Prevalensi demam tifoid pada pasien rawat jalan di rumah sakit Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Juli Tahun 2008 sampai Juli 2009

(1)

1 PREVALENSI DEMAM TIFOID BERDASARKAN JENIS KELAMIN

PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UIN

SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA DARI BULAN JULI 2008 SAMPAI JULI 2009

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH : Yulinda Novita NIM: 106103003478

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H/ 2009 M


(2)

2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 3 November 2009


(3)

3 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PREVALENSI DEMAM TIFOID BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UIN

SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA DARI BULAN JULI 2008 SAMPAI JULI 2009

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Kedokteran (S.Ked) Oleh : Yulinda Novita NIM: 106103003444

Pembimbing

Dr. Syarief Hasan Luthfie, SpRM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H/ 2009 M


(4)

4 PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan Penelitian berjudul PREVALENSI DEMAM TIFOID BERDASARKAN JENIS KELAMIN PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA DARI BULAN JULI 2008 SAMPAI JULI 2009 yang diajukan oleh Yulinda Novita (NIM: 106103003478), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 20 November 2009. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter

Jakarta, 3 November 2009

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang Pembimbing Penguji

Prof. DR. dr. MK. Tadjudin Sp.And Dr. dr. Syarief Luthfie, Sp.RM DR.Arif Sumantri, SKM.MKes

PIMPINAN FAKULTAS

Dekan FKIK Kaprodi PSPD FKIK UIN


(5)

5 KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh;

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan limpahan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penulisan laporan penelitian ini saya susun dalam rangka memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan laporan penelitian ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1) Prof. DR. dr. MK. Tadjuddin, SpAnd. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

2) DR.dr. Syarief Hasan Lutfie, SpRM selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter sekaligus pembimbing penelitian. Terima kasih atas waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan laporan penelitian ini di tengah kesibukan yang ada.

3) Bapak DR. Arif Sumantri, SKM.MKes sebagai dosen penguji, yang telah banyak memberikan masukan, arahan, kritikan kepada saya, hingga selesainya laporan penelitian ini.

4) Ibu Sylvia Nasution, MBiomed selaku penanggung jawab riset dan untuk semua dosen-dosen saya, yang telah begitu banyak membimbing dan memberikan kesempatan saya untuk menimba ilmu selama saya menjalani masa pendidikan di Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif


(6)

6 Hidayatullah Jakarta, rasa hormat saya atas segala yang telah bapak dan ibu berikan.

5) Bapak Drs. M. Farid Hamzen, SKM, MSi dan Ibu Yuli Amran SKM, MKes. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya.

6) Pihak Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah memberikan izin tempat penelitian ini sekaligus banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

7) Ayah dan Ibu yang tercinta H. Yusuf dan Hj. Yanah, serta adik-adikku, yopi,yogi dan yusron zaki.

8) Untuk semua saudara-saudariku 52 orang angkatan 2006 terutama kelompok riset saya,Diana Lutfillah, Nur Huda, Siti, Nurul dan Nurmasyitah.

9) Terakhir, kepada semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan laporan penelitian ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan penelitian ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Wabillahittaufiq wal hidayah, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 3 November 2009 Penulis


(7)

7 ABSTRAK

Nama : Yulinda Novita Program Studi : Pendidikan Dokter

Judul :

“PREVALENSI DEMAM TIFOID PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PADA BULAN JULI TAHUN 2008 SAMPAI JULI 2009”

Penelitian ini bertujuan membahas tentang informasi mengenai demam tifoid sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat pelayanan Rumah Sakit dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif demam tifoid di kalangan masyarakat umum. Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan dengan desain Penelitian merupakan penelitian epidemiologis secara observasi analitik dengan desain potong lintang. Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi demam tifoid tidak dipengaruhi langsung oleh jenis kelamin. Namun hal itu dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku manusia yang tidak sehat. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Kata kunci:

Prevalensi, demam tifoid, Rumah Sakit Syarif Hidayatullah

ABSTRACT Name : Yulinda Novita Study Program : Medical Education

Title :

PREVALENCE OF TYPHOID FEVER PURSUANT DENSITY OUTPATIENT AT HOME SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA OF YEAR JULY 2008 UNTIL JULY 2009’’

This research report study about information concerning of typhoid fever so that can be applicable to improving the Hospital service in the case of promotion, preventive, curative and rehabilitative of typhoid fever among society. This research is antecedent research use the design of analytic observation by design cut transversal and also represent the research of epidemiology. Result of research got, that prevalence of typhoid fever can’t be influenced by sex. And that Matter also influenced by environment and indisposed human being behavior. Require to a continuation research with the larger size of sample.

Key words:


(8)

8 DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……….. -

HALAMAN JUDUL………...….... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.……….. ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii LEMBAR PENGESAHAN..………... Iv KATA PENGANTAR…..………... v

ABSTRAK ………... vii

DAFTAR ISI………..…. viii

DAFTAR GAMBAR ,DAFTAR TABEL... …..………… ix

1. PENDAHULUAN ………...…… 1

1.1. Latar Belakang ………..…..………. 1 1.2. Rumusan Masalah..………….………..…... 2 1.3. Tujuan penelitian……….…… 2 1.4. Manfaat penelitian……….…………. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA………..………..….. 5

2.1. Demam Tifoid……….…. 5

2.2. Faktor Resiko Demam Tifoid………...………... 12

2.3. Kerangka Konsep……….…..……….…. 13

3.METODOLOGI PENELITIAN………..…. 17

3.1. Desain penelitian….………. 17

3.2. Waktu dan tempat penelitian……… 17

3.3. Populasi dan Sampel………...…. 17

3.4. Managemen Data...……….………... 19

3.5 Cara Kerja Penelitian... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN...……….. 21

4.1. Karakteristik Sampel... 21

4.2. Prevalensi Demam Tifoid….……….……….. 21

4.3. Pembahasan……….. 4.4. Keterbatasan Penelitian... 24 34 5. PENUTUP... 5.1. Simpulan... 5.2. Saran... 35 35 36 DAFTAR PUSTAKA………. 37


(9)

9 DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1. Data Pasien Demam Tifoid Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Cipto

Mangunkusumo Tahun 2005 sampai dengan 2008... 3

Tabel 2.1. Definisi operasional ... 14 Tabel 4.1. Prevalensi tifoid, hepatitis, diare dan pemakaian obat program

diare menurut kabupaten atau kota di provensi banten ... 22

Tabel 4.2. Prevalensi Demam Tifoid Tiap Bulan dari Bulan Juli 2008

hingga Juli 2009………...

22

Tabel 4.3. Distribusi Pasien Berdasarkan jenis kelamin pada Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 sampai

2009………... 23

Tabel 4.4.


(10)

10

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid... 7 Gambar 2.2. Kerangka Konsep ... ... 13 Gambar 3.1. Alur Penelitian... 20 Gambar 4.1. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin di RS UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 Sampai

2009...

23

Gambar 4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan... 31


(11)

11 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi. Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia. Kejadian demam tifoid didunia sekitar 21,6 juta kasus dan terbanyak di Asia, Afrika dan Amerika Latin dengan angka kematian sebesar 200.000. Setiap tahunnya, 7 juta kasus terjadi di Asia Tenggara, dengan angka kematian 600.000 orang. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan angka kejadian sekitar 760 sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai 10,4%.(WHO, 2004)

Angka kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4% per 10.000 penduduk. Prevalensi demam tifoid di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi Banten sebesar 2,2 %. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760 sampai 810 kasus per 100.000 penduduk.(Riskesdas, 2007)


(12)

12 Diruang perawatan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusuma Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering dijumpai. Kebanyakan penderitanya adalah anak-anak, remaja dan dewasa muda.

Tabel 1.1. Data Pasien Demam Tifoid Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Cipto Mangunkusumo Tahun 2005 sampai dengan 2008

Tahun Rawat Inap Rawat Jalan Total (orang)

Dewasa Anak Dewasa Anak

2005 98 6 74 14 192

2006 109 9 59 8 185

2007 79 12 92 16 199

2008 59 8 51 26 144

Berdasarkan data tersebut, penulis ingin mencari lebih lanjut tentang prevalensi demam tifoid di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah. Dalam proposal penelitian ini, kami ingin mengetahui prevalensi demam tifoid yang terjadi pada lingkungan sekitar Rumah Sakit Syarif Hidayatullah. Dari data yang diperoleh dari Rumah Sakit Syarif Hidayatullah, adanya upaya untuk memperbaiki tingkat pelayanan rumah sakit dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif demam tifoid dikalangan masyarakat umum.


(13)

13 1.2.Rumusan Masalah

Berapa prevalensi demam tifoid pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah ditinjau dari jumlah pasien tiap bulan pada bulan Juli 2008 sampai bulan Juli 2009?

1.3.Tujuan Penelitian Tujuan Umum:

Memperoleh informasi mengenai demam tifoid sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat pelayanan Rumah Sakit dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif demam tifoid di kalangan masyarakat umum.

Tujuan Khusus:

Diketahuinya prevalensi terjadinya demam tifoid berdasarkan jumlah pasien tiap bulan di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah.

 Diketahuinya jumlah pasien demam tifoid tiap bulan dan prevalensinya. Diketahuinya hubungan perubahan iklim dan bulan kunjungan pasien

terhadap demam tifoid.

Diketahuinya faktor resiko penyakit demam tifoid berdasarkan bulan kunjungan dan keterkaitan dengan lingkungan.


(14)

14 1.4.Manfaat Penelitian

Bagi subyek:

Memberikan informasi seberapa tingginya prevalensi di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah sehingga subyek dapat melakukan pencegahan.

Bagi peneliti:

Sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam menyelesaikan program sarjana kedokteran.

Peneliti dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berperan pada demam tifoid.

Bagi institusi:

Menjadi dasar bukti medis secara ilmiah tentang prevalensi demam tifoid terhadap terjadinya demam tifoid.

Bagi masyarakat:

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai demam tifoid sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan cara penyuluhan, pembagian poster maupun terhadap terjadinya demam tifoid.


(15)

15 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Demam Tifoid

Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (S. typhi), ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran.(Lubis B, 1990)

S.typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Bakteri ini mudah tumbuh dalam perbenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama. S.typhi mempunyai beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane Protein terutama porin (OMP). (Gladwin M, Trattler B,1999)

Beberapa antigen S.typhi: 1. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh bakteri. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer. (Gladwin M, Trattler B,1999)


(16)

16 Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae S. typhi dan berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam. 3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi bakteri dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.

4. Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein A dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.(Baron EJ, dkk, 1994)


(17)

17 Patofisiologi

S.typhi masuk melalui mulut, biasanya bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. S.typhi yang termakan mencapai usus halus dan masuk ke saluran getah bening lalu ke aliran darah. Kemudian bakteri dibawa oleh darah menuju berbagai organ, termasuk usus. Saat bakteri masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian bakteri mati oleh asam lambung dan sebagian bakteri masuk ke usus halus. Setelah berhasil melewati usus halus, bakteri masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain).Organisme ini berkembang biak dalam jaringan limfoid dan diekskresi dalam feses. Faktor host yang ikut berperan dalam resistensi terhadap infeksi S.typhi adalah keasaman lambung, flora normal usus dan daya tahan usus.(Juwono R, 1996)

Gambar 2.1 Patofisiologi Demam Tifoid

Sumber: Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, p. 121-24.

Asam lambung (HCL) dalam lambung berperan sebagai penghambat masuknya bakteri S.typhi dan bakteri usus lainnya. Jika S.typhi masuk bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit yang masuk. Daya hambat


(18)

18 hidroklorida (HCL) ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga S.typhi dapat masuk ke dalam usus penderita . S.typhi seterusnya memasuki folikel-folikel limfe yang terdapat di dalam lapisan mukosa atau submukosa usus, bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih banyak S.typhi. Setelah itu, S.typhi memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Dengan demikian terjadilah bakterimia pada penderita. Dengan melewati kapiler-kapiler yang terdapat dalam dinding kandung empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut disana. Melalui empedu yang infektif terjadilah invasi kedalam usus untuk kedua kalinya yang lebih berat dari pada invasi tahap pertama. Invasi tahap kedua ini menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik menjadi jelas. (Braunwald, 2005)

Demam tifoid merupakan salah satu bakteremia yang disertai oleh infeksi menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ mengalami kelainan, contohnya sistem hematopoietik yang membentuk darah, terutama jaringan limfoid usus halus, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang. (Juwono R, 1996)

Pada awal minggu kedua dari penyakit demam tifoid terjadi nekrosis superfisial yang disebabkan oleh toksin bakteri oleh hiperplasia sel limfoid . Pada minggu ketiga timbul ulkus yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan sumbu usus akibat mukosa yang nekrotik. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai membran serosa.akibat terjadinya ulkus maka perdarahan yang hebat dapat terjadi


(19)

19 atau juga perforasi dari usus. Kedua komplikasi tersebut yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Toksemia yang hebat akan menimbulkan demam tifoid yang berat sedangkan terjadinya perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Sedangkan perdarahan usus dan perforasi menunjukkan bahwa telah terjadi ulserasi yang berat. Pada serangan demam tifoid yang ringan dapat terjadi baik perdarahan maupun perforasi. (Ranjan L, dkk, 2001)

Pada stadium akhir dari demam tifoid, ginjal kadang-kadang masih tetap mengandung bakteri S.typhi sehingga terjadi bakteriuria. Maka penderita merupakan urinary karier penyakit tersebut. (Ranjan L, dkk, 2001)

Gambaran Klinik Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa : anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, lidah kotor, gangguan saluran pencernaan. (Ranjan L, dkk, 2001)

Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut


(20)

20 lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung . Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. (Ranjan L, dkk, 2001)

Tanda khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. (Ranjan L, dkk, 2001)

Minggu kedua.

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi . Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. (Ranjan L, dkk, 2001)


(21)

21 Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. (Ranjan L, dkk, 2001)

Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar.

Relaps

Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps. (Ranjan L, dkk, 2001).


(22)

22 2.2Faktor Resiko Demam Tifoid

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)

Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air ataupun makanan yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi dalam feses dan urin selama lebih dari satu tahun. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)

Demam tifoid ditularkan melalui oral-fekal (makanan dan kotoran), maka pencegahan utama dengan cara memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)

Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan feses dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat . Lalat itu mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Jika demikian keadaannya, feses dan urin penderita bisa mengandung bakteri S.typhi yang siap menginfeksi


(23)

23 manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang tercemar. (Soewondo,2002 dan Simanjuntak, dkk, 1987)

2.3Kerangka Konsep


(24)

24 2.4Definisi Operasional

Tabel 2.1. Definisi operasional No

.

Variabel Definisi Cara Ukur

Alat Ukur

Skala Hasil Ukur

1. Data Rekam Medik Data pasien yang terdiagnosis pasti demam tifoid dan tinggal di wilayah Tangerang Selatan Data rekam medik Data rekam medik

Ordinal 1. Pasien yang menderita demam tifoid di wilayah Tangerang Selatan 2. Pasien yang menderita demam tifoid di luar wilayah Tangerang Selatan 2. Rekam

Medik Berkas yang berisi catatan di dokumen mengenai identitas pasien, hasil Data rekam medik Data rekam medik

Ordinal 1. Pasien yang

menderita demam tifoid 2. Pasien


(25)

25 pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap menderita demam tifoid

3. Prevalensi Angka kejadian kasus lama dan kasus baru Data rekam medik Data rekam medik

Rasio 1. Sebelum Bulan Juli 2008 2. Bulan juli 2008-2009 3. Sesudah Bulan Juli 2009 4. Demam

Tifoid Penyakit sistemik akut yang disebabkan Data rekam medik Data rekam medik

Ordinal 3. Pasien yang

menderita demam tifoid


(26)

26 oleh infeksi

kuman Salmonella typhi

4. Pasien yang tidak menderita demam tifoid 5. Umur Semua pasien

penderita demam tifoid dan tidak dibatasi oleh umur

Data rekam medik

Data rekam medik

Nomina l

1. Anak 2. Dewasa

3. Orang


(27)

27 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis secara observasi deskriptif dengan desain potong lintang.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik Rumah Sakit Syarif Hidayatullah. Waktu penelitian adalah pada bulan April - Oktober 2009.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi dan sampel yang diteliti

Populasi penelitian ini adalah data yang diperoleh dari rekam medik pasien demam tifoid di Rumah Sakit Syarif Hidayatullah pada Bulan Juli 2008 hingga Juli 2009.

3.3.2. Jumlah sampel

Rumus perhitungan besar sampel pada penelitian ini adalah: z21-α/2 (P(1-P))N

d2(N-1) + z21-α/2 (P(1-P)) (1,96)2 (0,5(1-0,5))652

0,052(652-1) + (1,96)2 (0,5(1-0,5))

n =

n =

= 242 orang


(28)

28 Keterangan:

n = jumlah sampel N = jumlah populasi

α = kesalahan tipe 1

P = besar kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang diperoleh

z1-α/2 = jarak sekian standar error dari rata-rata (nilai z1-α/2 1,96 untuk derajat kepercayaan 95%)

d = simpangan dari proporsi pada populasi 3.3.3 Kriteria sampel

3.3.3.1.Kriteria inklusi :

 Mendapat persetujuan rumah sakit

 Data pasien terdiagnosa pasti demam tifoid yang diperoleh dari rekam medik

 Data pasien demam tifoid yang menjalani rawat jalan

 Data pasien demam tifoid yang berasal dari Tangerang Selatan.  Data pasien yang memenuhi data umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, alamat dan bulan kunjungan. 3.3.3.2.Kriteria eksklusi :

 Tidak mendapat persetujuan dari rumah sakit  Data pasien yang tidak menderita demam tifoid

 Data pasien tercantum tidak lengkap pada rekam medik  Data pasien yang tidak terdiagnosa pasti demam tifoid.

 Data pasien demam tifoid yang bukan berasal dari Tangerang Selatan.


(29)

29  Data pasien tidak memenuhi data umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, alamat dan bulan kunjungan.

3.3.4. Kriteria Pengeluaran

 Petugas bagian rekam medik tidak memberi izin untuk melakukan penelitian.

 Direktur rumah sakit tidak member izin untuk melakukan penelitian.

 Penelitian dihentikan tiba-tiba ketika sedang berlangsung.

3.4 Managemen Data

3. 4. 1. Pengumpulan Data

Data diperoleh dari bagian rekam medik Rumah Sakit Syarif Hidayatullah.

3. 4. 2. Pengolahan dan Penyajian Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 16,0. Data disajikan dalam bentuk tekstular, grafikal, dan tabular.

3. 4. 3. Interpretasi Data

Interpretasi data dilakukan secara deskriptif. 3. 4. 4. Pelaporan Hasil Penelitian

Pelaporan hasil penelitian disusun dalam bentuk makalah ilmiah.


(30)

30 3.5 Cara Kerja Penelitian

3.5.1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian

Data sekunder penelitian berupa rekam medik pasien yang terdiagnosa pasti demam tifoid dan berasal dari Tangerang Selatan dan mendapat izin dari Rumah Sakit Syarif Hidayatullah setelah diajukan permohonan.

3.5.2. Alur Penelitian


(31)

31 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Sampel

Penelitian ini dengan pengambilan data di Bagian Rekam Medik RS Syarif Hidayatullah. Data yang diambil merupakan data pasien demam tifoid pada bulan juli 2008 hingga bulan juli 2009. Jumlah populasi yang ada sebanyak 652 subyek. Laki – laki sebanyak 330 dan perempuan sebanyak 322. Pada penelitian ini besar sampel pada rekam medik yang dapat dikumpulkan dalam kurun waktu tersebut sebanyak 244 pasien, yang terdiri dari jenis kelamin perempuan dan laki – laki. Pada penelitian ini didapatkan 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan 110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang menderita tifoid.

4.2. Prevalensi Demam Tifoid

Dari hasil pengumpulan data di Bagian Rekam Medik RS Syarif Hidayatullah, didapatkan jumlah keseluruhan pasien pada bulan juli 2008 hingga juli 2009 sejumlah 104.273 orang, kemudian didapatkan jumlah seluruh pasien rawat jalan demam tifoid sejumlah 652 orang. Dengan menggunakan rumus prevalensi yaitu:

Periode prevalence rate = Σ penderita lama + Σ penderita baru X Konstanta Σ penderita keseluruhan selama satu periode Keterangan:


(32)

32  Konstanta = 100 %

Maka, prevalensi demam tifoid pada pasien rawat jalan di RS Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan juli 2008 hingga juli 2009 sebesar 0,6 %. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi demam tifoid di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2007 yaitu sebesar 1,5 % untuk didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan 2,8 % yang didiangnosis oleh tenaga kesehatan atau dengan gejala. (Riskesdas, 2007)

Tabel.4.1

Sumber: Data Riskesdas 2007 Provinsi Banten Tabel. 4.2

Prevalensi Demam Tifoid Tiap Bulan dari Bulan Juli 2008 hingga Juli 2009

Bulan Kunjunngan Jumlah pasien (orang )

Perempuan Laki – laki

Juli 2008 18 8 10

Agustus 2008 25 12 13


(33)

33

Oktober 2008 16 9 7

November 2008 32 20 12

Desember 2008 50 25 25

Januari 2009 28 10 18

Februari 2009 33 16 17

Maret 2009 34 17 17

April 2009 31 16 15

Mei 2009 84 44 40

Juni 2009 136 61 75

Juli 2009 138 70 68

Total 652 322 330

Tabel 4.3. Data Statistik

Tabel 4.3. Distribusi Pasien Berdasarkan jenis kelamin pada Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 sampai 2009

jenis kelamin

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki – laki 134 54.9 54.9 54.9

Perempuan 110 45.1 45.1 100.0


(34)

34 Dari hasil tabel didapatkan bahwa jenis kelamin laki – laki sekitar 134 orang yang pernah menderita demam tifoid, dan sekitar 110 orang perempuan yang menderita demam tifoid. Dari data diatas maka akan dibahas mengenai faktor yang mempengaruhinya.

4.3 Pembahasan

Prevalensi demam tifoid dengan mencari data dari rekam medik lebih mudah dilakukan. Dari hasil analisa statistik didapatkan bahwa 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan 110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang menderita tifoid . Hal ini berarti bahwa demam tifoid tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin, namun diduga ada faktor lain yang mempengaruhinya

Telah diketahui bahwa demam tifoid termasuk salah satu dari penyakit menular. Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui


(35)

35 perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya agen atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada yang lain, ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: (Susanna, 2000)

1. Agen (penyebab penyakit) 2. Host (induk semang)

3. Route of transmission (jalannya penularan)

Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan salah satu penyakit infeksi tersering di wilayah tropik dan di Negara berkembang Seperti di Indonesia. Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. .(Soewondo ES, 2002).

Penyakit ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik. Penderita dewasa muda sering mengalami komplikasi berat berupa perdarahan dan perforasi usus yang tidak jarang berakhir dengan kematian.

Telah diketahui bahwa sebenarnya demam tifoid tidak mengenal jenis kelamin penderita yang diserangnya. Dari banyak penelitian berpendapat pria lebih banyak menderita demam tifoid karena dipengaruhi oleh pekerjaan , kesehatan lingkungan, dan kebiasaan cara makan dan minum. (Chandra B, 2006)

Pada jenis kelamin laki - laki kejadiannya lebih tinggi disebabkan karena meraka terlalu sibuk bekerja sehingga dapat menimbulkan stress, stress berperan terhadap kualitas seseorang. Apabila seseorangang mengalami stress, maka sel yang ada ditubuhnaya juga mengalami stres. Pada sel yang stress maka penampilan kelelehan dapat berupa nekrosis dan apoptosis.adanya nekrosis dan apoptosis


(36)

36 dialami oleh sel maka kekebalan tubuh akan menurun dan kerentanan individu terahadap infeksi meningkat. (Jawetz E dkk 2006)

4.3.1. Pengaruh Makanan dan Minuman terhadap Penyakit Tifoid

Masalah makanan mempunyai khas tersendiri, sering ditemukan penjaja makanan, baik yang menetap (warung) ataupun yang berkeliling kampong (gerobak makanan), disamping kebanyakan dari masyarakat Indonesia memang senang jajan. (Susanna D, 2000)

Penyakit tifoid titularkan secara fecal oral, dimana sangat berhubungan dengan tingkat kebersihan, kemungkinan laki – laki lebih banyak mendrita tifoid dikarenakan kebersihan laki - laki kurang dibandingkan dengan perempuan. Makanan dapat terkontaminasi mikroba karena beberapa hal :

 Mengelola makanan atau makan dengan tangan kotor  Memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan

 Menggunakan lap kotor untuk membersihkan meja, perabotan bersih dan lain – lainnya

 Dapur, alat masak dan makan kotor

 Maka n yang jatuh ketanah masih dimakan

 Makanan disimpan tanpa tutup sehingga serangga dan tikus dapat menjangkaunya

 Makanan matang dan mentah disimpan bersama – sama  Makanan dicuci denngan air kotor

 Makanan terkontaminasi kotoran akibat hewan yang berkeliaran disekitarnya


(37)

37  Sayuran dan buah ditanam ditanah yang terkontaminasi

 Memakan sayuran dan buah – buahan yang terkontaminasi  Pengolah makanan yang sakit atau carier penyakit

Pencegahan penyakit bawaan makanan :

 Pemilihan bahan baku yang sehat, tidak busuk dan warna yang segar  Penyimpanan bahan baku jangan sampai terkena serangga, tikus atau

jangan sampai membusuk

 Pengolahan makanan yang higienis serta prosesnya dapat mematikan penyebab penyakit, peraltan masak harus bersih

 Pengelola makanan bukan carier penyakit dan tidak sakit

 Penyajian makanan tidak terkena lalat , debu, dan udara kotor, peralatan makan yang higienis

 Penyaji makanan harus mendapat keterangan sehat

 Penyimpanan makanan matang jangan sampai terkontaminasi dan membusuk

4.3.2 Pengaruh penyedian air minum yang bersih terhadap penyakit tifoid

Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau. Air minum seharusnya tidak mengandung kuman patogen dan segala mahluk yang membahayakan kesehatan , tidak mengandung zat kimia yang dapat mengubah fungsi tubuh dan merugikan secara ekonomi. (Susanna D,2000)

peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat bermacam – macam diantarantya :


(38)

38  Air sebagai penyebar mikroba patogen

 Air sebagai sarang infeksi penyebar penyakit  Jumlah air bersih yang tersdia tidak mencukupi  Air sebagai sarang hospes sementara penyakit

Penyakit yang disebarkan oleh air secara langsung dinyatakan sebagai penyakit bawaan air atau water born disease. Penyakit ini hanya dapat menyebar, apabila mikroba penyebabnya dapat masuk kedalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Mikroba yang dapat menyebar lewat air sangat banyak macamnya diantaranya adalah bakteri salmonella thypi.

Untuk mencegah terjadinya penyakit bawaan air dilakukan pengelolaan air minum dan air buangan terpadu.

Air dapat berperan sebagai sarang insekta yang menyebarkan penyakit bagi masyrakat. Insekta disebut juga vektor penyakit.

Pengaruh vektor terhadap kesehatan dapat bermacam – macam, selain sebagai vektor secara langsung dapat menyebabkan entomophobia, gangguan ketenangan, dan dapat menjadi penyebab penyakit. Secara tidak langsung dapat menjadi reservoir agent penyakit , memusnahkan panen dan menjadi parasit pada tubuh manusia. (Susanna D,2000)

Tindakan untuk mencegah penyebaran vektor antara lain :

 Intensifikasi pemberantasan sarang seperti perbaikan saluran drainase, kebersihan saluran dan reservoir air , menghilangkan genangan, mencegah pembusukan sampah

 Mobilisasi masyrakat untuk berperan serta dalam pemberantasan dengan memelihara kebersihan lingkungan masing - masing


(39)

39  Melakukan penyemprotan insektisida terhadap vector dewasa didahului

dengan uji

4.3.3 Pengaruh Persampahan terhadap penyakit tifoid

Sampah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat Jenis sampah antara lain :

 Sampah yang dapat membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah kebun, pertanian dan lain – lainnya

 Sampah yang tidak dapat membusuk seperti kertas, plastic, karet, gelas, logam dan lainnya

 Sampah yang berupa debu atau abu

 Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan seperti sampah yang berasal dari industry yang mengandung zat kimia maupun zat fisis yang berbahaya Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi efek langsung dan tidak langsung . yang dimaksud efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan sampah tersebut. Misalnya sampah yang beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, dll.

Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. (Susanna D,2000)

Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vector yang berkembang biak di sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai sarang lalat dan tikus. Seperti yang kita ketahui bahwa lalat adalah vektor beberapa penyakit perut diantaranya adalah thifus abdominalis yang disebabkan oleh salmonella typhi . Teknik pembuangan sampah


(40)

40  Meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang sehingga tidak cepat

menjadi sampah

 Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku

 Meningkatkan bahan yang dapat terurai secara alamiah, misalnya pembungkus plastic diganti dengan pembungkus kertas.

4.3.4 Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap penyakit tifoid

seorang tokoh dunia kedokteran hipocrates (460 -377) adalah tokoh yang pertama berpendapat bahwa penyakit ada hubungannya dengan fenomena alam dan lingkungan. Dari segi ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi anatara manusia dan lingkungan hidupnya. (Susanna D,2000)

Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, sanitasi dan sebagainya.

Masalah kesehatan lingkungan muncul sebagai akibat adanya dua keadaan, yakni:

1. Faktor keditaktahuan penduduk

2. Terdapatnya faktor lingkungan yang jika ditinjau dari sudut kesehatan kurang menguntungkan.


(41)

41 Gambar 4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan

Sumber: Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI. Keempat faktor tersebut selain berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula (Susanna, 2000).

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 1979): Kematian dini (premature death) pada populasi AS dipengaruhi oleh:

1. Gaya hidup dan perilaku individu (50%) 2. Genetik (20%)

3. Faktor lingkungan dan sosial (20%)

4. Akses ke pelayanan kesehatan inadekuat (10%)

Syarat-syarat lingkungan yang sehat dilihat dari berbagai factor A. Perumahan

Faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu rumah

Keturunan

Pelayanan kesehatankes ehatan

Prilaku

Lingkungan :

 fisik  Social

ekonomi  Budaya

Status kesehatan


(42)

42 1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan

social.

2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat 3. Tekhnologi yang dimiliki masyarakat

4. Kebijaksanaan pemerintah yang menyangkut tata guna tanah B. Penyediaan air bersih

Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Didalam tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum (termasuk untuk masak). Oleh karena itu, untuk keperluan minum air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.

Syarat-syarat air minum yang sehat: a. Syarat fisik

Bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah suhu udara di luarnya.

b. Syarat bekteriologis

Harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri pathogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri pathogen, adalh dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Dan bila dalam pemeriksaan 100cc air tersdapat kurang dari 4 bakteri E.Coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.


(43)

43 c. Syarat kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat kimia yang terdapat dalam air yang ideal antara lain sebagai berikut:

Tabel 4.4. Bahan-bahan yang Terkandung Dalam Air

Jenis bahan Kadar yang dibenarkan (mg/liter)

Fluor (F) 1-1,5 Chlor (Cl) 250 Arsen (As) 0,05 Tembaga

(Cu)

1,0

Besi (Fe) 0,3 Zat organik 10 Ph

(keasaman)

6,5-9,0

CO2 0


(44)

44 C. Pembuangan Kotoran Manusia

Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan.

Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sesuai dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Sedangkan kotoran manusia merupakan sumber penyebaran penyakit. 4.4 Keterbatasan Penelitian

Selama melakukan penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dihadapi peneliti. Dan keterbatasan tersebut diantaranya adalah :

1. Penghitungan sampel dilakukan dengan cara, mengencek dan menghitung buku kunjungan pasien di Poli Anak, Poli Umum, Poli Mahasiswa, dan Poli Interna. Selain cara tersebut, pencarian dapat dilakukan melakukan melalui pencarian di komputer yang datanya berasal dari data tiap status pasien yang berobat ke rumah sakit. Peneliti hanya melakukan cara pertama, sehingga data kemungkinan masih kurang.

2. Beberapa faktor yang berpengaruh pada penelitian ini, tidak diteliti secara benar. Faktor-faktor tersebut berupa pola makan mahasiswa dan masryarakat di daerah wilayah rumah sakit dan aktifitas yang dilakukan pada bulan juli, serta status kebersihan warung makan di sekitar kampus.


(45)

45 BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

 Pada penelitian ini didapatkan 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan 110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang menderita tifoid.

 Berdasarkan data yang diambil di Bagian Rekam Medik Syarif Hidayatullah, pada bulan Juli 2008 hingga bulan Juli 2009. Pasien rawat jalan demam tifoid paling banyak pada bulan Juli 2009, sebanyak 138 pasien.

 Pada penelitian ini diperoleh kesan, bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah factor seseorang terjangkitnya demam typoid, factor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid antara lain adalah kesehatan lingkungan, penyedian air minum yang bersih dan pembuangan sampah yang teratur dan juga kebiasaan dan cara makan .

5.2 Saran

1. Karena faktor kebersihan makanan dan minuman, pembuangan sampah, kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid, maka disarankan perlu adanya penyuluhan terhadap masyrakat tentang demam tifoid dan faktor yang mempengaruhinya.


(46)

46 2. Menjelaskan pada masyrakat agar memperhatikan kebersihan makanan

dan minuman, pembuangan sampah dan lingkungan tempat tinggalnya. 3. Mengantisipasi kontaminasi makanan dan minuman dari air yang tercemar

Salmonella typhi dengan pencucian alat-alat masak, alat makan dan minum dengan baik kemudian memasak makanan dan minuman pada suhu diatas 60ºC.

4. Perlu adanya komitmen petugas kesehatan , untuk menjadikan masalah demam tifoid sebagai salah satu masalah prioritas yang harus di tanggulangi.

5. Menhindari kontaminasi sumber air bersih melalui pencemaran dari tinja dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembuangan tinja yang memenuhi persyaratan sanitasi.

6. Mengingat bahwa demam tifoid merupakan penyakit endemik sehingga dalam menentukan upaya penanggulangan masalah demam tifoid yang lebih efektif sesuai dengan faktor penyebabnya


(47)

47 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1986. The Widal slide agglutination tes, a valuable rapid diagnostic tes in typhoid fever patients at the infectious disease hospital of Jakarta. Am J of Epidemiology, 123; 869-79

Baron EJ, Peterson R, FinegoId SM, 1994.

Enterobactericeae.In:BaileyandScott’sDiagnostic Microbiology.

Ditjen Yanmedik, Depkes RI.

Fuad Amsyari.1986. Masalah pencemaran lingkungan.cet 3. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Gasem MH, Dolmans WMV, Keuter M, Djokomoeljanto R. Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia. vol 6. Tropical Medicine and International Health, p. 484-490.

Gladwin M, Trattler B. 1999. The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Miami: Med Master Inc, p.54฀-61.

Handojo I. 1982. Kuliah serologi klinik FK Unair. Surabaya: Laboratorium Patologi Kiinik RSUD Dr. Soetomo, p. 29-37


(48)

48

http://www.tangerangselatankota.go.id/compilation_geografis.php. 2008.

Jawetz E, Melnick J, Adelverg E.1996. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20. Jakarta:EGC, p. 244-245

Juwono R. Demam tifoid. 1996. Dalam: Penyakit DaIam I. Ed ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, p. 435-฀ 42.

Koneman EW, Allen SD, Janda WM. 1992. Color Atlas and Text book of Diagnostic Microbiology. 5th ed. Philladelphia: Lippincott Company, p. 12฀ 8.

Loho T, Sutanto, Silman E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, p. 22-42

Lubis B. 1990. Demam tifoid makna pemeriksaan laboratorium dan pencegahan. Medika, p.366฀ .

Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, p. 121-24.

National Center for Infectious Diseases. 2004. Typhoid fever-Health Information for International Travel.


(49)

49 Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu kesehatan masyarkat prinsip-prinsip dasar.cet 2. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pang T, Levine MM, Ivanoff B. 1997. In The Third Asia Pacific Symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Bali: Indonesia, p. 119฀-21.

Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.

Senewiratne B, Chir B, Senewiratno K.. 1977. Reassesment of the Widal test in the diagnosis of typhoid. Gastroenterology, p. 23-3฀ 6.

Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH dkk. 1987. Epidemiologi demam tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran, 45: 16-18.

Soewondo ES. 2002. Demam tifoid deteksi dini dan tatalaksana. Makalah lengkap: Seminar Kewaspadaan terhadap demam pada penyakit typhus Abdominalis, DBD dan Malaria Serta Penggunaan Tes Diagnostik Laboratorium untuk Deteksi Dini. Surabaya:Tropical Diseases Centre UNAIR.

Sudigdo S. 2002. dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, p. 311-21.


(50)

50 Theodore Curtis, MD. 2006. Typhoid Fever.eMedicine Clinical Reference.

Widodo D, Hasan I. 1999. Perkembangan diagnosis laboratorium demam tifoid. Majalah Kedokteran Indonesia. 49:25-62.


(51)

(1)

46 2. Menjelaskan pada masyrakat agar memperhatikan kebersihan makanan

dan minuman, pembuangan sampah dan lingkungan tempat tinggalnya. 3. Mengantisipasi kontaminasi makanan dan minuman dari air yang tercemar

Salmonella typhi dengan pencucian alat-alat masak, alat makan dan minum dengan baik kemudian memasak makanan dan minuman pada suhu diatas 60ºC.

4. Perlu adanya komitmen petugas kesehatan , untuk menjadikan masalah demam tifoid sebagai salah satu masalah prioritas yang harus di tanggulangi.

5. Menhindari kontaminasi sumber air bersih melalui pencemaran dari tinja dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembuangan tinja yang memenuhi persyaratan sanitasi.

6. Mengingat bahwa demam tifoid merupakan penyakit endemik sehingga dalam menentukan upaya penanggulangan masalah demam tifoid yang lebih efektif sesuai dengan faktor penyebabnya


(2)

47 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1986. The Widal slide agglutination tes, a valuable rapid diagnostic tes in typhoid fever patients at the infectious disease hospital of Jakarta. Am J of Epidemiology, 123; 869-79

Baron EJ, Peterson R, FinegoId SM, 1994.

Enterobactericeae.In:BaileyandScott’sDiagnostic Microbiology.

Ditjen Yanmedik, Depkes RI.

Fuad Amsyari.1986. Masalah pencemaran lingkungan.cet 3. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Gasem MH, Dolmans WMV, Keuter M, Djokomoeljanto R. Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia. vol 6. Tropical Medicine and International Health, p. 484-490.

Gladwin M, Trattler B. 1999. The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Miami: Med Master Inc, p.54฀-61.

Handojo I. 1982. Kuliah serologi klinik FK Unair. Surabaya: Laboratorium Patologi Kiinik RSUD Dr. Soetomo, p. 29-37


(3)

48 http://www.tangerangselatankota.go.id/compilation_geografis.php. 2008.

Jawetz E, Melnick J, Adelverg E.1996. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20. Jakarta:EGC, p. 244-245

Juwono R. Demam tifoid. 1996. Dalam: Penyakit DaIam I. Ed ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, p. 435-฀ 42.

Koneman EW, Allen SD, Janda WM. 1992. Color Atlas and Text book of Diagnostic Microbiology. 5th ed. Philladelphia: Lippincott Company, p. 12฀ 8.

Loho T, Sutanto, Silman E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, p. 22-42

Lubis B. 1990. Demam tifoid makna pemeriksaan laboratorium dan pencegahan. Medika, p.366฀ .

Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, p. 121-24.

National Center for Infectious Diseases. 2004. Typhoid fever-Health Information for International Travel.


(4)

49 Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu kesehatan masyarkat prinsip-prinsip dasar.cet 2. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pang T, Levine MM, Ivanoff B. 1997. In The Third Asia Pacific Symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Bali: Indonesia, p. 119฀-21.

Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.

Senewiratne B, Chir B, Senewiratno K.. 1977. Reassesment of the Widal test in the diagnosis of typhoid. Gastroenterology, p. 23-3฀ 6.

Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH dkk. 1987. Epidemiologi demam tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran, 45: 16-18.

Soewondo ES. 2002. Demam tifoid deteksi dini dan tatalaksana. Makalah lengkap: Seminar Kewaspadaan terhadap demam pada penyakit typhus Abdominalis, DBD dan Malaria Serta Penggunaan Tes Diagnostik Laboratorium untuk Deteksi Dini. Surabaya:Tropical Diseases Centre UNAIR.

Sudigdo S. 2002. dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, p. 311-21.


(5)

50 Theodore Curtis, MD. 2006. Typhoid Fever.eMedicine Clinical Reference.

Widodo D, Hasan I. 1999. Perkembangan diagnosis laboratorium demam tifoid. Majalah Kedokteran Indonesia. 49:25-62.


(6)