubahan-perubahan bahan organik dalam
(59)
44
4.4 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Penyisihan Rasio C/N pada Proses Pengomposan
Dengan memperhatikan syarat kompos yang baik yaitu rasio C/N 10-20
maka bahan organik dalam sampah UPN “Veteran“ JATIM dilakukan
penyesuaikan rasio C/N sehingga sama dengan tanah melalui proses
pengomposan. Adapun rasio penyisihan C/N dalam pengomposan dapat dilihat
pada Tabel 4.3 :
Tabel 4.3 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan Rasio C/N (%)
Sumber : Hasil Penelitian
Pada awal pengomposan belum terjadi rasio penyisihan C/N, setelah proses
pengomposan berjalan pada hari ke-7 terjadi rasio penyisihan C/N pada semua
reaktor. Pada reaktor I dan II rasio penyisihan C/N sebesar 3.82% dan 3.85%,
sedangkan rasio penyisihan C/N pada reaktor III dan IV berjalan lebih lambat
yaitu 2.39% dan 1.32%. Rasio penyisihan C/N pada reaktor V dan VI berjalan
lebih cepat dari reaktor III dan IV dengan rasio penyisihan C/N 3.61% dan 2.45%,
sedangkan pada rasio penyisihan C/N pada reaktor VII berjalan lebih cepat bila
dibandingkan dengan reaktor I,II,III,IV,V dan VI dengan rasio penyisihan C/N
3.99%.
Hari ke- R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
0 0 0 0 0 0 0 0
7 3.82 3.85 2.39 1.32 3.61 2.45 3.99 14 10.61 14.11 15.23 23.53 35.36 22.81 19.89 21 26.16 30.83 34.3 40.79 52.4 38.46 41.93 28 43.12 48.37 48.38 55.25 60.63 52.95 54.55
(60)
Rasio penyisihan C/N pada hari ke-14 berjalan lebih cepat, pada reaktor I
dan II terjadi rasio penyisihan C/N 10.61% dan 14.11%, sedangkan pada reaktor
III dan IV rasio penyisihan C/N 15.23% dan 23.53%. Pada reaktor V terjadi rasio
penyisihan C/N paling cepat sebesar 35.36%, sedangkan pada reaktor VI dan VII
rasio penyisian C/N 22.81% dan 19.89%.
Pada hari ke-21 reaktor I dan II terjadi rasio penyisihan C/N 26.16% dan
30.83%, Rasio penyisihan C/N pada reaktor III dan IV berjalan lebih cepat dari
reaktor I dan II dengan rasio C/N 34.3% dan 40.79%, sedangkan rasio penyisihan
C/N pada reaktor V terjadi rasio penyisihan C/N paling cepat sebesar 52.4%,
sedangkan pada reaktor VI dan VII rasio penyisian C/N 38.46% dan 41.93%.
Pada hari ke-28 reaktor I dan II mengalami rasio penyisihan C/N 43.12%
dan 48.37%. Rasio penyisihan C/N pada reaktor III dan IV berjalan lebih cepat
bila dibandingkan dengan reaktor I dan II dengan rasio C/N 48.38% dan 55.25%.
Sedangkan pada reaktor V terjadi rasio penyisihan paling cepat sebesar 60.63%,
sedangkan pada reaktor VI dan VII rasio penyisian lebih lambat dibanding dengan
reaktor V dengan rasio penyisihan C/N 52.95% dan 54.55%.
Rasio penyisihan C/N yang terjadi selama proses pengomposan pada semua
(61)
46 -10 0 10 20 30 40 50 60 70
0 5 10 15 20 25 30
Waktu Pengomposan (hari)
R asi o P en yi si h an C / N ( % )
R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
Gambar 4.1 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan Rasio C/N (%)
Pada hari ke-0 sampai hari ke-7 semua reaktor mengalami rasio penyisihan
C/N dengan laju yang lambat, hal ini diakibatkan mikroorganisme yang terdapat
dalam proses pengomposan belum dapat beraktivitas secara maksimal dalam
dekomposisi bahan organik, karena mikroorganisme masih dalam tahap adaptasi.
Pada hari ke-7 sampai hari ke-21 laju rasio penyisihan C/N pada semua
reaktor berjalan lebih cepat, karena mikroorganisme dalam pengomposan sudah
melakukan aktivitas dalam mendekomposisikan bahan organik (fase
pertumbuhan). Hal itu ditunjukkan dengan peningkatan suhu dalam tumpukan
sebagai akibat adanya aktivitas mikroorganisme, selain itu mikroorganisme dalam
pengomposan mengubah sampah organik menjadi asam organik yang
mengakibatkan pH dalam tumpukan menurun. Rasio penyisihan C/N tergantung
oleh banyaknya mikroorganisme yang melakukan aktivitas dalam
(62)
potong hewan dan M-16 sebagai biostarter dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme dalam pengomposan dan mempercepat waktu pengomposan.
Akan tetapi pada hari ke-7 rasio penyisihan C/N reaktor IV sedikit lebih lambat
karena proses pengomposan tidak sesuai dengan kondisi aerobik, misalnya
kekurangan suplay oksigen karena tidak melakukan penambahan sirkulasi
oksigen. Sehingga pada hari ke-14 pertumbuhan mikroorganisme belum maksimal
dalam mendekomposisikan bahan organik. Hal itu berarti rasio penyisihan C/N
dalam bahan organik juga belum maksimal. Akan tetapi pada hari ke-21 reaktor
IV mikroorganisme sudah beraktivitas dalam mendekomposisikan bahan organik
sehingga rasio penyisihan C/N lebih cepat. Sedangkan reaktor V pada hari ke-21
mengalami rasio penyisihan C/N paling cepat karena mikroorganisme dalam
mendekomposisikan bahan organik bekerja secara maksimal.
Pada hari ke-21 sampai hari ke-28 rasio penyisihan C/N pada semua reaktor
mulai melambat, hal itu karena proses pengomposan sudah mengalami proses
pematangan kompos. Kondisi ini dapat dilihat dari pH pada setiap reaktor yang
berangsur-angsur mendekati netral, selain itu suhu dalam tumpukan mulai stabil
karena adanya mikroorganisme yang mati dalam suhu tinggi sehingga
mikroorganisme yang masih bertahan melakukan adaptasi lagi dengan mencari
tempat yang lebih sejuk yaitu pada bagian atas tumpukan. Reaktor V dengan
penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg dan M-16 10ml mengalami
penyisihan paling cepat, karena mikroorganisme dalam reaktor ini bekerja lebih
cepat dalam mendekomposisikan bahan organik sehingga proses pematangan
(63)
48
Reaktor V merupakan hasil pengomposan yang paling baik, karena dalam
reaktor V telah mencapai rasio C/N yang sesuai dengan syarat pengomposan lebih
cepat dari reaktor yang lain pada hari ke-28 dengan rasio C/N 11.25 (10-20),
kadar air26.98, suhu 30 (stabil), dan pH 7,2 (netral).
Pada reaktor I tanpa adanya penambahan limbah padat rumah potong hewan
dan M-16, reaktor II dengan penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg
dan M-16 10ml mencapai rasio C/N yang sesuai dengan syarat pengomposan pada
hari ke 28. Akan tetapi rasio penyisihan C/N pada reaktor I dan II paling lambat
dengan rasio penyisihan C/N 43.12% dan 48.37% (rasio C/N 16.68 dan 15.16),
sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai rasio yang sesuai
dengan syarat pengomposan. Sedangkan pada reaktor III, IV, VI dan VII
mencapai rasio C/N 14.92, 12.94, 13.08, dan 12.89 yang sesuai dengan syarat
pengomposan pada hari ke-28, akan tetapi rasio C/N kurang maksimal karena
masih dapat terjadi rasio penyisihan C/N (10-20).
4.5 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan C-organik pada Proses Pengomposan
Perubahan C-organik merupakan indikator telah terjadinya proses
dekomposisi dalam pengomposan dan kematangan kompos. C-organik yang
(64)
Tabel 4.4 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan C-organik (%)
Hari ke- R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 0 54.24 54.02 53.46 54.07 54.28 53.18 53.89 7 54.14 53.91 53.03 53.92 52.61 52.34 52.29 14 52.41 50.19 49.11 47.32 41.73 45.06 46.81 21 45.04 42.66 40.27 40.23 32.23 39.01 38.22 28 35.36 34.56 32.07 31.44 28.46 30.21 30.28
Sumber : Hasil Pengukuran
Pada hari ke-7 reaktor I tanpa penambahan limbah padat rumah potong
hewan dan M-16 terjadi penyisihan C-organik sebesar 54.14% dan reaktor II
dengan penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg terjadi penyisihan
C-organik sebesar 53.91%. Sedangkan pada reaktor III dengan penambahan limbah
padat rumah potong hewan 2kg dalam waktu pengomposan 14 hari terjadi
penyisihan C-organik 49.11%. Untuk penyisihan pada reaktor IV dengan
penambahan limbah padat rumah potong hewan 3kg dan reaktor V dengan
penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg dan M-16 10ml dengan
waktu pengomposan 21 hari terjadi penyisihan C-organik 40.23% dan 32.23%.
Penyisihan C-organik dengan waktu pengomposan 28 hari pada reaktor I tanpa
penambahan limbah padat rumah potong hewan dan M-16 dan reaktor II dengan
penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg paling lambat 35.36% dan
34.56%, penyisihan paling baik terjadi pada reaktor V dengan penambahan
(65)
50
Penyisihan C-organik yang terjadi selama proses pengomposan pada semua
reaktor dapat dilihat pada Gambar 4.2, sebagai berikut :
27 37 47 57
0 5 10 15 20 25 30
Waktu Pengomposan (hari)
P
e
ny
is
iha
n C
-O
rga
nik
(
%
)
R1 R2 R3 R4 R5 R 6 R 7
Gambar 4.2 Pengaruh Penambahan limbah padat rumah potong hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan C-organik (%)
Kondisi kandungan C-organik (%) yang mengalami peningkatan pada awal
pengomposan terjadi karena penambahan bahan organik lain yang memiliki unsur
C-organik (%) yang tinggi sehingga dapat menyesuaikan rasio C/N pada awal
pengomposan. Setelah proses pengomposan berjalan kandungan C-organik (%)
mengalami penyisihan yang menandakan adanya dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme, karena karbon digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber
energi dalam melakukan dekomposisi bahan organik. Mula-mula dekomposisi
berjalan dengan cepat, kemudian laju dekomposisi berjalan dengan lambat
tergantung pada sifat bahan organik dan kondisi tempat dimana proses
dekomposisi itu berlangsung. Dalam proses dekomposisi ini bahan organik
(66)
Kondisi semua reaktor pada awal pengomposan sampai hari 7 telah terjadi
penyisihan C-organik karena dalam tumpukan sudah mengalami dekomposisi
bahan organik. Akan tetapi dekomposisi masih berjalan lambat, hal ini terjadi
karena mikroorganisme masih dalam tahap adaptasi sehingga belum dapat bekerja
dengan maksimal.
Dengan dilakukan penambahan biostarter pada awal pengomposan maka
pada hari ke-14 sampai hari ke-28 dekomposisi bahan organik berjalan dengan
cepat karena sudah ada mikroorganisme yang beraktivitas dalam dekomposisi
sehingga proses pengomposan berjalan lebih cepat. Dengan semakin banyaknya
mikroorganisme yang bekerja dalam dekomposisi maka terjadi penyisihan
C-organik dalam tumpukan yang digunakan sebagai energi dalam dekomposisi
bahan organik. Setelah semua bahan organik terdekomposisi maka proses akan
berjalan secara lambat, karena banyaknya mikroorganisme yang telah mati akibat
kekurangan karbon untuk energi dalam aktivitasnya.
4.6 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan N-total pada Proses Pengomposan
Perubahan N-total merupakan indikator telah terjadinya proses dekomposisi
dalam pengomposan dan kematangan kompos. N-total yang diperoleh sebagai
(67)
52
Tabel 4.5 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan N-total (%)
Sumber : Hasil Pengukuran
Pada hari ke-0 semua reaktor mempunyai kandungan N-organik yang
seragam, karena sampah yang digunakan merupakan jenis sampah yang sama
sehingga kandungan N-total pada semua reaktor hampir sama. Pada hari ke-7
reaktor II dengan penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan 1kg terjadi
penyisihan N-total sebesar 1.91% dan pada reaktor III dengan penambahan
Limbah Padat Rumah Potong Hewan 2kg terjadi penyisihan N-total sebesar
1.88%. Sedangkan pada reaktor I penambahan Limbah Padat Rumah Potong
Hewan dalam waktu pengomposan 14 hari terjadi penyisihan N-total 2.00%.
Untuk penyisihan pada reaktor IV dan reaktor V dengan waktu pengomposan 21
hari terjadi penyisihan N-total 2.35% dan 2.37%. Penyisihan N-total dengan
waktu pengomposan 28 hari pada reaktor I dan reaktor III paling lambat 2.12%
dan 2,15 %, penyisihan paling baik terjadi pada reaktor V dengan penambahan
limbah padat rumah potong hewan 1kg dan M-16 10 ml.
Penyisihan N-total selama proses pengomposan dapat dilihat pada Gambar 4.3
Hari ke- R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 0 1.85 1.84 1.85 1.87 1.9 1.92 1.9
7 1.92 1.91 1.88 1.89 1.91 1.93 1.92
14 2 1.99 2 2.11 2.26 2.1 2.06
21 2.08 2.1 2.12 2.35 2.37 2.28 2.32
(68)
Gambar 4.3 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Penyisihan N-total (%)
1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
0 5 10 15 20 25 30
Waktu Pengomposan (hari)
P
en
yi
si
h
an
N
-t
o
tal
(
%
)
R1 R 2 R 3 R 4 R 5 R 6 R 7
Kondisi kandungan nitrogen (%N) yang mengalami peningkatan pada awal
pengomposan terjadi karena penambahan bahan organik lain yang memiliki unsur
nitrogen (%N) sehingga dapat menyesuaikan rasio C/N pada awal pengomposan.
Kandungan nitrogen pada bak dengan penambahan Limbah Padat Rumah Potong
Hewan dan M-16 memiliki kecenderungan meningkat. Hal ini terjadi karena
penambahan biostarter berupa Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16
dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme yang bekerja untuk mendegradasi
bahan organik, sehingga proses pengomposan dapat berjalan dengan baik. Selain
itu penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan juga dapat memperlancar
(69)
54
4.7 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Rasio C/N pada Proses Pengomposan
Rasio C/N menandakan telah terjadinya proses dekomposisi dalam
pengomposan dan kematangan kompos. Rasio C/N yang diperoleh sebagai hasil
pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.6 :
Tabel 4.6 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Rasio C/N
Hari ke- R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
0 29.32 29.36 28.90 28.91 28.57 27.80 28.36 7 28.20 28.23 28.21 28.53 27.54 27.12 27.23 14 26.21 25.22 24.56 22.11 18.47 21.46 22.72 21 21.65 20.31 18.99 17.12 13.60 17.11 16.47 28 16.68 15.16 14.92 12.94 11.25 13.08 12.89 Sumber : Hasil Pengukuran
Pada hari ke-7 pada reaktor I dan reaktor II memilki rasio C/N sebesar 28.20
dan 28.23. Sedangkan pada reaktor III dan reaktor IV dalam waktu pengomposan
14 hari memilki rasio C/N 24.56 dan 22.11. Untuk penyisihan pada reaktor III, IV,
V, VI dan VII dengan waktu pengomposan 21 hari rasio C/N sudah memenuhi
syarat pengomposan (10-20) tetapi masih mungkin terjadi penurunan rasio C/N.
Pada waktu pengomposan 28 hari rasio C/N pada reaktor I dan II memiliki rasio
16.68 dan15.16, sedangkan pada reaktor III, IV, VI dan VII memiliki rasio C/N
sebesar 14.92, 12.94, 13.08 dan 12.89. Sedangkan pada reaktor V merupakan hasil
yang paling baik karena rasio C/N yang paling dekat dengan 10 yaitu11.25.
(1)
54
4.7 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Rasio C/N pada Proses Pengomposan
Rasio C/N menandakan telah terjadinya proses dekomposisi dalam pengomposan dan kematangan kompos. Rasio C/N yang diperoleh sebagai hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.6 :
Tabel 4.6 Hubungan antara Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 terhadap Rasio C/N
Hari ke- R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7
0 29.32 29.36 28.90 28.91 28.57 27.80 28.36 7 28.20 28.23 28.21 28.53 27.54 27.12 27.23 14 26.21 25.22 24.56 22.11 18.47 21.46 22.72 21 21.65 20.31 18.99 17.12 13.60 17.11 16.47 28 16.68 15.16 14.92 12.94 11.25 13.08 12.89
Sumber : Hasil Pengukuran
Pada hari ke-7 pada reaktor I dan reaktor II memilki rasio C/N sebesar 28.20 dan 28.23. Sedangkan pada reaktor III dan reaktor IV dalam waktu pengomposan 14 hari memilki rasio C/N 24.56 dan 22.11. Untuk penyisihan pada reaktor III, IV, V, VI dan VII dengan waktu pengomposan 21 hari rasio C/N sudah memenuhi syarat pengomposan (10-20) tetapi masih mungkin terjadi penurunan rasio C/N. Pada waktu pengomposan 28 hari rasio C/N pada reaktor I dan II memiliki rasio 16.68 dan15.16, sedangkan pada reaktor III, IV, VI dan VII memiliki rasio C/N sebesar 14.92, 12.94, 13.08 dan 12.89. Sedangkan pada reaktor V merupakan hasil yang paling baik karena rasio C/N yang paling dekat dengan 10 yaitu11.25.
(2)
10 15 20 25 30
0 5 10 15 20 25 30
Waktu Pengomposan (hari)
R
a
s
io
C
/N
R 1 R 2 R 3 R 4 R 5 R 6 R 7
Gambar 4.4 Pengaruh Penambahan Limbah Padat Rumah Potong Hewan dan M-16 Terhadap Rasio C/N
Rasio C/N yang rendah akan menyebabkan kecepatan proses dekomposisi menurun, karena kekurangan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen hilang melalui penguapan. Hal ini disebabkan mikroorganisme sudah mulai beradaptasi dan melakukan dekomposisi bahan organik dalam tumpukan. Untuk itu dilakukan penambahan bahan lain yang memiliki rasio C/N yang tinggi dalam tumpukan sehingga akan memenuhi kriteria awal pengomposan 30:1 dengan harapan pengomposan berjalan lebih cepat.
Rasio C/N pada tiap reaktor cenderung mengalami penurunan dengan tingkat waktu penurunan yang berbeda, hal ini disebabkan karena bahan organik yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pengomposan bersifat heterogen sehingga memiliki kecepatan penguraian yang berbeda.
Tingkat penurunan rasio C/N juga dipengaruhi oleh kondisi kadar air dan pH. Karena dengan kadar air dan pH yang sesuai kriteria pengomposan akan
(3)
56
memperlancar terjadinya proses nitrifikasi yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga rasio C/N dapat turun dengan cepat menjadi rasio C/N tanah.
Pada reaktor V penurunan rasio C/N yang sesuai dengan syarat kompos yang baik terjadi lebih cepat, yaitu pada hari ke-28 dengan rasio C/N 11.25 dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan pada reaktor I, II, III, IV, VI dan VII terjadi penurunan sesuai syarat kompos yang baik terjadi pada hari ke 28 dengan tingkat penurunan yang berbeda-beda. Akan tetapi rasio yang dimiliki masih memungkinkan untuk terjadi penguraian yang dapat menyebabkan penrunan rasio C/N.
(4)
57 5.1 Kesimpulan
a. Semakin lama waktu pengomposan akan mempercepat pembentukan kompos karena keterlibatan mikroorganisme dalam pengomposan semakin banyak.
b. Faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan :
1. Penambahan biostarter limbah padat rumah potong hewan dan M-16 dapat mempercepat pembentukan kompos karena adanya aktivitas mikroorganisme dalam pengaturan rasio C/N.
2. Waktu pengomposan mempercepat pembentukan kompos sejalan dengan penambahan waktu karena adanya keterlibatan mikroorganisme dalam pengomposan semakin banyak.
c. Pembentukan kompos yang paling baik diperoleh pada reaktor V dengan penambahan limbah padat rumah potong hewan 1kg dan M-16 10ml waktu pengomposan 28 hari, dengan rasio C/N 11.25
5.2 Saran
a. Pada penelitian ini belum menghasilkan pupuk organik (kompos) karena hanya meninjau rasio C/N, sehingga perlu dilakukan peninjauan terhadap nilai Kadar air, C-organik, N-total, P2O5, K2
b. Perlu dilakukan penelitian pengomposan diatas 28 hari, karena penelitian ini menghasilkan rasio C/N paling baik pada composting 28 hari.
(5)
58
c. Proses pengomposan sampah UPN “Veteran“ JATIM berjalan secara aerobik.
d. Penelitian ini hanya meninjau 2 variabel (penambahan limbah padat rumah potong hewan dan M-16) disarankan untuk meninjau faktor lain seperti : Volume bahan, Rasio C/N, Kelembaban, suhu, pH, Ukuran partikel, Percampuran.
(6)
Pembuatan Kompos dari Sampah.
Damanhuri, Enri dkk. 1999. Teknik Pengeloaan Persampahan. Teknik Lingkungan. ITB.
Indriani, Yovita Hety. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Musnamar, I. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat. Edisi satu. Penebar Swadaya. Peavy, Howard S. 1995. Environmental Engineering. Mc Graw Hill Book Company. Polprasert, Chongkrak, 1996. Composting and Recycling Municipal Solid Waste. Pradana, 2008. Pengaru Penambahan Ragi Tape dan Ampas Tahu Pada Pengomposan
Sampah Organik. Tugas Akhir. Tekhnik Lingkungan UPN Veteran. Surabaya.
Pusdakota Ubaya. 2005. Pengomposan Sampah Rumah Tangga.
Sani, 2007. Pemanfaatan Limbah Cair Rumah Potong Hewan Sebagai Alternatif Media Tanam Secara Hidroponik. Tugas Akhir. Teknik Lingkungan. UPN Veteran. Surabaya.
Setiawan 2007. Manfaat Sampah Rumah Tangga Sebagai Pupuk Organik (kompos).
Tugas Akhir. Teknik Lingkungan. UPN Veteran. Surabaya.
SK SNI 19-7030-2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik..
Tchobanoglous, Theisien and Vigil. 1993. Integrated Solid Waste Management. Mc Graw Hill International.
Winarti, Juli. 2002. Reduksi Volume Sampah Kota dengan Pengomposan. Tugas Akhir. Teknik Lingkungan. UPN Veteran. Surabaya.