dalam Pasal 171 huruf f dapat ditafsirkan sebagai “sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik”. Hal ini berarti benda tersebut meliputi benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda bergerak dan
benda tetap Pasal 200  KHI. Adapun jenis benda yang dapat diwasiatkan harus memenuhi syarat, yaitu “harus merupakan hak dari pewasiat”.
Syarat  ijab dan qabul wasiat yaitu melalui  pernyataan, atau isyarat  yang  dapat dipahami, tetapi jika pemberi wasiat tidak sanggup berbicara maka ijab dapat dilakukan dengan tulisan.
7. Bentuk Wasiat
Wasiat dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis. Berdasarkan Pasal 195 KHI, dapat disimpulkan bahwa wasiat tertulis dapat dibuat dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Wasiat
lisan maupun tertulis harus dilakukan dihadapan dua orang saksi. Apabila wasiat ditujukan kepada ahli   waris,   maka   persetujuan  ahli   waris  yang   lain  mutlak   diperlukan,   baik  lisan  maupun   tertulis
dihadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.
8. Besarnya Wasiat
Pemberi   wasiat   adakalanya   mempunyai   ahli   waris  dan   adakalanya   tidak   mempunyai   ahli waris. Apabila pemberi wasiat mempunyai ahli waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari
sepertiga. Hal ini berdasarkan Hadist Rasulullah: “Rasulullah SAW datang mengunjungi saya pada tahun haji Wada’, waktu saya sakit keras. Lalu saya
bertanya: Hai Rasulullah, saya sedang sakit keras, bagaima pendapat Tuan. Saya ini orang berada, akan tetapi tak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah sebaiknya
saya   wasiatkan   dua   pertiga   hartaku   untuk   beramal?   Jangan,   jawab   Rasulullah,.   Separoh   ya Rasulullah?,   sambungku.   Jangan   jawab   Rasulullah.   Lalu   sepertiga?   Sambungku   lagi.   Rasulullah
menjawab, sepertiga. Sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
yang meminta-minta kepada orang banyak HR. Bukhari Muslim.” Apabila ia mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiatnya tidak dapat dilaksanakan kecuali
atas ijin dari para ahli waris. Demikian pula, seandainya pemberi wasiat tidak mempunyai ahli waris, maka iapun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga Sayyid Sabiq, 1987: 250.
9. Batalnya Wasiat.
Menurut   Pasal   197   ayat   1  KHI  wasiat   menjadi   batal   apabila   calon   penerima   wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
1 Dipersalahkan   telah   membunuh   atau   mencoba   membunuh   atau   menganiaya   berat   pada pewasiat.
2 Dipersalahkan   secara   memfitnah   telah   mengajukan   pengaduan   bahwa   pewasiat   telah melakukan   kejahatan   yang   diancam   hukuman   lima   tahun   atau   hukuman   yang   lebih
berat.dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
3 Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat. Selanjutnya menurut Pasal 197 ayat 2 KHI, wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk
menerima wasiat itu: 1 Tidak   mengetahui   adanya   wasiat   tersebut   sampai   ia   meninggal   dunia   sebelum   pewasiat
meninggal. 2 Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya.
3 Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
10. Pencabutan Wasiat