Pendapat Ulama Mengenai Perkawinan Beda Agama
ِل
ُل
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka benar- benar beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada suami-suami mereka orang-orang kafir. mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan
berikanlah kepada suami suami mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada
dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka
maharnya. dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya
di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”
94
94
Ibid.,h.803
Kedua ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang muslin dengan seorang
musyrik baik antara laki-laki muslim dengan musyrikah maupun antara laki-laki musyrik dengan
seorang musyrikah. Sekalipun masih terdapat penafsiran yang berbeda di kalangan ulama
mengenai siapa yang dimaksud dengan wanita musyrik yang haram dinikahi. Ulama Tafsir
menyebutkan bahwa penafsiran wanita musyrik dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik Arab
karena pada waktu Al-Quran turun mereka belum mengenal kitab suci dan mereka menyembah
berhala. Sebagaian yang lainnya mengatakan bahwa wanita musyrik itu tidak hanya terbatas
pada wanita musyrik Arab, akan tetapi umum, mencakup semua jenis kemusyrikan baik dari suku
Arab atau dari suku lain, termasuk di dalamnya juga penyembah berhala, penganut agama
Yahudi dan Nashrani, namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa semua wanita musyrik baik dari
suku Arab atau pun non Arab, selain ahli kitab dari pemeluk Yahudi dan Nasrani.
95
Kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, dikalangan para
ulama terdapat
perbedaan pendapat
menanggapi permasalahan tersebut. Dari perbedaan pendapat itu
sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Hosen terdapat tiga pendapat yaitu : Pendapat pertama mengatakan
bahwa menikahi wanita ahli kitab Yahudi dan Nasrani halal hukumnya. Demikian pendapat jumhur ulama dari
kalangan madzhab empat, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, Salman
Dan Jabir.
Demikian pendapat
kedua mengatakan menikahi wanita ahli kitab haram
hukumnya. Demikian pendapat Ibn Umar, Syi‟ah
95
Ibn Jarir at-Thabari, Ja mi‟ al-Bayan fi Ta‟wil Al-Quran,
Muassah Ar-Risalah, 2000, III: 711-713,
Imamiyah dan Zaidiyah. Pendapat ketiga mengatakan menikahi wanita ahli kitab halal hukumnya tetapi siasat
tidak menghendakinya. Demikian pendapat sebagian ulama di antaranya Umar Ibn Al-Khaththab.
96
Pada literatur
klasik didapatkan
bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan
perkawinan tersebut atau paling tidak mereka hanya menganggap
makruh, Pendapat
pertama berargumentasikan pada QS. Al-Maidah ayat 5
yaitu :
Artinya : “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-
baik. makanan sembelihan orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. dan Dihalalkan mangawini wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang
96
Maimun, Metode Penemuan Hukum dan Implementasinya Pada Kasus-Kasus Hukum Islam, Bandar Lampung; Anugrah Utama Raharja;
2015 h. 107-108
yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya
gundik-gundik.
Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman tidak menerima hukum-
hukum Islam Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang
merugi”.
97
Landasan lain yang dijadikan dasar adalah apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan
beberapa sahabatnya. Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita ahli kitab Maria al-
Qibthiyah, Usman bin Affan pernah menikah dengan seorang wanita Nashrani Naylah bint Al-
Qarafisah Al-Kalabiyah, Huzaifah bin Al-Yaman pernah menikah dengan seorang Yahudi, sementara
sahabat lain pada waktu itu tidak ada yang menentangnya melarangnya.
98
Pendapat kedua berargumentasikan pada Q.S. Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10, yang
menunjukan dengan jelas pria muslim dilarang menikahi wanita-wanita kafir. Sebagian ulama melarang
pernikahan tersebut karena menganggap bahwa ahli kitab Yahudi dan Nasrani itu termasuk dalam
kategori musyrik, khususnya dalam doktrin dan praktik ibadah Yahudi dan Nashrani Kristen yang
mengandung unsur syirik trinitas, dimana agama Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan
mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman, sedangkan agama Kristen juga menganggap Isa Al-Masih
sebagai anak Allah dan mengkultuskan ibunya Maryam Maria.
99
97
Ibid.,h.143.
98
Ibn Jarir at-Thabari, Ja mi‟ al-Bayan fi Ta‟wil Al-Quran, t.t : t.t
, t.t VI: 364,
99
Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, t.t : t.t , t.t VI: 180
Suatu riwayat menjelaskan sebagai dikemukakan oleh Sayid Sabiq bahwa Ibn Umar pernah berkata tidak
ada perbuatan syirik yang lebih besar dosanya kecuali wanita yang mengatakan Isa Yesus Kristus sebagai
Tuhan atau sebagai oknum Tuhan. Pendapat ketiga berargumentasikan pada ungkapan
Umar Ibn Al-Khathtab, bahwa Umar pernah berkata kepada para sahabat Nabi yang menikahi wanita ahli
kitab “ceraikanlah mereka itu” Perintah Umar ini dipatuhi oleh para sahabat tersebut kecuali Hudzaifah.
Umar mengulangi lagi perintahnya agar Hudzaifah menceraikan isterinya. Kemudian Hudzaifah berkata :
Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi ahli kitab haram hukumnya.? Umar berkata : Dia akan menjadi
fitnah, “ceraikanlah”. Hudzaifah menyahut lagi : Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia haram.? Umar
menjawab lagi dengan singkat : “Ia adalah fitnah”. Akhirnya Hudzaifah berkata : Sesungguhnya saya tau
bahwa ia adalah fitnah tetapi ia halal bagiku. Setelah Hudzaifah meninggalkan Umar, barulah isterinya
ditalak.
100
Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, para ahli hukum
Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam, sama adanya calon suami dari ahli kitab
Yahudi dan Kristen atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan
Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci. Hal itu didasarkan
pada QS. Al-Baqarah 2: 221 Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu
….
101
100
Ibid.,,
101
Ibid.,
Berdasarkan petunjuk yang ada dalam Al- Qur‟an, ulama sepakat bahwa komunitas Yahudi dan
Nasrani adalah ahli kitab. Walaupun demikian, mereka tidak sepakat mengenai perinciannya. Imam al-
Syafi‟i berpendapat bahwa Ahli Kitab yang dimaksud Q.S. Al-
Ma‟idah 5 : 5 adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel; karena Nabi Musa dan
Nabi Isa diutus khusus kepada mereka.
102
Pendapat ulama lainnya lebih luas, Al- Syahristani berpendapat bahwa Ahli Kitab mencakup
Yahudi dan Nasrani tetapi tidak terbatas pada keturunan Israel. Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa yang
dimaksud Ahli Kitab adalah seluruh kelompok manusia yang memercayai salah seorang nabi atau kitab suci
yang diturunkan Allah tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-
Shabi‟in termasuk Ahli Kitab. Murid Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, berpendapat lebih jauh. Ia
berpendapat bahwa Majusi, Sabi‟in, penyembah berhala di India dan Cina Hindu dan Budha, pen. termasuk
Ahli Kitab Karena kitab-kitab mereka mengandung ajaran tauhid.
103
Pendapat ulama mengenai cakupan Ahli Kitab termasuk wilayah ijtihad yang sangat
mungkin berubah dan berbeda pendapat diantara ulama sendiri.
104
P akar fikih dari mazhab Hanafi, Syafi‟I dan
sebagian ulama Malikiah berpendapat bahwa hukum laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Ahli
Kitab adalah makruh karena Umar Ibn al-Khaththab menganjurkan agar para sahabat yang menikahi
perempuan Ahli Kitab menceraikan istri-istrinya yang
102
H.Nasroen Haroen Pemimpin Redaksi, Ensklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT.Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, h.46.
103
Rasyid Ridha, Tafisr Al-Manar, Kairo Dar Al-Manar, 1367 H, II; 347.
104
Jaih Mubarok, Pembaharuan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2015, h.116.
berasal dari kalangan Ahli Kitab.
105
Kemudian akan dijabarkan, pendapat ulama-ulama nusantara atau ulama
di Indonesia yang menjadi rujukan lewat lembaga atau organisasi keagamaan yang mengeluarkan fatwa, yaitu :
a. Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama Pada musyawarah Nasional II pada 26 Mei-1 Juni
1980 11-17 Rajab 1400 H, MUI menetapakan fatwa mengenai perkawinan campuran atau perkawinan beda
agama. Dalam fatwa MUI tentang perkawinan campuran terdapat empat ayat Al-
Qur‟an dan dua buah hadits yang dijadikan alasan.
Pertama, Q.S. al-baqarah 2 : 221 tentang cegahan bagi laki-laki muslim menikah dengan wanita dari
kalangan musyrik dan cegahan bagi wali untuk menikahkan wanita yang berada dibawah tanggung
jawabnya dengan laki-laki dari kalangan orang musrik. Kedua, Q.S. al-
Ma‟idah 5 : 5 tentang kebolehan laki- laki muslim menikah dengan wanita dari kalangan Ahli
Kitab. Walaupun demikian, MUI tidak menjelaskan cakupan Ahli Kitab yang dalam ayat tersebut,
sebagaimana telah diperdebatkan oleh pakar fikih sebelumnya.
Ketiga, Q.S. al-Mumtahanah 60:10 tentang cegahan bagi orang-orang beriman untuk mengembalikan
perempuan dari kalangan muslimah kepada suami mereka yang berasal dari kalangan orang kafir Karena
perempuan muslimah tidak halal menikah dengan laki- laki yang kafir, dan laki-laki muslim dilarang
memperthankan perkawinan dengan perempuan dari kalangan kafir. Keempat, Q.S. at-Tahrim 66 : 6 tentang
perintah bagi orang-orang beriman untuk memelihara dan menjaga diri sendiri serta keluarganya dari
perbuatan-perbuatan yang dapat membawanya kepada siksa neraka.
Kelima, sabda Nabi Muhammad Saw. Yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani tentang nikah
sebagai bagian setengah dari ajaran agama dan kita diperintahkan berhati-hati terhadap sisanya yang lain.
Keenam, sabda Nabi Muhammad Saw. Yang diriwaytkan
105
Ibid. h.117
oleh Imam Al_aswad Ibn al- Sura‟I tentang pentingnya
pendidikan agama yang dilakukan oleh orang tua ibu- bapak terhadap anak-anaknya Karena merekalah yang
me membuat anaknya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Setelah memperhatikan dan mempertimbangkan empat ayat Al-
Qur‟an dan dua buah hadits Nabi Muhammad Saw., MUI dalam Munas II memfatwakan
bahwa : pertama, hukum perkawinan perempuan dari kalangan muslimah dengan laki-laki yang bukan
beragama Islam adalah haram; dan kedua, hukum perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan
yang bukan dari kalangan muslimah termasuk dengan perempuan dari kalangan ahli kitab adalah haram.
106
Setelah mempertimbangkan maslahat-mafsadat, MUI berkesimpulan bahwa mafsadat yang akan ditimbulkan
dari perkawinan muslimah termasuk dengan perempuan dari kalangan Ahli Kitab, lebih besar dibandingkan
dengan manfaatnya. Dengan demikian, MUI menetapkan keharaman
perkawinan laki-laki
muslim dengan
perempuan non-muslim
atas dasar
pertimbangan mashlahat.
b. Keputusan NU tentang Perkawinan Beda Agama
Salah satu keputusan Muktamar NU dipondok pesantren krapyak adalah hukum perkawinan beda
agama. Berdasarkan Himpunan Keputusan Bathsul Masa‟il PWNU Jawa Timur, keputusan tersebut
diperkirakan ditetapkan antara 1979-1986. Dengan demikian, keputusan BM-NU tentang pernikahan beda
agama juga merupakan respons terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama Pasal 2 ayat
1.
Perjalanan secara historis, BM-NU telah menetapkan hukum perkawinan beda agama sejak 1962
jauh sebelum pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Muktamar NU 1962 dan
106
H.A. Nazri Adlani Penynting, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1997, h.120-122
keputusan tersebut kemudian dikuatkan lagi dalam Muktamar
Thariqah Muktabarah
1968.
107
NU menetapkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan
perempuan bukan
muslimah, dan
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki muslim, adalah
tidak sah. Alasan yang digunakan adalah pendapat ulama yang terdapat dalam enam kitab : 1 al-
Syarqâwi: Syarah dan Matannya; 2 al-Muhadzdzab fi Fiqh Madzhab al-Imâm al-
Syâfi‟I karya al-Syirazi; 3 al-Umm karya Muhammad Ibn Idris al-
Syafi‟i; 4 Ahkam al-Fuqohâ; 5 al-Majmû Syarh al-Muhadzdzab
karya al-Nawawi; dan 6 Tanwîr al-Qulûb.
108
c. Fatwa Muhammadiyah tentang Perkawinan Beda Agama
Pada 1990
diadkan Muktamar
Tarjih Muhammadiyah di Universitas Mumamaddiyah Malang
UMM. Dalam menetapkan hukum perkawinan antar agama, Majelis Tarjih menjadikan tujuh ayat al-
Qur‟an, dan satu kaidah fikih sebagai dalil hukum.
Pertama, Q.S. al-Baqarah 2 : 120 tentang cegahan mengikuti Yahudi dan Nasrani; Karena Yahudi
dan Nasrani tidak akan pernah rida kepada kita, kecuali setelah kita mengikuti agama mereka. Kedua, Q.S. al-
Ma‟idah 5 : 72-73 tentang penegasan Allah bahwa seseorang atau kelompok orang yang meyakini bahwa
al-Masih Ibn Maryam adalah Allah dan Allah adalah salah seorang dari yang tiga trinitas, termasuk orang-
orang kafir dan musyrik.
Ketiga, Q.S. Ali-Imran 3 113 tentang adanya keyakinan dan perbuatan Ahli Kitab, sebagian Ahli
Kitab masih ada yang berlaku lurus
109
, yaitu beriman
107
K.H.Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan : Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama Surabaya; PP Rabithah
Ma‟ahidil Islamiyah dan Dinamika Press, 1977, h.340
108
K.H.Abdul Aziz Masyhuri,Op.Cit.,h.123
109
Dalam Al- Qur‟an dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh
Kementrian Agama, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ahli Kitab
kepada Allah dan hari akhir, melakukan amar ma‟ruf dan nahyi munkar, serta bersegera dalam berbuat
baik.
110
Keempat, Q.S. al-Bayinah 98 : 1 dan 6 tentang pernyataan Allah bahwa orang-orang kafir dari kalangan
Ahli Kitab dan musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka kecuali setelah datang bukti rasul Allah dan
kitab; dan orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan musyrik akan ditempatkan di neraka selamanya.
Kelima, hadis Nabi Muhammad Saw, yang menjelaskan empat pertimbangan dalam menikah: 1
harta, 2 keturunan atau nasab; 3 kecantikan; 4 agama. Agama harus dijadikan pertimbangan utama
dalam melakukan pernikahan.
111
Keenam, kaidah fikih yang
digunakan adalah
sadd al-dzarîat,
yaitu meninggalkan sesuatu yang akan membawa kerusakan
lebih diutamakan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat
dar‟al-mafâsid muqaddam „ala jalb al- mashâlih.
Setelah mempertimbangkan
ayat-ayat Al-
Qur‟an, Hadis Nabi, dan kaidah fikih, Majelis Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa : 1 laki-laki
muslim diharamkan menikah dengan perempuan bukan muslimah; dan 2 perempuan muslimah diharamkan
menikah dengan laki-laki yang bukan muslim, Putusan ini dipengaruhi oleh pertimbangan maslahat-mafsadat,
seperti dilakukan oleh MUI dalam Musyawarah Nasional II pada 26 Mei-1 Juni 1980 dalam menetapkan
perkawinan campuran.
112
Pada laporan seksi 1 Tuntunan Menuju Keluarga
Sakinah Mukhtamar
Majelis Tarjih
Muhamaddiyah 11-16 Februari 1989 atau 6-10 Rajab
yang berkeyakinan dan berlaku lurus adalah Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam. Lihat catatan kaki nomor 221.
110
Lihat Q.S. Ali Imran 3 : 114
111
Muhammad Ibn „Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nayl al- Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr min Ahâdits al-Akhbar, vol.VI Mesir :
Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1347 H, h.90
112
Jaih Mubarok, Op.Cit., h.120.
1409 H di Malang diterangkan mengenai tiga penafsiran penting sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan hukum perkawinan beda agama. Pertama, penafsiran yang berhubungan dengan keyakinan: 1
sejak Nabi Muhammad Saw menjadi rasul, tidak ada agama yang harus dianut kecuali Islam; 2 sejak
kerasulan Nabi Muhammad Saw, tidak ada lagi Ahli Kitab; 3 semua penganut selain agama Islam adalah
musyrik dan kafir. Dengan penafsiran tersebut sebagai pertimbangan, akhirnya Majelis Tarjih menetapkan
bahwa perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam adalah haram.
113
Kedua, dilihat dari segi maslahat-mafsadat, peserta muktamar menjelaskan bahwa seorang laki-laki
muslim yang menikah dengan perempuan bukan muslimah
akan mengalami
kesulitan dalam
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab, yaitu mendidik
anak-anaknya secara
Islam karena
kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya. Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila
istrinya ibu anak-anak masih fanatik terhadap agamanya.
114
Ketiga, peserta muktamar mengusulkan agar setiap orang yang akan masuk Islam hendaknya
diteliti maksud dan tujuannya yaitu, apakah karena kebenaran Islam dalam keyakinannya atau untuk
melakukan perkawinan. Peserta muktamar menetapkan dua hal: 1 laki-laki yang masuk Islam Karena ingin
menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan muslimah, harus ditolak; dan 2 perempuan yang
memeluk Islam karena akan menikah dengan laki-laki dari kalangan muslim, maka laki-laki yang menikahinya
berkewajiban membinanya secara Islam.
115
113
Dalam Laporan seksi I Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah Muktamar Majelis Tarjih Muhamaddiyah 11-16 Februari 1989 atau 6-10
Rajab 1409 H di Malang. H.44
114
Ibid
115
Ibid,.h.120
Masukan-masukan dari peserta muktamar juga dilengkapi dengan kaidah lain yang dijadikan alasan,
yaitu hukum berkembang dan berubah karena perkembangan serta perubahan zaman dan tempat al-
hukm ya dûr ma‟a al-zamân wa al-makân. Majelis
Tarjih Muhamaddiyah mengharamkan perkawina laki- laki muslim dengan perempuan bukan muslimah
termasuk ahli kitab dan perkawinan seorang laki-laki yang masuk Islam karena perkawinan semata dengan
perempuan
muslimah atas
dasar pertimbangan
maslahat-mafsadat secara sosial, yaitu perkawinan sering kali dijadikan media oleh orang bukan muslim
untuk melakukan pemurtadan.
Sejalan dengan keputusan Muhammadiyah mengenai perkawinan antar agama beda agama
dipengaruhi oleh dua pertimbangan: 1 pertimbangan akademis, mereka menetapkan bahwa Yahudi dan
Nasrani yang dijelaskan dalam Al- Qur‟an sudah tidak
ada lagi setelah kerasulan Muhammad Saw,; dan 2 pertimbangan sosiologis, yaitu pemurtadan terhadap
muslimah yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan Islam.
d. Pendapat A.Hassan dan Persis Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat A.Hassan menanggapi dua pertanyaan yang berada dalam satu topik perkawinan beda agama,
yaitu pertanyaan mengenai hukum seorang Nasrani kawin dengan muslim, dan hukum laki-laki muslim
menikah dengan perempuan bukan muslimah. Dalam menjawab dua pertanyaan hukum seorang laki-laki
Nasrani menikah dengan perempuan Muslim dan laki- laki Muslim menikah dengan perempuan bukan
muslimah, A. Hassan menjadikan Q.S. al-
Ma‟idah 5 : 5 tentang kebolehan laki-laki muslim menikah dengan
perempuan yang berasal dari kalangan Ahli Kitab sebagai dasar argumentasinya. Berdasarkan ayat
tersebut, A.Hassan menjelaskan bahwa laki-laki muslim
diperbolehkan menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan Ahli Kitab.
Setelah itu, A.Hasan menambah argumentasinya dengan menjelaskan bahwa Hudzaifah Ibn al-Yaman
menikahi perempuan yang bukan dari kalangan muslimah. Menurutnya, perbuatan sahabat Nabi Saw
yang menikahi perempuan bukan dari kalangan muslimah itu menguatkan Q.S. al-M
a‟idah 5 : 5 tersebut. Selanjutnya A. Hasan menjelaskan bahwa laki-
laki yang bukan beragama Islam tidak dibenarkan atau tidak sah menikah dengan perempuan yang berasal dari
kalangan muslimah karena hal itu tidak dibenarkan Al-
Qur‟an, sunah dan tidak ada contoh dari sahabat Nabi Saw., yang berupa amaliah atau perbuatan.
116
Yusuf Badri
menjelaskan bahwa
Persis berkesimpulan : 1 hukum pernikahan perempuan
muslimah dengan laki-laki bukan muslim adalah haram; dan hukum pernikahan laki-laki muslim dengan
perempuan Ahli Kitab adalah boleh atau halal; 2 akan tetapi, karena perkawinan yang dilakukan antara laki-
laki muslim dengan perempuan ahli kitab atau sebaliknya sering dijadikan alat oleh orang-orang yang
bukan Islam untuk melakukan pemurtadan, Persis menetapkan bahwa pernikahan beda agama harus
dijauhi dan akhirnya ditetapkan bahwa hukum pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan dari
kalangan Ahli Kitab juga haram.
117