agama.
158
Jika perkawinan beda agama tersebut antara pasangan agama non-Islam dan non-Islam, maka jelas
pencatatannya dilakukan di KCS. Akan tetapi bagaimana dengan perkawinan beda agama di mana salah satu
mempelainya beragama Islam. Untuk itu kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “PP 91975”.
Pada Pasal 2 ayat 1 PP 91975 dikatakan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
yaitu KUA. Melihat dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya perkawinan
yang dilangsungkan menurut agama Islam yang dicatatkan di KUA. Ini berarti perkawinan beda agama,
jika dilakukan dengan penetapan pengadilan, dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
159
158
Abdul Syukur dan Tim Hukumonline.com, Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia, Tanggerang: Literati,
2014, h.66
159
Ibid., h.70
BAB III PUTUSAN PERKARA MK NO.68PUU-XII2014
TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA G.
Pihak-Pihak yang Mengajukan Permohonan Judicial Review
Berdasarkan Putusan Perkara MK No.68PUU-XII2014 yang telah diolah peneliti, maka permohonan pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diajukan oleh : 1. Nama
: Damian Agata Yuvens Pekerjaan
: Konsultan Hukum Alamat
: Jalan Ratu Dibalau Nomor 24, RT 012, Kelurahan Tanjung Senang,
Kecamatan Tanjung Senang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Sebagai : Pemohon I
2. Nama : Rangga Sujud Widigda
Pekerjaan : Konsultan Hukum
Alamat : Jalan Merpati I Blok H-223, RT
008RW 008, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Kota Jakarta
Selatan, Provinsi Jakarta.
Sebagai : Pemohon II
3. Nama : Anbar Jayadi
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jalan Empu Barada Nomor 1, RT 001,
RW 003, Harjamukti, Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat.
Sebagai : Saksi III
4. Nama : Luthfi Sahputra
Pekerjaan : Konsultan Hukum
Alamat : Jalan Behdi IX. Kav. 125, Kelurahan Kebayoran Lama Utara, Kecamatan
Kebayoran Lama, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta.
Sebagai : Saksi III
Para Pemohon memilih domisilinya hukumnya di Jalan Kencana Permai 2 Nomor 4, Pondok Indah, Jakarta
Selatan. Selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
H. Latar Belakang Pengajuan Permohonan Judicial Review
Latar belakang pengajuan ini didasari atas : 1. Bahwa Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 11974 menyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan
kepercayaannya itu.” 2. Bahwa Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 11974 dapat
dibedakan menjadi 2 dua tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan pertama Pada tingkatan ini, yang dibicarakan adalah keabsahan
perkawinan yang ditetapkan oleh hukum nasional yang didasarkan pada hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. b. Tingkatan kedua
Dalam tingkatan ini, penilaian terhadap keabsahan perkawinan dilakukan oleh masing-masing hukum
agama dan kepercayaan. Kendatipun dapat dipisahkan berdasarkan tingkatan, namun pada esensinya kedua
tingkatan ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hukum
agama dan kepercayaan telah “ganti baju” dan mendapatkan sumber formalnya dari negara
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011: 165.
3. Bahwa pengaturan di atas berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar penafsiran negara
atas masing-masing agama dengan kepercayaannya. Atau dengan kata lain, negara “memaksa” agar setiap
warga negaranya untuk tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut negara atas masing-masing agama
kepercayaan.
4. Bahwa pengaturan ini menyebabkan ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan
perkawinan di Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung pada
interpretasi baik secara individual maupun secara institusional. Contoh paling sederhana dapat dilihat dari
perkawinan beda agama dan kepercayaan. Tiap agama dan kepercayaan memiliki pandangan yang berbeda
mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan. Bahkan, dalam satu agamakepercayaan saja bias
terdapat
pandangan yang
berbeda mengenai
diperbolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama dan kepercayaannya. Akibatnya adalah tidak jelas stastus
keabsahan perkawinan beda agama dan kepercayaan yang dijalani, apakah perkawinan nya sah atau tidak sah.
5. Bahwa permasalahan diatas menjadi semakin rumit ketika memasukan kewajiban administratif dalam
perkawinan, yaitu pencatatan vide penjelasan umum UU Nomor
11974, kedalam
formula. Dalam
hal perkawinan
dicatatkan, maka
penilaian terhadap
keabsahan perkawinan terjadi 3 tiga kali, yaitu : a. Oleh institusi agama dan kepercayaan, yang secara
tidak langsung juga mempengaruhi penafsiran masing-masing individu ;
b. Oleh para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dengan didasarkan pada perspektif
masing-masing pihak mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya ; dan
c. Oleh pegawai pencatat perkawinan ketika melakukan penelitian mengenai syarat perkawinan
6. Bahwa hal diatas menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi mengenai keabsahan perkawinan
antara institusi keagamaan dan kepercayaan dengan para pihak dan pegawai pencatat perkawinan. Sekali lagi hal
ini dapat terjadi semata-mata karena setiap pribadi memiliki
kebebasan penafsiran
agamanya dan
kepercayaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009:6.
7. Bahwa akibatnya adalah pelanggaran terhadap hak atas perkawinan yang sah yang diakui UUD 1945.