Analisis Tanggung Jawab Induk Perusahaan Sebagai Penjamin Dalam Kepailitan Anak Perusahaannya

(1)

ANALISIS TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN DALAM KEPAILITAN ANAK PERUSAHAANNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

YUDIFRI 110200404

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN DALAM KEPAILITAN ANAK PERUSAHAANNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh YUDIFRI 110200404

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, SH. M.Hum Nip. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar, SH. M.Hum Windha, SH. M.Hum Nip. 195303121983031002 Nip. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ibu saya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN DALAM KEPAILITAN ANAK PERUSAHAANNYA” setelah sekian lama akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan Pendidikan Program S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari, sebagai manusia biasa tidak akan pernah terlepas dari kesalahan dan kekurangan, baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing Penulis sejak masuk bangku kuliah hingga akhir penulisan skripsi ini, Dengan ini ijinkan Penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih Penulis kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H. D.F.M. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara.

5. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah begitu banyak membantu Penulis yang telah begitu banyak membantu Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis, Penulis sangat berterima kasih.

8. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang juga telah banyak membantu Penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada Penulis, Penulis sangat berterima kasih.

9. Bapak Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Dosen Wali Penulis semasa perkuliahan.

10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada Penulis selama masa


(5)

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta kepada pegawai-pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Semua pihak yang membantu Penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat disebut satu-persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis memohon maaf kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing, dan Dosen Penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Akhirnya sembari mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmad dan Karunia-Nya. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 20 Februari 2015 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan... 9

G. Sistematika Penulisan... 12

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DAN ANAK PERUSAHAAN DALAM KONSTRUKSI PERUSAHAAN KELOMPOK A. Status Badan Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan... 14

B. Campur Tangan Induk Perusahaan ke Dalam Bisnis Anak Perusahaan ... 18

C. Tanggung Jawab Induk Perusahaan terhadap Perikatan yang dibuat Anak Perusahaannya... 23


(7)

BAB III KEPAILITAN PERUSAHAAN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN

A. Sejarah Singkat Pengaturan Kepailitan di

Indonesia ... 27

B. Syarat - Syarat Pailit Perusahaan... ... 34

C. Pihak yang Berhak Mengajukan Kepailitan... 38

D. Tata Cara Pengajuan Kepailitan... 42

E. Akibat Hukum Kepailitan... 55

BAB IV TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN DALAM KEPAILITAN ANAK PERUSAHAANNYA A. Kedudukan Penjamin dalam Kepailitan... 67

B. Akibat Hukum Kepailitan dari Anak Perusahaan Terhadap Induk Perusahaan... 71

C. Tanggung Jawab Induk Perusahaan Sebagai Penjamin dalam Kepailitan Anak Perusahaannya... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 87

B. Saran... 88


(8)

ABSTRAK

Analisis Tanggung Jawab Induk Perusahaan Sebagai Penjamin Dalam Kepailitan Anak Perusahaannya

*) Yudifri **) Windha ***) Ramli Siregar

Perkembangan di dunia bisnis melalui perusahaan grup menjadi salah satu pilihan bentuk usaha yang banyak dipilih oleh para pelaku usaha di Indonesia. Pada prakteknya dapat ditemui perusahaan-perusahaan berskala besar tidak lagi dijalankan melalui bentuk perusahaan tunggal tetapi dalam bentuk perusahaan grup. Tergabungnya anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum yang mandiri. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya dan perbuatan hukum, anak perusahaan dapat mengalami kepailitan. Hal ini dikarenakan syarat untuk mengajukan kepailitan sangat sederhana Oleh karena itu, permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimana hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok, bagaimana kedudukan kepailitan perusahaan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan bagaimana tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan internet yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penulisan karya ilmiah ini.

Hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup merupakan badan hukum yang berdiri sendiri-sendiri dan memiliki kekayaan sendiri dari segi ekonomi perusahaan grup secara keseluruhan, terdapat induk dan anak perusahaan didalamnya yang dianggap merupakan suatu kesatuan. Perusahaan Indonesia yang berada dalam keadaan pailit adalah Perusahaan yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apabila anak perusahaan pailit dan induk perusahaan sebagai penjamin, maka induk perusahaan bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian asesoir yang dibuat sebelumnya dan menggunakan hak istimewanya.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Induk Perusahaan, Anak Perusahaan, Kepailitan *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(9)

ABSTRAK

Analisis Tanggung Jawab Induk Perusahaan Sebagai Penjamin Dalam Kepailitan Anak Perusahaannya

*) Yudifri **) Windha ***) Ramli Siregar

Perkembangan di dunia bisnis melalui perusahaan grup menjadi salah satu pilihan bentuk usaha yang banyak dipilih oleh para pelaku usaha di Indonesia. Pada prakteknya dapat ditemui perusahaan-perusahaan berskala besar tidak lagi dijalankan melalui bentuk perusahaan tunggal tetapi dalam bentuk perusahaan grup. Tergabungnya anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum yang mandiri. Dalam melakukan kegiatan operasionalnya dan perbuatan hukum, anak perusahaan dapat mengalami kepailitan. Hal ini dikarenakan syarat untuk mengajukan kepailitan sangat sederhana Oleh karena itu, permasalahan dari skripsi ini adalah bagaimana hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok, bagaimana kedudukan kepailitan perusahaan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dan bagaimana tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan internet yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penulisan karya ilmiah ini.

Hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup merupakan badan hukum yang berdiri sendiri-sendiri dan memiliki kekayaan sendiri dari segi ekonomi perusahaan grup secara keseluruhan, terdapat induk dan anak perusahaan didalamnya yang dianggap merupakan suatu kesatuan. Perusahaan Indonesia yang berada dalam keadaan pailit adalah Perusahaan yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apabila anak perusahaan pailit dan induk perusahaan sebagai penjamin, maka induk perusahaan bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian asesoir yang dibuat sebelumnya dan menggunakan hak istimewanya.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Induk Perusahaan, Anak Perusahaan, Kepailitan *) Mahasiswa Fakultas Hukum

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan hukum perdata khusus yang dirancang atau diciptakan bagi kaum pedagang. Artinya, pemberlakuan hanya diperuntukkan bagi kaum pedagang saja, tidak untuk digunakan di luar pedagang.1

Ruang lingkup hukum perusahaan ada pada hukum perdata (khususnya hukum dagang) dan sebagian ada pada hukum administrasi negara yang tercermin pada peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD). Namun, apabila dilihat dari objek usaha dan tata perniagaannya, hukum perusahaan termasuk didalam lapangan hukum perdata, khususnya bidang hukum harta kekayaan yang didalamnya terletak Hukum Dagang. Sedangkan apabila dilihat dari segi kegiatan usahanya yang bergerak di dalam kegiatan ekonomi pada umumnya, maka Hukum Perusahaan ini termasuk di dalam cakupan hukum ekonomi.2

Perusahaan grup memiliki peran yang semakin penting dalam kegiatan usaha di Indonesia. Dalam perkembangan terkini, perusahaan grup menjadi bentuk usaha yang banyak dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia dipengaruhi oleh

1

Mulhadi, Hukum Perusahaan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1.

2


(11)

berbagai motif, antara lain melalui penciptaan nilai tambah melalui sinergi dari beberapa perusahaan, upaya perusahaan mencapai keunggulan kompetitif yang melebihi perusahaan lain, motif jangka panjang untuk mendayagunakan dana-dana yang telah dikumpulkan atau pun perintah peraturan perundang-undangan yang mendorong terbentuknya perusahaan grup.3

Perkembangan di dunia bisnis dimana perusahaan grup menjadi salah satu pilihan bentuk usaha yang banyak dipilih oleh para pelaku usaha di Indonesia. Pada prakteknya dapat ditemui perusahaan-perusahaan berskala besar tidak lagi dijalankan melalui bentuk perusahaan tunggal tetapi dalam bentuk perusahaan grup. Berbagai bentuk perusahaan grup di Indonesia dapat dapat kita temui seperti perusahaan grup Semen Gresik, Grup Astra, Grup Bakrie, Grup Bhaktie. Namun keberadaan perusahaan grup di Indonesia ternyata belum menjadi justifikasi bagi perlunya pengakuan yuridis terhadap status perusahaan grup dengan badan hukum lainnya. Peraturan perundang-undangan hanya mengatur keterkaitan antara induk perusahan dan tidak mengatur mengenai perusahaan grup. Perusahaan grup mengacu pada realitas bisnis tergabungnya perusahaan-perusahaan untuk membentuk perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi.4

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT) tidak lagi membuat terminologi grup yang mengacu pada perusahaan grup sebagaimana terdapat dalam Pasal 56 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa neraca gabungan dari perseroan yang tergabung dalam “satu grup”. UUPT

3

Sulistiowati, Perusahaan Grup di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 1.

4

Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 3.


(12)

lebih dititikberatkan sebagai dasar hukum perseroan, kerangka pengaturan keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan yang tergabung dalam perusahaan kelompok yang masih menggunakan pendekatan perseroan tunggal. UUPT ini masih mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum perusahaan induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri sehingga secara yuridis badan hukum perusahaan induk dan anak perusahaan tetap diakui dan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri.5

Berbagai perbuatan hukum dalam pembentukan dan pengembangan perusahaan grup berimplikasi kepada kepemilikan induk atas saham anak perusahaan atau perseroan lain. Kepemilikan induk atas saham anak perusahaan menyebabkan induk perusahaan memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) anak perusahaan. Selain itu induk perusahaan dapat mengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan untuk merangkap menjadi anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan sehingga menciptakan keterkaitan kepemimpinan ataupun mengalihkan kewenangan pengendalian anak perusahaan kepada perusahaan lain melalui suatu kontrak pengendalian yang mengatur tentang kepemilikan atas saham perusahaan, keterkaitan kepemimpinan pada anak perusahaan, atau kontrak pengendalian melahirkan keterkaitan antara induk dan anak-anak perusahaan.6

5 Nita Ariyani, “

Tanggung Jawab Dalam Konstruksi Perusahaan Induk (Induk

perusahaan) dan Anak Perusahaan Dalam Perusahaan Grup”,

http://lawandbeauty.blogspot.com/2013/07/tanggung-jawab-hukum-dalam-konstruksi.html?m=1

(diakses terakhir tanggal 22 Oktober 2014).

6

Emmy Pangaribuan, Perusahaan Kelompok (Yogyakarta: Seri Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1994).


(13)

Tergabungnya anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum yang mandiri. Oleh karena itu, anak perusahaan dapat melakukan perbuatan hukum untuk anak perusahaan itu sendiri. Perbuatan hukum yang dilakukan dapat berupa perjanjian maupun pengikatan dengan pihak ketiga.7

Kegiatan operasional dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan dapat mengalami kepailitan. Hal ini dikarenakan syarat untuk mengajukan kepailitan sangat sederhana yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU), yaitu:

1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur

2. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu kiranya diadakan suatu penelitian mengenai “Analisis Tanggung Jawab Induk perusahaan sebagai Penjamin dalam Kepailitan Anak Perusahaannya”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok?

7


(14)

2. Bagaimana kepailitan perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3. Bagaimana tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak

perusahaannya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk lebih memahami tentang hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaannya dalam konstruksi perusahaan kelompok.

2. Untuk mengetahui kedudukan perusahaan dalam kepailitan berdasarkan UUK dan PKPU

3. Untuk mengetahui tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

Penulisan Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat. Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a.Agar Skripsi ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan atau perbandingan untuk mengetahui tentang tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

b.Untuk melengkapi tugas-tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(15)

2. Manfaat praktis:

a.Dengan penulisan skripsi ini dapat diketahui bagaimana tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

b.Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk menambah pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa, sehingga dapat mengetahui perlunya perlakuan sama kepada penanam modal dan penerapannya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini membahas judul “Analisis Tanggung Jawab Induk Perusahaan sebagai Penjamin dalam Kepailitan Anak Perusahaannya”. Bahwa sebelumnya terdapat tulisan-tulisan terdahulu yang mengangkat tema yang mirip mengenai Penjamin. Tulisan-tulisan terdahulu berjudul “Kedudukan Penjamin (corporate) dalam Perkara Kepailitan” oleh Stefanus V Sebayang dengan NIM 02200182, dan “Akibat Hukum Pemberian Corporate Guarantee oleh Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Anak Perusahaan dalam Perkara Kepailitan (Analisis Perkara Kepailitan No.05/Pailit/1998/PN)” oleh Julita S. Nababan dengan NIM 010200035.

Keseluruhan tulisan yang pernah dibuat oleh penulis-penulis sebelumnya memiliki perbedaan dengan tulisan yang bahas dalam penulisan skripsi ini Perbedaannya adalah:

1. Pada tulisan terdahulu membahas mengenai kedudukan penjamin (corporate) dalam perkara kepailitan, sedangkan pada tulisan ini lebih membahas


(16)

mengenai hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaannya dalam konstruksi perusahaan kelompok.

2. Pada tulisan terdahulu lebih membahas mengenai akibat hukum pemberian corporate guarantee oleh induk perusahaan terhadap perikatan anak perusahaan, sedangkan pada tulisan ini membahas mengenai tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya.

Sehingga dengan melihat perbedaan di atas, maka skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka serta literatur-literatur yang dapat mendukung pembuatan skripsi ini. Dan tulisan ini dapat dibandingkan dan dapat dibuktikan dengan melihat data yang ada di Sekretariat Departemen Hukum Ekonomi.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan Kepustakaan mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang akan menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna bagi penulis untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada dalam topik yang diangkat dari permasalahan yang telrah dituliskan di atas.

Adapun yang menjadi pengertian etimologis daripada judul skripsi ini adalah:


(17)

1. Perusahaan

Istilah perusahaan untuk pertama kalinya terdapat dalam Pasal 6 KUHD yang mengatur mengeai penyelenggaraan catatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang menjalankan perusahaan. Meskipun demikian, KUHD tidak memuat penafsiran otentik mengenai arti perusahaan. Mengenai defenisi perusahaan dapat kia temukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Menurut Pasal 1 huruf B, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.

2. Induk perusahaan

Menurut Munir Fuady, Induk perusahaan sering disebut sebagai induk perusahaan, parent holding, atau controlling company. Munir Fuady mengartikan induk perusahaan adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain.8

3. Anak perusahaan

Anak perusahaan dalam urusan bisnis adalah sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh sebuah perusahaan yang terpisah dan lebih tinggi.9

8

Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999) hlm. 18.

9

Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_perusahaan (diakses terakhir tanggal 22 Oktober 2014).


(18)

4. Penjamin

Berdasarkan Pasal 1820 KUHPerdata, borgtocht atau penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang/kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang/debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.10

5. Jaminan

Jaminan adalah susatu yang diberikan oleh pihak ketiga guna kepentingan kreditur yaitu untuk memenuhi kewajiban debitur manakala ia sendiri tidak memenuhinya.11

6. Kepailitan

Kepaililitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.12

F. Metode Penulisan

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Spesifikasi penelitian a.Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian

10

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1820.

11

Ibid.

12


(19)

yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang menganalisa peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan pelaksananya.

b.Sifat penelitian

Penelitian hukum normatif ini berbeda dengan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dengan memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu fenomena atau gejala.13

c.Pendekatan penelitian

Penelitian hukum yuridis normatif melakukan pendekatan terhadap perundang-undangan atau sering disebut statue approch.

2. Data penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan ini bahan-bahan primer tersebut adalah UUK dan PKPU dan UUPT.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer. Dalam penulisan ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang berkaitan dengan perusahaan dan kepailitan.

13Mahmul Siregar, “Metode Penelitian Hukum”


(20)

c. Bahan hukum tersier, yaitu: bahan hukum penunjang, mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Dalam penulisan ini bahan hukum tersier yang digunakan adalah ensiklopedi untuk memberi penjelasan terhadap kepailitan perusahaan.

3. Teknik pengumpulan data

Penelitian yang digunakan penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan berupa buku, peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini yaitu mengenai penanaman modal yang digunakan sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi.

4. Analisis data

Penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian hukum normatif. Pengelolaan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Analisis data dilakukan dengan:

a.Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti yaitu mengenai perusahaan dan kepailitan.

b.Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan permasalahan.

c.Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep pasal yang ada UUK dan PKPU dengan UUPT dan peraturan yang relevan lainnya.


(21)

d.Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif mengenai permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Sehingga setiap orang yang membaca dapat memahami isi tulisan tersebut. Untuk itu penulis akan membuat suatu sistematika penulisan skripsi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan, dimana yang akan dipaparkan disini adalah mengenai latar belakang, perumusan masalah-masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yaitu: pengertian-pengertian dari judul penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DAN ANAK PERUSAHAAN DALAM KONSTRUKSI PERUSAHAAN KELOMPOK

Bab ini membahas mengenai status badan hukum induk perusahaan, status badan hukum anak perusahaan dan hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok.


(22)

BAB III KEPAILITAN DALAM PERUSAHAAN

Bab ini membahas mengenai sejarah singkat pengaturan kepailitan di Indonesia, syarat-syarat kepailitan, pihak yang berhak mengajukan kepailitan, tata cara pengajuan permohonan pailit dan akibat hukum dari kepailitan.

BAB IV TANGGUNG JAWAB INDUK PERUSAHAAN SEBAGAI PENJAMIN DALAM KEPAILITAN ANAK PERUSAHAANNYA Bab ini membahas mengenai kedudukan penjamin dalam kepailitan, akibat hukum kepailitan terhadap anak perusahaan terhadap induk perusahaan dan tanggung jawab perusahaan induk sebagai pejamin dalam kepailitan anak perusahaannya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian penutup dari isi penulisan skripsi yang berisi kesimpulan mengenai pembahasan dari penulisan skripsi ini serta saran-saran yang diberikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam hal analisis tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin dalam kepailitan anak perusahaannya.


(23)

BAB II

HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN

A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

Pasal 1 angka 1 UUPT, elemen pokok yang melahirkan suatu Perseroan sebagai badan hukum, harus terpenuhi dengan syarat-syarat berikut:

1. Merupakan persekutuan modal.

Perseroan sebagai badan hukum memiliki “modal dasar” yang disebut authorized capital, yakni jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam Akta Pendirian atau Anggaran Dasar Perseroan.14 Modal dasar tersebut terdiri dan terbagi dalam saham atau sero. Modal yang terdiri dan terbagi atas saham itu dimasukkan para pemegang saham dalam status mereka sebagai anggota perseroan dengan cara membayar saham tersebut kepada perseroan. Jadi, ada beberapa orang pemegang saham yang bersekutu mengumpulkan modal untuk melaksanakan kegiatan perusahaan yang dikelola perseroan. Besarnya modal dasar perseroan menurut Pasal 31 ayat (1) UUPT terdiri atas seluruh “nilai nominal” saham, selanjutnya menurut Pasal 32 ayat (1) tersebut, modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).15

14

Syahrul, Muhammad Afni Nazar, Ardiyas, Kamus Lengkap Ekonomi (Jakarta: Citra Harta Prima Jakarta, 2000), hlm. 98.

15

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 34.


(24)

2. Didirikan berdasarkan perjanjian

Perseroan sebagai badan hukum, didirikan berdasarkan perjanjian. Demikian penegasan bunyi Pasal 1 angka 1 UUPT. Oleh karena itu, perseroan sebagai persekutuan modal antara pendiri dan/atau pemegang saham, harus memenuhi ketentuan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata khususnya Bab Kedua. Jika ditinjau dari segi hukum perjanjian, pendirian perseroan sebagai badan hukum bersifat “kontraktual” yakni berdirinya perseroan merupakan akibat yang lahir dari perjanjian. Selaian bersifat kontraktual, juga bersifat konsensual berupa adanya kesepakatan untuk mengikat perjanjian mendirikan perseroan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUPT, supaya perjanjian untuk mendirikan perseroan sah menurut Undang-Undang, pendirinya paling sedikit dua orang atau lebih. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) alinea kedua, bahwa prinsip yang berlaku berdasar Undang-Undang ini, perseroan sebagai badan hukum didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu lebih dari satu orang pemegang saham.16

3. Melakukan kegiatan usaha

Sesuai dengan Pasal 2 UUPT, suatu perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha. Seterusnya dalam Pasal 18 UUPT ditegaskan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha itu harus dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 18, maksud dan tujuan merupakan “usaha

16


(25)

pokok” perseroan sedangkan kegiatan usaha merupakan “kegiatan yang dijalankan” oleh perseroan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan. Oleh karena itu, suatu perseroa yang tidak mempunyai kegiatan usaha, dianggap tidak eksis lagi. Meskipun dalam anggaran dasar ada dicantumkan secara rinci, namun apabila kegiatan tersebut dalam anggaran dasar tidak ada aktivitasnya, pada dasarnya Perseroan itu dianggap tidak eksis lagi sebagai badan hukum.17

4. Lahirnya perseroan melalui proses hukum dalam bentuk pengesahan pemerintah.

Kelahiran badan hukum karena dicipta dan diwujudkan melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengertian badan hukum berasal dari bahasa Latin yang disebut Corpus atau Body. Hal ini berbeda dengan manusia. Kelahiran manusia sebagai badan hukum, melalui proses alamiah. Sebaliknya perseroan lahir sebagai badan hukum tercipta melalui proses hukum. Itu sebabnya perseroan disebut makhluk badan hukum yang berwujud artifisial yang dicipta negara melalui proses hukum:18

a. Untuk proses kelahirannya, harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan peraturan perundang-undangan,

b. Apabila persyaratan tidak terpenuhi, kepada perseroan yang bersangkutan tidak diberikan keputusan pengesahan untuk berstatus sebagai badan hukum oleh pemerintah, dalamhal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

17

Ibid.

18


(26)

Proses kelahiran Perusahaan sebagai badan hukum multak didasarkan pada Keputusan Pengesahan oleh Menteri. Hal itu ditegaskan pada Pasal 7 ayat (2) UUPT yang berbunyi: “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.

Keberadaan sebagai badan hukum dibuktikan berdasarkan Akta Pendirian yang di dalamnya tercantum anggaran dasar Perseroan. Apabila anggaran dasar telah mendapat “pengesahan” Menteri, Perseroan menjadi subjek hukum korporasi. Pada dasarnya sifat eksistensinya sebagai subjek hukum perseroan adalah terus menerus atau abadi, terutama apabila dalam anggaran dasar tidak ditentukan jangka waktunya, boleh dikatakan keberadaannya abadi. Kematian, pengalihan dan berhentinya pemegang saham dan diberhentikannya atau digantinya anggota direksi maupun karyawan perseroan, semua peristiwa itu tidak mempengaruhi dan tidak menimbulkan akibat terhadap kelanjutan hidup dan eksistensi perseroan.19

Perseroan sebagai makhluk atau subjek hukum secara artifisial disahkan oleh negara menjadi badan hukum memang tetap tidak bisa dilihat dan tidak dapat diraba. Akan tetapi, eksistensinya ada sebagai subjek hukum yang terpisah dan bebas dari pemiliknya atau pemegang sahamnya maupun pengurus dalam hal ini direksi perseroan. Secara terpisah dan independen perseroan melalui pengurus dapat melakukan perbuatan hukum seperti melakukan kegiatan untuk dan atas nama perseroan membuat perjanjian, transaksi , menjual aset dan menggugat atau

19

Rutzel MSJD, Conteraporary Business Law (Mc Graw hill: Publishing Company, 1999), hlm. 821.


(27)

digugat serta dapat hidup bernapas seperti layaknya manusia selama jangka waktu berdirinya seperti yang ditetapkan dalam anggaran dasar belum berakhir.20

Status badan Induk perusahaan dan anak perusahaan adalah memiliki status sendiri-sendiri sebagai badan hukum. Keduanya memiliki status hukum yang sah sebagai badan hukum dengan memenuhi syarat-syarat seperti yang dikemukan di atas dan melakukan kegiatan usaha. Induk perusahaan tetap eksis sebagai perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan Anak perusahaan juga memiliki status badan hukum yang sama dan mandiri.

Terhadap induk perusahaan dan anka perusahaan yang berbadan hukum mandiri berlaku prinsip hukum yang menjadi pondasi dasar perseroan terbatas atau bedrock principle yang meliputi pengesahan badan hukum, status badan hukum perseroan sebagai subjek hukum mandiri atau separate legal entity dan limited liability. pengesahan status badan hukum memberikan legitimasi kepada suatu badan usaha untuk menyandang status badan hukum perseroan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum.21

B. Campur Tangan Induk perusahaan ke dalam Bisnis Anak Perusahaan

Seperti juga induk perusahaan yang merupakan suatu badan hukum (legal entity) yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum lainnya, maka anak perusahaan juga pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas, yang tentu juga mempunyai kedudukan yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak

20

M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 38.

21


(28)

perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri. Dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta kekayaan pemegang sahamnya. Tidak kecuali apakah pemegang sahamnya itu merupakan induk perusahaan ataupun tidak.22

Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum, induk perusahaan dalam kedudukannya sebagai induk perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencampuri manajemen dan policy anak perusahaan. Menurut teori ilmu hukum maka keterlibatan induk perusahaan terhadap bisnisnya anak perusahaan hanya dimungkinkan dalam hal-hal sebagai berikut:23

1. Melalui direktur dan komisaris yang diangkat oleh induk perusahaan sebagai pemegang-pemegang saham,sejauh tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

2. Melalui hubungan yang kontraktual dan sejauh tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.

Berdasarkan perspektif hukum, pada perusahaan tunggal pemegang saham perseorangan berlaku limitid liability. direksi perseroan memiliki kemandirian untuk menjalankan operasional dan pengambilan keutusan perusahaan sehari-hari, sedangkan pemegang saham perseorangan tidak memiliki kepentingan dan kekuasaan atas jalannya perseroan sehingga terbebas dari tanggung jawab terhadap utang dan tindakan perseroan. sebaliknya, pada perusahaan grup

22

Budi Fitriadi, “Kuliah Online Hukum Bisnis”,

http://kuliahonline.unikom.ac.id/?listmateri/&detail=2966&file=/ANAK-PERUSAHAAN.html (diakses pada tanggal 1 Maret 2015).

23


(29)

permasalahan timbul dari tanggung jawab anak perusahaan yang dikontrol ketika modal ekuitas dimiliki oleh induk perusahaan dan bisnis dijalankan secara de jure dan de facto oleh induk perusahaan yang menjalankan pimpinan sentral.24

Berdasarkan perspektif ekonomi, pengakuan terhadap prinsip limited liability di seluruh dunia lebih diarahkan untuk mendukung aspek ekonomis dan efisiensi kegiatan bisnis. tidak ada keraguan bahwa prinsip limited liability memberikan keuntungan berupa efisiensi ketika diterapkan pada perseroan tunggal situasi yang berbeda ditunjukkan ketika limited liability diterapkan pada anak perusahaan karena situasi pada perusahaan grup lebih menyerupai perseroan tertutup, dibandingkan dengan perseroan terbuka yang dimiliki oleh pemegang saham perseorangan dengan jumlah yang tidak berhingga dan dikelola oleh direksi yang independen dengan keberadaan pemegang saham perseorangan.25

Merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa melalui approach dari segi ekonomi, maka grup perusahaan secara keseluruhan, di mana di dalamnya terdapat induk dan anak perusahaan, dianggap merupakan suatu kesatuan. Hal yang demikian berlaku, baik terhadap grup investasi maupun terhadap grup manajemen. Karena merupakan suatu kesatuan ekonomi maka grup perusahaan mestinya dikomandokan pula oleh induk perusahaan. Hanya saja erat longgarnya sentralisasi manajemen oleh induk perusahaan pada kenyataannya bervariasi, mengikuti bentuk grup yang bagaimana yang dipilih oleh induk perusahaan.

Manajemen sentralisasi grup perusahaan pengaturannya cukup ketat, sementara dalam grup investasi pengaturan oleh induk perusahaan cukup longgar.

24

Sulistiowaty, Op.Cit., hlm. 105.

25


(30)

Demikian pula wewenang dan peran yang dimainkan oleh induk perusahaan dalam grup perusahaan yang tersentralisasi jauh lebih ketat dibandingkan dengan yang terdapat dalam grup perusahaan yang menganut prinsip desentralisasi. Jika melalui pendekatan ekonomi suatu kelompok perusahaan dianggap merupakan suatu kesatuan, maka lain halnya apabila dilakukan pendekatan dari segi hukum. Ilmu hukum mengajarkan bahwa sebagai badan hukum, maka masing-masing anak perusahaan maupun induk perusahaannya berkedudukan terpisah atau sama lain. Jika dicari benang merah yang menghubungkan satu anak perusahaan dengan anak perusahaannya lainnya, ataupun dengan induk perusahaan, paling-paling hanya lewat kedudukan dan peran yang dimainkan oleh para pemegang sahamnya. Yakni lewat mekanisme RUPS, yang secara yuridis memang mempunyai kedudukan tertinggi dan menentukan dalam suatu perusahaan. Atau dapat juga benang merah tersebut diciptakan lewat ikatan-ikatan kontraktual yang bersifat temporer, sejauh tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.26

Pendekatan ekonomi terhadap hubungan antara perusahaan-perusahaan jelas dalam suatu grup perusahaan konglomerat ternyata berbeda dengan pendekatan dari segi hukum. Di satu pihak, pendekatan ekonomi lebih dilatarbelakangi dan didasari oleh kebutuhan kebutuhan dalam praktek bisnis, jadi lebih praktis dan pragmatis, sementara pendekatan yuridis lebih bersifat konvensional, sehingga lebih teoritis. Tentu saja perbedaan pandangan dari sektor ekonomi dan sektor hukum ini tidak reasonable untuk dipertahankan terus. Titik

26


(31)

temu di antara keduanya tentu harus dicari, karena hal tersebut merupakan kebutuhan manusia dalam berbisnis.27

Fenomena dalam dunia bisnis bahwa grup usaha konglomerat cenderung dianggap sebagai suatu kesatuan ekonomi, maka implikasinya ke dalam sektor hukum antara lain berupa diterobosnya batas-batas kemandirian badan hukum dari anak perusahaan maupun induk perusahaan. Sebagai konsekwensi logis, berkembanglah teori-teori hukum tentang:28

1. Ikutnya ditarik induk perusahaan, maupun anak perusahaan lain dalam satu grup dalam hal-hal tertentu untuk mempertanggungjawabkan perusahaan hukum yang dilakukan oleh salah satu atau lebih anak perusahaan.

2. Berwenangnya pihak induk perusahaan dalam batas-batas tertentu untuk mencampuri urusan bisnis anak perusahaan.

Ikut campur induk perusahaan ke dalam bisnis anak perusahaan lewat sarana-sarana yuridis, yaitu secara organik (penunjukan organ perusahaan), atau secara kontraktual, maka dalam batas-batas tertentu hukum harus pula mentolerir ikut campur induk perusahaan tersebut secara non konvensional. Misalnya dalam hal sentralisasi terhadap penentuan policy perusahaan, manajemen dan keuangan.29

Ikut campur induk perusahaan tersebut akan terkait dengan kepentingan berbagai pihak, maka berbagai benturan kepentingan sangat mungkin terjadi.

27

Ibid.

28

Ibid.

29


(32)

Adapun di antara para pihak yang kemungkinan akan mengalami benturan kepentingan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:30

1. Pihak induk perusahaan (pemilik perusahaan). 2. Pihak pengurus induk perusahaan.

3. Pihak komisaris induk perusahaan.

4. Pihak pemegang saham minoritas dalam induk perusahaan. 5. Pihak anak perusahaan.

6. Pihak pengurus dari anak perusahaan. 7. Pihak komisaris dari anak perusahaan.

8. Pihak pemegang saham minoritas dalam anak perusahaan. 9. Pihak pekerja/karyawan pada induk perusahaan.

10.Pihak pekerja/karyawan pada anak perusahaan. 11.Pihak kreditur dari induk perusahaan, dan 12.Pihak kreditur dari anak perusahaan.

Salah satu tapal batas bagi induk perusahaan dalam mencampuri urusan bisnis anak perusahaan adalah jika dengan perbuatannya itu tidak merugikan pihak-pihak tersebut di atas.

C. Tanggung Jawab Induk Perusahaan terhadap Perikatan yang Dibuat Anak Perusahaannya

Sebuah perusahaan dalam menjalankan usahanya pasti berhubungan dengan pihak lain yaitu pihak ketiga. Perusahaan melakukan transaksi jual beli,

30


(33)

kredit dari perbankan, sewa menyewa dan lain sebagainya. Biasanya, jika transaksi berjalan dengan lancar atau tidak ada masalah, kondisinya akan aman-aman saja, namun bila terjadi sebaliknya terjadi masalah seperti melakukan wanprestasi, maka yang dicari adalah mengenai tanggung jawab. Berhubung yang melakukan transaksi adalah perusahaan, maka masalah transaksi dipengaruhi oleh statusnya, apakah berstatus badan hukum atau tidak. Adanya perbedaan status tersebut berpengaruh pada siapa yang harus bertanggung jawab.31

Sebuah badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari pengurus. Dalam perseroan terbatas modal yang terbagi dalam saham merupakan modal perusahaan, demikian pula badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum yang diwakili oleh pengurusnya. Oleh karena kedudukannya sebagai subjek hukum segala perbuatan badan hukum menjadi tanggung jawab badan hukum itu sendiri bukan tanggung jawab pengurusnya, pemegang saham hanya menanggung sebesar nilai saham yang dimasukkan. Sehubungan itu, perseroan terbatas yang berstatus sebagai badan hukum, segala perbuatan pengurus atas nama perseran yang dilakukan dengan itikad baik yang bertanggung jawab adalah perusahaannya.32

Berdasarkan KUHD Pasal 40 ayat (2) dinyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari jumlah saham yang ia miliki. Prinsip yang sama juga diberlakukan oleh UUPT yang menyatakan secara tegas: “Perseroan Terbatas merupakan badan hukum dan tanggung jawab hanya sebatas saham-saham yang diambil oleh pemegang saham-saham. Hal ini diatur dalam UUPT Pasal 3.

31

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata

(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 135.

32


(34)

Hanya saja UUPT menegaskan tentang adanya beberapa pengecualian atas prinsip keterbatasan tanggung jawab badan hukum yang bersangkutan, termasuk untuk menarik pihak induk perusahaan sebagai pemegang saham untuk ikut mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak perusahaannya.

Namun, induk perusahaan dapat diminta pertanggungjawaban apabila dapat dibuktikan, bahwa:33

1. Ikutnya induk perusahaan dalam menentukan manajemen perusahaan, keuangan, keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian perseroan, misalnya dalam mengambil kredit dari perbankan ikut menetukan jumlah, peruntukannya dan penggunaannya sehingga perseroan mengalami kerugian atau pailit.

2. Perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan utuk kepentingan induk perusahaan.

3. Induk perusahaan secara tidak layak mengabaikan masalah kecukupan finansial dari anak perusahaan.

Tidak hanya gugatan perdata yang dapat diajukan kepada induk perusahaan selaku pemegang saham apabila ternyata induk perusahaan ikut campur dalam manajemen keuangan anak perusahaan, maka induk perusahaan atau perusahaan Grup dapat dituntut secara pidana.

Induk perusahaan dalam kegiatan operasional perusahaan dapat melakukan kontrak-kontrak yang bersifat kebendaan dan hubungan dengan kegiatan anak

33


(35)

perusahaan, sehingga tangung jawab yuridis dari perbuatan yang dilakukan anak perusahaan sampai batas-batas tertentu dapat dibebankan kepada induk perusahaan. Hubungan hukum antara anak perusahaan dengan induk perusahaan hanya sebatas pada pemegang saham saja. jika anak perusahaan melakukan perikatan dengan induk perusahaan, hal ini tidak berbeda dengan anak perusahaan melakukan perikatan dengan pihak lainnya. Namun, jika induk perusahaan memiliki kedudukan sebagai penjamin dapat terjadi misalnya dalam hal asset-asset dari induk perusahaan ikut menjadi jaminan terhadap utang-utang yang dibuat oleh anak perusahaan.34

Dasar pertanggungjawaban induk perusahaan terhadap anak perusahaan dikarenakan induk perusahaan ikut mengikatkan diri sebagai penjamin dalam hubungan hukum berupa perikatan yang dilakukan anak perusahaannya. Atas dasar pengikatan diri tersebut, induk perusahaan ikut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perikatan tersebut.

34


(36)

BAB III

KEPAILITAN PERUSAHAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEBAYARAN UTANG

A. Sejarah Singkat Pengaturan Kepailitan di Indonesia

Sebelum tahun 1945, untuk kasus kepailitan pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (WvK), buku ketiga yang berjudul Van De Voorzieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan Tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 WvK, tetapi telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (Stb. 1906-348). Peraturan ini berlaku untuk pedagang saja.35

Sedangkan, kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtvordering atau disingkat Rv (Stb. 1847-52 jo. 1849-63), buku Ketiga, Bab Ketujuh yang berjudul Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai Pasal 915 yang kemudian telah dicabut oleh Stb. 1906-348.36

Adanya dua peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi, terlalu sedikit kreditur yang ikut campur dalam proses kepailitan, dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama sehingga timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak

35

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009) hlm. 1.

36


(37)

banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 1905 telah diundangkan Faillissements Verordening (selanjutnya disebut FV) (Stb. 1905-217) yang terdiri atas Bab I tentang Kepailitan pada umumnya, dan Bab II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Peraturan ini lengkapnya bernama : Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran untuk Orang-orang Eropa). Berdasarkan Faillissementsverordening ter invoering van de Faillissementsverordening (Stb. 1906-348), FV (Stb. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906.37

Berlakunya FV tersebut, maka dicabutlah seluruh Buku HI dari WvK dan Reglement op de Rechts verordening, Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai Pasal 915. FV ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu.38

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun waktu yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya FV (Peraturan Kepailitan), yaitu tahun 1945-1947, tahun 1947-1998, dan tahun 1998-sekarang.

Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut,

37

Ibid.

38


(38)

seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.39

Pada tahun 1947, pemerintah Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen 1947). Tujuannya untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai sehingga Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi. Pada tahun 1947 – 1998, FV relatif sangat sedikit digunakan. Penyebabnya karena keberadaan peraturan itu kurang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, FV itu tidak dirasakan sebagai suatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, karenanya tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat.40

Disempurnakannya FV menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU lama) tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut. Dari segi substansi, terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905 :

1. Tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan. Akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama;

39

Ibid.

40


(39)

2. Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga sangat lama, yaitu memkan waktu 18 bulan; 3. Apabila pengadilan menolak Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka

pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitor dalam keadaan pailit;

4. Kedudukan kreditur masih lemah. Umpamanya, pembatalan perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit, sedangkan dalam UUK dan PKPU lama jangka waktu diberikan sampai 4 tahun.41

Faktor lainnya karena sebagian besar pengusaha pribumi masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar. Pada umumnya, mereka masih melakukan transaksi dalam lingkungan yang terbatas dan sebagian besar belum mengenal sistem hukum bisnis Barat.42

Berlakunya UUK dan PKPU lama tersebut, maka Peraturan Kepailitan (FV Stb 1905 No. 217 jo Stb. 1906 No. 348) yang sejak lama tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali. Sejak itu, berbagai pengajuan permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke pengadilan niaga sehingga muncullah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.43

Secara umum, terdapat tujuh perubahan utama yang menjadi semangat Perpu No. 1 Tahun 1998 yang dikuatkan menjadi UUK dan PKPU lama dibandingkan dengan peraturan kepailitan yang lama, yaitu sebagai berikut :

41

Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia (Bahan Kuliah E Learning, 2002), hlm. 2-3.

42

Adrian Sutedi, Op.cit., hlm.3.

43

Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998 (Jakarta : Pustaka Umum Grafiti, 2002), hlm. 9.


(40)

1. Penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan, termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan keputusan pernyataan kepailitan;

2. Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil kreditor atas kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan;

3. Peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut, disamping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai kurator berikut kewajiban mereka;

4. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadapu putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini;

5. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan bebagai kepentingan secara adil, ditegaskan pula adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak diantara kreditur yang memegang hak tanggungan, gadai, atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan yang telah dibuat debitur, sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan;


(41)

6. Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam Bab Kedua UUK dan PKPU;

7. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan hakim-hakim yang akan bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga ini merupakan langkah diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukkannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Perpu ini, peradilan khusus tersebut bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan.44

Sebagai peraturan pelaksana dari UUK dan PKPU ini, pemerintah juga mengeluarkan beberapa ketentuan yang merupakan pelaksanaan teknisnya, yaitu sebagai berikut:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pemohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. PP ini memberikan petunjuk teknis bagi pihak kejaksaan dalam mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum, serta kejaksaan negeri mana yang dapat melakukannya;

44


(42)

2. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1998 tentang Perhitungan Jumlah Hak Suara Kreditor. PP ini mengatur dua hal utama : pertama mengenai hak kreditor yang memiliki piutang sampai dengan Rp. 10.000.000,- yang berhak mengeluarkan satu suara dan jika terjadi kelebihan piutang dari jumlah Rp 10.000.000,- tersebut. Kedua, bagaimana menetapkan utang yang nilainya tidak dapat ditetapkan secara pasti atau ditetapkan dalam valuta asing.45

Inilah ketentuan yang terdapat di dalam UUK dan PKPU lama yang tidak dijumpai dalam FV. Diaturnya perkara kepailitan dalam suatu pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga merupakan sesuatu yang baru yang merupakan penerobosan terhadap sistem peradilan yang selama ini ada.

Pada tanggal 18 Oktober 2004 UUK dan PKPU lama diganti dengan disahkannya UUPK dan PKPU. UUPK dan PKPU ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UUK dan PKPU ini antara lain:46

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

45

Ibid., hlm. 7.

46


(43)

B. Syarat-Syarat Pailit Perusahaan

Suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit ketika perusahaan tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang dan telah jatuh tempo. Juga telah keluarnya putusan dari Pengadilan Niaga yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yangtelah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Kepailitan pada suatu perusahaan dapat terjadi karena : 47

1. Perusahaan mengalami ketidakmampuan untuk membiayai operasionalnya secara normal sehingga menghentikan kegiatannya akibat ketidakmampuan membiayai operasionalnya dan terutama ketidakmampuan dalam membayar berbagai kewajibannya baik kewajiban dalam bentuk gaji karyawan yang tertunda maupun kewajibannnya kepada pihak ketiga seperti kreditur.

2. Perusahaan yang pailit karena melalui proses pemailitan di pengadilan dan vonis pengadilan memutuskan bahwa perusahaan tersebut pailit.

Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat dikatakan bahwa suatu syarat yuridis untuk kepailitan perusahaan adalah sebagai berikut: 48

47

Rhena, “Prosedur Perusahaan dinyatakan Pailit”, http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2181884-prosedur-perusahaan-dinyatakan-pailit/#ixzz2Mvdr8hEF (diakses pada tanggal 8 Maret 2015).

48


(44)

1. Adanya utang

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.49

2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;

Maksud dari jatuh tempo dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbiter.50

3. Adanya debitur;

Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. 4. Adanya kreditur (lebih dari satu);

Maksudnya adalah seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur tersebut memiliki paling sedikit dua kreditur. Syarat mengenai adanya dua kreditur atau lebih dikenal sebagai concursus creditorum.51 Keharusan adanya dua

49

Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm.24.

50

Ibid., hlm.26.

51


(45)

kreditur yang dipersyaratkan dalam UUK dan PKPU merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.52

5. Permohonan pernyataan pailit

Dalam mengajukan permohonan kepailitan atau penundaan pembayaran utang kepada Pengadilan Niaga, baik kreditur atau debitur harus memastikan kelengkapan dokumen yang diserahkan.

a. Permohonan oleh debitur

Menurut Pasal 4 UUK dan PKPU dinyatakan bahwa dalam hal pernyataan pailit diajukan oleh debitur yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri. Maka kelengkapan dokumen yang harus dikumpulkan adalah sebagai berikut: 1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan

negeri/niaga yang bersangkutan; 2) Izin pengacara yang telah dilegalisasi; 3) Surat kuasa khusus;

4) Kartu Identitas Penduduk (KTP) dari suami atau istri yang masih berlaku;

5) Persetujuan dari suami atau istri yang dilegalisasi; 6) Daftar asset dan tanggung jawab; dan

7) Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perseorangan memiliki perusahaan).

52

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan


(46)

b.Permohonan oleh kreditur

Jika permohonan dilakukan oleh kreditur, maka pihak kreditur harus melengkapi dokumen-dokumen sebagai berikut:

1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri/niaga yang bersangkutan;

2) Izin pengacara yang dilegalisasi/kartu pengacara; 3) Surat kuasa khusus;

4) Akta pendaftaran/yayasan/asosiasi yang dilegalisasi oleh kantor perdagangan paling lambat satu minggu sebelum permohonan didaftarkan;

5) Surat perjanjian utang;

6) Perincian utang yang tidak dibayar;

7) Nama serta alamat masing-masing debitur; 8) Tanda kenal debitur;

9) Nama serta alamat mitra usaha;

10) Terjemahan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris oleh penerjemah resmi (jika menyangkut unsur asing).53

6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Maksudnya adalah sebelum adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.54

53

Jeany Tabita, ”Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitur dan Kreditur”, http://www.hukumkepailitan.com/2012/01/10/permohonan-pernyataan-pailit-oleh-debitur-dan-kreditur/(diakses pada tanggal 24 Februari 2015).


(47)

Apabila syarat-syarat yang diatas telah terpenuhi maka suatu perusahaaan tersebut dapat dikatakan pailit. Selain ketentuan yang diuraikan diatas, yang paling mendasar yaitu adanya permohonan pernyataan pailit yang disampaikan kepada Pengadilan Niaga.

C. Pihak yang Berhak Mengajukan Pailit

Berdasarkan UUK dan PKPU menyatakan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada suatu perusahaan adalah sebagai berikut:55 1. Debitur sendiri

Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (Voluntary Petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya.

2. Seorang atau beberapa kreditur

Dalam kepailitan tidak semua kreditur memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan kedudukan kreditur ini semata-mata ditentukan oleh jenis piutang masing-masing. Adapun golongan kreditur dalam kepailitan adalah :56

a.Kreditur separatis

Adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan juga sebagai kreditur yang tidak

54

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan (Jakarta: Raja Grafindo persaja,1999), hlm.12.

55

Rhena, Op.Cit.

56


(48)

terkena kepailitan. Artinya, para kreditur ini tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit. Yang tergolong sebagai kreditur separatis adalah kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan atas benda lainnya. Dari penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditur akan mengambil pelunasan atas piutangnya dan sisanya akan dikembalikan pada boedel pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap sisa piutang yang belum terbayar tersebut, maka kreditur ini akan menggabungkan diri dengan kreditur lain sebagai kreditur konkuren.

b.Kreditur preferen/istimewa

Adalah kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa. Maksudnya, kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan boedel pailit.

c.Kreditur konkuren

Adalah kreditur yang tidak termasuk golongan kreditur separatis atau golongan kreditur preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan golongan preferen. Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren.

Kreditur konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditur konkuren adalah para kreditur dengan hak pari passu dan pro rata, artinya


(49)

para kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masingn dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.57

3. Kejaksaan demi kepentingan umum.

Adapun kewenangan kejaksaan dalam Kepailitan yaitu:

a.Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum.

b.Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur dalam perkara kepailitan.

c.Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih setelah mendengar hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

4. Bank Indonesia.

Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia merupakan bank sentral yang

57

Kartini Muljadi, Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam kepailitan (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 164-165.


(50)

menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin usaha.58

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK). OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 UU OJK mengatur tugas OJK, yaitu: “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”

Sebelum adanya OJK, tugas-tugas di atas dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Bank Indonesia.

5. Badan Pengawas Pasar Modal.

Debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Akan tetapi setelah

58Sutan Remy Sjahdeini, “Undang

-Undang Kepailitan: Dalam Perspektif Hukum, Politik


(51)

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan menggantikan kedudukan Badan Pengawas Pasar Modal.

6. Menteri Keuangan.

Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 55 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (2) UU OJK hanya Badan Pengawas Pasar Modal yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor pasar modal kepada OJK, sedangkan terhadap Bank Indonesia dan Menteri Keuangan masih menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu dengan adanya OJK, otomatis telah mengubah prosedur permohonan pailit terbatas pada perusahaan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang dahulu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) dan tersebut beralih ke OJK.

D. Tata Cara Pengajuan Pailit

Pasal 1 angka 7 UUK dan PKPU secara tegas menentukan bahwa: “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum” Apabila diperhatikan Pasal 3, permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke


(52)

Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Ketentuannya adalah sebagai berikut :59

1. Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.

2. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.

3. Dalam hal debitur adalah pesero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.

4. Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. 5. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya

adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Adapun yang dimaksud dengan „hal-hal lain‟ dalam ayat 1 diatas antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitur, kreditur, kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam

59


(53)

perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.60

Hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu pengadilan yang berwenang mengadili debitur yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal yang lebih awal adalah yang berlaku. Dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai debitur yang sama, maka yang berlaku adalah putusan pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum debitur. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma. Yang dimaksud dengan tempat tinggal adalah tempat pesero tercatat sebagai penduduk, Dalam hal tidak diketahui tempat tinggal pesero, maka disebutkan tempat kediamannya. Nama dan tempat tinggal sesuai dengan yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).61

Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 7 UUK dan PKPU.

Prosedur permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan adalah sebagai berikut :62

60

Ibid., hlm. 68.

61

Ibid.

62


(54)

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUK dan PKPU jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

6. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

7. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.


(55)

Panitera yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun yang dimaksud dengan alasan yang cukup antara lain adanya surat keterangan sakit dari dokter. Kerangka waktu prosedur permohonan pernyataan pailit suatu perusahaan adalah sebagai berikut:63

1. Pengadilan :

a.wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan;

b.dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah terpenuhi.

2. Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan.

3. Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh debitur, jika dilakukan oleh juru sita sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah dipenuhi.

63


(56)

5. Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

6. Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat pula: a.Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

b.Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

7. Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.

Salinan putusan pengadilan wajib disampaikan oleh jurusita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan. Ada beberapa hal yang menarik dari ketentuan kerangka waktu diatas antara lain adalah :64

1. Tentang ketentuan terbukti secara sederhana. Fakta atau keadaaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan

64


(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan mengenai analisis tanggung jawab induk perusahaan sebagai penjamin dalam kepailitan anak perusahaannya di atas, dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Hubungan hukum induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok jika ditinjau dari UUPT status induk perusahaan dan anak perusahaan masing-masing merupakan badan hukum mandiri yang memiliki hak dan kewajiban. Hubungan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan yaitu terletak pada pemegang saham sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Namun jika dilihat dari segi ekonomi, maka grup perusahaan secara keseluruhan, di mana di dalamnya terdapat induk dan anak perusahaan, dianggap merupakan suatu kesatuan. Hal yang demikian berlaku, baik terhadap grup investasi maupun terhadap grup manajemen.

2. Perusahaan Indonesia yang berada dalam keadaan pailit adalah perusahaan yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK


(2)

dan PKPU. Kepailitan perusahaan memiliki akibat hukum yaitu perusahaan demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan.

3. Tanggung jawab induk perusahaan dalam kepailitan anak perusahaannya sebagai penjamin, maka induk perusahaan bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian asesoir yang dibuat sebelumnya dan menggunakan hak istimewanya. Apabila penjamin melepaskan hak istimewanya atau wanprestasi dengan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai penjamin, maka penjamin dapat juga diajukan kepailitannya.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan di atas adalah:

1. Dalam hal perusahaan grup yang di dalamnya terdapat induk perusahaan dan anak perusahaan, hendaknya kepemilikian saham induk perusahaan terhadap anak perusahaan dibatasi tidak melebihi 50% dari saham keseluruhan perusahaan induk, sehingga manajemen perusahaan tidak dipegang oleh induk perusahaan dalam mengambil keputusan terutama dalam RUPS.

2. Pada perusahaan yang berada dalam keadaan pailit, sebaiknya debitur diberi kesempatan bersama-sama dengan kurator untuk melakukan pengurusan terhadap harta pailit, serta bersama-sama menilai apakah perusahaan tersebut jika dijalankan dapat menghasilkan keuntungan untuk membayar utang kepada para kreditur.


(3)

3. Dalam hal induk perusahaan sebagai perjamin dalam perikatan yang dibuat oleh anak perusahaannya, sebaiknya pemerintah mengatur mengenai perjanjian asesoir secara rinci dan jelas. Apabila anak perusahaan wanprestasi atau tidak dapat membayar utangnya, maka kewajiban itu merupakan tanggung jawab dari penjamin dalam hal ini adalah induk perusahaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Fuady, Munir. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

____________. Hukum Jaminan Utang. Jakarta : Erlangga, 2013.

____________. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, 1982. Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

________________. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung:Alumni 1982.

________________. Masalah Pailit Dikaitkan dengan Penjamin, makalah. Bukti T-3 dalam perkara No. 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2008.

Irujo, Jose Miguel Embid. Trends and Realities in the Law of Corporate Groups, dalam European Business Organization Law Review 6: 65-91 Cambridge University Press.

Mulhadi. Hukum Perusahaan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Muljadi, Kartini. Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis Dalam Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Pangaribuan, Emmy. Perusahaan Kelompok. Yogyakarta: Seri Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1994.


(5)

Radjagukguk, Erman. Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia. Bahan Kuliah E Learning, 2002.

Rutzel MSJD. Conteraporary Business Law. Mc Graw hill: Publishing Company, 1999.

S, Elijana. Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Penjamin dan Induk perusahaan, Penyelesaian Utang-Piutang. Bandung: Alumni.

Siregar, Mahmul. Metode Penelitian Hukum. bahan kuliah tanggal 17 Oktober 2011.

Sulistiowati. Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.

_________. Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.

Sunarmi. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sofmedia, 2010.

Supramono, Gatot. Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.

Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.

Syahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002.

__________________. Hukum Kepailitan:Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Umum Grafiti, 2002.

__________________. Undang-Undang Kepailitan: Dalam Perspektif Hukum, Politik dan Ekonomi. Makalah ini disajikan pada tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta.

Syahrul, Muhammad Afni Nazar, Ardiyas. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Citra Harta Prima Jakarta, 2000.


(6)

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999.

B. PERATURAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

C. WEBSITE

Ariyani, Nita. “Tanggung Jawab Dalam Konstruksi Perusahaan Induk (Induk perusahaan) dan Anak Perusahaan Dalam Perusahaan Grup”. http://lawandbeauty.blogspot.com/2013/07/tanggung-jawab-hukum-dalam-konstruksi.html?m=1 (diakses terakhir tanggal 22 Oktober 2014). Fitriadi, Budi. “Kuliah Online Hukum Bisnis”. http://kuliahonlin.eunikom

.ac.id/?listmateri/&detail=2966&file=/ANAK-PERUSAHAAN.html (diakses terakhir tanggal 1 Maret 2015).

Rhena. “Prosedur Perusahaan dinyatakan Pailit”. http://id.shvoong.com/writing-

and-speaking/2181884-prosedur-perusahaan-dinyatakan-pailit/#ixzz2Mvdr8hEF. (diakses tanggal 8 Maret 2015).

Tabita, Jeany. “Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitur dan Kreditur”. http://www.hukumkepailitan.com/2012/01/10/permohonan-pernyataan-pailit-oleh-debitur-dan-kreditur/ (diakses tanggal 24 Februari 2015).

Wikipedia. “Anak Perusahaan”. http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_perusahaan (diakses terakhir tanggal 22 Oktober 2014).