Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

BAB II PERMASALAHAN

A. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

Pada Bab I telah dijelaskan bahwa sikap afektif erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Menurut pendapat saya, pendidikan nilai dan sikap ini penting diterapkan pada siswa sekolah dasar, untuk pondasi kelak mereka dewasa nanti dalam bertindak, bersosialisasi, dan hidup bermasyarakat. Masalah yang terjadi di Indonesia saat ini ialah banyaknya produk manusia-manusia yang cerdas secara intelektual namun mereka tidak berkarakter dan tidak memiliki moral yang baik, mereka kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, menghormati oranglain, menjaga perasaan oranglain, rukun dalam bermasyarakat, sulitnya bersatu dalam perbedaan, dsb. Banyak faktor yang melatarbelakangi hilangnya sikap-sikap positif dalam diri bangsa Indonesia. Salah satu factor yang melatarbelakangi rusaknya moral bangsa Indonesia ialah pendidikan di Indonesia yang hanya menekankan kecerdasan kognitif tanpa memperhatikan unsur-unsur lainnya. Selain itu, pendidikan di negri ini hanya menekankan hasil yang dicapai dari sebuah pembelajaran sedangkan proses untuk mengkonstruksi ilmu itu sendiri sering terlupakan. Pembelajaran di sekolah masih menempatkan guru sebagai pemberi materi dan siswa dianggap sebagai wadah yang harus diisi dengan ilmu sehingga banyak siswa yang tahu dan hafal dengan materi pelajaran tetapi mereka tidak mampu mengimplementasikan pengetahuannya tersebut untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari- harinya. Sebagai contoh sederhana, siswa tahu tentang perbedaan individu tetapi perilaku kesehariannya tidak mencerminkan hidup rukun didalam perbedaan. Mereka menganggap sukunya lah yang terbaik, ajarannya lah yang terbenar, warna kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam. Menurut pengamatan saya, proses belajar yang diperoleh siswa lebih banyak pada “belajar tentang” learning about thing daripada “belajar menjadi” learning how to be. Siswa belajar tentang perbedaan individu tetapi siswa tidak belajar bagaimana bersatu dalam perbedaan yang ada. Bisa disimpulkan, nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, dsb. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba dan tidak ada sebuah tolok ukur yang baku untuk mengukur pandangan itu semua. Oleh karena itu nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, benar dan salah, indah dan buruk, dsb, sehingga standar itu yang akan mewarnai seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan sehingga siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu menurut Douglas Graham Gulo, 2002, yaitu: 1. Normativist ialah kepatuhan pada norma-norma hukum. 2. Integralist ialah kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. 3. Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi. 4. Hedonist : Kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri. Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual tentu saja yang kita harapkan ialah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan seperti ini merupakan jenis kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai tanpa memperdulikan apakah perilaku itu akan menguntungkannya atau tidak. Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak sekolah dasar merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era globalisasi ini anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Karena nilai ini bersifat relatif, setiap masyarakat memiliki suatu sudut pandang yang berbeda terhadap nilai-nilai yang dianutnya, tidak ada suatu standar baku yang mematenkan suatu kebenaran, keindahan, dsb tentang sebuah nilai sikap. Nilai yang dianut setiap bangsa akan berbeda dengan bangsa lainnya. Seperti di Indonesia, budaya Timurlah yang dianutnya. Tentu persepsi sebuah nilai akan berbeda dengan budaya Barat. Bagi bangsa Indonesia, berciuman di tempat umum merupakan hal yang taboo namun bagi bangsa Barat hal tersebut merupakan peristiwa yang wajar. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara buka-bukaan. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan digantikan oleh nilai- nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat. Nilai bagi seseorang tidaklah statis akan tetapi selalu berubah, setiap orang akan selalu menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama tersebut. Dengan demikian sikap seseorang sangat bergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek, misalnya jika seseorang berhadapan dengan sesuatu objek, dia akan menunjukan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Goul 2005 menyimpulkan tentang nilai tersebut : 1. Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya. 2. Pengembangan dominant efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik. 3. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang, sehingga bisa dibina. 4. Perkembangan nilai atau moral tidak akan terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu. Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan action, lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif Winkel, 2004. Pernyataan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu objek yang dihadapinya, akan dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya aspek kognitif terhadap objek tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran kognitif terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya psikomotoriknya turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan. Misalnya, siswa dapat memberikan penjelasan dari berbagai sudut bahwa mencuri itu tidak baik dan dilarang oleh norma apapun aspek kognitif . Berdasarkan pengetahuannya itu ia tidak suka melakukannya aspek afektif; akan tetapi sikap negatif terhadap perbuatan mencuri baru bisa kita lihat dari tindakan nyata walaupun ada kesempatan untuk mencuri ia tidak melakukannya. Dan, penilaian terhadap sikap negatif dari mencuri itu lebih meyakinkan bahwa perbuatan mencuri memang tidak pernah ia lakukan walaupun banyak kesempatan untuk melakukannya.

B. Proses Pembentukkan Sikap I. Pola Pembiasaan