B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa data pada Responden 1 dan Responden 2 dilihat bahwa Responden 1 berhasil meraih hidup yang bermakna the
meaningful life, sedangkan Responden 2 tidak mampu meraih hidup yang bermakna. Hal ini ditandai dengan adanya will to meaning yang dimiliki oleh
responden 1 dan tidak dimiliki oleh responden 2. Will to meaning merupakan motivasi dasar manusia untuk meraih hidup yang bermakna Sahakian dalam
Bastaman, 2006. Motivasi inilah yang membuat responden 1 mampu merencanakan hidup ke depan dan melakukan kegiatan terarah untuk memenuhi
tujuan hidup yang telah ditetapkan. Berbeda pada responden 2 yang malah merasa takut dan ragu untuk mengambil langkah ke depan karena masih
mempertanyakan tujuan hidupnya yang sebenarnya. Berkaitan dengan hal responden 2 yang tidak berhasil meraih hidup
bermakna dan malah kembali menderita serta mencari-cari makna hidup yang sebenarnya ini, dapat ditinjau melalui tahapan kebermaknaan hidup yang telah
dilalui masing-masing responden. Berada pada tahap derita, responden 2 melakukan pelampiasan atas derita yang dialaminya dengan kembali berhubungan
intim yang pada akhirnya gagal karena mengalami kekerasan dalam berpacaran, dalam hal ini berbeda dengan responden 1 yang menyimpan segalanya dalam
hati hingga akhirnya sempat melakukan percobaan bunuh diri. Akan tetapi, responden 1 memperoleh social support dan figure ibunya yang telah berhasil
bangkit dari penderitaan hidup menjadi reinforcement bagi responden 1 untuk menerima keadaan diri dan menyadari kondisi di luar dirinya, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
responden 2 yang berjuang sendirian dengan belajar dari pengalaman pahit yang dialami tanpa dukungan dari teman ataupun orang tuanya.
Keberhasilan responden 1 dan responden 2 untuk bangkit dari tahap derita menuju tahap penerimaan diri dapat ditinjau dari pemahaman diri dan
pengubahan sikap yang dilakukan kedua responden. Dalam hal pemahaman diri, responden 1 memiliki keyakinan bahwa dengan kemampuan dan usaha
sendirilah dia dapat meraih apa yang diinginkan. Keyakinan responden 1 dalam upaya meraih tujuan hidup yang diinginkan menunjukkan bahwa responden 1
memiliki Internal Locus of Control. Internal Locus of Control berarti seseorang yang merasa memiliki kontrol atas nasib dan hidupnya melalui usaha dan tindakan
diri sendiri bukan dari orang lain maupun lingkungan Rotter dalam Schultz, 1995, sedangkan responden 2 tidak yakin dengan kemampuan diri sendiri
apabila dirinya sudah tidak menjadi PSK yang menyebabkan orang tuanya tidak akan lagi menyayangi dirinya. Ketakutan responden 2 untuk meninggalkan
pekerjaannya sebagai PSK dan ketergantungannya pada pelanggan yang bersedia memakai jasanya menunjukkan responden 2 memiliki External Locus of Control.
External Locus of Control berarti seseorang yang merasa tidak memiliki kontrol atas hidup dan nasibnya, dan merasa nasibnya adalah suatu keberuntungan,
ditentukan oleh orang lain dan lingkungan Rotter dalam Schultz, 1995. Locus of Control yang dimiliki responden 1 dan responden 2 menunjukkan perbedaan
kedua responden dalam memandang keadaan diri sendiri dan pencarian makna yang dilakukan. Internal locus of control responden 1 yang membuat dirinya
menyusun rencana hidup masa depan dengan orientasi menuju tercapainya tujuan
Universitas Sumatera Utara
hidup melalui vicarious learning yang menjadi reinforcement bagi responden 1 untuk melihat ke depan. Berbeda dengan external locus of control responden 2
yang membuat dirinya mengantisipasi ataupun menghindari kegagalan mempertahankan pekerjaannya sebagai PSK dengan tujuan untuk memenuhi need
for acceptance dan need for recognition dari orang tuanya. Peran locus of control terhadap pemahaman diri responden 1 dan
responden 2 juga turut menentukan sikap dan tindakan mereka dalam menanggapi pengalaman yang dialami kedua responden. Berkaitan dengan hal ini,
maka pemahaman diri mempengaruhi pengubahan sikap changing attitude yang dilakukan kedua responden. Pada aspek pengubahan sikap ini, responden 1
melihat pengalaman ibunya yang berhasil mengatasi penderitaan yang dialami vicarious experience menjadi reinforcement untuk bangkit dari perasaan sedih
yang berlarut-larut menjadi lebih rasional dalam menghadapi kehidupan dan figure ibu yang sabar dan semangat ideal model bagi responden 1 untuk
melanjutkan kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari responden 1 yang mulai mengarahkan diri sendiri untuk bertindak positif positive act; kembali
menjalankan ibadah, memperhatikan kesejahteraan keluarga, dan berkonsultasi dengan Bhante yang memberikan dampak positif terhadap perkembangan dan
kehidupan sosialnya psycho-social. Berbeda dengan responden 2 yang sebelumnya sempat meninggalkan pekerjaannya dan memilih untuk berhubungan
intim dengan pria lain, namun berakhirnya hubungan tersebut, menyadarkan diri responden 2 dengan mengubah arah hidup dari need for love menjadi
physiological need bertahan hidup. Hal ini dapat dilihat dari responden 2 yang
Universitas Sumatera Utara
kembali menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga dan pendidikan kedua adiknya.
Berkaitan dengan aspek pengubahan sikap, maka kecendrungan berperilaku pada responden 1 dan responden 2 dapat dijelaskan melalui teori
Rotter melalui 4 konsep Social Learning, yaitu behavior potential, expectancy, reinforcement value, dan psychological situation Rotter dalam Schultz, 1954.
Ke-4 konsep tersebut menjelaskan perbedaan antara Responden 1 dan Responden 2 dalam mengubah sikap mereka dan bertindak ke depan. Responden
1 yang telah menyadari pengalaman ibunya yang juga pernah mengalami KDRT dan berakhir dengan bercerai, mengembangkan expectancy dengan menyakini
bahwa bila dirinya mampu menjadi seperti ibunya yang optimis, sabar dan pantang menyerah, maka dirinya juga mampu seperti ibunya menghadapi
tantangan hidup. Walaupun Responden 1 menyadari bahwa situasi yang dialami tidak sama persis dengan yang dialami ibunya, namun adanya kesamaan sehingga
hal tersebut menjadi reinforcement value bagi Responden 1 untuk berubah dan menjadi sehebat ibunya. Hal ini didukung oleh psychological situation yang
dialami Responden 1 saat ini dengan adanya semangat, motivasi, dan keinginan untuk changing attitude ditambah dengan adanya social support dari ibu dan
Bhante semakin memperkuat behavior potential untuk bangkit dari kesedihan yang berlarut-larut dan menjalani kehidupan bersama dengan keluarga yang
merupakan hal penting dan berharga dalam hidupnya. Sedangkan responden 2 yang belajar dari dua pengalaman berhubungan dengan pria membuat Responden
2 melakukan generalization dengan mempersepsi bahwa dia akan gagal jika
Universitas Sumatera Utara
memilih untuk membina hubungan untuk ketiga kalinya sehingga dirinya mengubah reinforcement value dengan berfokus membantu pemenuhan
keluarganya dengan expectancy bahwa dirinya yang kembali menjadi PSK dan membantu keluarga akan mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Hal-hal
yang turut mempengaruhi dirinya untuk berperilaku demikian, yaitu psychological situation; tidak memiliki keterampilan khusus dan ingin memenuhi need for
acceptance atau need for recognition dan need for love sehingga mempengaruhi behavior potential Responden 2 dengan memilih hidup sebagai PSK dan
memperhatikan kesejahteraan keluarga dengan tujuan memperoleh kasih sayang dan cinta orang tuanya.
Kedua aspek di atas mencerminkan penerimaan diri yang berbeda dari kedua responden. Berkaitan dengan hal ini, kedua responden mampu menerima
diri dan berhasil mengambil jarak antara diri dan lingkungan, dan juga kedua responden sama-sama menyadari adanya hal penting dan berharga dalam hidup,
namun persepsi akan hal penting dan berharga di antara kedua responden berbeda. Responden 1 dan responden 2 juga sama-sama mampu melewati tahap
penerimaan diri dan mencapai tahap penemuan makna. Pada tahap penemuan makna inilah, dapat dilihat perbedaan proses yang dialami responden 1 dan
responden 2 melalui pengakraban hubungan dan nilai-nilai yang dianut dalam menumbuhkan will to meaning yang dimiliki oleh responden 1 dan tidak dimiliki
oleh responden 2. Dalam hal pengakraban hubungan, baik Responden 1 maupun Responden
2 sama-sama mendekatkan diri dan membina hubungan dengan keluarga, dan
Universitas Sumatera Utara
menyadari keberadaan mereka dibutuhkan dalam keluarga, kedua responden juga merasa dicintai dan mencintai keluarga masing-masing. Namun tujuan
pengakbran hubungan yang dilakukan oleh Responden 1 dan Responden 2 berbeda, walaupun mereka sama-sama mempersepsikan keluarga sangat berarti
dalam hidup mereka saat ini. Berkaitan dengan hal ini, konsep positive regard Rogers dalam Schultz, 1995 menjelaskan responden 1 dan responden 2 dalam
membina hubungan dengan keluarganya: Dari kecil Responden 1 mendapatkan unconditional positive regard dari ibunya yang berarti Responden 1 memperoleh
acceptance, love, dan approval dari ibunya tanpa adanya suatu kondisi tertentu sehingga Responden 1 mampu berkembang sebagai pribadi yang sabar,
bersemangat, dan berpegang pada prinsip seperti ibunya dan berjuang ke depan untuk memenuhi tujuan hidupnya. Seseorang yang memperoleh unconditional
positive regard dari kecil akan merasa dirinya berharga dan berguna bagi diri sendiri dan keluarga dalam kondisi apapun dan selalu mengorientasikan diri ke
pemenuhan tujuan dalam hidup karena memperoleh approval dan love dari orang tua Rogers dalam Schultz, 1995. Komponen ini juga menjadi salah satu kunci
keberhasilan Responden 1 dalam meraih hidup yang bermakna Bastaman, 2006. Namun berbeda dengan Responden 2 yang kurang mendapatkan positive
regard dari kedua orang tuanya dari kecil sehingga membuat dirinya berjuang untuk mendapatkan acceptance, love, dan approval dari orang tuanya. Responden
2 yang mendapat conditional positive regard belajar condition of worth untuk bersikap dan berperilaku yang positif agar mendapatkan positive regard dari
kedua orang tuanya sebagai tujuan dirinya membantu pemenuhan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
keluarga dan berusaha menghindari perilaku dan sikap yang dapat menjauhkan dirinya dari keluarga. Seorang anak yang belajar mengembangkan condition of
worth akan berusaha bersikap dan berperilaku yang membuat dirinya memperoleh approval and love dan berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang menjauhkan
diri dari love and approval dari orang tua Rogers dalam Schultz, 1995. Dengan demikian, Responden 2 merasa dirinya berharga dan bermakna hanya pada
kondisi ketika dirinya masih sanggup membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini telah menimbulkan perasaan takut dan ragu-ragu untuk
bertindak sesuai dengan keinginan, dan membuat Responden 2 kembali mempertanyakan tujuan hidupnya, dan emosi negatif yang kembali muncul dan
mendominasi diri responden 2 membuat dirinya kembali pada tahap derita. Selanjutnya, keberbedaan nilai-nilai yang dimiliki membuat kedua
responden menghayati tujuan hidup yang ingin diraih secara berbeda. Terdapat 3 nilai-nilai yang menjadi sumber makna hidup seseorang dalam meraih kehidupan
bermakna, yaitu creative value, experiential value, dan attitudinal value Frankl dalam Bastaman, 2006. Responden 1 memiliki experiential value dan
attitudinal value yang membuat responden 1 dapat mengambil hikmah atas peristiwa tragis yang dialami kemudian menjadikan pembelajaran bagi dirinya
untuk tetap berpegang pada prinsipnya, yakin dan percaya pada kebenaran dalam ajaran Dhamma, merasakan keakraban dalam keluarga, dan menghayati cinta
kasih dalam keluarga yang kemudian menimbulkan hasrat untuk memenuhi makna hidup yang telah ditemukannya. Experiential value adalah nilai-nilai
penghayatan pengalaman dalam hidup berupa cinta kasih, kebenaran suatu
Universitas Sumatera Utara
ajaran, hubungan dengan orang lain, dan keindahan Frankl dalam Bastaman, 2006 dan Attitudinal value adalah nilai-nilai yang dimiliki individu dalam
mengambil sikap yang tepat terhadap suatu peristiwa atau pengalaman yang tidak terhindarkan yang berarti mampu mengambil ‘hikmah’ atas kejadian yang
menimpa seorang individu Frankl dalam Bastaman, 2006. Nilai-nilai pada responden 1 sesuai dengan konsep Frankl bahwa seorang individu yang telah
memiliki salah satu atau lebih dari nilai-nilai di atas, maka individu tersebut telah menemukan makna hidupnya Frankl dalam Bastaman, 2006. Berbeda dengan
responden 1, responden 2 memiliki creative value, namun value yang dimiliki tidak memberikan makna atas pekerjaan yang ditekuni dan malah menimbulkan
emosi negatif yang perlahan mendominasi emosi positif yang telah dimiliki saat ini. Creative value yang dimaksud adalah individu yang sungguh-sungguh
mencintai pekerjaannya dan melakukan pekerjaannya dengan emosi yang positif serta dapat menimbulkan kepuasaan dalam hidup melalui pekerjaannya Frankl
dalam Bastaman, 2006. Responden 2 menekuni pekerjaan sebagai PSK secara sungguh-sungguh, akan tetapi dirinya tidak mencintai pekerjaan dan tidak
berdedikasi pada pekerjaannya sebagai PSK, serta memunculkan emosi negatif berupa perasaan ragu dan takut untuk melangkah ke depan. Dalam hal ini,
creative value yang dimiliki Responden 2, tidak menjadi sumber makna hidup bagi dirinya.
Meninjau value-value yang menjadi sumber makna hidup pada kedua responden, menunjukkan bahwa Responden 1 hidup dengan berorientasi meraih
tujuan hidupnya, sedangkan responden 2 berorientasi menghindari kegagalan.
Universitas Sumatera Utara
Pengakraban hubungan dan nilai-nilai yang dimiliki telah membuat responden 2 menjadi ragu-ragu dan takut untuk melangkah ke depan, sedangkan responden 1
yang semakin optimis dan berani menyusun rencana hidup ke depan sehingga membuat responden 1 berhasil mencapai tahap realisasi makna. Rasa optimis dan
keberanian yang dimiliki responden 1 dalam merealisasikan makna hidup adalah keyakinan responden 1 akan kuasa Tuhan. Spiritualism sangat menentukan
seseorang dalam memproyeksikan segala pengalamannya untuk hidup lebih baik di masa depan, hal ini menunjukkan individu yang benar-benar menjalankan
ibadahnya akan secara sadar membuat komitmen untuk memenuhi nilai-nilai yang dianggap penting dan berharga dalam hidup dengan keyakinan bahwa segala
tindakan mendapat perlindungan dan bimbingan dalam mewujudkan tujuan hidupnya Frankl, 1979. Dalam hal ini, komponen spiritualism ibadah inilah
salah satu kunci keberhasilan responden 1 dalam menemukan dan meraih hidup bermakna, sedangkan responden 2 kehilangan orientasi dan ragu-ragu dalam
mengambil langkah ke depan dan kembali merasakan emosi negatif dalam menjalani kehidupan.
Meninjau komponen spiritualism, responden 1 menjalankan ibadahnya dengan sungguh-sungguh telah membuat dirinya merasakan ketenteraman dan
ketabahan serta timbulnya perasaan mendapatkan bimbingan untuk melakukan tindakan-tindakan yang terarah. Keyakinan Responden 1 atas perlindungan
Tuhan telah memberikan kekuatan untuk menghadapi permasalahan hidup, membuat dirinya berpandangan optimis menghadapi kehidupan dan berorientasi
kepada masa depan sehingga dapat mengembangkan pribadi dari kondisi hidup
Universitas Sumatera Utara
tak bermakna the meaningless Nobody menuju taraf hidup bermakna the meaningful Somebody. Berhubungan dengan hal ini, will to meaning yang
dimiliki responden 1 mendorong freedom of will menuju kepada pemenuhan tujuan hidup. Berbeda dengan responden 1, responden 2 kurang menjalankan
ibadah dan berdoa sehingga hal-hal yang diperbuat seakan kehilangan orientasi dan tidak mengarah ke tujuan hidup yang sebenarnya yang kemudian
menimbulkan keragu-raguan dan ketakutan dalam diri untuk menghadapi tantangan kehidupan. Responden 2 tidak mendapat bimbingan atau dukungan
dari orang terdekat social support yang dapat mendorong dirinya untuk bertindak dan berperilaku sehingga dirinya terhambat dalam pencarian makna
hidup yang sebenarnya dan merasa hidup yang dijalaninya hampa dan kosong feeling empty and loss of interest. Dalam hal ini, responden 2 kembali ke tahap
derita merasakan penyesalan dan derita yang dialami sambil melakukan pencarian makna hidup yang sebenarnya.
Keberhasilan responden 1 dalam melewati tahap demi tahap dan sampai pada tahap realisasi makna dan kegagalan responden 2 yang terhenti pada tahap
penemuan makna dan kembali ke tahap derita dan masih melakukan pencarian makna hidup yang sebenarnya, selain dipengaruhi oleh komponen di atas, ada
faktor lain yang turut membedakan kedua responden dalam hal menjalani kehidupan. Hal tersebut adalah kemampuan menyadari diri manusia untuk dapat
meninggalkan kondisi aktual dan memproyeksikan dirinya pada keadaan mendatang yang artinya manusia dapat menyadari dan menghayati dirinya sebagai
subjek dan objek sekaligus, serta secara sadar mengembangkan diri ke arah yang
Universitas Sumatera Utara
diidamkan Fuad Hassan, 1974. Dalam arti, manusia sebenarnya mampu melakukan transendensi diri dari keadaannya sekarang penerimaan diri, dan
berkomitmen dengan hal-hal penting di luar dirinya; nilai-nilai penting dan bermakna untuk dipenuhi penemuan dan realisasi makna. Berkaitan dengan hal
ini, Responden 1 dan Responden 2 yang berhasil bangkit dari tahap derita menuju ke tahap penerimaan diri dan tahap penemuan makna menjelaskan bahwa
mereka melakukan transendensi diri, namun dalam tingkatan dan penghayatan yang berbeda. Hal ini juga dapat menjelaskan Responden 1 yang dapat meraih
hidup bermakna, sedangkan Responden 2 terhenti pada tahap penemuan makna dan kembali mencari-cari makna hidup yang sesungguhnya.
Proses transendensi diri dimulai dari adanya peristiwa pemicu trigger factor yang dialami kedua responden. Pada Responden 1, trigger factor;
pemikiran dan percobaan bunuh diri yang dilakukan diketahui oleh ibunya, lalu ibunya pun dengan segera memberikan nasehat dan dukungan kepada dirinya.
Adanya nasehat dan dukungan dari ibunya membuat dirinya menyadari dan menilai pengalaman-pengalaman masa lalu, masa sekarang dan kemudian
memproyeksikannya ke masa depan. Kesadaran diri yang kuat ditambah dengan social support dari luar menumbuhkan motivasi dan keinginan untuk menjadi
pribadi yang berpegang pada prinsip dalam menghadapi tantangan kehidupan. Social support akan meningkatkan rasa percaya diri seseorang dalam mengatasi
permasalahan hidup Papalia Olds, 2007. Berkaitan dengan hal ini, Responden 1 pun mulai memandang dan menilai kondisi diri sendiri, memperhatikan
kondisi di luar dirinya; terutama kondisi orang-orang terdekatnya. Pada akhirnya,
Universitas Sumatera Utara
Responden 1 melakukan transendensi diri; menerima keadaan diri, mengubah sikap, menyadari keluarga sangat penting dan berharga bagi dirinya, semakin
memperdalam keyakinan dan keimanan, merencanakan masa mendatang bersama keluarganya dan berkomitmen untuk memenuhi hal-hal yang menjadi makna
hidup dengan semangat dan sabar seperti ibunya melalui berbagai tantangan kehidupan. Frankl 1959 mengemukakan mengenai manusia yang
mentransedensikan dirinya; akan menyatukan dimensi somatis diri sendiri, psikis sosial, dan dimensi spiritual dalam memenuhi hasrat hidup bermakna dan
mengembangkan penghayatan hidup bermakna. Hal-hal yang dialami Responden 1 menggambarkan freedom of will yang dilakukan dalam meraih hidup yang
bermakna. Hal ini juga sekaligus memenuhi filosofi meaning of life Frankl dalam Schulz, 1995; the will to meaning dan pada akhirnya mengarah pada pencapaian
taraf hidup bermakna the meaningful life, yaitu membesarkan kedua anaknya, memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, dan membahagiakan serta
membanggakan ibunya yag tercinta. Sedangkan proses transendensi diri yang berawal dari perisitiwa pemicu
Responden 2 melalui kegagalannya dalam memenuhi need for love atau need for intimacy dari pasangan. Responden 2 membentuk generalization pada kondisi
diri akan need for love, sehingga changing attitude yang dilakukan berdasarkan kondisi di luar diri. Berkaitan dengan hal ini, responden 2 yang sadar diri dan
mulai memperhatikan keluarganya belum mengambil jarak antara diri sendiri dan situasi lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa Responden 2 belum
meninjaumengevaluasi pengalaman masa lalu dan masa sekarangnya secara
Universitas Sumatera Utara
objektif, sehingga transendensi diri yang dilakukan bahkan belum sepenuhnya menyatukan dimensi somatis dan psikis, serta Responden 2 juga tidak
memperdalam dimensi spiritual-nya. Orientasi hidup yang tujuan menghindari kegagalan ini menimbulkan perasaan ragu-ragu dan takut untuk merencanakan
hidup di masa mendatang sehingga Responden 2 kembali mempertanyakan tujuan hidupnya questioning the purpose of life dan masih dalam pencarian
makna hidup yang sebenarnya still searching for the real meaning. Walaupun demikian, Responden 1 dan Responden 2 sama-sama
merasakan pengalaman yang menyakitkan selama menjalani hidup sebagai PSK. Motivasi Responden 1 dan Responden 2 memilih hidup sebagai PSK didorong
oleh faktor internal dan faktor eksternal yang turut mempengaruhi; salah satunya adalah keduanya tidak memiliki cukup keterampilan, apalagi dengan kondisi
kesusahan dalam pemenuhan kebutuhan hidup Kartono, 2005. Berkaitan dengan hal ini, teori hierarchy of need Maslow dalam Schultz, 1995 membuktikan
bahwa Responden 1 dan Responden 2 sama-sama memiliki urgensi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis sehingga need yang berada di atas; seperti safety
need, love need, esteem need belum menjadi prioritas utama. Motivasi Responden 1 dan Responden 2 menjadi PSK dipengaruhi oleh personal variables kondisi
diri sendiri dan situational variables persepsi pada lingkungan. Responden 1 yang memilih hidup sebagai PSK merasa tidak nyaman, merasa bersalah, merasa
dirinya telah melakukan penyimpangan. Hal ini berkaitan dengan, Responden 1 yang telah terbiasa menjalankan positive value yang diajarkan oleh ibunya sejak
usia dini mempercepat proses transendensi diri sehingga dapat bangkit dari fase
Universitas Sumatera Utara
derita menuju ke tahap penerimaan diri, menemukan makna hidup, dan secara sadar dan terarah menyusun rencana hidup ke depan. Sedangkan responden 2
tidak pernah ditanamkan value ataupun ajaran moral dari orang tuanya sehingga responden 2 terhambat dalam menjalani kehidupan dan masih melakukan
pencarian makna hidup yang sesungguhnya. Berkaitan dengan motivasi menjadi PSK di atas, apabila dilihat dari latar
belakang kedua responden; Responden 1 memperoleh pengasuhan yang autoritatif sehingga mampu mengarahkan Responden 1 pada perkembangan diri
untuk meraih tujuan hidup. Pola asuh yang autoritatif akan mengembangkan kepribadian anak yang independent, dan mampu berkembang menjadi pribadi
yang optimis dalam menjalani kehidupan Papalia Olds, 2007. Sedangkan Responden 2 yang diasingkan oleh kedua orang tuanya, kurang mendapatkan
kasih sayang dari kedua orang tuanya sehingga Responden 2 berusaha memperoleh positive regard dari kedua orang tuanya dan mengembangkan
condition of worth dengan mempertahankan yang dilakukan saat ini agar tidak diasingkan dan dikucilkan orang tua. Kedua orang tuanya yang memberikan
pengasuhan secara permisif yang telah mengarahkan Responden 2 pada perkembangan diri untuk menghindari kegagalan failure. Pola asuh yang
permisif akan membuat anak mengembangkan kepribadian yang ragu-ragu dan takut dalam mengambil langkah-langkah yang tidak pasti arahnya Papalia
Olds, 2008. Berkaitan dengan hal ini, Responden 2 merasa lebih mudah dan
nyaman untuk menerima kehidupan yang sekarang daripada menghadapi ketidakpastian masa depan dan tantangan hidup. Pola asuh dari orang tua kepada
Universitas Sumatera Utara
anak turut berpengaruh pada perkembangan psikologis anak di masa depan untuk dapat menemukan makna hidup selama menjalani kehidupan Hurlocks, 1999.
Seluruh pembahasan di atas menunjukkan proses penghayatan hidup tak bermakna yang dijalani oleh Responden 1 dan Responden 2 yang sama-sama
mengalami pengalaman tragis dan memilih hidup sebagai PSK, namun Responden 1 mampu bangkit dari kondisi the meaningless Nobody menjadi the meaningful
Somebody. Sedangkan Responden 2 terhambat dalam proses pencarian makna hidup yang sebenanrnya still searching for real meaning, dirinya masih dalam
pemenuhan positive regard dari orang tuanya, masih harus memperkuat dimensi psikis dan dimensi spiritual untuk dapat mentransendensikan diri agar mampu
mengambil hikmah pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang dan menyusun rencana hidup serta pemenuhan makna hidupnya di masa depan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN