Victim Offender Mediation VOM Family Group Conferencing FGC

18 Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku tersangka bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. 26 Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu: 1. Victim Offender Mediation VOM 2. ConferencingFamily Group Conferencing 3. Circles 4. Restorative BoardYouth Panels

1. Victim Offender Mediation VOM

Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia. 26 Marlina, Op. Cit, h. 180. 19 Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius. 27 Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi. Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban secara sukarela, pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak, dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang dilatih khusus. Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat. Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya. Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya 27 Marlina, Op. Cit, h. 181. 20 dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.

2. Family Group Conferencing FGC

Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu bangsa Maori. Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku utama. 28 Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan 28 Marlina, Op. Cit, h. 188. 21 dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban. Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.

3. Circles

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB I

2 8 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB II

0 1 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB I

0 1 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB II

0 0 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan Perkara Koneksitas dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 10

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Motif Tindak Pidana Pembunuhan dalam Penjatuhan Pidana pada Proses Pembuktian dan Pertimbangan Putusan Hakim T2 BAB II

0 0 57

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Polrestabes Semarang - IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTABES SEMARANG) - Unika Repository

0 0 30