Teori Terjemahan Landasan Teori

31 dikemukakan oleh Bassnett 19901991:34 bahwa saat ini studi terjemahan telah semakin mengadopsi pendekatan interdisipliner untuk mempelajari penerjemahan sebagai transposisi intertekstual dan antarbudaya.

2.3.1 Teori Terjemahan

Meskipun bukanlah solusi untuk semua masalah yang muncul dalam proses penerjemahan, teori terjemahan merupakan orientasi umum bagi penerjemah dalam mengambil keputusan saat melakukan kegiatan penerjemahan. Untuk itu, pemahaman tentang konsep umum teori penerjemahan sangat penting dan berguna bagi para penerjemah karena mustahil bagi para penerjemah untuk mendapatkan terjemahan yang baik tanpa memahami teori terjemahan. Nababan 1999:13 menyatakan bahwa teori penerjemahan memusatkan perhatiannya pada karakteristik dan masalah-masalah penerjemahan sebagai suatu fenomena. Lebih jauh, Lauven-Swart, seperti yang dikutip oleh Nababan 1999:15, menyatakan bahwa tujuan utama dari teori penerjemahan bukan untuk menghasilkan penerjemah dan karya terjemahan yang lebih baik, tetapi mungkin saja hal ini merupakan produk dari teori dan metode penerjemahan. Dalam arti yang sempit, teori terjemahan menyangkut metode terjemahan yang tepat untuk jenis teks tertentu. Namun, dalam arti yang lebih luas teori terjemahan dapat dikatakan sebagai wujud dari pengetahuan yang dimiliki tentang menerjemahkan yang terdiri atas prinsip-prinsip umum sampai pada panduan, saran, dan pentunjuk. Sejalan dengan itu, Newmark 1988:9 mengatakan bahwa yang dilakukan oleh teori terjemahan adalah: pertama, untuk mengidentifikasi masalah terjemahan, karena menurutnya, tidak ada masalah maka tidak ada teori 32 terjemahan, kedua, untuk menunjukkan semua faktor yang harus diperhitungkan dalam memecahkan masalah; dan ketiga, untuk mendaftar semua prosedur penerjemahan yang memungkinkan dan pada akhirnya untuk merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling cocok. Berbicara mengenai teori terjemahan tidak bisa dipisahkan dari perkembangannya yang menyangkut tanggal tertentu, angka-angka, serta orang- orang yang menyumbangkan pemikiran berharga dan melegenda yang menandai periode sejarah penerjemahan. Para peneliti menyebutkan bahwa tulisan-tulisan tentang terjemahan kembali ke Roma. Jakobson 1958 mengklaim bahwa menerjemahkan adalah penemuan Romawi McGuire,1980. Pemikiran yang disumbangkan oleh Cicero dan Horace abad pertama SM adalah teori pertama yang membedakan antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas. Komentar mereka dalam praktik terjemahan memengaruhi generasi berikutnya dalam studi penerjemahan hingga abad kedua puluh. Dikotomi antara terjemahan harfiah dan terjemahan bebas bermula pada Kekaisaran Romawi dan sejak itu terus menjadi titik perdebatan dalam berbagai hal sampai dengan saat ini, seperti Bassnett 1991:47 yang mengungkapkan, “The distinction between word for word and sense for sense translation, established within the Roman system, has continued to be a point of debate in one way or another right up to the present .” Lebih khusus lagi, Steiner 1975:346-40 dalam tulisannya After Babel, terlepas dari struktur kronologisnya yang masih tumpang tindih, membagi literatur tentang teori, praktik dan sejarah terjemahan ke dalam empat periode, dimulai dari zaman Cicero sampai sekarang. Periode pertama mencakup rentang waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 1.700 tahun, yang berakhir hingga terbitnya esai dari 33 Tytler yang berjudul On the Principles of Translation pada tahun 1791. Ciri utama dari periode ini adalah “fokus empiris langsung”, yaitu pernyataan- pernyataan dan teori-teori yang timbul langsung dari praktik menerjemahkan. Periode kedua Steiner berlangsung sampai dengan terbitnya karya Larbaud, Sous I‟invocation de Saint Jérome, pada tahun 1946 yang ditandai sebagai periode teori dan studi hermeneutik dengan perkembangan kosakata dan metodologi penerjemahan. Periode ketiga ditandai oleh terbitan pertama yang merupakan produk dari terjemahan mesin pada tahun 1940. Periode ketiga, ini juga menandai sejarah penerjemahan dengan pengenalan linguistik struktural dan teori komunikasi dalam penerjemahan. Periode keempat dimulai pada tahun 1960, ditandai dengan era kembalinya terjemahan pada studi hermeneutik, yaitu penerjemahan dan interpretasi atau penerjemahan yang mencakup sejumlah disiplin lain, seperti filologi klasik, sastra komparatif, statistik leksikal dan etnografi, sosiologi, retorika formal, puisi dan studi tata bahasa yang digabungkan dalam upaya untuk memperjelas tindakan penerjemahan dan proses “hidup antarbahasa ”. 2.3.1.1 Kejelasan teoritis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas Di dalam sebuah artikel berjudul “Dikotomi Terjemahan Bebas dan Harfiah ”, yang dimuat dalam sebuah jurnal terjemahan, Barbe 1996 menyatakan bahwa salah satu dari dua pertanyaan dominan dalam dunia terjemahan selain posisi disiplin ilmu tersebut sebagai bidang studi yang terlepas, baik dari sastra komparatif maupun linguistik terapan, adalah kemana sebaiknya terjemahan mengacu apakah pada bahasa sumber harfiah ataukah berorientasi pada bahasa 34 target terjemahan bebas? Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, para ahli bahasa mungkin saja mempergunakan berbagai istilah yang berbeda untuk mengacu pada pemisahan kedua strategi penerjemahan seperti, misalnya kesepadanan formal dan dinamis, domestikasi versus foreignisasi, dan sebagainya, tetapi konsep yang diacu sesungguhnya masih tetap sama, yaitu mengenai orientasi strategi penerjemahan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda yang mencerminkan pendekatan-pendekatan teoretis yang berbeda terhadap terjemahan. Seperti yang sudah diungkapkan di atas, pemisahan orientasi strategi penerjemahan, yakni yang harfiah dan yang bebas, bukan merupakan hal yang baru tetapi sudah bermula dan dapat ditelusuri dari zaman Cicero pada abad pertama sebelum masehi dan masa St. Jerome pada akhir abad keempat masehi. Sejak zaman Romawi yang dimaksud dengan terjemahan harfiah atau yang juga dikenal dengan terjemahan kata-demi-kata mengacu secara mutlak pada BSu dalam pengertian bahwa penggantian setiap kata dari BSu dilakukan berdasarkan kesetaraan gramatikal terdekat dengan BSa. Demikian pula terjemahan bebas mengandung pengertian menciptakan teks sasaran yang natural yang mampu menyatakan makna aslinya tanpa mendistorsi BSa Baker, 1998. Schmidt 2013:538 mengungkapkan bahwa dalam perjalanan selanjutnya, pemahaman teoretis tentang terjemahan harfiah dan terjemahan bebas yang sebelumnya hanya menekankan unsur linguistik semakin berkembang dengan dipertimbangkannya unsur budaya yang dalam hal ini dimunculkan oleh Venuti dengan konsepnya yang dikenal dengan domestikasi dan foreinisasi, yaitu apakah BSu diadaptasi ke dalam budaya BSa, ataukah sebaliknya, unsur-unsur budaya 35 asing tetap dipertahankan. Sejalan dengan hal ini, Behtash dan Firoozkoohi 2009:1576 menyatakan bahwa sejak era Venuti strategi penerjemahan telah mengadopsi unsur budaya dan ideologi sebagai faktor yang diperhitungkan dalam proses penerjemahan dan juga pengaruh terjemahan terhadap pembaca sasaran serta budaya mereka. Jadi, pemisahan orientasi terjemahan harfiah dari terjemahan bebas tidak hanya mempertimbangkan unsur linguistik tetapi juga sudah berkembang ke arah pertimbangan budaya dan juga pembaca sasaran. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Wang, 2002:24 bahwa konflik antara kedua kubu terjemahan sudah ada dalam ranah kultural atau bahkan politik, dan bukan hanya mencakup ranah linguistik. Pembaharuan ini diperkirakan dimulai pada sekitar tahun 1970-an, yaitu sejak munculnya era budaya, maka pertentangan antara kedua kubu terjemahan dilihat dari sudut pandang yang berbeda – sosial, budaya dan historis: The conflict between domestication and foreignization as opposite translation strategies can be regarded as the cultural and political rather than linguistic extension of the time-worn controversy over free translation and literal translation Wang Dongfeng 2002:24. Terkait dengan pertimbangan budaya, Venuti 1998:240 mendefinisikan domestikasi sebagai strategi penerjemahan yang mengadopsi gaya yang disebutnya transparan dan fasih untuk meminimalkan keanehan teks asing bagi pembaca bahasa target. Hal ini berarti penerjemahan menerapkan strategi yang membuat teks dikenali dan familiar sehingga mampu membawa budaya asing lebih dekat dengan pembacanya. Sebaliknya, foreinisasi mengacu pada strategi penerjemahan yang mempertahankan keasingan BSu. Hal ini juga berarti penerjemahan membawa pembaca untuk mengenal budaya asing dan membuat mereka merasakan perbedaan khasanah bahasa dan budaya. 36 Selain Venuti, tokoh lain yang menyoroti pemisahan oritenasi penerjemahan ke dalam kubu yang harfiah dan yang bebas adalah Nida yang menyebut masing-masing strategi sebagai kesepadanan formal dan dinamis. Nida 2001:118 menyatakan bahwa kesepadaan formal adalah strategi yang memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam bentuk maupun isi. Ini adalah cara untuk memberikan wawasan dalam bentuk leksikal, gramatikal atau struktur teks BSu. Kesetaraan fungsional, di lain sisi, didasarkan pada prinsip efek setara, yaitu hubungan antara penerima pesan dan pesan itu sendiri harus setara dengan hubungan antara penerima asli dan BSu. Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam bahasa, budaya dan penerjemahan, secara minimal, yang dimaksud dengan kesetaraan fungsional adalah bahwa “pembaca sasaran memahami hasil terjemahan sampai pada satu titik pemahaman sebatas pengertian mereka sebagaimana pembaca asli dari teks tersebut memahami dan menghargainya. Selanjutnya, secara maksimal kesetaraan fungsional mengandung pemahaman bahwa pembaca sasaran harus dapat memahami dan menghargai dengan cara yang sama seperti pembaca sumber memahaminya. Tidak seperti Venuti 2000 yang cenderung mengadopsi strategi literal dibandingkan dengan bebas, Nida 1964 yang banyak bergelut dengan terjemahan Alkitab lebih condong pada kesepadanan fungsional yang menekankan pada keterbacaan meskipun tidak mengabaikan akurasi dan kesetiaan. Terkait dengan kecenderungan strategi yang dipilih oleh Nida, Newmark 2001:51 menyampaikan kritik yang cukup keras bahwa hal ini justru mengakibatkan kehilangan besar makna utamanya dalam penerjemahan metafora alkitabih yang menurut Nida sulit dimengerti oleh pembaca sasaran. 37 Sejalan dengan pemaparan di atas, Simms 1997:7 juga mengkontraskan karakteristik terjemahan harfiah dan terjemahan bebas, seperti yang tertera dalam tabel berikut: 38 Tabel 2.1. Perbandingan Karakteristik Terjemahan Harfiah dan Terjemahan Bebas Terjemahan Harfiah Terjemahan Bebas Menerjemahkan setiap kata BSu sesuai dengan leksikon BSa yang karena itu penerjemah cenderung berada di pihak penulis dibandingkan dengan pembaca. Penerjemahan yang berfokus pada pesan karena itu penerjemah cenderung berada di pihak pembaca dibandingkan dengan penulis sehingga dalam hal ini hanya ada sedikit penghargaan terhadap bentuk leksikon yang dipakai oleh penulis sepanjang pesan yang mendasarinya tetap utuh. Korespondensi langsung antara masing-masing item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa terlihat jelas. Korespondensi antara item leksikal yang terdapat pada BSu dan BSa dapat menjadi benar-benar tidak terlihat seperti ketika sebuah pasal yang terdapat pada BSu yang tidak memiliki padanan pada BSa dihilangkan begitu saja. Peran penerjemah tidak terlihat karena BSu diterjemahkan secara utuh ke dalam BSa yaitu hanya ada sedikit intervensi dari pihak penerjemah dalam bentuk parafrase. Peran penerjemah terlihat jelas melalui intervensi yang dilakukan dalam bentuk parafrase. Hal ini dilakukan untuk memenuhi misi penyesuaian budaya antara BSu dan BSa. Cenderung ditujukan bagi kalangan akademik yang idealnya sudah berkenalan dengan kedua bahasa, dan karena itu sedikit membutuhkan terjemahan. Cenderung ditujukan untuk pembaca yang awam; mereka tidak hanya tidak mengenal BSu tetapi juga konteks budaya BSu. Terjemahan harfiah bersifat mendidik. Meskipun struktur gramatikal permukaan terkesan biasa, pikiran yang mendasarinya dalam hal ini budaya BSu dapat membantu untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas. Jika dibutuhkan pemahaman lebih lanjut mengenai konteks budaya maka dapat dilakukan dengan tindakan pro-aktif intertekstualisasi. Terjemahan bebas sebenarnya tidak mendidik: jenis terjemahan ini tidak memberikan peluang bagi pembaca hasil terjemahan untuk mengetahui media yang sesungguhnya pada BSu sehingga pembaca harus mempercayai seutuhnya perkataan yang ditulis oleh penerjemah. Sumber: Simms, 1997 39 2.3.1.2 Kesepadanan dalam teori terjemahan Pada tahun 1960 hingga 1970-an, konsep utama yang berlaku pada studi terjemahan adalah “kesepadanan”. Ada beberapa linguis yang berteori tentang konsep ini di antaranya adalah Koller dan Nida. Yinhua 2011 menyimpulkan bahwa sebagai sebuah konsep sentral dalam teori penerjemahan, kesepadanan tidak dapat ditafsirkan sebagai identitas dalam hal pengertian ilmiah tetapi hanya dapat dipahami dalam pengertian umum sebagai kesamaan atau pendekatan. Kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan mendasar dalam penerjemahan sebab tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang identik dalam satu bahasa dan pula cukup alami jika tidak ada dua kata dalam dua bahasa mana pun yang memiliki makna yang identik. Jadi, tidak mungkin untuk mentransfer keseluruhan pesan yang terdapat dalam teks BSu ke BSa. Oleh karena itu, kesetaraan dalam terjemahan hanya dapat dipahami sebagai semacam kesamaan atau pendekatan. Hal ini juga berarti bahwa kesepadanan antara teks BSu dan teks BSa dapat ditetapkan pada tingkat yang berbeda dan dalam berbagai aspek. Tanpa kesepadanan pada derajat tertentu atau aspek tertentu, teks terjemahan tidak dapat dianggap sebagai terjemahan sukses dari teks asli. Jadi, singkatnya, kesepadanan adalah kebutuhan mutlak dan kebutuhan mendasar dalam penerjemahan. Koller dalam Pym, 2010 menjawab arti dari konsep tersebut dengan menawarkan lima jenis kesepadanan, yaitu 1 kesepadanan denotatif atau kesepadanan konten ekstralinguistik sebuah teks, yang disebut juga “konten invarian ”, 2 kesepadanan konotatif yang bergantung pada kesamaan register dan gaya, yang juga disebutnya sebagai kesepadanan stilistika, 3 kesepadanan teks normatif yang berkaitan dengan jenis teks, yaitu berbagai jenis teks yang 40 memiliki perilaku yang berbeda 4 kesepadanan pragmatis atau kesepadanan komunikatif yang berorientasi pada penerima teks atau pesan, dan 5 kesepadanan formal yang berkaitan dengan estetika dan bentuk teks. Berbeda halnya dengan Koller, Nida 1964:159 berpendapat bahwa ada dua jenis kesepadanan, yaitu yang formal dan yang dinamis. Korespondensi formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi, tidak seperti kesepadanan dinamis yang didasarkan pada “prinsip efek sepadan ”. Kesepadanan dinamis didefinisikan sebagai prinsip penerjemahan yang mengupayakan untuk menerjemahkan makna asli teks demikian rupa sehingga makna kata pada BSa akan memicu dampak yang sama pada pembaca BSa, seperti yang makna kata-kata asli lakukan pada pembaca BSu Nida dan Taber, 1982:200. Pada tahun 1997 oposisi serupa dalam hal kesepadanan diungkapkan oleh Newmark yang mempertentangkan antara terjemahan semantik dan komunikatif, yaitu terjemahan yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa Newmark, 1998a:47 dan House 1977 yang mempertentangkan antara penerjemahan terbuka dan yang tertutup. Terjemahan terbuka adalah jenis penerjemahan yang tidak menangani pembaca BSa secara langsung karena terikat dengan BSu dan budayanya yang harus dijaga seutuh mungkin. Dengan sendirinya jenis terjemahan ini tidak terlalu banyak mengalami kendala dalam masalah budaya dibandingkan dengan terjemahan tertutup. Sebaliknya, terjemahan tertutup didefinisikan sebagai terjemahan yang menikmati status BSu dalam budaya BSa. Jenis terjemahan ini secara langsung ditujukan kepada khalayak budaya BSu dan karenanya membutuhkan penyaring budaya. 41 Selain mereka yang telah disebutkan di atas, teoretisi terjemahan yang mengategorikan jenis terjemahan berdasarkan dua gaya yang berlawanan, adalah Beekman dan Callow dengan literal versus idiomatik, James Holmes dengan domestikasi versus foreignisasi, Larson dengan penerjemahan yang berlandasakan bentuk versus makna, Nord dengan dokumentasi versus instrumenal, Pym dengan observasional versus partisipatif, dan Gut dengan langsung versus tidak langsung. Terkait dengan penggolongan tipejenis terjemahan, Nida 1964:156 menekankan bahwa secara tradisional, kita cenderung menggolongkan terjemahan digolongkan menjadi dua kubu yang ekstrim, yaitu terjemahan bebas paraphrastic dan terjemahan harfiah. Sejalan dengan Nida, Simms 1997:7 juga menyatakan bahwa secara historis, dalam teori terjemahan pilihan penting telah disajikan antara terjemahan literal dan terjemahan bebas. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Newmark 1998:70 juga menyatakan bahwa terjemahan harfiah adalah proses penerjemahan dasar, baik dalam terjemahan komunikatif maupun terjemahan semantik, dan terjemahan dimulai dari sini. Akan tetapi, di atas tingkat kata, terjemahan harfiah menjadi semakin sulit untuk dilakukan karena ketika penerjemah menemukan masalah, terjemahan harfiah biasanya tidak selalu bisa menyediakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Oleh karena itu selama lima puluh tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi pergeseran ditandai penekanan dari normal menuju ke dimensi dinamis Carry, 1959b. Berbeda dengan Catford 1965:20 yang menggolongkan terjemahan menjadi tiga kelompok, yaitu terjemahan bebas, literal, dan kata per kata, Zhao 42 dan Al Damman 2008 menyatakan bahwa terjemahan literal merupakan satu kategori dengan terjemahan kata-per-kata: A literal translation is a translation that follows closely not only the content but also the form of the source language. It is also known as word- for-word translation. Translators engaged in literalism have been willing to sacrifice the formal elements of the target language and even the intelligibility of the target language text for the sake of preserving what they regard as the integrity of the source text. Conversely, those who favor free translation have quite often chosen to sacrifice the form of the source language for the sake of elegance and intelligibility in the target language. Zhao dan Al Damman, 2008. Melihat fenomena yang terjadi di dalam penggolongan jenistipe terjemahan, penelitian ini menempatkan produk terjemahan dalam dua kategori umum yang sering disebut sebagai dua kubu yang saling bertentangan, yaitu terjemahan harfiah literal dan terjemahan bebas free. Hal ini disesuaikan dengan prinsip dasar atau pendekatan yang dipakai dalam penerjemahan Alkitab, yaitu pemadanan formal dan pemadanan dinamis. 2.3.1.3 Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis Nida 1964:159 menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis kesepadanan, yaitu kesepadanan formal dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan itu sendiri, baik dalam hal bentuk maupun isi. Pesan dalam BSa harus sedekat mungkin dengan unsur-unsur yang berbeda dalam BSu. Sehubungan dengan budaya dari bahasa reseptor dan sumber, pesan dalam budaya reseptor terus-menerus dibandingkan dengan pesan dalam budaya sumber untuk menentukan standar akurasi dan ketepatan. Sementara itu, kesepadanan dinamis bertujuan melengkapi kealamian ekspresi. Penerjemah tidak 43 begitu peduli dengan pencocokan pesan bahasa reseptor dengan pesan bahasa sumber, tetapi lebih pada hubungan dinamis yang ada. Selanjutnya, Nida 1964:165 menjelaskan bahwa terjemahan kesepdanan formal mencoba untuk mereproduksi unsur-unsur formal, antara lain: 1 unit gramatikal, 2 konsistensi dalam penggunaan kata, dan 3 makna dari segi konteks sumber. Reproduksi unit gramatikal terdiri atas a nomina diterjemahkan dengan nomina, verba dengan verba, dan lain-lain, b menjaga semua frasa dan kalimat utuh yaitu tidak berpisah dan tidak ada penyesuaian unit, dan c mempertahankan semua indikator resmi, misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis. Dalam mencoba untuk mereproduksi konsistensi dalam penggunaan kata, terjemahan kesepadanan formal biasanya bertujuan mengupayakan terjadinya konkordansi terminologi, yaitu selalu mengaitkan istilah tertentu dalam dokumen sumber dengan istilah yang sesuai dalam dokumen reseptor. Sebagai konsekuensinya, terjemahan kesepadanan formal menggunakan tanda kurung, atau bahkan huruf miring seperti dalam King James Bible untuk kata-kata yang ditambahkan supaya masuk akal dalam terjemahan. Dalam rangka untuk mereproduksi makna dari segi konteks sumber, terjemahan kesepadanan formal biasanya mencoba untuk tidak melakukan penyesuaian dalam idiom, melainkan untuk mereproduksi ekspresi tersebut secara harfiah, sehingga pembaca mungkin dapat melihat sesuatu dari cara yang mana dokumen aslinya menggunakan unsur-unsur budaya lokal untuk menyampaikan makna. Sebaliknya, terjemahan kesepadanan dinamis memfokuskan perhatian tidak begitu banyak pada sumber pesan, tetapi pada respon pembaca sasaran. Salah satu cara untuk mendefinisikan sebuah terjemahan kesepadanan dimanis 44 adalah menggambarkannya sebagai kesetaraan alami paling dekat dengan pesan bahasa sumber ”. Definisi ini mengandung tiga unsur penting: 1 setara, yang menunjuk ke arah pesan bahasa sumber, 2 alami, yang menunjuk ke arah bahasa reseptor, dan 3 terdekat, yang mengikat dua orientasi bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi. Nida 1964:167 juga menjelaskan bahwa penerjemahan alami harus sesuai dengan 1 bahasa reseptor dan budaya secara keseluruhan, 2 konteks dari pesan tertentu, dan 3 pembaca bahasa reseptor. Prinsip-prinsip kesepadanan formal dan dinamis seperti yang diungkap oleh Nida 1964:165 tersebut dapat diformulasikan pada tabel berikut. Tabel 2.2 Prinsip-prinsip Kesepadanan Formal dan Dinamis Prinsip-Prinsip Kesepadanan Formal Prinsip-Prinsip Kesepadanan Dinamis Berupaya untuk mereproduksi unsur- unsur formal antara lain: 1 Unit-unit gramatikal: a menerjemahkan nomina dengan nomina, verba dengan verba dan sebagainya; b menjaga semua frasa dan kalimat utuh yaitu tidak mengadakan pemisahan dan penyesuaian unit; dan c mempertahankan semua indikator resmi; misalnya, tanda baca, paragraf dan indentasi puitis. 2 Konsistensi dalam penggunaan kata 3 Makna dari segi konteks BSu. Kesepadanan alamiah terdekat dengan pesan BS yang mengandung tiga unsur penting: 1 Sepadan, yang menunjuk ke arah pesan BSu. 2 Alami, yang menunjuk ke arah BSa yang harus sesuai dengan: a bahasa dan budaya reseptor; b konteks pesan yang dimaksud c pembaca BSa. 3 Terdekat, yang mengikat kedua orientasi secara bersama-sama atas dasar tingkat pendekatan tertinggi. Sumber: Nida, 1974 Nida 1964:167 mengemukakan bahwa terjemahan alami melibatkan dua bidang adaptasi utama, yaitu tata bahasa, dan leksikon. Secara umum, modifikasi 45 tata bahasa dapat dibuat lebih mudah karena perubahan tata bahasa banyak ditentukan oleh struktur wajib bahasa reseptor. Artinya, seseorang wajib melakukan penyesuaian seperti pergeseran urutan kata, menggunakan verba di tempat nomina, dan mengganti nomina dengan pronomina. Dalam hal ini, struktur leksikal dari bahasa sumber disesuaikan dengan kebutuhan semantik bahasa reseptor, bukan aturan yang harus diikuti, tetapi ada banyak kemungkinan alternatif. Lebih lanjut, Nida 1964 mengungkapkan bahwa secara umum terdapat tiga tingkat leksikal untuk dipertimbangkan: 1 istilah yang padanan paralelnya tersedia, misalnya, sungai, pohon, batu, pisau, dan lain-lain; 2 istilah yang mengidentifikasi benda budaya yang berbeda, namun dengan fungsi yang agak mirip, misalnya buku, yang dalam bahasa Inggris berarti objek dengan halaman terikat bersama menjadi satu unit, tetapi, pada zaman Perjanjian Baru, berarti perkamen panjang atau papirus digulung dalam bentuk sebuah gulungan; dan 3 istilah yang mengidentifikasi budaya, misalnya, sinagog, homer, efa, kerub, yobel, dan lain-lain yang dikutip dari Alkitab. Biasanya pada tingkat leksikal yang pertama tidak terjadi masalah. Namun, pada set kedua mulai menimbulkan kebingungan, sehingga pilihan yang harus diambil ialah menggunakan istilah lain yang mencerminkan bentuk acuan meskipun tidak memiliki fungsi yang setara, atau yang mengidentifikasi fungsi setara dengan mengorbankan identitas formal. Dalam tingkat leksikal yang ketiga asosiasi asing jarang dapat dihindari. Tidak ada penerjemahan yang berupaya untuk menjembatani kesenjangan budaya yang luas dapat berharap untuk menghilangkan semua jejak pengaturan asing. Sebagai contoh, dalam 46 penerjemahan Alkitab sangat mustahil untuk menghapus istilah asing, seperti Pharisees, Sadducees, Salomon‟s temple, cities of refuge, atau tema Alkitab seperti anointing, adulterous generation, living sacrifice, dan Lamb of God, karena ekspresi tersebut tertanam sangat kuat dalam struktur pemikiran pesan. Selain menjadi sesuai dengan bahasa dan budaya reseptor, Nida 1964:168 lebih lanjut menjelaskan bahwa terjemahan natural harus sesuai dengan konteks tertentu dari pesan. Masalah demikian tidak terbatas pada fitur gramatikal dan leksikal, tetapi juga mungkin melibatkan hal-hal rinci seperti intonasi dan irama kalimat. Sebuah contoh menarik yang diberikan oleh Nida 1964:169 adalah kesalahan dalam anakronisme yang melibatkan 1 penggunaan kata kontemporer untuk periode historis yang berbeda; misalnya, menerjemahkan kerasukan setan sebagai ketertekanan mental, dan penggunaan bahasa kuno dalam BSa, dan karenanya, memberi kesan tidak nyata. Dengan demikian, unsur- unsur seperti sarkasme dan ironi semua harus secara akurat tercermin dalam terjemahan kesepadanan dinamis. Lebih lanjut, Nida 1964 juga menjelaskan bahwa kesesuaian harus dinilai berdasarkan tingkat pengalaman dan kapasitas untuk pengawasandian, jika seseorang memang menginginkan ekuivalensi dinamis nyata. Dalam hal ini, penerjemah Alkitab, misalnya, harus mengetahui fakta bahwa bahasa dari Perjanjian Baru adalah bahasa Yunani Koine, yaitu bahasa orang di jalan, dan karenanya terjemahan seharusnya dibaca oleh pria di jalan. Akan tetapi, pada kenyataannya pesan Perjanjian Baru tidak diarahkan terutama kepada orang di jalan, tetapi untuk orang di dalam jemaat. Untuk alasan ini, ungkapan seperti Abba Bapa, Maranatha, dan dibaptis dalam Kristus 47 dapat digunakan dengan harapan masuk akal dan dapat dimengerti oleh kalangan termaksud. 2.3.1.4 Kriteria untuk menilai terjemahan Nida 1964:182 menyebutkan bahwa ada tiga kriteria fundamental yang merupakan dasar bagi evaluasi semua terjemahan, dan dengan cara yang berbeda membantu untuk menentukan prestasi relatif terjemahan tertentu. Kriteria tersebut adalah: 1 efisiensi total proses komunikasi, 2 pemahaman terhadap maksud, dan 3 kesetaraan respons. Kriteria pertama menyebutkan bahwa efisiensi terjemahan dapat dinilai dari segi penerimaan maksimal bagi upaya minimum pengawasandian. Dalam arti, efisiensi berhubungan erat dengan hukum pertama semantik Joo Joos, 1953, yang dapat menyatakan: “Itu berarti bahwa makna dikatakan terbaik jika menambahkan paling sedikit terhadap total makna dalam konteks. Dengan kata lain, memaksimalkan redundansi dan mengurangi pekerjaan pengawasandian. Kriteria kedua dalam menilai terjemahan adalah pemahaman maksud awal yang dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti akurasi terhadap makna pesan bahasa sumber yang diwakili dalam terjemahan berorientasi baik terhadap budaya bahasa sumber dalam terjemahan kesetaraan formal maupun terhadap budaya reseptor dalam terjemahan kesetaraan dinamis. Dalam hal ini, dalam terjemahan kesetaraan formal, pemahaman terhadap maksud terjemahan harus dinilai pada dasarnya dari segi konteks tempat komunikasi pertama kali diucapkan, sedangkan dalam terjemahan kesepadanan dinamis maksud ini harus dipahami dari segi budaya reseptor. Sejauh mana maksud dapat ditafsirkan dalam 48 konteks budaya selain tempat pesan itu pertama kali diberikan adalah berbanding lurus dengan universalitas pesan. Nida 1964:183 juga menjelaskan bahwa kriteria pemahaman maksud awal dirancang untuk menutupi apa yang sering diucapkan secara tradisional sebagai akurasi accraucy, kesetiaan fidelity, dan kebenaran correctness. Kriteria ketiga dalam menilai terjemahan adalah kesetaraan respon, yang berorientasi ke arah baik budaya sumber dalam hal reseptor harus memahami dasar dari respons awal maupun budaya reseptor. Dalam hal ini, reseptor membuat respons yang sesuai dalam konteks budaya yang berbeda. 2.3.1.5 Ideologi dan strategi penerjemahan Newmark 1988:9 mengemukakan bahwa teori terjemahan memiliki empat fungsi utama sebagai berikut: a mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan, tidak ada masalah berarti tidak ada teori penerjemahan; b menunjukkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memecahkan masalah penerjemahan; c mendaftar prosedur-prosedur penerjemahan yang dapat digunakan; d menyarankan pemakaian beberapa prosedur penerjemahan yang sesuai untuk memecahkan masalah penerjemahan. Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika teori terjemahan, dalam pengertian sempit, berkenaan dengan pemilihan metode atau prosedur yang sesuai dengan jenis teks yang akan diterjemahkan. 49 Pemilihan metode ataupun prosedur penerjemahan sangat bergantung pada ideologi yang di anut oleh penerjemah yaitu pandangan “seperti apa terjemahan yang baik tersebut” merupakan cerminan dari ideologinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bassnett dan Lefevere 1992:xi bahwa “Translation is, of course, a rewriting of an original text. All rewritings, whatever their intention, reflect a certain ideology and a poetics and as such manipulate literature to function in a given society in a given way.” Pandangan Bassnett dan Lefevere menegaskan bahwa dalam proses penerjemahan, apa pun tujuannya, tidak luput dan merupakan cerminan dari ideologi yang dimiliki dan berfungsi dalam masyarakat. Lebih lanjut, dari pendapat Bassnett dan Lafevere di atas, tersirat bahwa ideologi tersebut tidak hanya nilai atau keyakinan yang dimiliki penerjemah, tetapi bisa saja kebenaran tersebut merupakan ideologi atau kebenaran kelompok atau ideologi masyarakat yang tercermin dalam karya terjemahan tersebut sehingga dapat berterima dalam masyarakat. Paparan tersebut menyiratkan bahwa ideologi yang ada dalam suatu masyarakat tentu sangat berpengaruh pada penerjemahan, mengingat penerjemah itu adalah bagian dari anggota masyarakat dan terjemahan itu juga ditujukan pada masyarakat. Selain itu, dalam penerjemahan tentu ideologi itu juga berperan dalam proses penerjemahan karena terjemahan berasal dari bahasa berbeda dengan latar budaya berbeda yang tentu memiliki banyak perbedaan terhadap kelompok-kelompok lainnya. Sehubungan dengan itu, aturan Vermeer Skopos menyatakan bahwa: “translateinterpretspeakwrite in a way that enables your texttranslation to function in the situation in which it is used and with the people who want to use it and precisely in the way they want it to function” Nord dalam Yan, 2005:64. 50 Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa untuk menghasilkan produk terjemahan yang dapat diterima dan berfungsi dalam masyarkat, kita harus mengacu pada apa yang diinginkan oleh masyarakat dan ideologi dalam masyarakat yang menggunakannya. Sehubungan dengan itu, wajar jika disimpulkan bahwa ideologi tidak hanya berpengaruh besar dalam pemilihan metode dan strategi penerjemahan, namun juga mengontrol penyebaran teks-teks terjemahan tersebut Yan, 2005:64. Hal ini relevan dengan pendapat Nida dan Taber 1982:1 bahwa “Correctness must be determined by the extent to which the average reader for which a translation is intended will be likely to understand it correctly.” Jadi, terjemahan yang baik dan benar itu adalah terjemahan yang mempertimbangkan pembaca sasarannya target reader. Pembaca yang berbeda akan memerlukan terjemahan yang berbeda sehingga penerjemah harus menyesuaikan metode dan strategi penerjemahannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa benar-salah-nya sebuah terjemahan terkait dengan untuk siapa terjemahan tersebut ditujukan. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ideologi berada pada tataran yang bersifat makro karena ideologi merupakan pandangan atau keyakinan mengenai seperti apa terjemahan yang ingin dihasilkan terkait dengan keinginan penerjemah, baik dalam tataran individu maupun kelompok. Venuti 1995:20-21 menyimpulkan bahwa dalam konteks makro terdapat dua kecenderungan yang muncul bagaimana bentuk dan cara penerjemahan yang diinginkan oleh penerjemah. Namun, dua kecenderungan ini menunjukkan perbedaan yang kuat, yaitu satu sisi meyakini bahwa terjemahan yang baik adalah dekat dengan budaya dan bahasa sumber forenisasi, sementara yang lain meyakini bahwa terjemahan 51 yang baik harus dekat dengan budaya dan bahasa sasaran domestikasi. Selanjutnya, berdasarkan pada ideologi atau pandangan tersebut lahir strategi penerjemahan yaitu bagaimana penerjemah menyelesaikan masalah pada tataran mikro atau unit terkecil penerjemahan. Brata 2010:67 menegaskan bahwa pemilihan metode penerjemahan sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut oleh penerjemah. Penerjemah yang manganut ideologi foreignisasi akan memilih metode penerjemahan kata demi kata, harfiah, setia atau semantik. Sebaliknya, penerjemah yang menganut ideologi domestikasi akan cenderung memilih metode penerjemahan adaptasi, bebas, idiomatis, atau komunikatif. Lebih jauh, Brata 2010:67, sesuai dengan pernyataan Molino dan Albir 2002:507-508, menyatakan bahwa metode penerjemahan merupakan pilihan global yang memengaruhi keseluruhan teks. Sejalan dengan pengertian dari metode penerjemahan yang telah diungkapkan di atas, Newmark 1988:81 membedakan pengertian metode dan prosedur penerjemahan dengan menegaskan bahwa: “While translation methods relate to the whole texts, translation procedures are used for sentences and the smaller units of language ” Jika metode penerjemahan berhubungan dengan keseluruhan teks maka prosedur penerjemahan diterapkan pada kalimat dan unit-unit bahasa yang lebih kecil. Jadi, istilah prosedur dibedakan dari metode atau yang sering dikenal dengan perbedaan antara strategi penerjemahan lokal local translation strategies dan strategi penerjemahan global global translation strategies. Konsep yang pertama merujuk pada proses penerjemahan kalimat dan unit-unit yang lebih kecil, sedangkan konsep kedua, seperti telah dikemukakan di atas, mengacu pada proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Perbedaan antara metode dan 52 prosedur terletak pada objeknya. Objek metode adalah teks secara keseluruhan, sedangkan objek prosedur berupa kalimat sebagai unit penerjemahan terkecil, dan kalimat ini merupakan bagian dari teks. Persamaan antara metode dan prosedur adalah bahwa keduanya merupakan cara yang digunakan oleh penerjemah dalam memecahkan masalah penerjemahan. Selanjutnya, secara konseptual metode digunakan sebagai prinsip umum atau pendekatan dalam menangani sebuah teks, sedangkan prosedur memperlihatkan adanya tahapan penanganan masalah. Strategi global atau metode yang dipilih oleh penerjemah secara keseluruhan akan memberi pengaruh pada proses penerjemahan selanjutnya. Oleh karena strategi lokal serta merta diikuti oleh teknik-teknik khusus yang mempengaruhi hasil terjemahan dan unit-unit mikro teks maka strategi lokal atau yang dikenal dengan istilah prosedur pada dasarnya adalah teknik penerjemahan Molina dan Albir, 2002:509. Dalam hal ini, seiring dengan semakin meningkatnya kompetensi penerjemah, masalah-masalah yang dihadapi dalam proses penerjemahan tidak akan menjadi kendala karena strategi lokal yang telah dikuasai sepenuhnya akan dapat diterapkan secara otomatis. Newmark 1998:45, terkait dengan metode penerjemahan, memperkenalkan sebuah diagram yang disebutnya sebagai Diagram V untuk menunjukkan dua kutub yang berbeda dari metode penerjemahan. Kutub yang pertama sangat memperhatikan sistem dan budaya BSu, sedangkan kutub yang kedua sangat menghargai sistem dan budaya BSa. 53 Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSu dipresentasikan oleh beberapa hal berikut: 1 Metode penerjemahan kata demi kata Word-for-word translation. Metode penerjemahan kata demi kata sangat terikat pada tataran kata. Dalam menerapkan metode penerjemahan ini, penerjemah hanya mencari padanan kata BSu dalam BSa, dan pencarian padanan itu tidak dikaitkan dengn konteks. Metode tersebut tidak mengubah susunan kata BSu dalam terjemahannya. Dengan kata lain, susunan kata dalam kalimat BSu sama persis dengan susunan kata dalam kalimat BSa. Metode penerjemahan kata demi kata itu dapat diterapkan dengan baik hanya jika struktur BSu sama dengan struktur BSa. 2 Metode penerjemahan harfiah mempunyai kesamaan dengan metode penerjemahan kata-demi-kata bahwa pemadanan yang dilakukan selalu lepas konteks. Perbedaannya adalah metode penerjemahan harfiah berusaha mengubah konstruksi gramatikal BSu menjadi konstruksi gramatikal BSa. Orienetasi pada BS Penerjemahan Kata Demi Kata Penerjemahan Harfiah Penerjemahan Setia Penerjemahan Semantik Penerjemahan Bebas Penerjemahan Idiomatik Penerjemahan Komunikatif Gambar 2.1. Diagram V Metode Penerjemahan Sumber: Newmark, 1998 A d a p t a s i Orientasi pada BT 54 3 Metode penerjemahan setia berusaha sesetia mungkin menghasilkan makna kontekstual teks BSu meskipun melanggar konstruksi gramatikal BSa. 4 Metode penerjemahan semantik berfokus pada pencarian padanan pada tataran kata dengan tetap terikat pada bahasa budaya BSu, dan berusaha mengalihkan makna kontekstual BSu yang sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik BSa. Jika sebuah kalimat perintah bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka terjemahannya pun harus berbentuk kalimat perintah. Kata-kata yang membentuk kalimat perintah bahasa Inggris itu harus mempunyai komponen makna yang sama dengan komponen makna kata yang terdapat dalam terjemahan. Metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa dipresentasikan oleh beberapa hal berikut: 1 Metode penerjemahan adaptasi berusaha mengubah budaya BSu dalam BSa. Hasilnya pada umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan tetapi merupakan penulisan kembali pesan teks BSu dalam BSa. Teks yang dihasilkan dengan menerapkan metode adaptasi merupakan bentuk terjemahan, yang paling bebas dan metode adaptasi ini khususnya digunakan dalam menerjemahkan teks drama dan puisi. 2 Metode penerjemahan bebas mengahasilkan teks sasaran yang tidak mengandung gaya, bentuk atau isi teks sumber. Metode penerjemahan bebas tidak terikat pada pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan itu cenderung berlangsung pada tataran teks. Metode penerjemahan bebas tidak sama dengan metode adaptasi. Pesan dalam 55 terjemahan bebas harus tetap setia pada pesan teks BSu. Penerjemah hanya mempunyai kebebasan yang terbatas dalam mengungkapkan pesan itu dalam BSa dia tidak memodifikasi karya asli. Sebaliknya, dengan metode adaptasi, penerjemah dimungkinkan untuk melakukan beberapa modifikasi, misalnya mengganti nama pelaku dan tempat kejadian. 3 .Metode penerjemahan idiomatik berusaha untuk menghasilkan kembali “pesan” teks sumber, tetapi cenderung merusak nuansa makna dengan jalan menggunakan bentuk kolokial dan idiom meskipun kedua hal ini tidak ada dalam teks BSu. 4 Metode penerjemahan komunikatif bersaha mengalihkan makna kontekstual teks BSu secara akurat ke dalam bahasa teks BSa agar terjemahan dapat berterima dan mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Dengan kata lain, metode penerjemahan komunikatif sangat peduli pada masalah efek yang ditimbulkan oleh suatu terjemahan pada pembaca, yang tidak mengharapkan adanya kesulitan-kesulitan dan ketidakjelasan dalam terjemahan. Metode penerjemahan komunikatif juga sangat memperhatikan masalah keefektifan bahasa terjemahan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa metode penerjemahan komunikatif mempersyaratkan agar bahasa terjemahan mempunyai bentuk, makna dan fungsi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena ada kemungkinan suatu kalimat sudah benar secara sintaktis, tetapi maknanya tidak logis, atau, bentuk dan maknanya sudah benar, namun penggunaannya tidak tepat atau tidak alamiah. 56 Lebih jauh, Newmark 1988:81 menyebutkan terdapat sedikitnya 15 prosedur penerjemahan di antaranya adalah harfiah literal, tranferensi transference, naturalisasi naturalization, sepadan budaya cultural equivalent, sepadan fungsional functional equivalent, sepadan deskriptif descriptive equivalent, analisis komponen componential analysis, sinonim synonymy, terjemahan menyeluruh through-translation, pergeseran atau transposisi shift or transposisi, modulasi modulation, terjemahan yang sudah diakui recognized- translation, kompensasi compensation, parafrase paraphrase, untai couplets, catatan notes. Selain Newmark, Molina dan Albir 2002 menyatakan bahwa teknik penerjemahan merupakan prosedur dalam menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual. Lebih komprehensif dari Newmark, mereka menyebutkan terdapat 18 prosedur penerjemahan di antaranya adalah adaptasi adaptation, amplikasi amplification, peminjaman borrowing, kalke, kompensasi compensation, deskripsi description, kreasi diskursif discursive creation, kesepadanan lazim established equivalent, generalisasi generalization, amplikasi linguistik linguistic amplification, kompresi linguistic linguistic compression, penerjemahan harfiah literal translation, modulasi modulation, partikularisasi particularization, reduksi reduction, substitusi substitution, transposisi transposition, dan variasi variation. Di lain sisi, variasi prosedur penerjemahan yang diperkenalkan oleh Vinay dan Darbelnet 19582000 memiliki dampak yang sangat luas. Mereka melakukan analisis stilistika komparatif bahasa Prancis dan Inggris dan 57 membedakan tujuh prosedur yang mereka kelompokkan menjadi dua strategi global metode, yaitu terjemahan harfiah atau langsung yang terdiri atas 3 prosedur, yaitu peminjaman borrowing, calque, harfiah literal dan terjemahan oblique yang terdiri dari 4 prosedur yaitu transposisi transposition, modulasi modulation, kesepadanan equivalence dan adaptasi adaptation. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pemaparan ketujuh prosedur yang secara tegas dipisahkan dalam dua kategori besar. Tabel 2.3 Prosedur Penerjemahan Menurut Vinay dan Darbelnet Prosedur Penerjemahan Metode Penerjemahan Langsung Harfiah Metode Penerjemahan BebasOblik Peminjaman Kalke Literal Transposisi Modulasi Kesepadanan Adaptasi Sumber: Vinay dan Darbelnet dalam Venuti, 2000 Berikut adalah penjelasan detail mengenai ketujuh prosedur terjemahan menurut Vinay dan Darbelnet tersebut: 1 Peminjaman Borrowing Pinjaman dianggap sebagai yang paling sederhana dari semua metode penerjemahan untuk mengatasi kesenjangan, biasanya sesuatu yang metalinguistik misalnya, sebuah proses teknis baru, konsep yang tidak dikenal. Penerjemah mengadopsi prosedur ini dalam rangka untuk memperkenalkan cita rasa budaya bahasa sumber BSu dalam terjemahan. Dengan kata lain, dalam menerjemahkan istilah dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, istilah asing tertentu dapat 58 digunakan. Hal ini biasanya terjadi tanpa mengubah, baik bentuk maupun makna. Misalnya, kata-kata Rusia seperti dollar dan party dari bahasa Inggris Amerika. 2 Kalke Teknik kalke adalah jenis khusus dari metode peminjaman borrowing, sebuah bahasa meminjam ungkapan dari bahasa yang lain dan kemudian menerjemahkan masing-masing unsurnya secara harfiah. Teknik kalke dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teknik kalke leksikal dan teknik kalke struktural. Sebuah teknik kalke leksikal seperti pada contoh pertama di bawah, yaitu teknik kalke yang menghargai struktur sintaksis dari bahasa target sementara memperkenalkan sebuah modus ekspresi baru. Teknik kalke struktural, seperti dalam contoh kedua di bawah memperkenalkan konstruksi baru ke dalam bahasa. English – French calque Compliments of the season Compliments de la saison Science-fiction science-fiction. Vinay dan Dalbernet dalam Venuti, 2000:85 3 Harfiah Literal Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata. Cara kerja prosedur ini ialah menerjemahakan secara langsung teks bahasa sumber BSu, baik gramatikal maupun idiomatik, yang sesuai dengan teks bahasa sasaran BSa. Singkatnya, tugas penerjemah adalah untuk tetap teguh pada perilaku linguistik dari BSa. Sebuah terjemahan 59 harfiah adalah solusi unik yang reversibel dan lengkap. Sebagai contoh: Sebuah rumah pantai di Venus Bay SL → a beach house at Venus Bay TL Engkau menunggu aku di Sanur SL → You waiting for me at Sanur TL Aveling dalam Herliany, 2006 4 Transposisi Transposisi adalah proses penerjemahan yang menggantikan satu kelas kata dengan yang lain tanpa mengubah pesan makna. Transposisi juga dapat diterapkan dalam satu bahasa. Ada dua jenis transposisi: transposisi wajib dan transposisi opsional. Transposisi Wajib terjadi ketika bahasa target tidak memiliki pilihan lain karena sistem bahasa yang berbeda; misalnya, consolidated financial statem ent SL → laporan keuangan konsolidasian TL Khaerun, 2003. Transposisi opsional dipilih oleh penerjemah untuk kepentingan gaya bahasa. Sebagai contoh, Wajahku akan menjadi sepotong mainan SL → Dolls will face like mine TL Aveling dalam Herliany, 2006. 5. Modulasi Modulasi adalah proses penerjemahan yang ditandai variasi bentuk pesan. Variasi ini terjadi karena perubahan sudut pandang. Perubahan ini dapat dibenarkan bila hasil terjemahan benar dalam hal tata bahasa, tetapi dianggap tidak cocok, tidak idiomatik atau canggung. Seperti transposisi, modulasi terbagi menjadi modulasi opsional dan wajib. 60 Yang pertama dapat terjadi karena alasan nonlinguistik. Hal ini sebagian besar digunakan untuk menekankan makna, untuk membuat koherensi atau untuk mengetahui bentuk alami dalam bahasa target, sedangkan yang kedua diterapkan bila kata, frasa, atau struktur tidak dapat ditemukan dalam bahasa target. Dapat dilihat dalam kalimat He is unmarried BSu → Ia masih bujang BSa Puspani, 2003. Contoh modulasi wajib dapat dilihat dalam kalimat The problem is hard for us to solve BSu → Masalah itu sukar untuk dipecahkan BSa. Dalam hal ini, konstruksi aktif pada BS dirubah menjadi konstruksi pasif Sudrama, 2003 6 Kesepadanan Equivalence Kesepadanan adalah proses penerjemahan yang diterapkan ketika ada dua teks dengan konteks situasi yang sama. Akan tetapi, kedua teks menggunakan metode, gaya, dan struktur yang sama sekali berbeda. Jenis penerjemahan ini dapat diterapkan pada peribahasa dan idiom. Misalnya, Seputih kapas BSu → As white as snow BSa Puspani, 2003. 7 Adaptasi Adaptasi adalah proses penerjemahan yang diadopsi jika ada pesan dalam bahasa sumber BSu tidak diketahui dalam budaya bahasa target BSa. Dalam hal ini, penerjemah harus menciptakan situasi baru yang dapat dianggap setara. Misalnya, Dear sir BSu → Dengan hormat BSa, Sincerely yours BSu → Hormat saya BSa Sudrama, 2003. 61 Pemisahan yang tegas yang dibuat oleh Vinay dan Darbelnet terlepas dari kesederhanaan jenis teknik atau prosedur yang mereka ungkapkan, dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat untuk memilih teori yang mereka kemukakan guna dijadikan sebagai landasan utama dalam menganalisis data. Hal ini terjadi karena dalam penerjemahan Alkitab, seperti yang telah diungkap sebelumnya, penerjemah atau kelompok penerjemah dari sejak awal telah menentukan atau menetapkan, baik ideologi maupun metode, yang hendak mereka terapkan yang tentu saja akan diikuti dengan penggunaan teknik atau prosedur yang sesuai, yaitu penerjemahan langsungharfiah untuk kubu terjemahan harfiah dan teknik atau prosedur oblik untuk kubu terjemahan bebas. Mengingat pula klasifikasi teknik penerjemahan yang ditawarkan oleh Molina dan Albir 2005:498-512 yang merupakan rangkuman dari teknik penerjemahan yang digagas oleh Vinay dan Darbelnet 1958 maka taksonomi yang dapat disusun untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah klasifikasi yang dibuat oleh Molina dan Albir, namun dengan memanfaatkan alur pikiran dari Vinay dan Dalbernet, yaitu memisahkan kedelapan belas prosedur yang ditawarkan ke dalam dua kelompok, yaitu prosedur terjemahan harfiah dan prosedur terjemahan bebas seperti tertera pada tabel di bawah ini: 62 Tabel 2.4 Klasifikasi Prosedur Penerjemahan Menurut Molina dan Albir Teknik Penerjemahan Penjelasan Contoh adaptasi adaptation Menggantikan unsur budaya sumber dengan unsur budaya sasaran. BSu: as white as snow BSa: seputih kapas penambahan amplification Memberikan informasi lebih detail yang tidak tercantum dalam BSa BSu: “…and it was put into the Thames.” BSa : “…dan dibenamkan di sungai Thames.” peminjaman: murni natural borrowing: pure borrowing naturalized borrowing Menyerap kata atau ungkapan langsung dari BSu yang meliputi peminjaman murni dan peminjaman alamiah. Peminjaman murni: BSu: hard disk, mixer BSa: hard disk, mixer Peminjaman naturalisasi: BSu: Computer BSa: Komputer kalke calque Menerjemahkan frasa atau kata BSu secara literal. Teknik ini serupa dengan teknik penerimaan acception. BSu: Directorate General BSa: Direktorat Jenderal Kompensasi compensation Memperkenalkan informasi dalam BSu pada bagian lain dalam BSa atau untuk menciptakan dampak stilistika. BSu: You can let your imagination go wild. BSa: Anda dapat membiarkan khayalan mengembara sejauh mungkin. deskripsi description Menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. BSu: Green room BSa: Ruang tunggu para artis sebelum mereka tampil kreasi diskursif discursive creation Memberikan padanan sementara namun terlepas dari konteks BSu: Husband for a year BSa: Suami sementara Padanan lazimbakuresmi established equivalence Menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari. Teknik ini mirip dengan penerjemahan harfiah. BSu: efficient and effective BSa: efisien dan efektif generalisasi generalization Menggunakan istilah yang lebih umum atau netral. Teknik ini serupa dengan penerimaan acception. BSu: Penthouse, mansion BSa: Tempat tinggal amplifikasi linguistik linguistic amplification Menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BSa. Teknik ini lazim diterapkan pada pengalihbahasaan konsekutif atau sulih suara. BSu: The David you are sculpting is you. BSa: Patung David yang Anda ukir adalah diri Anda sendiri. kompresi linguistik linguistic compression Menggabungkan unsur-unsur bahasa dalam BSa. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik. BSu: The mind is shaping the very thing that is being perceived. BSa: Akal membentuk segala sesuatu yang ada harfiah literal Menerjemahkan kata demi kata dan penerjemah tidak mengaitkan dengan konteks. BSu: Killing two birds with one stone BSa: Membunuh dua burung dengan satu batu. modulasi modulation Mengubah sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu. Perubahan sudut pandang dapat bersifat leksikal atau struktural. BSu: Nobody doesn‟t like it BSa: Semua orang menyukainya partikularisasi particularization Menggunakan istilah yang lebih konkrit, presisi atau spesifik dari superordinat ke subordinat. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. BSu: air transportation BSa: pesawat Reduksi Reduction Mengungkapkan sebuah informasi dalam BSu secara sangat singkat dalam BSa. Tenik ini kebalikan dari teknik aplifikasi. BSu: The Muslim month of fasting BSa: Ramadan substitusi substitution Mengubah unsur-unsur linguistik dan paralinguistik intonasi atau isyarat. Gesture such as nodding is translated into „setuju‟, shrugging shoulders is translated into „saya tidak tahu‟. transposisi transposition Mengubah kategori gramatikalpergeseran bentuk BSu: consolidated financial statement BSa: laporan keuangan konsolidasi variasi variation Mengubah nada teks, gaya bahasa, dan dialek Perubahan dialek dalam dialog pada teater dan nada pada novel anak-anak Sumber: Molina dan Albir, 2005, dan contoh diambil dari berbagai sumber 63 Berdasarkan beberapa fakta tersebut di atas, berikut adalah taksonomi strategi penerjemahan yang ditetapkan sebagai alat analisis selanjutnya. Tabel 2.5. Taksonomi ProsedurTeknik Penerjemahan Hasil Rekomposisi Metode Penerjemahan ProsedurTeknik Penerjemahan Langsung Harfiah ProsedurTeknik Penerjemahan BebasOblik 1. Peminjaman 2. Kalke 3. Harfiah 1. Transposisi 2. Modulasi 3. Padanan lazimbaku 4. Amplifikasi 5. Reduksi 6. Amplifikasi linguistik 7. Kompresi linguistik 8. Generalisasi 9. Partikularisasi 10. Kompensasi 11. Kreasi diskursif 12. Deskripsi 13. Substitusi 14. Variasi 15. Adaptasi 16. Catatan Jadi, fokus penelitian ini adalah tidak lagi menelusuri ideologi, metode ataupun prosedur yang dianut atau diterapkan oleh penerjemah atau kelompok penerjemah, tetapi untuk mengungkapkan ketepatan penggunaan prosedur penerjemahan, baik pada kubu harfiah maupun kubu bebas, yang tentu saja akan memberikan dampak pada tingkat kesepadanan produk terjemahan masing- masing kubu terjemahan. Berikut adalah kerangka berpikir yang diterapkan terkait dengan ideologi, metode, prosedur dan teknik penerjemahan yang diharapkan bermuara pada 64 pemahaman tingkat kesepadanan produk terjemahan baik kubu harfiah maupun kubu bebas. Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Terkait dengan Ideologi, Metode, dan TenkikProsedur Terjemahan Alkitab Terjemahan Harfiah Terjemahan Bebas Ideologi Foreignisasi Ideologi Domesikasi Metode Literal Diagram V Metode Bebas Diagram V Prosedur LangsungHarfiah Prosedur BebasOblique Analisis Ketepatan Penggunaan Prosedur Analsisi Ketepatan Penggunaan Prosedur KESEPADANAN PRINSIP-PRINSIP KESEPADANAN FORMALDINAMIS 65

2.3.2 Dimensi Makna