Pendapat Ulama Mengenai Perkawinan Beda Agama

                                         ِل      ُل    Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar- benar beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada suami suami mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” 94 94 Ibid.,h.803 Kedua ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang muslin dengan seorang musyrik baik antara laki-laki muslim dengan musyrikah maupun antara laki-laki musyrik dengan seorang musyrikah. Sekalipun masih terdapat penafsiran yang berbeda di kalangan ulama mengenai siapa yang dimaksud dengan wanita musyrik yang haram dinikahi. Ulama Tafsir menyebutkan bahwa penafsiran wanita musyrik dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik Arab karena pada waktu Al-Quran turun mereka belum mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Sebagaian yang lainnya mengatakan bahwa wanita musyrik itu tidak hanya terbatas pada wanita musyrik Arab, akan tetapi umum, mencakup semua jenis kemusyrikan baik dari suku Arab atau dari suku lain, termasuk di dalamnya juga penyembah berhala, penganut agama Yahudi dan Nashrani, namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa semua wanita musyrik baik dari suku Arab atau pun non Arab, selain ahli kitab dari pemeluk Yahudi dan Nasrani. 95 Kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat menanggapi permasalahan tersebut. Dari perbedaan pendapat itu sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Hosen terdapat tiga pendapat yaitu : Pendapat pertama mengatakan bahwa menikahi wanita ahli kitab Yahudi dan Nasrani halal hukumnya. Demikian pendapat jumhur ulama dari kalangan madzhab empat, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, Salman Dan Jabir. Demikian pendapat kedua mengatakan menikahi wanita ahli kitab haram hukumnya. Demikian pendapat Ibn Umar, Syi‟ah 95 Ibn Jarir at-Thabari, Ja mi‟ al-Bayan fi Ta‟wil Al-Quran, Muassah Ar-Risalah, 2000, III: 711-713, Imamiyah dan Zaidiyah. Pendapat ketiga mengatakan menikahi wanita ahli kitab halal hukumnya tetapi siasat tidak menghendakinya. Demikian pendapat sebagian ulama di antaranya Umar Ibn Al-Khaththab. 96 Pada literatur klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan perkawinan tersebut atau paling tidak mereka hanya menganggap makruh, Pendapat pertama berargumentasikan pada QS. Al-Maidah ayat 5 yaitu :                                                Artinya : “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik- baik. makanan sembelihan orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. dan Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang 96 Maimun, Metode Penemuan Hukum dan Implementasinya Pada Kasus-Kasus Hukum Islam, Bandar Lampung; Anugrah Utama Raharja; 2015 h. 107-108 yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman tidak menerima hukum- hukum Islam Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. 97 Landasan lain yang dijadikan dasar adalah apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya. Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita ahli kitab Maria al- Qibthiyah, Usman bin Affan pernah menikah dengan seorang wanita Nashrani Naylah bint Al- Qarafisah Al-Kalabiyah, Huzaifah bin Al-Yaman pernah menikah dengan seorang Yahudi, sementara sahabat lain pada waktu itu tidak ada yang menentangnya melarangnya. 98 Pendapat kedua berargumentasikan pada Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10, yang menunjukan dengan jelas pria muslim dilarang menikahi wanita-wanita kafir. Sebagian ulama melarang pernikahan tersebut karena menganggap bahwa ahli kitab Yahudi dan Nasrani itu termasuk dalam kategori musyrik, khususnya dalam doktrin dan praktik ibadah Yahudi dan Nashrani Kristen yang mengandung unsur syirik trinitas, dimana agama Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman, sedangkan agama Kristen juga menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah dan mengkultuskan ibunya Maryam Maria. 99 97 Ibid.,h.143. 98 Ibn Jarir at-Thabari, Ja mi‟ al-Bayan fi Ta‟wil Al-Quran, t.t : t.t , t.t VI: 364, 99 Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, t.t : t.t , t.t VI: 180 Suatu riwayat menjelaskan sebagai dikemukakan oleh Sayid Sabiq bahwa Ibn Umar pernah berkata tidak ada perbuatan syirik yang lebih besar dosanya kecuali wanita yang mengatakan Isa Yesus Kristus sebagai Tuhan atau sebagai oknum Tuhan. Pendapat ketiga berargumentasikan pada ungkapan Umar Ibn Al-Khathtab, bahwa Umar pernah berkata kepada para sahabat Nabi yang menikahi wanita ahli kitab “ceraikanlah mereka itu” Perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat tersebut kecuali Hudzaifah. Umar mengulangi lagi perintahnya agar Hudzaifah menceraikan isterinya. Kemudian Hudzaifah berkata : Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi ahli kitab haram hukumnya.? Umar berkata : Dia akan menjadi fitnah, “ceraikanlah”. Hudzaifah menyahut lagi : Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia haram.? Umar menjawab lagi dengan singkat : “Ia adalah fitnah”. Akhirnya Hudzaifah berkata : Sesungguhnya saya tau bahwa ia adalah fitnah tetapi ia halal bagiku. Setelah Hudzaifah meninggalkan Umar, barulah isterinya ditalak. 100 Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, para ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam, sama adanya calon suami dari ahli kitab Yahudi dan Kristen atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci. Hal itu didasarkan pada QS. Al-Baqarah 2: 221 Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu …. 101 100 Ibid.,, 101 Ibid., Berdasarkan petunjuk yang ada dalam Al- Qur‟an, ulama sepakat bahwa komunitas Yahudi dan Nasrani adalah ahli kitab. Walaupun demikian, mereka tidak sepakat mengenai perinciannya. Imam al- Syafi‟i berpendapat bahwa Ahli Kitab yang dimaksud Q.S. Al- Ma‟idah 5 : 5 adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel; karena Nabi Musa dan Nabi Isa diutus khusus kepada mereka. 102 Pendapat ulama lainnya lebih luas, Al- Syahristani berpendapat bahwa Ahli Kitab mencakup Yahudi dan Nasrani tetapi tidak terbatas pada keturunan Israel. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud Ahli Kitab adalah seluruh kelompok manusia yang memercayai salah seorang nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al- Shabi‟in termasuk Ahli Kitab. Murid Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, berpendapat lebih jauh. Ia berpendapat bahwa Majusi, Sabi‟in, penyembah berhala di India dan Cina Hindu dan Budha, pen. termasuk Ahli Kitab Karena kitab-kitab mereka mengandung ajaran tauhid. 103 Pendapat ulama mengenai cakupan Ahli Kitab termasuk wilayah ijtihad yang sangat mungkin berubah dan berbeda pendapat diantara ulama sendiri. 104 P akar fikih dari mazhab Hanafi, Syafi‟I dan sebagian ulama Malikiah berpendapat bahwa hukum laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab adalah makruh karena Umar Ibn al-Khaththab menganjurkan agar para sahabat yang menikahi perempuan Ahli Kitab menceraikan istri-istrinya yang 102 H.Nasroen Haroen Pemimpin Redaksi, Ensklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, h.46. 103 Rasyid Ridha, Tafisr Al-Manar, Kairo Dar Al-Manar, 1367 H, II; 347. 104 Jaih Mubarok, Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2015, h.116. berasal dari kalangan Ahli Kitab. 105 Kemudian akan dijabarkan, pendapat ulama-ulama nusantara atau ulama di Indonesia yang menjadi rujukan lewat lembaga atau organisasi keagamaan yang mengeluarkan fatwa, yaitu : a. Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama Pada musyawarah Nasional II pada 26 Mei-1 Juni 1980 11-17 Rajab 1400 H, MUI menetapakan fatwa mengenai perkawinan campuran atau perkawinan beda agama. Dalam fatwa MUI tentang perkawinan campuran terdapat empat ayat Al- Qur‟an dan dua buah hadits yang dijadikan alasan. Pertama, Q.S. al-baqarah 2 : 221 tentang cegahan bagi laki-laki muslim menikah dengan wanita dari kalangan musyrik dan cegahan bagi wali untuk menikahkan wanita yang berada dibawah tanggung jawabnya dengan laki-laki dari kalangan orang musrik. Kedua, Q.S. al- Ma‟idah 5 : 5 tentang kebolehan laki- laki muslim menikah dengan wanita dari kalangan Ahli Kitab. Walaupun demikian, MUI tidak menjelaskan cakupan Ahli Kitab yang dalam ayat tersebut, sebagaimana telah diperdebatkan oleh pakar fikih sebelumnya. Ketiga, Q.S. al-Mumtahanah 60:10 tentang cegahan bagi orang-orang beriman untuk mengembalikan perempuan dari kalangan muslimah kepada suami mereka yang berasal dari kalangan orang kafir Karena perempuan muslimah tidak halal menikah dengan laki- laki yang kafir, dan laki-laki muslim dilarang memperthankan perkawinan dengan perempuan dari kalangan kafir. Keempat, Q.S. at-Tahrim 66 : 6 tentang perintah bagi orang-orang beriman untuk memelihara dan menjaga diri sendiri serta keluarganya dari perbuatan-perbuatan yang dapat membawanya kepada siksa neraka. Kelima, sabda Nabi Muhammad Saw. Yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani tentang nikah sebagai bagian setengah dari ajaran agama dan kita diperintahkan berhati-hati terhadap sisanya yang lain. Keenam, sabda Nabi Muhammad Saw. Yang diriwaytkan 105 Ibid. h.117 oleh Imam Al_aswad Ibn al- Sura‟I tentang pentingnya pendidikan agama yang dilakukan oleh orang tua ibu- bapak terhadap anak-anaknya Karena merekalah yang me membuat anaknya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Setelah memperhatikan dan mempertimbangkan empat ayat Al- Qur‟an dan dua buah hadits Nabi Muhammad Saw., MUI dalam Munas II memfatwakan bahwa : pertama, hukum perkawinan perempuan dari kalangan muslimah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam adalah haram; dan kedua, hukum perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan yang bukan dari kalangan muslimah termasuk dengan perempuan dari kalangan ahli kitab adalah haram. 106 Setelah mempertimbangkan maslahat-mafsadat, MUI berkesimpulan bahwa mafsadat yang akan ditimbulkan dari perkawinan muslimah termasuk dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab, lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Dengan demikian, MUI menetapkan keharaman perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim atas dasar pertimbangan mashlahat. b. Keputusan NU tentang Perkawinan Beda Agama Salah satu keputusan Muktamar NU dipondok pesantren krapyak adalah hukum perkawinan beda agama. Berdasarkan Himpunan Keputusan Bathsul Masa‟il PWNU Jawa Timur, keputusan tersebut diperkirakan ditetapkan antara 1979-1986. Dengan demikian, keputusan BM-NU tentang pernikahan beda agama juga merupakan respons terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2 ayat 1. Perjalanan secara historis, BM-NU telah menetapkan hukum perkawinan beda agama sejak 1962 jauh sebelum pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Muktamar NU 1962 dan 106 H.A. Nazri Adlani Penynting, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1997, h.120-122 keputusan tersebut kemudian dikuatkan lagi dalam Muktamar Thariqah Muktabarah 1968. 107 NU menetapkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan bukan muslimah, dan perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki muslim, adalah tidak sah. Alasan yang digunakan adalah pendapat ulama yang terdapat dalam enam kitab : 1 al- Syarqâwi: Syarah dan Matannya; 2 al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-Imâm al- Syâfi‟I karya al-Syirazi; 3 al-Umm karya Muhammad Ibn Idris al- Syafi‟i; 4 Ahkam al-Fuqohâ; 5 al-Majmû Syarh al-Muhadzdzab karya al-Nawawi; dan 6 Tanwîr al-Qulûb. 108 c. Fatwa Muhammadiyah tentang Perkawinan Beda Agama Pada 1990 diadkan Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Universitas Mumamaddiyah Malang UMM. Dalam menetapkan hukum perkawinan antar agama, Majelis Tarjih menjadikan tujuh ayat al- Qur‟an, dan satu kaidah fikih sebagai dalil hukum. Pertama, Q.S. al-Baqarah 2 : 120 tentang cegahan mengikuti Yahudi dan Nasrani; Karena Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rida kepada kita, kecuali setelah kita mengikuti agama mereka. Kedua, Q.S. al- Ma‟idah 5 : 72-73 tentang penegasan Allah bahwa seseorang atau kelompok orang yang meyakini bahwa al-Masih Ibn Maryam adalah Allah dan Allah adalah salah seorang dari yang tiga trinitas, termasuk orang- orang kafir dan musyrik. Ketiga, Q.S. Ali-Imran 3 113 tentang adanya keyakinan dan perbuatan Ahli Kitab, sebagian Ahli Kitab masih ada yang berlaku lurus 109 , yaitu beriman 107 K.H.Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan : Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama Surabaya; PP Rabithah Ma‟ahidil Islamiyah dan Dinamika Press, 1977, h.340 108 K.H.Abdul Aziz Masyhuri,Op.Cit.,h.123 109 Dalam Al- Qur‟an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Kementrian Agama, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ahli Kitab kepada Allah dan hari akhir, melakukan amar ma‟ruf dan nahyi munkar, serta bersegera dalam berbuat baik. 110 Keempat, Q.S. al-Bayinah 98 : 1 dan 6 tentang pernyataan Allah bahwa orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka kecuali setelah datang bukti rasul Allah dan kitab; dan orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan musyrik akan ditempatkan di neraka selamanya. Kelima, hadis Nabi Muhammad Saw, yang menjelaskan empat pertimbangan dalam menikah: 1 harta, 2 keturunan atau nasab; 3 kecantikan; 4 agama. Agama harus dijadikan pertimbangan utama dalam melakukan pernikahan. 111 Keenam, kaidah fikih yang digunakan adalah sadd al-dzarîat, yaitu meninggalkan sesuatu yang akan membawa kerusakan lebih diutamakan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat dar‟al-mafâsid muqaddam „ala jalb al- mashâlih. Setelah mempertimbangkan ayat-ayat Al- Qur‟an, Hadis Nabi, dan kaidah fikih, Majelis Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa : 1 laki-laki muslim diharamkan menikah dengan perempuan bukan muslimah; dan 2 perempuan muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki yang bukan muslim, Putusan ini dipengaruhi oleh pertimbangan maslahat-mafsadat, seperti dilakukan oleh MUI dalam Musyawarah Nasional II pada 26 Mei-1 Juni 1980 dalam menetapkan perkawinan campuran. 112 Pada laporan seksi 1 Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah Mukhtamar Majelis Tarjih Muhamaddiyah 11-16 Februari 1989 atau 6-10 Rajab yang berkeyakinan dan berlaku lurus adalah Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam. Lihat catatan kaki nomor 221. 110 Lihat Q.S. Ali Imran 3 : 114 111 Muhammad Ibn „Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nayl al- Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdits al-Akhbar, vol.VI Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1347 H, h.90 112 Jaih Mubarok, Op.Cit., h.120. 1409 H di Malang diterangkan mengenai tiga penafsiran penting sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan hukum perkawinan beda agama. Pertama, penafsiran yang berhubungan dengan keyakinan: 1 sejak Nabi Muhammad Saw menjadi rasul, tidak ada agama yang harus dianut kecuali Islam; 2 sejak kerasulan Nabi Muhammad Saw, tidak ada lagi Ahli Kitab; 3 semua penganut selain agama Islam adalah musyrik dan kafir. Dengan penafsiran tersebut sebagai pertimbangan, akhirnya Majelis Tarjih menetapkan bahwa perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam adalah haram. 113 Kedua, dilihat dari segi maslahat-mafsadat, peserta muktamar menjelaskan bahwa seorang laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan bukan muslimah akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab, yaitu mendidik anak-anaknya secara Islam karena kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya. Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila istrinya ibu anak-anak masih fanatik terhadap agamanya. 114 Ketiga, peserta muktamar mengusulkan agar setiap orang yang akan masuk Islam hendaknya diteliti maksud dan tujuannya yaitu, apakah karena kebenaran Islam dalam keyakinannya atau untuk melakukan perkawinan. Peserta muktamar menetapkan dua hal: 1 laki-laki yang masuk Islam Karena ingin menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan muslimah, harus ditolak; dan 2 perempuan yang memeluk Islam karena akan menikah dengan laki-laki dari kalangan muslim, maka laki-laki yang menikahinya berkewajiban membinanya secara Islam. 115 113 Dalam Laporan seksi I Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah Muktamar Majelis Tarjih Muhamaddiyah 11-16 Februari 1989 atau 6-10 Rajab 1409 H di Malang. H.44 114 Ibid 115 Ibid,.h.120 Masukan-masukan dari peserta muktamar juga dilengkapi dengan kaidah lain yang dijadikan alasan, yaitu hukum berkembang dan berubah karena perkembangan serta perubahan zaman dan tempat al- hukm ya dûr ma‟a al-zamân wa al-makân. Majelis Tarjih Muhamaddiyah mengharamkan perkawina laki- laki muslim dengan perempuan bukan muslimah termasuk ahli kitab dan perkawinan seorang laki-laki yang masuk Islam karena perkawinan semata dengan perempuan muslimah atas dasar pertimbangan maslahat-mafsadat secara sosial, yaitu perkawinan sering kali dijadikan media oleh orang bukan muslim untuk melakukan pemurtadan. Sejalan dengan keputusan Muhammadiyah mengenai perkawinan antar agama beda agama dipengaruhi oleh dua pertimbangan: 1 pertimbangan akademis, mereka menetapkan bahwa Yahudi dan Nasrani yang dijelaskan dalam Al- Qur‟an sudah tidak ada lagi setelah kerasulan Muhammad Saw,; dan 2 pertimbangan sosiologis, yaitu pemurtadan terhadap muslimah yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan Islam. d. Pendapat A.Hassan dan Persis Tentang Perkawinan Beda Agama Pendapat A.Hassan menanggapi dua pertanyaan yang berada dalam satu topik perkawinan beda agama, yaitu pertanyaan mengenai hukum seorang Nasrani kawin dengan muslim, dan hukum laki-laki muslim menikah dengan perempuan bukan muslimah. Dalam menjawab dua pertanyaan hukum seorang laki-laki Nasrani menikah dengan perempuan Muslim dan laki- laki Muslim menikah dengan perempuan bukan muslimah, A. Hassan menjadikan Q.S. al- Ma‟idah 5 : 5 tentang kebolehan laki-laki muslim menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan Ahli Kitab sebagai dasar argumentasinya. Berdasarkan ayat tersebut, A.Hassan menjelaskan bahwa laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan Ahli Kitab. Setelah itu, A.Hasan menambah argumentasinya dengan menjelaskan bahwa Hudzaifah Ibn al-Yaman menikahi perempuan yang bukan dari kalangan muslimah. Menurutnya, perbuatan sahabat Nabi Saw yang menikahi perempuan bukan dari kalangan muslimah itu menguatkan Q.S. al-M a‟idah 5 : 5 tersebut. Selanjutnya A. Hasan menjelaskan bahwa laki- laki yang bukan beragama Islam tidak dibenarkan atau tidak sah menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan muslimah karena hal itu tidak dibenarkan Al- Qur‟an, sunah dan tidak ada contoh dari sahabat Nabi Saw., yang berupa amaliah atau perbuatan. 116 Yusuf Badri menjelaskan bahwa Persis berkesimpulan : 1 hukum pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki bukan muslim adalah haram; dan hukum pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab adalah boleh atau halal; 2 akan tetapi, karena perkawinan yang dilakukan antara laki- laki muslim dengan perempuan ahli kitab atau sebaliknya sering dijadikan alat oleh orang-orang yang bukan Islam untuk melakukan pemurtadan, Persis menetapkan bahwa pernikahan beda agama harus dijauhi dan akhirnya ditetapkan bahwa hukum pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab juga haram. 117

B. Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Positif

Sejak keambrukan Orde Baru, sebagian produk penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkesan semakin menjauh dari roh ideologi bangsa, bahkan 116 A.Hassan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama Bandung; CV. Dipoenoegoro, 1988 h.263-264 117 Yusuf Badri, Fatwa Ulama Ormas Islam tentang Pernikahan Beda Agama MUI, Muhammadiyah, Persis dan NU Bandung: PPs UIN SGD, 2004, tesis Magister, h.188-189. sebagian orang mengatakan cacat ideologis. Cacat ideologis dimaksud adalah sebagian produk undang-undang dan peraturan pelaksanaannya hingga aturan daerah di daerah- daerah terkesan tercerabut dari fakta keberagamaan sosial, budaya, agama, suku bangsa, dan norma-norma lokal nusantara yang menjadi karakter masyarakat asli yang dimiliki bangsa Indonesia. 118 Pernikahan itu diatur di Indonesia bahkan sebelum Indonesia merdeka, yaitu diatur dalam Undang-Undang peninggalan penjajah. Setelah merdeka, dan Indonesia menganut ideologi Pancasila. Peraturan yang mengatur mengenai pernikahan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dengan beberapa tahap sebelum disahkan. Pernikahan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 119 Pernikahan beda agama merupakan salah satu permasalahan yang mengalami pro kontra yang tak kunjung usai. Mereka yang memilih hidup dengan pasangan beda agama dipandang penulis, merasa termarginalkan dengan peraturan yang ada di Indonesia padahal diberi kebebasan dengan adanya Pasal 35 Adminduk. Dan mereka mengupayakan eksitensi dan legalitas nya dengan pengajuan di MA, draft CLD-KHI, bahkan ke MK dengan judicial review. Maka sebelum itu, akan di jabarkan beberapa hal yang mendukung yaitu :

1. Hukum Perkawinan yang Berlaku di Indonesia

Perkawinan merupakan salah satu ajaran penting dalam syari‟at sehingga mendapat perhatian khusus dari kalangan ulama dan politikus muslim Indonesia. Sebelum merdeka, di Indonesia sudah ada dua lembaga perkawinan yang eksis yaitu Kantor Urusan Agama 118 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Konstitusi sampai Implementasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, h.38 119 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ; 2013 h.273. [KUA] dan Pengadilan Agama [PA], namun keduanya masih memerlukan hukum materiil dan formal. Sejak awal kemerdekaan, usaha pembentukan UU Perkawinan telah dilakukan. 120 Pada zaman kemerdekaan, telah dibentuk enam undang-undang yang secara langsung mengatur Peradilan Agama struktur dan kekuasaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1952 tentang Peraturan untuk menghadapi kemungkinan hilangnya Surat Keputusan dan Surat Pemeriksaan Pengadilan ; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk diseluruh daerah Luar Jawad an Madura; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini diikuti dengan pemberlakuan sejumlah Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Mahkamah Agung, termasuk Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. 121 Tahun 1974 merupakan awal terbentuknya unifikasi tentang perkawinan yang ditandai dengan Undang-undang No. 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan. Sebelum berlakunya UU Perkawinan ini, di Indonesia terdapat bermacam-macam peraturan yang mengatur perkawinan bagi golongan masyarakat, mulai dari hukum adat sampai hukum Agama. 122 120 Jaih Mubarok, Op.Cit., h.53 121 Ibid., h.54 122 Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356- 1440, h.290