T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Motif Tindak Pidana Pembunuhan dalam Penjatuhan Pidana pada Proses Pembuktian dan Pertimbangan Putusan Hakim T2 BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

1. Pengertian Tindak Pidana

  Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidanasarjana hukum belum memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan mengenai Strafbaar feit. Strafbaar feit merupakan istilah bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan berbagai arti di antaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat di pidana.

  Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,

  pelanggaran dan perbuatan. 1 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang

  Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni

  kata delictum 2 . Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (Strafbaar feit)

  memuat beberapa unsur yakni:

  1 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002,

  hlm. 69.

  2 Ibid hlm. 47.

  a. Suatu perbuatan manusia;

  b. Perbuatan itu di larang dan di ancam dengan hukuman oleh undang-undang;

  c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggung- jawabkan. 3

  Moeljatno memberikan definisi perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang di larang dalam undang-undang dan di ancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu”. 4

  Simons berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

  dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab, 5

  sedangkan menurut Van Hamel, Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan

  dilakukan dengan kesalahan. 6 Moeljatno menyimpulkan bahwa feit dalam Strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah

  laku dan pengertian Strafbaar feit jika dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana, akan tetapi harus adanya kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis yaitu tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen

  straf zonder schuld, ohne Schuld keine Strafe). 7

  3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, 2011, Jakarta,

  hlm. 48.

  4 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Dalam Hukum Pidana,1955, pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis Ke IV

  Universitas Gadjah Mada, di Stitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1955, hlm.17.

  5 Ibid hlm. 61. 6 Ibid hlm. 61. 7 Ibid hlm. 63.

  Dalam buku Hukum Pidana Indonesia, P. A. F. Lamintang, berpendapat bahwa Strafbaar feit atau perbuatan yang dapat di hukum adalah suatu “pelanggaran norma” atau Normovertreding (gangguan terhadap tertib-hukum), yang dapat dipersalahkan kepada pelanggar, sehingga perlu adanya penghukuman demi terpeliharanya tertib-hukum dan dijaminnya

  kepentingan umum 8 . Normovertreding dimaksudkan suatu sikap

  atau perilaku atau Gendraging, yang dilihat dari penampilannya dari luar adalah bertentangan dengan hukum, sehingga melanggar hukum dan antara sikap dan perilaku itu terdapat suatu hubungan yang demikian rupa dengan si pelanggar, sehingga ia dapat dipersalahkan karena pelanggaran hukum

  tersebut, atau dengan perkataan lain ia telah bersalah karenanya. 9 Sedangkan Bambang Poernomo berpendapat bahwa

  perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana di larang dan di ancam dengan pidana bagi barang siapa yang

  melanggar larangan tersebut.” 10

  Pada tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam KUHP. Pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP memiliki unsur-unsur yang terkandung dari sebuah tindak pidana sehingga seseorang yang telah melanggar dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di dalam perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal tersebut yaitu kelakuan dan akibat. 11

  8 P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,

  1983, hlm. 5.

  9 Ibid hlm. 5.

  10 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,

  Jakarta, 1992, hlm. 130.

  11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015,

  hlm. 64-69.

  Belum adanya kesatuan pendapat para ahli pidana dalam merumuskan pengertian tindak pidana di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan pidato Prof. Moeljatno pada Tahun 1955 yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana”. Dalam pidato tersebut, Prof. Moeljatno membedakan “dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit” atau “het verboden zijr in het feit”), dengan “Dapat dipidananya orang”

  (“strafbaarheid van de person”). 12 Dengan demikian maka

  dipisahkan “Perbuatan pidana” (Criminal Act Actus Reus) dan “Pertanggungjawaban pidana” (Criminal Liability Mens Rea).

  Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan manusia, memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil), dan bersifat melawan hukum (syarat materiil). Berkaitan dengan isi perbuatan pidana, ada dua pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Aliran Monistis yaitu suatu pandangan yang menyatukan antara unsur perbuatan pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana. Pada aliran monistis ketika melihat apakah orang yang dapat melakukan perbuatan pidana perlu di lihat apakah orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau

  12 M. Haryanto, Bahan Ajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, slide hlm. 61.

  tidak. Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka tidak dapat di pidana. Dalam hal ini, aliran monistis melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu yang mana merupakan sifat dari perbuatan.

  Dalam hal ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian perbuatantindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang di larang (tindakan pidana) dan

  Berbeda dengan aliran monistis, aliran dualistis adalah pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini Moeljatno memisahkan antara unsur perbuatan pidana dan unsur pertanggung jawaban pidana. Di dalam perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal tersebut akan memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Hal-hal tersebut adalah:

  a. Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya:

  b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal;

  c. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur- unsur yang memberatkan pidana; c. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur- unsur yang memberatkan pidana;

  e. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. 13

  Jika menjelaskan apa yang telah dikemukakan di atas, maka kejadian alam lahir (dunia) dimaksudkan bahwa terjadinya tindak pidanaperbuatan pidana. Dalam hal ini Prof. Moeljatno adalah salah satu penganut pandangan dualistis.

  Menurut pandangan dualistis dalam memisahkan antara unsur tindak pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana, pada pandangan dualistis dalam terjadinya tindak pidana tidak hanya cukup dengan adanya perbuatan pidana akan tetapi harus adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

  tersebut. 14

  Moeljatno menjelaskan bahwa kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula

  13 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 64-69.

  14 Ibid., hlm. 59.

  adanya kelakuan atau tindakan yang menghasilkan akibat. Akan tetapi, tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada waktu yang sama, demikian pula tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada tempat yang sama. Kemudian, hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal ini di bagi menjadi dua bagian yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur- unsur yang memberatkan pidana, contoh konkret elemen ini adalah ketentuan Pasal 351 KUHP yang berbunyi:

  a. Penganiayaan di ancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah di ancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

  c. Jika mengakibatkan mati, di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 15

  15 Eddy O. S. Hiariej, Op., Cit,. hlm. 127.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

  Hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu perbuatan yang dapat di pidana (Verbrechencrime atau perbuatan jahat) dan pidana. Perbuatan pidana harus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

  a) Dalam arti kriminologi: disebut juga sebagai perbuatan jahat, sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat, ialah perbuatan manusia yang memperkosamenyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto.

  b) Dalam arti hukum pidana: ialah perbuatan pidana dalam wujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. 16

  Dalam tindak pidana terdapat dua unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur- unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana atau yang berhubungan dengan diri pelaku serta termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan- keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus

  dilakukan. 17 Sedangkan dalam pertanggungjawaban pidana terdapat dua unsur yaitu adanya kesalahan (kesengajaankealpaan) dan

  16 M. Haryanto, Op., Cit,. hlm. 60. 17 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesai. PT. Citra

  Aditya Bakti, . Bandung, 1997, hlm. 193.

  kemampuan bertanggungjawab. Definisi kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid)

  perbuatan yang melawan hukum. 18

  Menurut M. Haryanto, Kesalahan adalah kebebasan kehendak manusia, di mana akan berkaitan dengan dua teori yaitu determinisme (manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak, sehingga mengakui adanya kesalahan) dan indeterminisme (manusia mempunyai kebebasan kehendak,

  sehingga mengakui adanya kesalahan). 19 Kesalahan di bagi menjadi dua yaitu kesalahan dalam arti umum dan kesalahan

  dalam arti juridis. Kesalahan dalam arti umum yaitu tentang sesuatu hal yang tidak benar seperti contoh matahari terbit dari barat, seharusnya yang benar adalah matahari terbit dari timur. Sedangkan kesalahan dalam arti juridis menerangkan keadaan psikhe seseorang yang melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggung- jawabkan kepadanya, kemudian menerangkan bentuk kesalahan dalam

  18 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 158.

  19 M. Haryanto (2017), Op., Cit., hlm. 71.

  Undang-Undang yang berupa Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (Culpa). 20

  Menurut Memorie van Toelichting, Kesengajaan adalah perbuatan yang dikehendaki dan diketahui. Ada dua (2) teori kesengajaan yaitu:

  1) Wills Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang dikehendaki pada waktu berbuat).

  2) Voorstelling Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui serta apa yang akan terjadi pada waktu akan berbuat. 21

  Kemudian dalam kesengajaan dari kesadaran terdiri dari dua (2) yaitu kesengajaan berwarna, artinya dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran tentang sifat melawan hukumnya perbuatan, dan kesengajaan tidak berwarna artinya dalam kesengajaan cukup apabila yang berbuat menghendaki perbuatannya. 22

  Tiga (3) corak kesengajaan yaitu:

  a) Kesengajaan sebagai maksud, yaitu dalam hal ini kesengajaaan ditujukan langsung pada maksud yang dikehendaki pelaku;

  b) Kesengajaan sebagai keharusan, yaitu kesengajaan ditujukan pada maksud tertentu, tetapi untuk mencapai

  20 Ibid hlm. 72-73. 21 Ibid hlm. 72-74. 22 Ibid hlm. 75-76.

  maksud tertentu harus timbul akibat lain yang tidak menjadi maksud si pelaku;

  c) Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu kesengajaan yang ditujukan pada maksud tertentu, tatapi pelaku telah berpikir bahwa jika maksud itu terwujud ataupun tidak terwujud ada kemungkinan akibat lain yang akan

  terjadi. 23 Kemudian, Kealpaan menurut Memorie van Toelichting dalam kealpaan pada diri pelaku terdapat: Kekurangan

  pemikiran yang diperlukan; Kekurangan pengetahuan yang diperlukan; Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan. 24

  Dalam kealpaan, ada dua (2) syarat untuk adanya kealpaan yaitu: tidak adanya penghati-hati dan tidak adanya penduga-duga. Ada dua (2) macam kealpaan yaitu kealpaan yang di sadari (apabila pembuat menyadari tentang apa yang diperbuat beserta akibatnya, tetapi ia berpikir akibat itu tidak akan timbul) dan kealpaan yang tidak disadari yaitu pembuat tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya akibat, padahal seharusnya pelaku dapat menduga sebelumnya. 25

  Menurut Prof. Edward O. S. Hiariej, definisi pertanggung- jawaban seperti yang telah diutarakan oleh van Hamel telah memberi ukuran mengenai kemampuan

  23 Ibid hlm. 73-76. 24 Ibid hlm. 76-77. 25 Ibid hlm. 77.

  bertanggungjawab yang meliputi tiga hal: pertama, mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatan; kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat. 26

  Pertanggungjawaban pidana atau liability sangat lekat

  dengan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena tanpa adanya tindak

  pertanggungjawaban pidana sehingga adanya sanksi bagi yang memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal menentukan seseorang bersalah atau tidak, maka akan dilihat adanya kesalahan serta adanya perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau sering disebut bersifat melawan hukum. Jikalau suatu tindak pidana telah memenuhi rumusan delik di dalam undang-undang hal itu harus di lihat bahwa seseorang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dalam hukum pidana di kenal asas geen straf zonder schuld yang artinya tidak dapat di pidana tanpa ada kesalahan.

  26 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, hlm 163.

  Memperhatikan uraian di atas, maka dalam tindak pidana terdapat dua unsur tindak pidana yaitu unsur obyektif dan unsur subyektif, yang oleh P. A. F. Lamintang dijelaskan sebagai berikut:

  Unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, sedangkan unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si

  pelaku itu harus dilakukan. 27 Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

  1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

  2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

  3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

  4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

  5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

  Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu

  adalah:

  1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

  2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”

  di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

  27 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cetakan ke-V, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013. hlm. 193.

  3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 28

  Sifat melawan hukum selalu dianggap sebagai syarat di dalam setiap rumusan delik walaupun unsur tersebut oleh perumus undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.

3. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa

  Orang lain

  Menghilangkan nyawa orang lain artinya orang yang melakukan perbuatan, baik sengaja ataupun direncanakan, baik sadar maupun tidak sadar, telah menyebabkan orang lain kehilangan nyawa (meninggal dunia). Pada dasarnya, unsur menghilangkan nyawa di atur dalam Pasal 338, 339 dan 340 KUHP. Akan tetapi pada Pasal 340 KUHP adalah pasal kekhususan di mana harus adanya unsur perencanaan terlebih dahulu. Sehingga unsur- unsur pokok dalam pasal 338, 339 dan 340 KUHP (barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) adalah sama terkecuali dalam Pasal 339 adanya unsur tujuan lain sedangkan pada Pasal 340 KUHP karena adanya unsur perencanaan terlebih dahulu dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

  28 Ibid. Hlm. 193.

  Tindak pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok yaitu tindak pidana yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur- unsurnya. Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam hal pembunuhan biasa, dimana pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP itu dilakukan pada waktu dan niat yang timbul bersamaan, akan tetapi dalam pembunuhan berencana timbulnya niat setelah itu mengatur rencana cara untuk menghilangkan nyawa seseorang kemudian melaksanakan niat dan rencana untuk menghilangkan nyawa seseorang.

  Dalam perbuatan pembunuhan yang mengacu pada Pasal 338 KUHP harus adanya perbuatan, perbuatan itu berupa menghilangkan nyawa seseorang serta adanya hubungan sebab akibat (Causal verband) perbuatan serta akibat perbuatan tersebut (kematian seseorang). Dalam pembunuhan biasa pada Pasal 338 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, pada Pasal ini terdapat dua Dalam perbuatan pembunuhan yang mengacu pada Pasal 338 KUHP harus adanya perbuatan, perbuatan itu berupa menghilangkan nyawa seseorang serta adanya hubungan sebab akibat (Causal verband) perbuatan serta akibat perbuatan tersebut (kematian seseorang). Dalam pembunuhan biasa pada Pasal 338 KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, pada Pasal ini terdapat dua

  a) Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja.

  Dolus yang berarti dengan sengaja yaitu bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzetdolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, dalam rumusan unsur Pasal 338 KUHP yaitu unsur objektif dalam Pasal 338 adalah perbuatan menghilangkan nyawa serta obyeknya adalah nyawa orang lain, sedangkan unsur subjektif dalam Pasal 338 adalah dengan sengaja (si pelaku mengetahui dan memiliki kehendak menghilangkan nyawa orang lain).

  b) Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain.

  Pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi: “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”, pada Pasal ini memiliki unsur obyektif dan subyektif yaitu: Pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi: “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”, pada Pasal ini memiliki unsur obyektif dan subyektif yaitu:

  b) Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja dan dengan maksud, telah menyiapkan atau memudahkan dalam melakukan tindak pidana yang akan atau sedang dilakukan, untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau orang lain dalam tindak pidana yang dilakukan dan untuk dapat menjamin dapat dikuasainya benda yang diperoleh dengan cara melawan hukum, saat seorang pelaku melakukan tindak pidana.

  Kemudian dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”, dalam Pasal ini terdapat dua unsur yaitu:

  (1) Unsur Subyektif adalah dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu, serta;

  (2) Unsur Obyektif adalah adanya perbuatan menghilangkan nyawa, dalam hal ini tindakan menghilangkan nyawa orang lain di mana obyeknya ada nyawa orang lain.

  Pada Pasal 340 KUHP adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte rade). Pada Pasal 340 KUHP berbunyi: “Barangsiapa yang sengaja dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

  Dalam hal pembunuhan berencana, terdapat dalam Pasal 340 KUHP, dalam Pasal 340 KUHP adalah keharusan dimana seseorang dalam melakukan tindak pidana (menghilangkan nyawa) harus memiliki rencana terlebih dahulu (dalam melakukan tindak pidana perbunuhan seseorang telah memiliki rencana sebelum membunuh seseorang terlepas dari apa tujuan seseorang tersebut membunuh. Dalam pembunuhan berencana benar-benar telah direncanakan dengan matangbaik oleh pembunuh dalam suatu keadaan dimana mengambil keputusan Dalam hal pembunuhan berencana, terdapat dalam Pasal 340 KUHP, dalam Pasal 340 KUHP adalah keharusan dimana seseorang dalam melakukan tindak pidana (menghilangkan nyawa) harus memiliki rencana terlebih dahulu (dalam melakukan tindak pidana perbunuhan seseorang telah memiliki rencana sebelum membunuh seseorang terlepas dari apa tujuan seseorang tersebut membunuh. Dalam pembunuhan berencana benar-benar telah direncanakan dengan matangbaik oleh pembunuh dalam suatu keadaan dimana mengambil keputusan

  Berdasarkan Bahasa Belanda “moord” atau pembunuhan berencana adalah perbuatan yang sengaja menghilangkan nyawa orang lain akan tetapi perbuatan tersebut telah direncanakan terlebih dahulu. 29 Direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte

  rade) sama halnya dengan adanya maksud serta dilakukannya maksud tersebut sehingga menyebabkan meninggalnya orang lain serta si pembunuh dengan tenang dan telah memikirkan terlebih dahulu cara-cara dalam menghilangkan nyawa orang lain tersebut.

  Kemudian dalam hal pembunuhan berencana, di dalam diri pelaku pembunuhan, si pelaku telah berpikir serta berencana dalam menghilangkan nyawa seseorang, sehingga dalam hal ini pembunuhan berencana telah direncanakan terlebih dahulu dengan berpikir secara tenang dan terstruktur oleh si pelaku pembunuhan. Berbeda halnya dengan pembunuhan biasa, dalam hal si pelaku mengambil keputusan untuk menghilangkan nyawa seseorang serta pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan.

  29 Ibid Hlm. 141.

  Dengan demikian, pembunuhan berencana yang dilakukan oleh terdakwa adalah dengan direncanakan terlebih dahulu, seperti telah memiliki cara-cara dalam menghabisi nyawa orang atau dengan cara mencari bantuan orang lainbekerja sama dalam menghilang nyawa orang lain. Hal tersebut dilakukan sebelum melaksanakan niat jahat yang telah dipikirkan terlebih dahulu. Dalam hal pembunuhan berencana, jika salah satu unsur di atas telah terpenuhi, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana pembunuhan berencana setelah adanya bukti-bukti dan saksi.

  KUHP memberikan pengertian serta hukuman yang berbeda pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP ) dan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Hal ini karena dalam pembunuhan berencana kejahatan dan niatnya untuk melakukan pidana menjadi hal yang memberatkan si pelaku. Memberatkan si pelaku karena telah memiliki niat dan rencana dalam membunuh seseorang. Pembunuhan berencana jika dikaitkan dengan penegak hukum maka bagi penegak hukum dalam hal menentukan apakah ada rencana atau tidak dalam pembunuhan tersebut maka harus di lihat dari niat si pelaku.

  Pada dasarnya dalam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP sama, akan tetapi yang membedakan adalah dalam Pasal 340 KUHP harus adanya unsur perencanaan, dimana si pelaku harus lebih dulu memiliki rencana dalam melakukan tindak pidana (pembunuhan). Dalam Pasal 338 KUHP di atur mengenai pembunuhan akan tetapi dalam Pasal 340 KUHP adanya kekhususan karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Di lihat dari unsur obyektif dan subyektif dalam Pasal 338 dan 340 KUHP pun sama, yang membedakan hanyalah unsur adanya perencanaan pada Pasal 340 KUHP.

  Berbeda halnya dalam Pasal 338 KUHP, seseorang dapat membunuh walaupun tidak memiliki niat atau rencana terlebih dahulu, seperti contohnya seseorang yang melindungi diri dari orang yang ingin mencelakainya ataupun contoh lain adalah seseorang yang berkendara dan mengalami kecelakaan sehingga temannya meninggal dunia.

4. Motif Dalam Tindak Pidana

  Dalam lingkungan masyarakat, kita banyak mendengarkan berita melalui surat kabar maupun televisi bahwa selalu dikatakan motif dari suatu perbuatan pidana akan dibuktikan. Hal ini membuat masyarakat berpikir akan hal yang menyebabkan seseorang melakukan pembunuhan. Salah satu hal yang sering dikatakan oleh masyarakat pada umumnya adalah menanyakan motif seseorang melakukan pembunuhan atau motif pelaku dalam melakukan tindak pidana. Apapun bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka yang akan ditanyakan oleh masyarakat yang tidak mengetahui hukum adalah menanyakan motif seseorang melakukan tindak pidana serta melihat motif apa di balik seseorang melakukan tindak pidana. Berangkat dari hal tersebut maka Penulis akan menjelaskan mengenai motif dalam tindak pidana.

  Pengertian motif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: motifmo·tif alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu. Merujuk pengertian motif di dalam Black’s Law Dictionary yaitu: Motive. Cause or reason that moves the will and introduces action. An idea, belief or emotion that impels or incites one to act Pengertian motif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: motifmo·tif alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu. Merujuk pengertian motif di dalam Black’s Law Dictionary yaitu: Motive. Cause or reason that moves the will and introduces action. An idea, belief or emotion that impels or incites one to act

  tindakan. Sebuah ide, kepercayaan atau emosi yang mendorong atau menghasut pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan keadaan atau emosi).

  Menurut Eldar Laist, motif adalah alasan atau kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana. Atau dengan kata lain, motif adalah alasan yang melatarbelakangi tindakan (reason for action). 31 Dengan pengertian seperti ini,

  motif bisa bertumpang tindih dengan kesengajaan. Hal ini digambarkan oleh Glanville Williams sebagai berikut: dalam tindak pidana pencurian, pelaku memiliki kesengajaan untuk masuk ke dalam rumah dengan maksud mengambil barang milik orang lain dengan sengaja pula. Di sini tindakan “mengambil barang milik orang lain” merupakan kesengajaan. Namun, dari sisi lain, tindakan “mengambil barang milik orang lain” merupakan motif yang melatarbelakangi tindakan “masuk ke dalam rumah.” Dengan demikian, tindakan “mengambil barang milik orang lain” bisa dilihat sebagai unsur kesengajaan, namun juga bisa dilihat sebagai motif bagi tindakan yang mendahului, yakni tindakan

  “masuk ke dalam rumah 32 ”. Pembedaan antara motif dengan

  kesengajaan juga tampak dari ilustrasi berikut: di sebuah ruas jalan, seseorang (A) secara sengaja mendorong orang lain (B) hingga B terpelanting ke pinggir jalan dan mengalami luka-luka. Belakangan diketahui bahwa A mendorong B karena A melihat ada mobil yang melaju kencang ke arah B dan pasti B akan tertabrak jika ia tidak menyingkir. Dalam ilustrasi ini, unsur kesengajaan tampak pada tindakan A yang dengan sengaja mendorong B. Namun ada pula aspek lain, yakni motif atau latarbelakang tindakan A mendorong B, yaitu keinginan untuk menghindar kan B dari tertabrak mobil.

  30 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6 th end, , Centennial

  Edition (1891-1991).

  31 Antony Duff Kutipan dalam Shachar Eldar Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 2 dan 5.

  32 Shachar Eldar Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 5.

  Menurut pandangan konvensional dalam hukum pidana, motif seorang pelaku tindak pidana, apakah itu motif yang baik atau tidak baik, tidaklah relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa mempertimbangkan motif pelaku untuk menentukan pertanggung jawaban pidana akan menimbulkan

  kesulitan dan ketidakpastian. 33 Meskipun motif dianggap tidak relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku,

  dalam praktik motif bisa dipertimbangkan oleh jaksa untuk menentukan berat atau ringannya tuntutan dan oleh hakim untuk menentukan berat atau ringannya pidana. Secara historis, gagasan yang menganggap bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan untuk menentukan tanggung jawab pidana seorang pelaku tindak pidana ditegaskan oleh Cesare Beccaria yang mengatakan bahwa kalau motif setiap pelaku tindak pidana harus dipertimbangkan untuk menentukan tanggung jawab pidananya, itu ibarat menerapkan hukum pidana yang berbeda-beda untuk masing- masing pelaku, karena masing-masing pelaku mungkin memiliki

  motif yang berbeda-beda. 34

  Pada abad ke-20, salah satu sarjana yang mendukung gagasan bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan dalam menentukan tanggung jawab pidana adalah Jerome Hall. Hall mengatakan bahwa kalau motif menjadi unsur yang harus dipertimbangkan, maka hal ini akan memberi kemungkinan bagi setiap orang untuk menilai sendiri perbuatan yang akan mereka lakukan, termasuk perbuatan pidana. Dalam hal seseorang menilai bahwa motifnya benar, ia akan melakukan sebuah perbuatan. Sebaliknya, kalau ia menilai motifnya tidak benar, ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Jadi, menurut Hall, dalam keadaan seperti ini ada tidaknya pertanggungjawaban pidana akan menjadi sangat subjektif. 35

  Motif dapat diartikan sebagai daya yang menggerakkan seseorang untuk melakukan atau bertingkah laku, memiliki niat serta melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang telah

  33 Ibid, hlm.2. 34 Beccaria dalam Shachar Eldar Elkana Laist, “The Irrelevance of

  Motive and The Rule of Law”, hlm. 3.

  35 Shachar Eldar Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 9.

  diinginkan serta memiliki tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi, motif dalam hal ini akan dijadikan oleh penegak hukum (dalam hal ini hakim) menjadikan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Motif juga merupakan dorongan yang ada didalam diri seseorang dan dorongan itu diwujudkan dalam tindakan. Tindakan tersebut biasanya menyalahi peraturan yang berlaku. Jikalau seseorang melakukan sesuatu, maka motivasi tersebut merupakan keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan faktor-faktor dalam menggerakkan seseorang melakukan hal tersebut.

  Motif dipergunakan untuk menjelaskan mengapa seseorang melakukan tindak pidana. Motif berbeda dari kesengajaan (intent). Kesengajaan merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam hampir semua tindak pidana. Namun, motif biasanya bukan merupakan unsur tindak pidana. Penuntutan dalam perkara pidana tidak perlu membuktikan bahwa terdakwa memiliki motif di dalam melakukan tindak pidana. Motif umumnya dibuktikan oleh penuntut umum untuk lebih

  meyakinkan hakim bahwa terdakwa bersalah. 36

  Example: John and Sue have been happily married

  for 30 years. John is diagnosed with a terminal illness and is in constant pain. After living in agony for several months, he repeatedly asks Sue to kill him. After much deliberation, Sue shoots and kills John. Sue’s intent was to kill. Her motive was to stop her husband’s pain. She’s guilty of murder even though her

  motive may have been compassionate 37 . Terjemahannya:

  Sebagai contoh John dan Sue sudah menjalani 30 tahun perkawinan yang bahagia. John di diagnosa menderita penyakit parah dan selalu merasa kesakitan. Setelah menderita selama beberapa bulan, John terus-menerus memohon kepada Sue untuk mengakhiri hidupnya. Setelah mem- pertimbangkan permintaan itu, Sue akhirnya menembak dan membunuh John.

  36 http:www.nolo.comlegal-encyclopediais-motive-required-criminal- offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 19.00 WIB.

  37 http:www.nolo.comlegal-encyclopediais-motive-required-criminal- offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 21.00 WIB.

  Dalam hal ini Sue memiliki kesengajaan untuk membunuh John dengan motif menghentikan penderitaan suaminya. Sue akan dianggap bersalah, meskipun tindak pidananya dilakukan dengan motif belas kasihan.

  Pandangan motif menurut hukum pidana, bahwa motif pelaku entah baik atau buruk tidak relevan untuk melaksanakan tanggungjawab pidana. Pandangan ini didasari anggapan bahwa mempertimbangkan motif pelaku akan menimbulkan kesulitan

  dalam penerapan pidana. 38 Argumen untuk mendukung

  pendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan atau dipertimbangkan adalah argumen bahwa secara eksplisit motif

  tidak di sebut sebagai salah satu unsur tindak pidana. 39 Menurut pandangan ini membuktikan motif tidak disebut sebagai unsur

  tindak pidana akan menyimpang dari prinsip kepastian hukum. 40

  38 Shachar Eldar Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 1.

  39 Ibid., hlm. 3. 40 Ibid., hlm. 4.

5. Hubungan Motif Dengan Unsur Tindak Pidana

  Apabila motif dibuktikan dengan melihat perilaku terdakwa maka adanya beberapa perilakutindakan yang dilakukan karena alasan serta adanya perilaku yang dikarenakan oleh motif. Sebagai contoh dalam pembunuhan yang disengaja, pasti memiliki motif. Di mana adanya kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Contohnya Si A yang telah beristri berselingkuh dengan si B wanita muda. Hasil hubungan si

  A dan si B, akhirnya si B pun hamil. Maka si A ingin membunuh si B karena si B memintai pertanggungjawaban pada si A, sedangkan si A telah memiliki istri. Karena takut diketahui oleh istrinya, maka si A pun membunuh si B. Hal tersebut dilakukan oleh si A karena motif agar terlepas dari pertanggungjawaban.

  Kemudian dalam hal pembunuhan yang dilakukan untuk membela diri seperti c ontoh, rumah si A di rampok oleh sekelompok orang. Selain merampok, para perampok juga ingin menganiaya si A. Untuk membela diri maka si A pun melawan dan menyerang para perampok sehingga ada 2 orang korban yang meninggal yaitu si B dan si C. Dalam contoh kasus seperti ini, maka si A tidak memiliki perencanaan untuk membunuh si B dan si C, akan tetapi untuk melindungi diri serta adanya kegoncangan Kemudian dalam hal pembunuhan yang dilakukan untuk membela diri seperti c ontoh, rumah si A di rampok oleh sekelompok orang. Selain merampok, para perampok juga ingin menganiaya si A. Untuk membela diri maka si A pun melawan dan menyerang para perampok sehingga ada 2 orang korban yang meninggal yaitu si B dan si C. Dalam contoh kasus seperti ini, maka si A tidak memiliki perencanaan untuk membunuh si B dan si C, akan tetapi untuk melindungi diri serta adanya kegoncangan

  Pada dasarnya, motif dalam tindak pidana memiliki hubungan dengan unsur tindak pidana. Dalam hal ini motif dapat termasuk dalam unsur subyektif. Karena motif adalah suatu kehendak yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, sehingga dalam melakukan tindak pidana, seseorang telah memiliki motif tersebut. Dalam melakukan perbuatan tersebut, pelaku telah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Motif juga dapat diartikan sebagai suatu hal yang mendorong si pelaku untuk melakukan tindak pidana.

B. PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA

1. Definisi Pembuktian

  Dalam persidangan salah satu hal yang terpenting adalah pembuktian dimana semua alat bukti akan dihadirkan didalam persidangan serta akan menjadi tolok ukur bagi penegak hukum (hakim) dalam membuat pertimbangan dalam memutuskan perkara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Dalam persidangan salah satu hal yang terpenting adalah pembuktian dimana semua alat bukti akan dihadirkan didalam persidangan serta akan menjadi tolok ukur bagi penegak hukum (hakim) dalam membuat pertimbangan dalam memutuskan perkara pidana. Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

  Hakim dalam proses pembuktian dalam persidangan di Indonesia menggunakan 4 (empat) prinsip yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu:

  a) Dalam Pasal 183 KUHAP dibutuhkan adanya 2 (dua) alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi:

  “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  b) Dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP dimana hal yang

  sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam Pasal 184 ayat (2) berbunyi: “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.

  c) Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP satu saksi bukan saksi. Jika berbicara mengenai pasal ini, maka akan dikenal dengan prinsip dalam hukum pidana yaitu Unus testis nullum testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) ini berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

  d) Dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa pengakuan

  terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut

  41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan kembali)

  Edisi ke 2, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm. 252.

  umum membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 189 ayat (4) berbunyi:

  “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.

2. Teori Pembuktian Melalui Alat Bukti

a. Teori Pembuktian

  Dalam pemeriksaan perkara pidana, hakim akan memeriksa dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diperiksa, akan tetapi harus adanya pembuktian apakah benar apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hakim dalam memeriksa perkara dengan tujuan untuk ditemukannya kebenaran materiil dan untuk menemukan kebenaran mengalami kesulitan karena: 42

  a. Kebenaran materiil yang akan ditemukan tersebut sudah lampau waktu (terlalu lama);

  b. Oleh karena itu alat-alat bukti berupa saksi-saksi menjadi

  relatif dan kabur.

  Pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa- peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara

  42 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 117.

  pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana. 43

  Dalam teori pembuktian, ada 3 (tiga teori) yaitu:

  1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie): yaitu teori- teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan pembuktian secara positif, karena jika telah terbukti perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Undang- Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sehingga teori pembuktian ini disebut juga Formele Bewijstheorie.

  2. Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction Intime): yaitu teori ini berdasarkan pada pendapat bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat membuktikan

  kebenaran.

  Oleh

  karena itu

  bagaimanapun diperlukan juga keyakinan hakim. Teori ini mendasarkan pada keyakinan hati nurani hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum.

  3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas alasan yang logis (La Conviction Rais Onnee): yaitu dengan teori ini maka di dalam Hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (Conslusie) yang berlandaskan kepada peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas, karena dengan teori hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan tentang keyakinannya (Vrije Bewijdtheorie). Dalam teori ini terbagi menjadi dua yaitu

  a. Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonnee): teori ini berpangkal pada keyakinan hakim yang

  43 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1983, hlm. 19.

  didasarkan pada suatu kesimpulan (Conclusi) yang logis, yang tidak didasarkan pada Undang-Undang, tetapi menurut Ilmu Pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan digunakan.

  b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori): teori ini berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang- Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim. 44

  Teori pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat bukti pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas

  perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”. 45

  Teori pembuktian jika mengacu pada KUHAP maka terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yaitu:

  1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua alat bukti) yang

  sah.

  2. Dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim. 46

  Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal

  44 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 117-119. 45 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

  Kehakiman.

  46 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 119.

  202. Adapun tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada suatu perkara, jadi bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa. 47

  Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak adanya kesalahan dalam menjatuhi pidana pada seorang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hakim didalam pembuktian di persidangan harus benar-benar memastikan apakah peristiwa pidana tersebut terjadi, kemudian memastikan apakah kejadian tersebut adalah tindak pidana atau bukan, serta melihat bukti-bukti yang ada atau alasan-alasan yang menyebabkan peristiwa tersebut.

b. Alat bukti Dan Fungsi Alat bukti Dalam Perkara Pidana

  Proses untuk mencari alat bukti dalam hukum pidana yaitu sesuatu hal yang harus diverifikasi pada saat sidang pengadilan dan apa yang terjadi diluar sidang. Maka akan berdasarkan pada Pasal 184 KUHAP yang berbunyi:

  Alat-alat bukti yang sah ialah: (1) a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk;

  e. keterangan terdakwa

  47 Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, mandar maju, Bandung, 2006, hlm. 293.

  (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

  Alat-alat bukti yang telah dijelaskan diatas akan dijelaskan satu persatu yaitu:

  1. Keterangan Saksi

  Salah satu alat bukti yaitu keterangan saksi, syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah: 48

  a. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kecuali yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP:

  (1) Keluarga sedarahsemenda dalam garis lurus

  keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa.

  (2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama

  sebagai Terdakwa juga yang mempunyai hubungan perkawinan dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ke tiga.

  (3) Suami atau istri terdakwa meski sudah bercerai.

  b. Menurut Pasal 170 KUHAP, mereka yang kerena pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi.

  c. Menurut Pasal 160 KUHAP, pengucapan sumpah oleh saksi adalah merupakan syarat mutlak kesaksian sebagai alat bukti, hal ini dapat dibuktikan:

  1. Apabila saksi menolak mengucapkan sumpah atau janji, pemeriksaan tetap dilakukan, dan berdasarkan surat penetapan hakim ketua sidang

  48 M. Haryanto, (2013) Op. Cit,, hlm. 122-124.

  saksi yang menolak mengucapkan sumpah dapat di sandera di Rutan selama 14 hari. Hal ini di atur dalam Pasal 161 ayat (1) KUHAP.

  2. Apabila telah disandera, tetapi saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji, maka saksi tersebut tetap dapat dimintai keterangan yang diberikan dapat menguatkan keyakinan hakim, tetapi bukan kesaksian menurut Undang-undang dan juga bukan merupakan alat bukti petunjuk.

  3. Apabila kesaksian diberikan dibawah sumpah, maka merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim.

  4. Kekecualian memberi kesaksian di bawah sumpah yaitu:

  (a) Bagi mereka yang belum cukup umur 15

  tahun atau belum kawin. (b) Orang sakit ingatan, walaupun kadang-

  kadang normal (psikopat), karena mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna di depan hakim.

  Alat bukti berikutnya adalah Isi dan Nilai Keterangan berarti agar suatu keterangan saksi mempunyai nilai sebagai keterangan saksi, maka isi keterangan harus memenuhi syarat

  sebagai berikut: 49

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24