BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Bank merupakan lembaga keuangan yang terlibat dalam suatu pembiayaan ekonomi sedangkan yang lain adalah lembaga keuangan non-bank LKBB. Bank
menurut Undang-Undang Perbankan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sedangkan lembaga keuangan non-bank
merupakan lembaga pembiayaan yang dalam kegiatan usahanya tidak melakukan penghimpunan dana dan memberikan jasa seperti halnya bank. Contoh lembaga
keuangan non-bank antara lain perusahaan sekuritas, perusahaan asuransi, yayasan dana pensiun.
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta
memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas peredaran uang. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan tiga fungsi utama bank dalam pembangunan ekonomi, yaitu:
1. bank sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan,
2. bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit,
3. bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Periode 1982-1988 sistem finansial di Indonesia didominasi perbankan, terutama bank komersial milik pemerintah. Peran penting bank swasta nasional
Universitas Sumatera Utara
melonjak pada putaran kedua reformasi keuangan 1988-1991 yang memfokuskan pada upaya penurunan hambatan pasar dan berbagai “fasilitas”
yang dinikmati bank pemerintah. Akibatnya, 40 bank swasta baru dan 15 bank patungan telah dibentuk; sementara tidak ada satu pun tambahan bank pemerintah.
Pada April 1982, di Indonesia terdapat 1.640 kantor cabang dari berbagai bank dan di bulan Maret 1990 meningkat menjadi 2.842 kantor cabang bahkan di
tahun 19971998 jumlah kantor cabang melonjak drastis menjadi 6.345 tetapi jumlah kantor cabang pada januari 1998 berkurang akibat krisis menjadi 6.295.
Hal ini yang oleh banyak pengamat disebut fenomena overbanking, yang tentunya mempersulit pengawasan BI. Seiring dengan krisis multi dimensi yang menimpa
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi ekonomi
termasuk pada sektor perbankan. Krisis moneter yang terus menerus mengakibatkan krisis kepercayaan,
sehingga banyak bank dilanda penyakit yang sama. Hal ini menyebabkan banyak bank yang lumpuh karena dihantam kredit macet. Pada Seminar Restrukturisasi
Perbankan di Jakarta pada tahun 1998 disimpulkan beberapa penyebab menurunnya kinerja bank, antara lain:
1. semakin meningkatnya kredit bermasalah perbankan, 2. dampak likuidasi bank-bank 1 November 1997 yang mengakibatkan turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga memicu penarikan dana secara besar-besaran,
3. semakin turunnya permodalan bank-bank,
Universitas Sumatera Utara
4. banyak bank-bank tidak mampu memenuhi kewajibannya karena menurunnya nilai tukar rupiah,
5. manajemen tidak profesional. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kepercayaan investor menurun terhadap
kinerja perbankan. Hasilnya harga saham pada industri perbankan menurun drastis dan investor menarik dana investasinya dari bank tersebut sehingga kinerja
operasi perbankan juga menurun. Pada tahun 2004, kinerja sektor perbankan di Indonesia menunjukkan trend yang membaik, tercermin dari meningkatnya loan
to deposite ratio LDR dan menurunnya non-performing loan NPL. Kedua hal ini merupakan faktor penting dimana para investor tertarik untuk menanamkan
modal dalam sektor perbankan dengan menganalisis kinerja saham melalui harga pasar saham bank-bank tersebut.
Pertengahan tahun 2008, Indonesia kembali mengalami krisi ekonomi yang berasal dari permasalahan kegagalan pembayaran kredit perumahan subprime
morgage default di Amerika Serikat AS, krisis kemudian menggelembung merusak sistem perbankan bukan hanya di AS namun meluas hingga ke Eropa
lalu ke Asia. Secara beruntun menyebabkan effect domino terhadap solvabnilitas dan likuiditas lembaga-lembaga keuangan di negara – negara tersebut, yang antara
lain menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis kemudian merambat kebelahan Asia terutama
negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, China, Sinagapura, Hongkong, Malaysia, Thailand dan termasuk Indonesia yang kebetulan sudah lama memiliki
surat-surat berharga perusahaan-perusahaan tersebut sumber: www.bekasijakarta.blogspot.com.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, tujuan investor melakukan ivestasi saham yaitu: 1. capital gain, adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih pergerakan
harga saham pada saat membeli dan menjual, 2. keuntungan yang diperoleh dari pembagian deviden.
Dividen adalah laba yang diberikan emiten kepada para pemegang saham. Dari laba bersih perusahaan, sebagian dibagikan kepada para pemegang saham
dalam bentuk dividen, sebagian lagi disisihkan menjadi laba ditahan retained earning. Laba ditahan merupakan salah satu sumber dana yang terpenting untuk
membiayai pertumbuhan perusahaan. Namun, dividen membentuk arus uang yang semakin banyak mengalir ke tangan para pemegang saham. Para pemegang saham
tentu berharap mendapatkan dividen dalam jumlah besar. Oleh karena itu, perusahaan harus dapat mengalokasikan laba bersihnya dengan bijaksana.
Perusahaan yang mampu memberikan dividen yang besar, harga saham juga akan meningkat. Sebaliknya, perusahaan yang terus menerus tidak membagikan
dividennya maka harga saham juga akan menurun. Jika laba bersih perusahaan meningkat, maka harga saham juga akan naik. Jadi, dividend per share merupakan
salah satu indikator yang dapat menunjukkan kinerja perusahaan, karena besar kecilnya dividend per share akan ditentukan oleh laba perusahaan.
Adapun faktor-faktor yang digunakan untuk menilai kinerja operasi perbankan umumnya meliputi lima aspek, yaitu: 1 capital; 2 assets; 3
management; 4 earnings; 5 liqiudity yang biasa disebut CAMEL. Pada aspek management, biasanya diukur dengan menggunakan kuisioner dalam menilai
kinerja dari management bank tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
peneliti tidak menggunakan aspek management dalam menilai kinerja operasi perbankan.
Belajar dari pengalaman krisis perbankan akhirnya investor harus jeli di dalam menganalisis dan memperhatikan aspek fundamental untuk menilai
ekspektasi imbal hasil return yang akan diperoleh. Faktor-faktor fundamental perusahaan secara umum dapat diartikan sebagai faktor internal perusahaan yang
digambarkan sebagai kinerja keuangan perusahaan yang dituangkan dalam bentuk laporan keuangan. Faktor-faktor fundamental mampu menggambarkan struktur
keuangan perusahaan dan mengidentifikasi prospek perusahaan untuk dapat memperkirakan return saham masa yang akan datang.
Penelitian yang dilakukan Prasetyo 2006, membahas variabel CAR, NPL, BOPO, dan LDR terhadap kinerja keuangan pada bank menunjukkan bahwa
adanya pengaruh variabel-variabel tersebut yang dilihat dari pertumbuhan laba, dan penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Yuni Eko Nugroho 2010, ROA,
CAR, LDR, Dummy 1, dan Dummy 2 secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap suku bunga deposito, dan penelitian yang dilakukan Syahru
positif signifikan terhadap harga saham, sedangkan CAR, NPM, LDR tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham.
Objek penelitian penulis adalah perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI khususnya perbankan yang bergerak di kredit. Penelitian ini
adalah bentuk replikasi dari beberapa penelitian terdahulu dimana penulis menggunakan analisis terhadap pengaruh variabel Rasio CAMEL, Capital
Adequacy Ratio CAR, Loan to Deposite Ratio LDR, Non Performing Loan
Universitas Sumatera Utara
NPL, Return on Equity ROE dan Devidend per Share DPS terhadap variabel dependen return saham.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakuan penelitian kembali dengan judul “Analisis Pengaruh Rasio CAMEL terhadap Harga Saham
pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian