27
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian, khusunya yang berkaitan dengan hukum jaminan dan hukum kepailitan.
48
Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil
karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan. c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
49
Berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik studi pustaka dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen-dokumen yang relevan dengan
penelitian ini di perpustakaan. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilih guna memperoleh asas, kaidah, norma, konsep dan
doktrin hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang dihadapi dan disistematisasikan
sehingga menghasilkan
klasifikasi yang
selaras dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, analisis tersebut dilakukan dengan memilih peraturan-
peraturan hukum tentang hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi perusahaan dalam kepailitan. Langkah selanjutnya membuat sistematika kaidah-
48
Johny Ibrahim, Op.cit, hal.296.
49
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
kaidah hukum dalam peraturan tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi yang relevan dengan objek permasalahan yang dibahas dalam peneltian ini. Kemudian
analisis dilanjutkan dengan metode deduktif, yakni postulat-postulat umum sebagaimana terdapat atas norma yang terkandung dalam kaidah hukum untuk
digunakan menganalisis peristiwa yang lebih khusus yakni kedudukan corporate guarantor
dalam proses kepailitan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
BAB II KEDUDUKAN
CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA
A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya
tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang- barangnya, atau dapat dikatakan pengertian jaminan adalah “menjamin dipenuhinya
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum”
50
. Kitab Undang Undang Hukum Perdata memang tidak secara tegas merumuskan
pengertian jaminan, namun berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata dapat diketahui arti dari jaminan tersebut, yaitu:
Pasal 1131 KUH Perdata “Segala kebendaan si berutang debitur, baik yang bergerak aupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan sesuatu segala perikatan pribadi debitur tersebut
”. Pasal 1132 KUH Perdata
“Kebendaan tersebut dalam Pasal 1131 menjadi jaminan bersamaan bagi para kreditur, dan hasil pelelangan kebendaan tersebut dibagi diantara para
kreditur seimbang menurut besar kecilnya piutang mereka masing-masing, kecuali alasan-alasan yang sah untuk mendahulukan piutang yang satu
daripada piutang yang lain”
.
50
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 21.
29
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
Berdasarkan uraian di atas, Hukum Perdata mengenal jaminan yang bersifat hak kebendaan dan hak perseorangan. Jaminan bersifat hak kebendaan adalah jaminan
berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun dan selalu mengikuti
bendanya droit de suite dan dapat dialihkan. Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya
51
. Berbeda dengan jaminan kebendaan yang dapat timbul karena undang-
undang
52
, jaminan perorangan hanya dapat timbul karena adanya perjanjian. Setiap perjanjian pemberian jaminan selalu didahului oleh perjanjian pokok yang menjadi
dasar perjanjian pemberian jaminan. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti
perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian pemberian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan
accessoir
53
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:. 1.
Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok; 2.
Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;
51
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 70.
52
Jaminan kebendaan dapat timbul karena undang-undang sesuai dengan Pasal 1131 KUH Perdata, maupun melalui perjanjian pemberian jaminan.
53
Sebagai accesoir, perjanjian pemberian garansijaminan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat dalam perjanjian pokok. Perjanjian pemberian garansijaminan tidak boleh
melebihi dari perjanjian pokok.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
3. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok
54
. Menurut M. Yahya Harahap, penjaminborgtoch mengandung 3 tiga unsur,
yaitu
55
1. Sukarela
Seorang pihak ketiga terlibat langsung dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitor dan kreditor, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan
diri” akan menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitor tidak melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditor.
2. Subsidair
Melalui pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari borg, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi dua, tanpa saling bertindih. Yang
pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara kreditor dan debitor. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian subsidair ialah perjanjian pemberian
jaminan tersebut antara si penjamin guarantor dengan pihak kreditor. 3.
Accesoir Apabila debitor sendiri telah melaksanakan kewajibannya kepada debitor,
hapuslah kewajiban penjaminguarantor. Perjanjian pemberian garansi batal, apabila perjanjian pokoknya batal. Dalam prakteknya untuk mencegah agar
perjanjian pemberian garansi tidak batal disebabkan batalnya perjanjian pokok, maka perjanjian pemberian garansijaminan selalu dikumulasikan dengan
54
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Yogyakarta, Liberti Offset, 1980, hal. 46-47.
55
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 2002, hal. 6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
pemberian indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata. Pemberian indemnity ex Pasal 1316 KUH Perdata adalah perjanjian pokokyang berdiri tersendiri di samping
perjanjian utang piutangnya, sehingga bila perjanjian utang piutang itu batal, maka pemberian indemnity ini tidak akan ikut menjadi batal
56
. Artinya semua tergantung
kepada ketentuan perjanjian pemberian garansi yang mengatur bagian tersendiri dari perjanjian pokok sehingga tidak menghapuskan kewajiban
dari guarantor untuk memberikan jaminan. Lahirnya suatu perjanjian pemberian garansi dapat juga dikatakan sebagai
terbentuknya atau telah dilakukan suatu penjaminan baik oleh perseorangan personal guarantee
maupun suatu badan usaha corporate guarantee
57
. Bentuk Perjanjian Pemberian Jaminan bersifat bebas, tidak terikat bentuk tertentu, dapat dibuat lisan
maupun tulisan maupun dalam akta. Namun, lazimnya perjanjian penanggungan dibuat dalam bentuk tertulis guna kepentingan pembuktian di pengadilan.
Dalam kegiatan bisnis, perbankan tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa disertai dengan garansi. Diharapkan apabila ternyata di kemudian hari
debitor lalai yaitu tidak membayar utang beserta bunga, maka garansi inilah yang akan dipergunakan oleh pihak kreditor bank untuk melunasi utang debitor. Pemberi
garansi ini merupakan jaminan berupa orang pribadibadan hukum guarantor
56
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Jakarta : Alumni, 2002, hal. 6.
57
Pemberian jaminan harus diikuti dengan itikad baik. Pemberi Jaminan diharapkan memiliki suatu sikap dimana yang tidak hanya tunduk pada hal-hal yang secara tegas dinyatakan dalam
perjanjian, tetapi juga kepada kepatutan, kebiasaan, atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat nature dari perjanjian tersebut. Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan
Berkontrak , Jakarta: Program Pascasarana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 190-
191.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
dengan tujuan melindungi kepentingan kreditor bersifat umum artinya dapat mengakibatkan seluruh harta kekayaan pemberi garansi menjadi jaminan dari debitor
yang bersangkutan. Perjanjian pemberian garansi dapat diminta oleh kreditor dengan menunjuk pemberi garansi tertentu, atau yang diajukan debitor. Dalam pemberian
garansi ini bukan berarti setiap orang atau badan hukum bisa menjadi penjamin, melainkan orang atau badan hukum memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur
dalam Pasal 1827 KUH Perdata yaitu 1. Cakap atau mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian artinya tidak
dibawah umur, dibawah pengampuan atau pailit. 2. Mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai pemberi garansi
artinya yang bersangkutan dinilai mampu dan mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kewajibannya.
3. Berdiam di wilayah Indonesia, syarat ini bertujuan untuk memudahkan bagi kreditor bank di dalam menagih utang tersebut. Sebab bila pemberian
garansipenjamin berada di luar negeri tentunnya akan menyulitkan untuk menyelesaikan masalah penjaminan tersebut
58
. Selain syarat khusus yang diatur pada Pasal 1827 KUH Perdata tersebut,
perjanjian pemberian jaminan juga harus memenuhi syarat sahnya sebuah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
59
, yaitu:
58
Pasal 1827 KUHPerdata.
59
Pasal 1320 KUH Perdata “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 empat
syarat: 1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2 cakap untuk membuat suatu perikatan; 3 suatu hal tertentu; dan 4 suatu hal tertentu”
.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. Perjanjian Pemberian Garansi
dibuat oleh antara Kreditor dengan Penjamin dimana Penjamin menyatakan jaminan bahwa Penjamin akan menyelesaikan
hutang debitor apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya. Untuk melindungi para pihak, maka Perjanjian Pemberian Garansi harus disepakati oleh
para pihak yang mengikatkan diri, yaitu Kreditor dan Penjamin. Apabila Kreditor tidak sepakat misalnya karena kreditor tidak yakin bahwa Penjamin mampu
menyelesaikan hutang debitor maka Perjanjian Pemberian Garansi tersebut tidak memenuhi syarat ini sehingga Perjanjian Pemberian Garansi tersebut batal demi
hukum. 2. Cakap untuk melakukan perbuatan hukum
Perjanjian Pemberian Garansi harus dibuat oleh pihak cakap membuat suatu perikatan. Dalam hal perjanjian pemberian jaminan diberikan dalam bentuk
jaminan perusahaan corporate guarantee, maka penandatangan perjanjian pemberian jaminan tersebut harus ditandatangani oleh pihakorang yang
berwenang untuk mewakili perusahaan, misalnya direktur perusahaan dalam hal perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas
60
atau orang lain yang ditunjuk oleh perusahaan sebagaimana yang diatur dalam UU No.402007 Tentang Perseroan
Terbatas. Dalam hal Perseroan hendak memberikan corporate guarantee terutama dengan menjaminkan lebih dari 50 lima puluh persen jumlah kekayaan bersih
60
Kewenangan direksi mewakili perusahaan merupakan tugas dari direksi untuk pengurusan perusahaan sehari-hari dan baik di dalam maupun di luar pengadilan., M. Yahya Harahap, Hukum
Perseroan Terbatas , Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 346 – 348.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Perseroan dalam 1 satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, maka Direksi wajib meminta persetujuan RUPS sebagaimana
diatur dalam Pasal Pasal 102 ayat 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:
“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk: a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50 lima puluh persen jumlah kekayaan bersih
Perseroan dalam 1 satu transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak”.
Berdasarkan isi Pasal di atas jelaslah bahwa, apabila Perjanjian Pemberian Jaminan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak cakap maka jelaslah bahwa
perjanjian tersebut batal demi hukum karena kecakapan merupakan syarat subjektif dari sahnya suatu perjanjian. Demikian halnya dengan pemberian
jaminan utang yang lebih dari 50 dari harta bersih kekayaan tanpa persetujuan RUPS maka Perjanjian Pemberian Jaminan tersebut juga batal demi hukum.
3. Sesuatu hal tertentu Mengingat sifat perjanjian pemberian jaminan yang subsidair, maka dalam
perjanjian tersebut harus mengatur besarnya jumlah yang dijaminkan oleh penjamin kepada kreditur, dimana jumlah jaminan tidak boleh melewati jumlah
hutang pada perjanjian pokok. Apabila jumlah penanggungan tidak dicantumkan atau jumlah penanggungan lebih besar dari jumlah hutang pokok, maka perjanjian
pemberian jaminan tersebut tidak batal melainkan hanya sah untuk apa yang diliputi oleh perutangan pokok.
61
4. Sebab hal yang halal
61
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit, hal. 87-88.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Sebagai perjanjian yang bersifat accesoir dan subsidair, maka perikatan pokok yang
mendasari Perjanjian
Pemberian Jaminan
harus didasari
pada perjanjianperikatan yang tidak melanggar peraturan perundangan. Apabila
perjanjian pokoknya bertentangan dengan peraturan perundangan maka Perjanjian Pemberian Jaminan menjadi dapat dibatalkan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang. Atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum..
B. Hak Istimewa Corporate Guarantor Sebagai Penjamin
Melalui Perjanjian Pemberian Jaminan, Corporate Guarantor wajib memenuhi kewajiban debitor sejak debitor cidera janji atau tidak memenuhi kewajiban sesuai
dengan yang diperjanjikan. Corporate Guarantor yang telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitor tersebut berada dalam posisi yang lemah
62
sehingga perlu dilindungi oleh
Undang-Undang dengan memberikan beberapa hak istimewa kepada Corporate Guarantor.
Hak istimewa yang diberikan oleh KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk menuntut lebih dahulu voorrecht van uitwinning. Hak untuk menuntut lebih dahulu ini adalah hak Corporate Guarantor untuk
meminta agar harta debitor yang harus lebih dulu disita untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian, sehingga penyitaan harta Corporate Guarantor dapat
62
Hal ini disebabkan karena pemberian garansijaminan dibuat untuk melindungi kepentingan kreditor, sehingga pada saat debitor mengalami kegagalan dalam pemenuhan kewajibannya,
penjaminguarantor segera dapat dimintakan untuk pemenuhannya berdasarkan perjanjian pemberian garansijaminan yang telah dibuat. Samsul Rais Siregar, Pelaksanaan Penanggungan Utang Sebagai
Jaminan Dalam Pemberian Kredit, Magister Kenotariatan USU: Tesis, 2007, hal. 65.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan apabila ternyata harta kekayaan debitor tidak cukup memenuhi kewajibannya. Apabila harta kekayaan debitor
ternyata mencukupi untuk melunasi tagihan, harta kekayaan Corporate Guarantor
harus bebas dari penyitaan dan penjualan
63
. 2. Hak untuk membagi hutang vorrecht van schuldsplitsing.
Hak untuk membagi hutang ini merupakan hak yang dimiliki oleh Corporate Guarantor
apabila terdapat lebih dari satu penjamin terhadap seorang debitor, dimana Corporate Guarantor dapat memajukan hak untuk membagi utang
debitor yang mereka jamin bersama kepada para penjamin termasuk Corporate Guarantor
64
. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembagian hutang ini adalah:
a. Apabila ternyata salah seorang dari penjamin termasuk Corporate Guarantor
tidak mampu untuk membayar bahagian yang ditentukan kepadanya, penjamin yang cukup mampu tidak wajib memikul pembayaran
itu. b. Apabila pembahagian utang itu datangnya atas kemauan sendiri dari pihak
kreditor, kemudian ternyata salah seorang dari penjamin sedang dalam
63
Hak untuk lebih dahulu menuntut harta kekayaan debitor harus dimajukan penjamin sebagai jawaban pertama pada persidangan di muka hakim. apabila dia lalai memajukannya pada jawaban
pertama, dan baru kemudian dimajukan pada sidang atau jawaban berikutnya, maka hak untuk menuntut lebih dahulu kekayaan debitor, tidak lagi dapat diterima. Pasal 1833 KUHPerdata
64
Seperti halnya hak mendahulukan penuntutanpenyitaan terhadap harta debitor, pada hal untuk membagi-bagi utang inipun harus dimajukan pada jawaban pertama dalam sidang
pengadilan. Apabila terlambat memajukannya maka hak untuk membagi utang harus dinyatakan tidak dapat
diterima .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
keadaan tidak mampu, kreditor tetap terikat atas pembahagian yang telah diperbuatnya
65
. 3. Hak untuk diberhentikan dari penjaminan
Corporate Guarantor berhak minta kepada kreditor untuk diberhentikan atau
dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin dengan alasan Corporate Guarantor
mungkin tidak dapat menggunakan hak-hak subrogasi. Hak subrogasi timbul setelah Corporate Guarantor membayar atas utang debitor.
Hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena Corporate Guarantor telah meneliti bahwa jaminan telah hapus atau tidak ada lagi karena kreditor
membiarkan debitor menjual atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain Kreditor tidak mengamankan jaminan-jaminan atas utang debitor itu sehingga bila
Corporate Guarantor membayar utang debitor, Corporate Guarantor yang demi
hukum menggantikan hak kreditor subrogasi tidak memperoleh jaminan hipotik, hak tanggungan dan jaminan lainnya
66
. Perjanjian pemberian garansi menimbulkan akibat hukum yang melibatkan 3
tiga pihak, yaitu debitur utama, kreditor dan penjamin. 1. Akibat Hukum Antara Corporate Guarantor dengan Kreditur Pemegang
Corporate Guarantee Corporate Guarantor
yang telah mengikatkan diri membawa akibat hukum bagi Corporate Guarantor
untuk melunasi utang debitor si berutang utama manakala
65
Pasal 1838 KHUPerdata
66
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 325.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
debitor cidera janji. Kewajiban Corporate Guarantor untuk melunasi utang debitor tersebut baru dilakukan setelah kreditor mengeksekusi harta kekayaan
milik debitor yang hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi utangnya. Selama kreditor belum melakukan eksekusi atau penjualan harta kekayaan debitor,
Corporate Guarantor tidak memiliki kewajiban membayar utang debitor yang
dijaminnya. Jadi meskipun Corporate Guarantor telah mengikatkan diri sebagai guarantor
tidak serta merta memiliki kewajiban untuk membayar utang debitor. Bisa dikatakan bahwa tanggung jawab Corporate Guarantor hanyalah sebagai
cadangan atau subsider, dalam hal penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi atau sama sekali Debitur Utama tidak memiliki harta benda yang
dapat dijual. Hal ini sesuai Pasal 1831 KUHPerdata yang mengaskan bahwa guarantorpenjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor, selain jika
Debitur Utama lalai sedangkan harta benda Debitur Utama ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.
67
Pasal 1832 KUH Perdata memberikan pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata sehingga memberikan peluang kepada kreditor untuk dapat
menuntut langsung kepada seorang guarantorpenjamin untuk melunasi utang seluruhnya tanpa harus menjual harta benda debitor terlebih dahulu, dalam hal
penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukan sita- lelang lebih dahulu atas harta benda debitor. Bagi Corporate Guarantor yang
telah melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan secara tegas dalam akta
67
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003, hal. 250-251.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
pemberian garansi atau penjaminan maka kreditor dapat melakukan sita-lelang harta kekayaan Corporate Guarantor tanpa harus menunggu sita-lelang harta
kekayaan debitor terlebih dahulu.
68
2. Akibat Hukum Penjamin dengan Debitor Jika Corporate Guarantor telah membayar utang Debitor Utama, maka
Corporate Guarantor dapat menuntut kembali pembayaran tersebut dari si
Debitor Utama, baik pemberian garansi itu terjadi dengan pengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitor. Hak menuntut kembali tersebut lazim juga disebut hak
regres, timbul karena diberikan oleh Undang-undang. Hak regres demikian tetap ada sekalipun tidak tercantum secara khusus dalam akta perjanjian pemberian
garansijaminan. Hak regres itu timbul setelah Corporate Guarantor membayar utang Debitor Utama, baik pembayaran itu terjadi secara sukarela maupun atas
dasar keputusan hakim yang memutuskanmenghukum Corporate Guarantor untuk membayar utang tersebut
69
. Hak regres itu dilakukan baik mengenai utang pokok, bunga maupun biaya-biaya
yang timbul. Corporate Guarantor juga berhak menuntut penggantian kerugian yang berupa biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu
70
. Dari ketentuan undang-undang dapat disimpulkan bahwa Corporate Guarantor
yang telah membayar itu mempunyai dua macam hak menuntut kembali terhadap si berutang, yaitu:
68
Ibid , hal.250-251.
69
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Yogyakarta: Liberti Offset, 1980, hal. 100.
70
Pasal 1839 Ayat 4 KUHPerdata.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
a. Corporate Guarantor mempunyai hak menuntut kembali yang merupakan haknya sendiri terhadap debitor.
b. Corporate Guarantor yang telah membayar itu karena hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditor mengenai hak-haknya terhadap debitor,
menggantikan hak-hak kreditor karena subrogasi. Dari kedua macam penuntutan kembali dari Corporate Guarantor tersebut dapat
disimpulkan ada perbedaan mengenai akibat hukumnya. Pada hak regres yang merupakan hak sendiri dari guarantor, disini penjaminguarantor mempunyai hak
untuk menuntut kembali tidak hanya mengenai utang yang telah dibayarnya, melainkan juga berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang timbul karena
akibat penjualan terhadap barang Corporate Guarantor. Hak menuntut penggantian kerugian demikian tidak ada pada Corporate Guarantor yang
menggantikan kedudukan kreditor. Sebaliknya pada Corporate Guarantor yang menggantikan hak-hak kredir yang karena subrogasi, memperoleh hak-hak
kreditor terhadap si berutang, termasuk jaminan-jaminan accesoir yang melekat pada hak kreditor yang digantinya. Misalnya jika utang pokok itu dijamin dengan
hipotik maka penjaminguarantor juga memperoleh hak hipotik yang melekat pada utang tersebut.
3. Akibat Hukum Antar Penjamin Apabila ada beberapa Corporate Guarantor yang telah mengikatkan diri untuk
menjamin Debitor Utama yang sama dan untuk utang yang sama, maka bagi Corporate Guarantor
yang telah melunasi utang Debitor Utama tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
mempunyai hak menuntut kepada Corporate Guarantor lainnya masing-masing sesuai bagiannya. Beberapa Corporate Guarantor yang menjamin debitor yang
sama dan untuk satu utang yang sama diperlakukan seperti orang-orang yang berutang secara jamin menjamin, kecuali mereka menggunakan hak istimewa
untuk meminta pemecahan utangnya
71
. dengan demikian hal ini sesuai dengan prinsip teori keadilan dari Aristoteles bahwa seseorang tidaklah boleh melanggar
hukum yang berlaku dan hukum yang berlaku dimaksudkan disini adalah Perjanjian Pemberian Jaminan tersebut.
C. Kedudukan Corporate Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewa
Perlindungan yang diberikan Pasal 1831 dan 1832 KUH Pedata kepada Corporate
Guarantor dalam
praktiknya dianggap
memberatkan kreditur.
Perlindungan tersebut mengakibatkan kreditur terhalang untuk melaksanakan haknya sehingga diperlukan janji-janji khusus untuk mengesampingkan hak istimewa
penjamin sebagaimana diatur dalam KUH Perdata di atas, seperti: 1. Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk menuntut penjualan harta benda
debitur lebih dahulu; Sebagai Penjamin, Corporate Guarantor memiliki hak istimewa bahwa
Corporate Guarantor tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada
kreditor sebelum harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penjamin, telah disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor
tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban debitor kepada kreditor. Oleh
71
Sutarno, Op.cit, hal. 254.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
karena itu, Corporate Guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor.
72
Pengecualian hal di atas dapat saja terjadi apabila Corporate Guarantor telah melepaskan hak istimewanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 dan 1832
KUHPerdata yang menentukan bahwa Corporate Guarantor tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi utangnya:
73
a. Apabila Corporate Guarantor telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual;
b. Apabila penjamin telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan Debitor Utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibat-akibat
perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utangnya secara tanggung renteng.;
c. Jika debitor dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
d. Jika debitor dalam keadaan pailit; e. Dalam hal penjaminan yang diperintahkan oleh hakim.
Ternyata Kreditor Pemegang Corporate Guarantee juga diberikan hak yang cukup seimbang. Ketentuan tersebut memungkinkan kreditor untuk seketika
menagih kepada Corporate Guarantor untuk melunasi semua kewajiban, prestasi,
72
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hal. 24-25 .
73
Sunarmi, Op. Cit., hal. 197.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
atau perikatan debitor, tanpa ia perlu terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor yang telah cidera janji atau wanprestasi tersebut
74
. Pelepasan hak istimewa Corporate Guarantor harus dinyatakan secara tegas dalam
perjanjian pemberian garansi, dimana dengan perjanjian pemberian garansi tersebut mengakibatkan hak istimewa Corporate Guarantor hapus dan Kreditor
dapat menuntut atau menggugat langsung kepada Corporate Guarantor atau bersama-sama dengan debitor agar Corporate Guarantor atau bersama-sama
debitor, tanggung renteng untuk membayar utang debitor kepada kreditor. 2. Janji
agar penjamin
melepaskan haknya
untuk membagi-bagi
hutang voorrechtvan schuldsplitsing;
Hak untuk membagi hutang ini terdapat pada penjamin yang penjaminannya lebih
dari satu orang penjamin terhadap seorang debitor. Maka para penjamin masing- masing dapat memajukan hak untuk membagi debitor-debitor tadi diantara para
penjamin. Sehingga utang debitor yang mereka jamin, dibagi-dibagi diantara mereka masing-masing.
75
Apabila Corporate Guarantor melepaskan hak istimewanya maka Corporate
Guarantor bertanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh kewajiban debitur.
Pelepasan hak istimewa untuk membagi hutang tersebut juga mengakibatkan kreditur dapat menuntut ahli waris Penjamin untuk pemenuhan seluruh
piutangnya dan tidak dapat dibagi-bagi antara si ahli waris
74
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hal. 25. .
75
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 322.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
3. Janji agar Penjamin melepaskan haknya untuk meminta kepada kreditor untuk diberhentikan
atau dibebaskan
dari kedudukannya
sebagai seorang
penjaminguarantor jika ada alasan untuk itu. Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum meminta dibebaskan dari kedudukan seorang penjamin ialah
kemungkinan penjamin tidak dapat menggunakan hak-hak subrogasi. Hak subrogasi timbul setelah penjaminguarantor membayar atas utang debitor. Hak
subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena penjamin telah meneliti bahwa
jaminan seperti hak tanggungan, hipotik, fiducia, dan lainnya yang menjamin utang tersebut telah hapus atau tidak ada lagi. Tidak adanya jaminan hipotik, hak
tanggungan dikarenakan
kreditor membiarkan
debitor menjual
atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain kreditor tidak mengamankan jaminan-
jaminan atas utang debitor itu sehingga bila penjaminguarantor membayar utang debitor, penjaminguarantor yang demi hukum menggantikan hak kreditor
subrogasi tidak
memperoleh jaminan
hipotik, hak
tanggungan dan
garansijaminan lainnya.
76
4. Janji agar penanggungan tetap, sah, tidak peduli apakah penanggung bersama ikut terikat
77
.
Dengan kata lain “lawfull” sebagaimana yang diutarakan Aristoteles dengan maksud hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti
menunjukkan bahwa segala ketentuan sebagaimana yang diatur dalam perjanjian
76
Ibid , hal. 325.
77
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,
Yogyakarta: Liberti Offset, 1980, hal. 97-98. .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
pemberian jaminan harus lah diikuti karena merupakan hukum yang harus ditegakkan.
Berdasarkan uraian di atas, sepanjang guarantor dalam melepaskan hak istimewanya tidak dalam tekanan atau penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal
1321 KUH Perdata dan guarantor tidak termasuk dalam kategori tak cakap sebagaimana diatur Pasal 1330 KUH Perdata maka perjanjian tersebut telah
menunjukkan rasa keadilan dalam bentuk persamaan hak dan harus dilaksanakanya hukum yakni perjanjian pemberian jaminan tersebut oleh para pihak yang telah terikat
dengan hal itu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP
CORPORATE GUARANTOR YANG DIMOHONKAN PAILIT DALAM HAL DEBITUR UTAMA TIDAK MAMPU
MELAKSANAKAN KEWAJIBANYA A. Syarat-Syarat Permohonan Pailit
Dalam perkembangan hukum kepailitan di Indonesia, telah terjadi beberapa kali perubahan hukum positif yang mengatur ketentuan dari syarat-syarat
permohonan pailit. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan disingkat UUK yang berasal dari PERPU Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Kepailitan menyatakan untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditor 2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih
3. Permohonan pailit dapat diajukan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
78
Dalam proses pemeriksaan pernyataan pailit tersebut diperiksa secara sederhana sumir, yaitu pemeriksaan yang tidak memerlukan alat-alat pembuktian seperti diatur
dalam buku ke IV KUH Perdata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat- alat pembuktian yang sederhana.
79
78
Lampiran dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan.
79
Pasal 1866 KUHPerdata menyatakan alat-alat bukti terdiri atas : a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi; c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Lahirnya Pasal 1 UUK ini sebenarnya dalam rangka untuk lebih memberikan perlindugan hukum kepada kreditur atau debitur dibandingkan dengan peraturan yang
lama yang mana terdapat celah hukum yang sering kali dimanfaatkan oleh debitur yang nakal, karena di dalam Pasal 1 Peraturan Kepailitan yang lama
80
syaratnya hanya debitur dalam keadaan berhenti membayar, tanpa ada penjelasan lebih lanjut
maka kemudian disalah artikan, mestinya untuk debitur yang benar-benar tidak mampu membayar bukan debitur yang tidak mau membayar kemudian minta dijatuhi
kepailitan.
81
Dalam syarat yang pertama di atas, mengenai syarat paling sedikit harus ada dua kreditor, Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU memungkinkan seorang debitur dinyatakan
pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditor, syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Rasio adanya
minimal dua kreditur tersebut adalah sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur itu untuk
kemudian dibagi-bagi hasil perolehanya kepada semua krediturnya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditur sebagaimana diatur dalam UU. Apabila seorang debitur hanya
mempunyai satu orang kreditur, eksistensi dari UU kepailitan kehilangan Raison d’etrenya
, apabila debitur hanya memiliki seorang kreditur saja bila dibolehkan mengajukan permohonan pailit padanya, harta kekayaan debitur yang menurut
e. sumpah; serta Segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam KUH Perdata.
80
Lampiran Pasal 1 Faillisement Verordening.
81
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2002, hal. 19.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan utangnya tidak perlu diatur. Mengenai bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan itu. Sudah
pastilah bahwa seluruh hasil penjualan harta kekayaan itu merupakan sumber pelunasan bagi kreditur satu-satunya itu, tidak akan ada ketakutan terjadi perlombaan
dan perebutan terhadap harta kekayaan debitur karena hanya ada satu orang kreditur saja.
82
Menurut Sutan Remy harus dibedakan antara pengertian kreditur dalam kalimat “..mempunyai dua atau lebih kreditur...” dan kreditur dalam kalimat “...atas
permintaan seorang atau lebih krediturnya” yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UUK. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa debitur tidak hanya
mempunyai utang kepada kreditur saja. Dengan demikian, pengertian kreditur disini adalah menujuk pada sembarang kreditur, yaitu baik kreditur konkuren maupun
kreditur preferen. Yang ditekankan disini adalah bahwa keuangan debitur bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.
83
Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitur sendiri tetapi juga oleh
kreditur. Kreditur yang dimaksud disini adalah kreditur konkuren. Mengapa harus kreditur konkuren adalah karena seorang kreditur preferenseparatis pemegang hak-
hak jaminan mempunyai tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan
82
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung: Alumni, 2007, hal. 37.
83
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; Memahami Faillisementsverordening juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998,
Jakarta: Grafity, 1992, hal. 66.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihanya, yaitu dari barang agunan yang telah dibebani dengan hak
jaminan.
84
Terkait dengan syarat yang kedua, yakni adanya suatu “utang”. kata “utang” diambil dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”
85
disebutkan terdahulu yakni utang yang tidak terbayar adalah utang pokok atau bunganya.
86
sehingga utang dalam pengertian ini merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Dalam
perikatan, kewajiban pemenuhan prestasi yang harus dijalankan menurut hukum oleh si debitur merupakan utangnya sementara di sisi kreditur, pemenuhan prestasi
tersebut diterima sebagai suatu penerimaan yang harus terjadi menurut hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila tidak dipenuhi oleh si
debitur, sehingga si berpiutang atau kreditur memiliki piutang inschuld dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara pada pihak si berutang atau debitur memiliki utang
uitschuld dan tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi haftung.
87
Di dalam UU kepailitan yang lama UUK tidak memberikan defenisi jelas atau pengertian mengenai apa yang yang dimaksudkan dengan utang secara gamlang,
hanya disebutkan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
84
Ibid, hal.67.
85
C. Assers, Bagian Pengajian Hukum Perdata Belanda, Jilid II Hukum Perikatan Pertama Perikatan,
Jakarta: Dian Rakyat, 1991, hal.23.
86
Ibid.
87
Ibid. Hal.23-24.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk medapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitur. Akibat tidak adanya defenisi yang jelas menimbulkan multi interpretasi tentang apa yang dinamakan utang dalam UUK, apakah lantas sesuatu
yang belum diketahui di kemudian hari dapat dikatakan sebagai utang. Menurut Sutan Remy dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, karena penafsiran yang
berbeda yaitu apakah utang tersebut hanya timbul dari utang piutang saja ataukah karena kewajiban seseorang untuk menyerahkan sejumlah uang. Selain itu, apakah
kewajiban untuk melakukan sesuatu yang tidak berupa uang, tetapi akibat tidak terpenuhinya
kewajiban tersebut
yang dapat
menimbulkan kerugian
dapat diklasifikasikan sebagai utang? Selain itu, juga apakah setiap kewajiban untuk
memberikan sesuatu, atau untuk melakukan sesuatu, atau tidak untuk melakukan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1243 KUH Perdata sekalipun tidak telah
menimbulkan kerugian dapat diklasifikasikan sebagai utang sebagaimana dimaksud dalam UUK.
88
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara Kepailitan telah memberikan gambaran mengenai makna utang secara sempit, tetapi pada saat lain juga
mengartikan utang dalam pengertian yang luas. Putusan Mahkamah Agung No. 30 KN1998 dalam sengketa perjanjian pengikatan jual beli rumah susun Golf Modern
dengan cara cicilan antara Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti sebagai pembeli dan PT. Modern Land Realty yang menjadi perusahaan pengembang rumah susun. PT.
88
Bagus Irawan, Op.cit, hal.39.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Modern Land Realty telah gagal melakukan penyerahan unit rumah susun yang dipesan, juga gagal mengembalikan uang pembayaran yang diterima dari pembeli,
sehingga para pembeli tersebut mengajukan permohonan pailit ke pengadilan Niaga Jakarta Pusat Terhadap PT. Modern Land Realty.
Di tingkat Pertama, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan putusan Nomor
07Pailit1998PN.NiagaJKT.PST. tanggal
12 Oktober
1998 yang
mengabulkan permohonan pailit tersebut. Pengadilan Niaga berpendapat bahwa meskipun permohonan pailit yang diajukan permohonan pailit tidak bedasarkan pada
perjanjian utang yang yang timbul dari konstruksi hukum pinjam meminjam, tetapi timbul dari perikatan jual beli rumah susun tetapi karena PT. Modern Land Realty
belum mengembalikan uang pembangunan yang telah diterima pembeli, termohon pailit harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-masing pemohon
pailit. Terhadap pemohon kasasi yang diajukan PT. Modern Land Realty, Majelis
Hakim perkara kasasi dalam putusan perkara Nomor 30KN1998 tanggal 2 Desember 1998 menyatakan tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan
Niaga, khususnya terhadap pertimbangan yang mengartikan utang secara luas.
89
Menurut Majelis Hakim Kasasi, pemaknaan secara luas yang dilakukan oleh judex factie
seperti itu jelas bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat 1 UUK dimana pengertian utang yang dimaksudkan
dalam Pasal 2 ayat 1 UUK tidak boleh terlepas dari konteksnya, yaitu konsiderans
89
Putusan Mahkamamah Agung No.30KN1998.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
tentang maksud diterbitkanya UUK dan tidak dapat dilepaskanya kaitanya itu dari padanya yang pada dasarnya menekankan pinjaman-pinjaman swasta, sehingga
pengertian utang tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada konstruksi hukum pinjam meminjam uang.
Terhadap putusan kasasi tersebut telah diajukan Peninjauan Kembali, Majelis Hakim dalam putusan Nomor 06PKN1999 telah membenarkan keberatan yang
diajukan oleh Pemohon Kasasi Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti, tetapi tidak memberikan pendapat hukum mengenai dalil-dalil yang diajukan pemohon kasasi
atau pendapat hukum yang membenarkan dalil-dalil hukum Pemohon Peninjauan Kembali. Majelis hakim hanya menyatakan bahwa keberatan Pemohon Peninjauan
Kembali tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan Majelis Hakim Kasasi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Majelis Hakim Penjanjuan Kembali sependapat dengan Majelis Hakim Kasasi yang mengartikan utang secara sempit.
90
Untuk mengajukan permohonan pailit maka utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat 1 UUK membedakan sekaligus menyatukan syarat utang
yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata dan diantara kata jatuh waktu dan dapat ditagih. Menurut Sutan
Remy, kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadianya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit
perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah
90
Bagus Irawan, Op.cit, hal.39.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu juga kreditur berhak untuk
menagihnya. Di dalam dunia perbankan disebut bahwa utang itu telah expired. Tidak harus suatu kredit bank dinyatakan expired pada tanggal akhir perjanjian kredit
sampai cukup apabila tanggal-tanggal jadwal angsuran kredit telah sampai misalnya, pada perjanjian kredit investasi, kredit harus diangsur setiap tiga bulan setelah grace
period kredit tersebut.
91
Namun dapat terjadi bahwa sekalipun belum jatuh waktu, tetapi utang tersebut telah dapat ditagih karena telah terjadi salah satu dari peristiwa-
peristiwa yang disebut events of defaulth. Events of default clauses lazim dicantumkan dalam perjanjian kredit perbankan, yaitu klausul yang memberikan hak
kepada bank untuk menyatakan nasabah debitur in defaulth atau cedera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam events of defaulth itu terjadi. Terjadinya
peristiwa event itu bukan saja mengakibatkan nasabah debitur cedera janji, tetapi juga memberikan hak kepada bank kreditur untuk seketika menghentikan
penggunaan kredit lebih lanjut oleh nasabah debitur nasabah debitur tidak berhak lagi menggunakan kredit yang belum digunakan, dan seketika itu pula memberikan
hak kepada bank kreditur untuk menagih kredit yang telah digunakan oleh nasabah debitur.
92
Contoh-contohnya dapat berupa larangan-larangan negatif covenants dan dapat berupa kewajiban-kewajiban Positive atau affirmativecovenant yang biasanya
termuat dalam klausula perjanjian, dan dapat dijadikan suatu peristiwa atau event yang apabila dilanggar oleh nasabah debitur akan mengakibatkan nasabah debitur
91
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.68-69.
92
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
cedera janji in default, dan karena terjadinya peristiwa itu dapat merupakan salah satu dari event of default, seketika itu juga kredit menjadi dpat ditagih. Dari uraian di
atas, perbedaan antara pengertian utang yang telah jatuh waktu dan utang yang dapat ditagih adalah utang yang telah jatuh waktu atau expired dengan sendirinya menjadi
utang yang dapat ditagih. Namun utang yang dapat ditagih belum tentuutang yang telah jatuh waktu. Utang hanyalah telah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit
atau perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitur sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu.
93
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud “kreditur adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditor preferen”. Kreditur
Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi Kepailitan. Sedangkan kreditur PreferenIstimewa merupakan golongan
kreditur yang mempunyai kedudukan istimewa artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan boedel pailit.
Sedangkan kreditur konkuren adalah kreditur yang pelunasan piutangnya dicukupkan dari hasil sisa penjualanpelelangan harta pailit setelahbagian golongan separatis dan
preferen diambil.
94
Kartini Mulyadi berpendapat bahwa istilah utang dalam UUK yang dikaitkan dengan Pasal 1233
95
dan Pasal 1234 KUH Perdata.
96
Dari uraiannya dapat
93
Sutan Remy, Ibid.hal.69-70.
94
Sunarmi, Op.cit, hal.170.
95
Pasal 1233 KUH Perdata Berbunyi : Tiap-Tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.
96
Pasal 1234 berbunyi : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
disimpulkan bahwa utang sama dengan kewajiban. Kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena UU. Selanjutnya,
Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dengan Pasal 1233 KUH Perdata tersebut dengan ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan bahwa
tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. dengan kata lain, pengertian utang yang dimaksud dalam UUK
adalah setiap kewajiban debitur kepada setiap krediturnya baik kewajiban itu adalah kewajiban kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Dengan kata lain Kartini Muladi menganut pengertian utang secara luas.
97
Dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru yakni UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UUK-PKPU,
syarat-syarat sahnya permohonan pailit ini masih sama dengan bunyi dari Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 namun yang berbeda hanya letak Pasalnya saja. Bila dalam UU
No. 4 Tahun 1998 mengenai syarat permohonan pailit ini diatur dalam Pasal 1 maka di UU No. 37 Tahun 2004 syarat permohonan pailit ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1.
Pengertian dari “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” menurut penjelasan Pasal 2 ayat 1 adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh
waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu waktu penagihanya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang
berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.
97
Bagus Irawan, Op.cit, hal.46.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Dalam UUK-PKPU sendiri pemberian pengertian utang diberi batasan secara tegas, demikian pula pengertian jatuh waktu, hal ini semata-mata untuk menghindari
adanya berbagai penafsiran.
98
Dengan demikian penerapan dari syarat pengajuan permohoan pailit tersebut haruslah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU agar
seorang debitur dapat dimohonkan pailit adalah selain debitur memiliki dua atau lebih kreditur juga cukup apabila satu utang kepada salah satu krediturnya telah jatuh
waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa debitur telah dalam keadaan insolven.
99
Menurut penjelasan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU, bahkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit dan Termohon
Pailit tidak menghalangi dijatuhkanya putusan pernyataan Pailit. Tegasnya, hanya karena seorang debitur tidak membayar utangnya yang jumlahnya relatif sangat kecil
bila dibandingkan dengan asset perusahaan misalnya kreditur yang memiliki tagihan hanya sebesar Rp. 10.000.000,- dapat mengajukan pailit terhadap debitur yang
memiliki aset Rp.10 Triliun. Debitur tersbut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga. Tidak dipersoalkan apakah debiur tidak dalam keadaan insolven. Tegasnya,
permohonan pernyataan pailit dapat diajukan terhadap perusahaan yang masih solven.
100
98
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang , 2008, hal.28.
99
Insolven merupakan suatu kondisi yang menyatakan ketidakmampuan debitur dalam melaksanakan kewajiabanya.
100
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.60.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
Perpu No.1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 tahun 1998
Tentang Kepailitan
merupakan perubahan
dari bunyi
Pasal 1
FaillissementverordeningFV S.1905 No.217 jo S 1906 No.348 yang merupakan
ketentuan tentang syarat untuk dapat mengajukan permohonan pailit. Di dalam UUK- PKPU terdapat dalam Pasal 1 ayat 1, adalah:
“Setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaanya
sendiri maupun atas permintaan seorang kreditur atas beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa
debitur yang bersangkutan dalam keadaaan Pailit.”
Dalam Pasal 1 ayat 1 Fv tersebut dipersyaratkan bahwa debitur telah “tidak mampu” dan telah berada dalam keadaan berhenti membayar”, artinya berhenti
membayar utang-utangnya. “tidak mampu membayar utang-utangnya” tidak selalu mengakibatkan debitur berhenti utang-utangnya”, karena mungkin saja debitur tetap
membayar utang-utangnya dari sumber utang baru. Artinya, debitur melakukan upaya gali lubang tutup lubang. Sebaliknya dalam hal “debitur berhenti membayar utang-
utangnya” mungkin saja bukan karena tidak mampu membayar utang-utangnya itu tetapi karena tidak mau membayar utang-utang itu. Di dalam istilah perbankan sangat
dibedakan istilah “willingness to repay” atau “kemauan untuk melunasi utang” dan “ability to repay” atau “kemampuan untuk melunasi utang”. Oleh karena itu, tepat
sekali rumusan Pasal 1 ayat 1 Fv tersebut di atas sampai sekarang tetap dipertahankan oleh Faillissementwet atau Undang-Undang kepailitan Negeri Belanda dan di adopsi
di Indonesia dalam UUK-PKPU. Namun dalam ketentuan UUK-PKPU permohonan pailit dapat dimintakan sendiri oleh debitur dengan ketentuan sebagaimana yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan
telah dapat ditagih.
B. Prinsip Utang Dalam Kepailitan
Dalam proses acara kepailitan konsep utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa.
Tanpa adanya utang tersebut maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitur
untuk membayar utang-utangnya terhadap para krediturnya. Dengan demikian, utang merupakan raison d’etre dari suatu kepailitan. Utang sebagai dasar utama untuk
mempailitkan subjek hukum dan sangat penting sekali untuk dikaji lebih lanjut
prinsip yang mendasari norma utang tersebut.
101
Sebelum lahirnya UUK-PKPU, UU No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan belum mengatur defenisi secara tegas mengenai “utang” sehingga menimbulkan
berbagai macam penafsiran terkait dengan defenisi dari utang tersebut yang diantaranya Setiawan dalam tulisanya yang berjudul “ordonansi Kepailitan serta
Aplikasi Kini”, pengertian utang yang dianutnya adalah pengertian utang sebagaimana pendapat Jerry Hoff dalam bukunya “Indonesian Bankruptcy Law”. Di
bawah ini dikutip pernyataan Setiawan sebagai berikut: Utang seyogianya diberi arti luas baik dalam arti kewajiban membayar
sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang
101
M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009, hal 34.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
dimana debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dari krediturnya, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari
perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar sejumlah uang tertentu. Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang
bukan hanya kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena debitur telah menerima sejumlah uang tertentu karena
perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar debitur yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain
.
102
Setiawan mengemukakan pula sambil mengutip pendapat Jerry Hoff, contoh dari kewajiban membayar debitur selain karena perjanjian kredit, sebagai berikut :
Umpamanya yang timbul sebagai akibat debitur lalai membayar uang sebagai akibat
perjanjian jual
beli ataupun
perjanjian-perjanjian lain
yang menimbulkan kewajiban bagi debitur untuk membayar sejumlah uang
tertentu .
103
Berkenaan dengan UUK sebelum akhirnya dicabut dan diganti dengan UUK-PKPU, Kartini Muljadi berpendapat bahwa istilah utang dalam Pasal 1 dan Pasal 212 UUK
seharusnya merujuk pada hukum perikatan dalam hukum perdata. Kartini Muljadi mengkaitkan pengertian utang itu dengan Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata. Dari
uraian Kartini Muljadi dapat disimpulkan bahwa kewajiban itu timbul karena setiap perikatan, menurut Pasal 1233 KUH Perdata dilahirkan baik karena persetujuan
maupun karena UU. Selanjutnya kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 KUH Perdata itu dengan ketentuan Pasal 1234 KUH
Perdata yang menentukan, tiap-tiap perikatan menimbulkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dengan kata lain,
Kartini Muljadi berpendapat bahwa pengertian utang adalah setiap kewajiban debitur kepada setiap krediturnya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak
102
Setiawan Dalam Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.88.
103
Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
berbuat sesuatu. Kartini Muljadi memberikan contoh beberapa kewajiban yang timbul dari perjanjian yang tercakup dalam pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam
UUK adalah : 1. Kewajiban debitur untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang
meminjamkan; 2. Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut;
3. Kewajiban pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkanya kepada pembeli rumah;
4. Kewajiban penjamin guarantoor untuk menjamin pembayaran kembali pinjaman debitur kepada kreditur.
104
Demikian halnya dengan konsep utang dalam konsep hukum kepailitan Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi dalam peraturan
kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred B.G Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang
karena perbuatanya atau tidak melakukan sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak
memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Jadi utang sama dengan prestasi.
105
Pada dasarnya setelah lahirnya UUK-PKPU maka UU tersebut telah memberikan pengertian baru tentang utang yang dalam UU No.4 Tahun 1998
104
Rudhy A.Lontoh,dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaaan kewajiban Pembayaran Utang,
Jakarta: Alumni, 2001, hal.78-79.
105
Fred BG.Tumbuan, Mencermati Makna Debitur, Kreditur dan Utang Berkaitan dengan Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie,
Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembanganya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hal.7.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Tentang Kepailitan tidak ditemui, sejak berlakunya UUK-PKPU Majelis Hakim
Pengadilan Niaga
telah konsekwen
menerapkan ketentuan
utang dalam
menyelesaikan perkara. Hal ini dapat dilihat dalam perkara PT. Istana Karang Laut dan
PT. Sanggar
Kaltim Jaya
v Total
E P
Indonesie No.01Pailit25PN.Niaga.Jkt.Pst.
Majelis Hakim
Pengadilan Niaga
dalam pertimbangan hukumnya menerapkan pengertian utang menurut ketentuan Pasal 1
angka 6 UUK-PKPU yaitu “utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh
debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhanya dari harta kekayaan debitur”.
106
Meskipun UUK-PKPU telah memberikan pengertian utang, namun dalam prakteknya hal ini masih diperdebatkan oleh advokat debitur. Namun hakim
pengadilan niaga tetap konsekwen untuk menerapkan pengertian utang menurut UUK-PKPU. Hal ini muncul dalam perkara kepailitan antara Rusly M. Noer v
PT.Interkayu Nusantara No.02pailit2005PN.NIAGA.JKT.PST dimana hakim berpendapat bahwa bilyet giro yang sudah jatuh tempo namun yang tidak dapat
dicairkan termasuk hutang yang jatuh tempo. Dari perkara yang diuraikan di atas diketahui bahwa majelis hakim
telah menerapkan UUK-PKPU secara konsekwen yaitu dalam pengertian utang yang
106
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Softmedia, 2010, hal.429.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
mendasarkan pada Pasal 1 angka 6. Demikian pula tentang pengangkatan kurator di dasarkan pada Pasal 15 ayat 3 UUK-PKPU. Penerapan UUK-PKPU dalam perkara
kepailitan juga dilakukan di Pengadilan Niaga Medan dalam perkara antara PT. Bahtera Lestari Sejahtera v PT. Duta Sahabat Abadi.
107
, antara Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam vs PT. Aneka Surya Agung
108
yang memberikan rumusan utang sesuai dengan UUK-PKPU.
C. Perlindungan Terhadap Corporate Guarantor Dalam Proses Kepailitan
1. Hak Istimewa